112 penularan penyakit infeksi, yang secara tidak langsung dapat pula mempengaruhi
gizi anak. Pakpak sangat berbahaya bagi bayi karena makanan yang diberikan menjadi tidak higienis, dan rentan menjadi sumber penyakit bagi anak. Secara
kualitatif, hasil penelitian Ronoatmodjo, 1996 dalam Swasono 1998 menemukan bahwa alasan budaya yang menonjol sebagai penyebab kematian neonatal pada
bayi di wilayah Lombok Timur adalah pemberian nasi pakpak waktu ia baru lahir, yang berjumlah hampir dua kali lipat dari pada bayi yang tidak diberi nasi pakpak
pada waktu lahir Ronoatmodjo, 1996.
23
Menurut Handayani, et al., 2011 pemberian nasi pakpak sesungguhnya bukan hanya terkait masalah budaya, akan
tetapi juga karena keterbatasan waktu sang Ibu menyiapkan makanan karena perempuan Sasak memegang peran produktif.
UNICEF 1992 berpendapat bahwa pemberian makanan secara tidak higienis merupakan salah satu penyebab dari munculnya kasus gizi kurang pada
bayi dan balita. Praktek pemberian makan yang tidak higienis seperti pemberian nasi pakpak akan menyebabkan infeksi berbahaya pada bayi dan balita. Air dan
makanan yang tidak sehat merupakan media bagi kuman penyakit yang berbahaya.
Pemberian makanan tambahan pada balita terlalu dini merupakan fakta penelitian yang sangat penting selain juga cara pemberian makanan nasi pakpak
yang secara medis tidak higienis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan memberikan nasi lumat yang dipak-pak ibunya di usia bayi baru satu bulan
merupakan suatu kebiasaan di masyarakat Sasak. Kenyataan ini terjadi karena adanya kebiasaan di kalangan masyarakat Sasak yang disertai kepercayaan bahwa
anak bayi menangis dimaknai karena lapar. Dengan pemberian makan lumat bayi dipercaya akan bertambah kuat, tidak rewel, dan cepat besar. Hasil penelitian HKI
2002 dan Handayani 2011 juga serupa dengan hasil penelitian ini. HKI menemukan fakta bahwa di pedesaan Lombok hampir sebagian besar para balita
84 persen sudah mendapatkan makanan tambahan saat usianya baru empat hingga lima bulan, sementara 12 persen ibu sudah memberikan makanan
tambahan kepada bayinya diusia anak baru menginjak dua bulan. Menurut Handayani di wilayah Lombok Timur anak bayi usia dua sampai empat bulan
sudah diberikan makanan pendamping ASI.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa papu ‟ merupakan
ujung tombak para ibu balita yang dipercaya mengurusi anak-anaknya saat para ibu balita bercerai dan menuntut para Ibu untuk mencari nafkah. Tabel berikut
menunjukkan kecenderungan tersebut.
Tabel 28 berikut menunjukkan bahwa pada komunitas Sasak pesisir kategori anggota keluarga yang dipercayakan untuk memberikan makanan pendamping
23
Kebiasaan memberi nasi pak-pak pada bayi dilakukan dengan cara mengunyah dulu nasi hingga lembut oleh sang ibu, lalu dikeluarkan dari mulut untuk kemudian diberikan kepada bayi. Sebagian
nasi pak-pak diperam dahulu agar lebih lembut dan sebagian lagi langsung diberikan kepada bayi. Hasil kajian Ronoatmodjo menunjukkan bahwa di kecamatan Keruak, Lombok Timur, persentasi
kebiasaan makan nasi pak-pak ini masih besar 45. Dari jumlah ini, kurang dari seperempat jumlah bayi 22 diberi nasi pak-pak yang tidak diperam, sedangkan selebihnya 23 mendapat
nasi pak-pak yang sudah diperam. Kebiasaan ini telah berlangsung turun temurun berdasarkan keyakinan bahwa dengan memberi makan nasi pak-pak ini, bayi takkan menjadi isah rewel, bisa
rukun dan dekat dengan ibunya, juga tubuhnya akan lekas gemuk. Namun nasi pak-pak ini adalah makanan padat yang secara mekanik dapat menyebabkan obstruksi usus bayi dan enterokolitis
yang berakibat kematian.
