Kebijakan Pembangunan di Bidang Kesehatan

88 7.3 Pola Adaptasi Ekologi 7.3.1 Adaptasi Ekologi Pesisir Jika kembali dari sejarah kehadiran masyarakat Sasak Pesisir Lombok Timur yang telah dijabarkan pada bagian tulisan ini, sesungguhnya korban dari dampak pembangunan adalah masyarakat Sasak pesisir. Mereka tersingkir karena tidak lagi memiliki lahan untuk digarap, tidak adanya lapangan pekerjaan yang bisa menghidupi rumah tangga, akhirnya untuk mencari selamat bergeser mencari penghidupan di wilayah pesisir. Beberapa masyarakat Sasak pendatang selain menjadi sabi, ada juga yang mencari nafkah sebagai nelayan mandiri dengan armada penangkapan yang sederhana, dan tergolong sebagai nelayan kecil dengan daerah fishing ground 0-3 mil saja. Hanya mengandalkan jaring klitik. Nelayan sasak yang mandiri dan terbilang nelayan kecil sangat mengandalkan anggota keluarga sebagai tenaga kerjanya. Biasanya anak-anaknya khususnya anak laki-laki akan membantu sang ayah mencari ikan dengan menggunakan jaring klitik. Sementara sang ibu dan anak-anak perempuannya akan menunggu perahu sang suami di pantai, setelah ikan didaratkan barulah wewenang perempuan dalam mengelola hasil tangkapan suami. Sehingga tidaklah mengherankan jika keluarga nelayan sasak memiliki anak yang relatif lebih banyak dibandingkan di wilayah persawahan. Anak bagi masyarakat Sasak pesisir lebih dimaknai sebagai tenaga kerja yang akan membantu perekonomian keluarga. Sehingga ungkapan banyak anak banyak rezeki masih dipegang kuat oleh keluarga nelayan Sasak. Selain menjadi sabi, masyarakat Sasak sebagai masyarakat kelas dua di desa-desa pesisir juga menggantungkan hidupnya sebagai buruh garam di lahan- lahan garam milik daeng-daeng dari Bugis dan Bajo di desa Tanjung Luar, Kecamatan Ciwaru. Berikut penuturan PA: “Masyarakat sasak dari desa persawahan yang berbeda yang terdesak, menjadi buruh tani yang tidak memiliki tanah akibat sistem pewarisan, yang menyebabkan lahan terpecah-pecah menjadi ukuran-ukuran yang sangat kecil, dan umumnya telah banyak digadai. Maka akibat tekanan hidup, masyarakat sasak yang terdesak ini datang untuk hidup di pinggir pantai mencari nafkah di desa-desa pesisir yang telah lama didiami oleh orang Bugis dan Bajo. Dan saat itu sumberdaya cumi menjadi primadona. Sebagai masyarakat yang dianggap pendatang maka orang- orang sasak kemudian menggantungkan nafkahnya pada orang-orang Bugis dan Bajo yang telah berhasil sebagai nelayan. Kecenderungan yang terjadi penduduk sasak menjadi sabi di armada penangkapan orang-orang Bajo dan Bugis. Selain itu juga menjadi buruh di lahan- lahan garam milik para daeng-daeng Bugis dan Bajo. Karena posisinya sebagai pendatang, maka sangat jarang orang sasak yang mampu memiliki armada penangkapan yang besar dan lahan garam. semua dikuasai oleh orang-orang bugis. Tidak pernah kami mendengar bahwa kapal dan lahan garam milik “amak-amak” 20 . melainkan kapal-kapal penangkap cumi adalah milik daeng-daeng, begitu pula lahan garam yang luas” Wawancara dengan PATanggal 16 Juni 2012, perjalanan menuju Desa Putun Bako. 20 Sebutan bagi orang-orang Sasak yang terpandang 89 sangat disayangkan bahwa nelayan Sasak yang menjadi sabi dan nelayan kecil, rupanya sulit meningkatkan status mereka. Pertama, karena memang tidak memiliki kearifan dalam hal ilmu pelayaran. Sehingga mereka sangat bergantung pada ilmu pelayaran dari etnis Bajo dan Bugis. Selain itu juga, nelayan Sasak harus berjuang sekuat tenaga dalam mengembangkan usaha penangkapan bagang, maupun usaha budidaya lobster di keramba. Tidak seperti Suku Bugis yang daya juang dalam hal berusahanya kuat. Sehingga kecenderungan yang terjadi adalah nelayan Bugis dan Bajo tetap menjadi masyarakat kelas menengah ke atas yang berhasil mengekspansi usaha penangkapan maupun budidaya yang dikelolanya. Tahun 1970an-1980an, kondisi teluk sangat subur