113 ASI di tipe rumah tangga nuclear family, untuk balita gizi buruk dan gizi kurang
adalah selain nenek papu‟ dari ayah dan ibu berjumlah 48 persen, juga diserahkan
kepada ayah dan kakak balita 52 persen. Kakak balita yang relatif belum dewasa sudah diberikan tanggung jawab untuk merawat adiknya yang masih balita.
Kemampuan dan pengetahuan kakak balita yang masih minim menyebabkan para balita di pesisir rentan mengalami gizi kurang. Pada kenyataan di lapangan para
balita sering mengkonsumsi makanan ringan yang kaya zat makanan tambahan kimiawi dan pengawet seperti snack dan permen serta mie instant. Penjabarannya
akan dijelaskan pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini.
Seperti yang telah diulas pada bagian awal bab ini bahwa di wilayah Sasak pesisir jumlah anak di setiap rumah tangga cenderung lebih banyak
dibandingkan dengan di persawahan lihat kembali pada tabel 25. Di persawahan papu
‟ dianggap sebagai pihak yang paling kompeten bagi ibu untuk mengurusi cucunya yang masih balita saat ibu sedang bekerja, maupun bepergian untuk hal
tertentu di rumah. Di rumah tangga persawahan non nuclear sebanyak 73 persen ibu akan mempercayakan
papu‟ untuk mengurusi anaknya saat bekerja sebagai akibat dari perceraian, atau pada banyak kasus setelah menikah lagi dan suami
baru ibu tersebut tidak menghendaki anak pada pernikahan sebelumnya hidup bersama, maka balita dititipkan kepada
papu‟nya. Namun, papu‟ sendiri adalah perempuan yang telah lanjut usia, sehingga pengasuhan anak menjadi tidak
maksimal. Tabel 28. Anggota Keluarga yang Dipercaya untuk Memberi MP-ASI Balita
berdasarkan Status Gizi Balita Buruk dan Kurang, Pesisir dan Persawahan, Kabupaten Lombok Timur, 2012
Orang yang dipercaya
untuk memberikan
MP ASI pada balita dengan
Status Gizi Balita
burukkurang Komunitas
Total Pesisir
Sawah Nuclear
Non Nuclear
Nuclear Non Nuclear
n n
n n
n
Nenek dari ibu Ayah
10 48
7 78
6 54
14 73
37 61
Ayah Lainnya
11 52
2 22
5 46
5 27
23 39
Total 21
100 9
100 11
100 19
100 60
100
Dilihat dari kacamata teori Steward, maka pengaturan pengasuhan balita di pesisir dengan menyerahkan tugas pola asuh kepada kakak balita dan di
persawahan tugas pola pengasuhan diserahkan kepada papu‟ merupakan refleksi
atau pencerminan dari unsur inti budaya Steward yakni aktivitas subsistensi dan pengaturan ekonomi rumah tangga.
114
8.3 Etika dan Moralitas
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya pada bagian lain sebelumnya di dalam tulisan ini bahwa banyak faktor yang saling terkait menentukan penyebab
dari kasus gizi buruk balita baik di wilayah pesisir maupun persawahan. Pada bagian tulisan ini, akan dijabarkan bahwa nilai-nilai budaya yang kemudian
membentuk standar penilaian baik dan buruk dari perilaku masyarakat atau disebut dengan etika moralitas kemudian juga berperan di dalam muncul dan
meningkatnya kasus gizi buruk pada balita yang lahir di dalam komunitas Sasak. Kemudian, karena perbedaan nilai-nilai tersebut juga terkait pada kesejarahan dari
akulturasi budaya khususnya pada Sasak pesisir unsur nilai-nilai kolektif pada non inti budaya, maka etika juga dianggap sebagai faktor pembeda antara
penyebab kasus gizi buruk di pesisir maupun di Persawahan.