akan sumberdaya cumi- cumi sangat melimpah. Dan kelimpahan sumberdaya ini terkenal hingga ke Jepang. Masyarakat pesisir di Lotim saat itu cukup mengandalkan sumberdaya cumi untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tanpa perlu mencari nafkah di wilayah lainnya. Daerah penangkapan ikan bagi nelayan cumi-cumi baik nelayan kecil maupun nelayan dengan armada yang cukup besar, yakni 0-6 mill. Namun, akhir-akhir ini sumberdaya cumi semakin berkurang karena terjadinya kegiatan penangkapan yang berlebihan, kerusakan habitat, dan musim cumi menjadi tidak jelas. Sehingga, tiga hingga empat tahun terakhir ini nelayan-nelayan harus mencari di perairan Sumbawa. nelayan dengan armada bodi batang 4-5 meter harus mencari di perairan Sumbawa, perahu tersebut ditarik dulu oleh perahu yang lebih besar. Selama tiga hingga empat hari, nelayan mencari di perairan Sumbawa. Dahulu ketika cumi masih berlimpah nelayan lokal di pesisir Lotim tidak perlu mondok atau merannu berhari-hari untuk mencari nafkah. Dahulu, sebelum perubahan iklim dan menciptakan ketidakjelasan musim cumi, musim tangkap bisa diprediksi misalnya bulan Oktober sampai bulan April atau dikenal dengan istilah kuning pari, dari turunnya hujan sampai kuning pari atau kuning padi maka saat itulah cumi sebagai sumber pendapatan nelayan melimpah ruah. Cumi-cumi ditangkap nelayan dengan menggunakan krakat atau jaring lampara. Selain cumi, nelayan di pesisir Lombok Timur juga menangkap sotong sejenis cumi-cumi yang hidup di lamun dengan menggunakan pancing atau rawe saat musim terang bulan pada malam hari, sementara kalau di siang hari sotong dipancing saat hari sedang mendung atau akan turun hujan. Selain cumi, nelayan sasak di desa-desa pesisir Lombok Timur juga menangkap ikan pelagic, seperti ikan suri-suri atau ikan cucut panjang yang menjadi bahan baku sate ikan. Khususnya Desa Pelebeh yang terkenal sebagai nelayan khas ikan cucut atau ikan suri-suri tidak mengenal musim panen maupun paceklik, ikan suri-suri tersedia sepanjang tahun dan hari. Setiap malam nelayan di Pelebeh bisa memperoleh 1-2 ekor ikan cucut atau ikan sori jika menangkap di wilayah perairan 0-3 mill dari desa, namun jika nelayan menangkap ke wilayah perairan Sumbawa, nelayan akan mendapatkan 50-100 ekor ikan suri-suri. Mondok 2-3 hari di laut, dengan membawa es. Pada hari keempat biasanya kelompok nelayan akan berangkat kembali ke daratan. Kemudian, ikan balang-balang atau ikan marlin wilayah tangkapnya hanya ada di perairan Sumbawa, sehingga kelompok nelayan, harus mondok selama 3-4 hari di laut untuk mencari ikan baling-balang tersebut. Ikan baling-balang melimpah di saat kemarau tiba. Ikan panjang atau ikan suri-suri ditangkap oleh nelayan dalam kelompok penangkapan dengan menggunakan katinting bodi batang dengan lebar 70 cm, panjangnya 5 meter dan menggunakan jaring gondrong gill net dengan jaring 12 piece dan 15 piece. 90 Kelompok penangkapan yang terdiri atas 3 orang 1 punggawa, 2 sabi melaut sampai ke perairan Pulau Sumbawa selama 2-3 hari. Selain menangkap ikan pelagik yang disebutkan di atas, ikan pelagic lainnya, seperti teri, ikan lemuru, tongkol, ikan katombong, dan ikan rumah-rumah. Perempuan atau istri berperan dalam kegiatan pemasaran hasil tangkapan suami. Biasanya istri lah yang akan mengambil dan memasarkan hasil tangkapan suami. Hasil tangkapan suami dijual ke pasar ikan di Desa Tanjung Luar. Biasanya ibu-ibu yang memiliki Balita akan membawa serta anak-anak balitanya. Nelayan di pesisir Lombok mengungkapkan bahwa pada bulan September sampai bulan Januari adalah musim panen ikan. September hingga bulan Januari adalah musim-musim panen ikan atau dikenal sebagai musim peralihan. Masyarakat nelayan sasak mengenal dua musim melaut, yakni musim angin barat, dan musim angin timur. Bulan Juni sampai Agustus musim angin timur atau musim kemarau tiba merupakan musim paceklik bagi nelayan di pesisir Lombok Timur. Saat-saat inilah tenaga kerja keluarga dikerahkan untuk madat. Madat sendiri adalah kegiatan keluarga nelayan untuk mencari kerang-kerangan, teripang, ikan-ikan kecil dan kuda laut di pesisir pantai saat pasang surut. Madat terjadi dalam setiap bulannya dalam dua fase yakni fase perbani dan purnama. Selama tiga hari berturut-turut, atau enam hari dalam sebulan. Enam hari tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh keluarga nelayan untuk mencari kerang-kerangan, teripang, dan kuda laut. kadang-kadang memakai sabit untuk memotong lamun sea grass agar mudah mendapatkan kerang-kerangan, teripang, dan kuda laut. Hal ini sesungguhnya yang juga menyebabkan kerusakan habitat, dan menjadi persoalan tersendiri. Dahulu, tahun 1960-an, wilayah perairan di Desa Gili Beleh, Pelebeh, dan sekitarnya menjadi wilayah endemik ikan duyung. Nelayan-nelayan Bajo menjadi pemburu ikan duyung ini dengan cara ditombak. Dahulu juga terkenal perairan di pesisir Pelebeh, Putun bako, dan Gili Beleh banyak terdapat buaya, dan menjadi tontonan masyarakat saat mereka muncul di permukaan. namun, akibat rusaknya habitat, buaya tersebut tidak menampakkan diri lagi. Kuda laut menjadi komoditas yang sangat penting di saat paceklik, mahluk laut yang dipercaya mampu meningkatkan stamina dan keperkasaan para pria ini, dijual ke pengumpul-pengumpul ikan di darat dengan harga yang relatif menguntungkan Rp. 2.500- Rp. 5.000ekor tergantung ukuran dan jenisnya. Saat madat dilakukan maka peran anggota keluarga inti khususnya istri dan anak-anak mengambil posisi penting. Artinya, semakin banyak tenaga kerja keluarga dikerahkan maka penghasilan juga semakin meningkat dari kegiatan madat tersebut. Semua anggota keluarga dikerahkan dari anak-anak yang masih balita sampai anak-anak yang telah dewasa juga ikut, tua muda, mengerahkan tenaga untuk mencari kerang memenuhi kebutuhan hidup di saat-saat musim paceklik. Di dusun Pelebeh, nelayan juga bekerja di ladang-ladang garam milik Daeng-daeng di Desa Tanjung Luar. Ada juga sebagai nelayan yang menjadi petani penyakap di ladang-ladang garam dengan sistem bagi hasil 1 : 1 atau satu pemilik, satu penyakap. Selain bekerja di ladang garam, nelayan juga khususnya nelayan di desa Paremas, dan Dusun Putun Bako, juga masih bergantung pada komoditas tembakau. beberapa nelayan juga bekerja sebagai buruh tani di lahan- lahan milik orang-orang Bugis dan Bajo. Selain bergantung pada kegiatan penangkapan, masyarakat sasak di pesisir Lombok Timur juga mengandalkan pada kegiatan budidaya keramba jaring apung 91 yang membesarkan lobster dan ikan kerapu. Kebanyakan, nelayan Sasak akan bekerja sebagai buruh di keramba apung milik nelayan Sasak yang beruntung, dan kebanyakan merupakan milik nelayan Bugis dan Bajo di Luar Desa. Selain itu juga, nelayan yang mampu memiliki modal yang cukup untuk membangun bagang, juga akan menggantungkan penghasilannya dari bagang. Bagang sendiri dioperasionalisasikan secara berkelompok dan biasanya menggunakan tenaga kerja keluarga. Bagang dipakai saat-saat measuki bulan Maret hingga November. Nelayan membangun bagan dengan biaya yang tidak sedikit, kira-kira menghabiskan biaya Rp. 30.000.000 - Rp. 35.000.000,- juta. Selain biaya pembangunannya yang relatif mahal, juga kegiatan operasionalnya yang sangat mahal. Nelayan di sekita pesisir Lombok Timur, misalnya Desa Gili Beleh, dan Desa Paremas menggunakan lampu petromaks untuk menarik perhatian ikan. Jika nelayan sedikit bermodal maka nelayan menggunakan lampu- lampu dengan bantuan genset dengan bahan bakar bensin sebagai sumber tenaga listrik. Bagang biasanya digunakan nelayan untuk menangkap ikan teri, cumi- cumi, bahkan kepiting. Secara ringkas, alur pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir di ilustrasikan pada Tabel 19 berikut ini :