Bagi masyarakat Sasak persawahan yang belum mengalami pencampuran budaya dengan etnis tertentu, seperti layaknya Sasak pesisir, maka etika di dalam
menjalani kehamilan, melakukan persalinan, dan merawat anak balita didasarkan pada nilai-nilai budaya Sasak yang kental dengan warna Islam Hindu Bali atau ke
dalam warna Islam Wetu Telu salah satunya dengan mematuhi pantangan atau taboo saat hamil dan pasca persalinan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Islam Wetu Telu kemudian selain berperan di dalam pembentukan beberapa kepercayaan yang dianut masyarakat dalam bentuk mitos-mitos dan taboo unsur
non inti budaya Steward juga mempengaruhi bentuk relasi laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga. Membangun ukuran kejantanan seorang lelaki
melalui tindakan magis senggeger dan tindakan melarikan diri
merari‟. Semua hal tersebut kemudian disosialisasikan dan ditradisikan secara turun temurun.
Religi atau kepercayaan Islam Wetu Telu mewariskan mitologi Dewi Rengganis dan mitologi Bau Nyale. Mitologi inilah yang kemudian membentuk
etika pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Mitologi ini juga menggambarkan posisi perempuan sebagai seorang istri dan ibu, dengan laki-laki sebagai seorang
ayah dan suami. Mitologi Dewi Rengganis menguatkan dominasi laki-laki terhadap perempuan di dalam perkawinan. Dalam mitologi tersebut digambarkan
bahwa perempuan yang sempurna adalah perempuan yang merelakan kekasih hatinya memiliki banyak wanita. Mitologi ini kemudian erat kaitannya dengan
penguatan poligami tuan guru. Pada akhirnya mitologi ini membenarkan jika laki- laki untuk melakukan pernikahan dan perceraian. Perempuan kemudian
dikonstruksikan sebagai mahluk yang dengan ikhlas menerima kenyataan tersebut dengan konsekuensi-konsekuensi yang biasanya sepenuhnya ditanggung oleh para
istri, termasuk hak asuh anak terutama yang balita. Pada bagian tulisan sebelumnya telah diuraikan bahwa fenomena kawin cerai megat atau sarak
berperan besar dalam kejadian gizi buruk pada balita karena ketidakutuhan suatu keluarga dapat mempengaruhi pola asuh psikososial dan pemberian makanan
kepada anak.
Sementara, mitologi Bau Nyale secara substantif mengisyaratkan dan merasionalisasikan secara nilai-nilai budaya bahwa kebanggaan seorang wanita
adalah ketika mereka diperebutkan oleh banyak lelaki. Kejadian merari‟
merupakan simbolisasi bahwa perempuan merupakan perhiasan berharga yang harus diperebutkan para pria, meskipun harus meregang nyawa. Di satu sisi dalam
tradisi merari‟ lelaki Sasak kemudian dikonstruksikan sebagai sebagai sebuah
115 cara untuk membuktikan kejantanannya karena melalui bahaya besar dengan
menculik wanita yang dicintainya. Dengan mitologi ini dan adanya etika malu perawan tua, dan malu menjanda akibat stigmatisasi bagi perempuan yang telah
bercerai meskipun pada beberapa kasus faktor tekanan ekonomi juga berperan menguatkan pendapat masyarakat Sasak bahwa perempuan Sasak yang lajang
menyegerakan mengakhiri masa lajang. Ditambah lagi dengan kepercayaan bahwa merari
‟ dapat menghindarkan perempuan Sasak dari pengaruh penyakit magis pria senggeger atau banggereuk. Baik mitologi ini dan maupun etika-etika
tersebut yang didorong oleh rasionalitas substantif kemudian mendorong perempuan melakukan pernikahan sedini mungkin. Perempuan yang melakukan
pernikahan dini, belum siap secara fisik maupun mental akan mempengaruhi perkembangan anaknya kelak. Tidak berhenti sampai disitu saja, etika ngerorot
dan nurut mame yang didasari oleh rasionalitas substantif memaksa setiap perempuan Sasak untuk menerima kondisi pasca pernikahan yang penuh
tantangan di tengah ketidaksiapannya mengarungi bahtera perkawinan. Kecenderungan tindakan sosial lelaki Sasak di dalam pernikahan selalu atas dasar
rasionalitas substantif, atas dasar tersebut seorang lelaki Sasak setelah menikah pantang tinggal di keluarga istri. Bagi istri hidup di tengah keluarga suami tidak
memastikan kebahagiaan baginya, terkadang keberpihakan keluarga suami terhadap suami menjadi tekanan bagi istri. Umur yang masih belia, ditambah
tekanan dari lingkungan suami, dan penguatan melalui etika toa-toa sampat atau ble-ble ambon yang mengkonstruksikan bahwa prestise sorang lelaki Sasak dinilai
dari seberapa seringnya mereka melakukan pernikahan, sehingga timbullah suatu persetujuan bahwa lelaki Sasak wajar bermain wanita di samping juga faktor
ekonomi pada banyak kasus menimbulkan perceraian, dan pada akhirnya, perceraian tersebut menimbulkan dampak yang besar terhadap perkembangan
anak-anak mereka.
Maraknya perceraian juga tidak boleh dilepaskan dengan maraknya para ayah balita yang merantau. Etika ekonomi merantau ini menyebabkan banyak
ayah yang kehilangan kesempatan untuk melihat dan ikut dalam tumbuh kembang anaknya. Demi untuk alasan rasionalitas praktikal, kegiatan merantau migrasi
merupakan bagian dari unsur demografi dari inti budaya Steward dianggap sebagai solusi dari kehidupan yang morat-marit. Pada beberapa kasus, seorang
suami merantau disaat istrinya tengah hamil muda, dan kembali saat anaknya berumur setahun hingga balita. Sementara, pada saat seorang perempuan
mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak pasca kelahiran, peran suami sangat vital. Kecenderungan seorang perempuan mengalami ketidakstabilan emosi
dapat diredam oleh peran suami sebagai seorang pendamping.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa ketika bercerai, sebagian besar kejadian menunjukkan bahwa perempuan atau ibulah yang
sepenuhnya bertanggung jawab atas kehidupan anak. Perempuan dipaksa untuk berperan ganda baik sebagai seorang ibu maupun seorang ayah. Saat seperti ini
etika sorohan atau papu‟ memegang peran penting khususnya dalam pengasuhan
balita. Namun, seperti yang diketahui bahwa papu‟ yang telah renta tidak akan
maksimal menggantikan posisi Ibu dalam hal pengasuhan dan pemberian makanan. Pada banyak kasus, pola asuh
papu‟ juga punya andil yang besar dalam terjadinya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita. Melalui pap
u‟ lah pemberian nasi pakpak dilakukan. Melalui papu
‟ juga lah pantangan dan taboo
116 saat kehamilan diturunkan ke anak-anak perempuannya. Seperti yang telah
diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa pada sebagian besar pantangan dan anjuran bagi perempuan yang hamil dan menyusui dari kacamata medis dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kehamilan dan pada akhirnya akan menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan antara lain anjuran untuk memakan
makanan sisa kucing, dan dilarangnya ibu yang tengah mengandung memakan buah-buahan yang menggantung.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, etika ekonomi sapi merupakan unsur organisasi ekonomi dalam inti budaya Steward juga ditengarai menjadi penyebab
munculnya kasus gizi buruk pada balita. Pentingnya sapi bagi kehidupan ekonomi setiap keluarga Sasak menyebabkan perlakuan yang istimewa terhadap sapi.
Kandang sapi diletakan sangat dekat dengan rumah induk, bahkan pada beberapa kasus sapi hidup seatap dengan manusia. Hidup terlalu intim dengan ternak
menimbulkan konsekuensi negatif antara lain mudahnya manusia terkena penyakit. Pada kasus di masyarakat Sasak, penyakit yang sering terjadi adalah
penyakit ISPA dan tidak sedikit yang menyerang balita. Sehingga balita yang terganggu kondisi fisiknya akan dengan mudah jatuh pada kondisi gizi buruk dan
kurang. Selain itu juga terkadang sumber air keluarga terkontaminasi dengan kotoran sapi yang menyebabkan penyakit serius kepada balita maupun orang
dewasa. Ditambah lagi dengan kebiasaan orang-orang Sasak persawahan yang mengkonsumsi air mentah air nyet dengan alasan kebiasaan dan ekonomi,
menyebabkan balita rentan terkena penyakit khususnya diare. Meskipun juga tidak boleh diabaikan bahwa ada juga pengetahuan lokal Sasak mengenai
pemeliharaan kesehatan dan sanitasi lingkungan yakni menggunakan kotoran sapi untuk membersihkan lantai.
Anak-anak dan para ibu juga rentan pada kondisi gizi buruk dan gizi kurang, karena adanya etika masyarakat Sasak yakni etika kasoan yakni nilai-nilai
bahwa seorang ayah akan terlebih dahulu makan. Barulah ketika ayah telah selesai makan, saat itulah para ibu dan anak-anaknya bisa menikmati makanan. Tentu
jatah anak-anak dan para ibu tergantung pada sisa makanan para ayah. Begitu pula jika keluarga Sasak menerima kedatangan tamu. Maka istri dan anak-anak hanya
duduk di belakang rumah atau dapur setelah menyiapkan santapan makanan yang dihidangkan untuk tamu dan ayah. Barulah ketika tamu pulang dan telah
menyantap makanan, saat itulah anak-anak dan para ibu bisa menyantap makanan.
Berikut adalah ilustrasi yang menunjukkan gambaran peta etika orang- orang Sasak persawahan kaitannya terhadap kasus gizi buruk dan gizi kurang
balita Sasak persawahan
Gambar 3.
117
Pada masyarakat Sasak pesisir, kasus gizi buruk dan gizi kurang sudah
tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh etika Sasak. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa, jika melihat sejarah masyarakat Sasak pesisir, maka sudah
banyak nilai-nilai budaya Sasak yang telah terakulturasi oleh budaya masyarakat Bugis Bajo. Budaya Bugis Bajo yang maritim, menggeliat secara ekonomi dan
kultur Islam yang lebih kental tanpa campuran nilai-nilai Islam Hindu ala Wetu Telu sudah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Sasak yang marjinal. Sisi
nilai-nilai budaya Sasak yang nampak bergeser adalah budaya kawin cerai, pada beberapa desa-desa di pesisir di wilayah Lombok Timur kawin cerai sudah
dianggap tabu. Di lokasi penelitian sendiri, budaya Sasak sudah mulai terinfiltrasi ke dalam budaya Bajo Bugis. Dasar kepercayaan orang-orang Sasak pesisir juga
dipengaruhi oleh takluknya mereka terhadap laut sebagai sumber kehidupan mereka. Hal tersebut serupa dengan apa yang dipercayai oleh orang-orang Bajo
dan Bugis meskipun tidak dipungkiri bahwa etika kawin cerai masih ditemui, begitu pula etika-etika lainnya yang telah dijelaskan pada bagian Sasak
persawahan.
Kelembagaan yang berperan di dalam pengamanan pangan keluarga Sasak di Pesisir tentu saja bukan hanya berpatok pada keluarga inti atau sorohan saja,
melainkan juga kelembagaan ekonomi Bugis Bajo yakni hubungan patron client antara punggawa dan sabi. Kelembagaan ini digunakan oleh keluarga nelayan sabi
untuk menjamin kehidupan keluarganya. Kesetiaan dan kejujuran sabi dituntut
Gambar 3. Peta Etika Moralitas Sasak Persawahan kaitannya dengan kasus Gizi Buruk dan Gizi Kurang