Konsep Gender dalam Kesehatan
24 yang mencolok, menciptakan pengekslusifan secara sosial, mengalienasi secara
kultural, dan secara politik tidak memberdayakan. Menurut para pemikir post- developmentalism, pembangunan yang terjadi telah gagal, dan era pembangunan
telah berakhir. Pembangunan dianggap memperdaya hoax, tidak pernah dirancang untuk setuju pada perikemanusiaan, masalah-masalah lingkungan, namun hanya
dirancang sebagai jalan agar memuluskan jalan industrialisasi Barat, khususnya Amerika, untuk melanjutkan dominasinya untuk memelihara standar hidupnya
yang sangat tinggi Allen dan Thomas, 2000 : 19.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling
tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi
klasik Durkheim, Weber, dan Marx, pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen -
dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini,
pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga
negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004
1
. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pembangunan memberikan
dampak buruk terhadap kesehatan manusia. Misalnya saja pembangunan danau buatan Nasser di perbatasan Mesir dan Sudan dengan tujuan untuk
mengendalikan banjir, pembangunan instalasi listrik bertenaga air hidroelektrik, pertanian irigasi, dan perikanan budidaya menimbulkan
bahaya yang cukup tinggi bagi kesehatan, terutama yang paling serius adalah penyakit bilharziasis dan ochoncerciasis. Penyebaran penyakit ini hampir
seluruhnya disebabkan oleh lahan-lahan pertanian irigasi yang dimungkinkan dengan adanya bendungan-bendungan besar dan waduk-waduk penyimpan
air. Sebagai contoh, dalam jangka waktu tiga tahun setelah selesainya bendungan raksasa Nasser di Mesir, angka infeksi di kalangan anak -anak di
daerah sekitar danau Nasser yang berumur antara 2-6 tahun meningkat dari sekitar 5-25 persen menjadi 55-85 persen Miller, 1973 dalam Foster dan
Anderson, 1986.
Bukti-bukti empiris mungkin perlu dipertanyakan kembali mengenai masa-masa gemilang revolusi hijau menunjukkan betapa surplus-surplus padi
hasil intensifikasi pertanian, dan transformasi pertanian tradisional menjadi pertanian modern dengan penggunaan mesin-mesin pertanian, dan pestisida, serta
bibit unggul yang tahan hama, dan produktifitas tinggi, serta subsidi pemerintah, dan pembangunan fasilitas-fasilitas pertanian seperti irigasi teknis, telah terjadi.
Banyak biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh negara-negara dunia ketiga akibat revolusi hijau yang dikembangkan oleh masyarakat Barat, antara lain
karena intensifikasi pertanian, dan model budidaya monokultur membuat tanah- tanah semakin miskin unsur hara, air tercemar oleh pestisida kimia yang pada
akhirnya menyebabkan banyak orang terkena kanker. Para peneliti medis menemukan bahan kimia pestisida di dalam darah para petani di Punjab. Pestisida
1
Bersumber dari
http:profsyamsiah.wordpress.com20090319pengertian-pembangunan diunduh pada tanggal 4 Januari 2012, Pukul 23.20 WIB.
25 menjadi residu bagi tubuh petani melalui air, sayuran, dan bahkan melalui air susu
ibu ASI perempuan-perempuan di Punjab. Suatu studi menunjukkan bahwa lebih dari 1400 kasus petani yang meninggal akibat kangker di 93 desa antara
tahun 1988 sampai 2006 Bourne, 2009. Petani juga tidak bisa memperluas pasar pangannya karena menghadapi eco-friendly green labelling. Pangan maupun
kapas yang dihasilkan oleh petani Punjab di bawah standar kelayakan produk internasional, dan terindikasi teracuni oleh pestisida kimia. Pada akhirnya
teknologi revolusi hijau lebih banyak membawa kemudharatan bagi petani, antara lain residu pestisida, pencemaran air, makin miskinnya unsur hara di lahan
pertanian, hilangnya bibit-bibit lokal akibat penggunaan bibit unggul.
Kebijakan pembangunan juga menyentuh kebutuhan dasar manusia yakni sektor kesehatan. Visi pembangunan kesehatan yakni mencapai masyarakat
Indonesia di masa depan melalui pembangunan kesehatan yang ditandai dengan penduduknya yang hidup di dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat secara
adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Beragam program diluncurkan oleh pemerintah untuk mensukseskan visi
pembangunan tersebut antara lain program AKINO Angka Kematian Ibu Nol, Pemberian Makanan Tambaha PMT, Pos Pelayanan terpadu POSYANDU,
Pusat Kesehatan Masyarakat PUSKESMAS, Jaring Perlindungan Sosial Bidang kesehatan, Sistem Isyarat Dini dan Intervensi SIDI, Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gizi SKPG, dan sebagainya.
Untuk mengatasi permasalahan pembangunan gizi dan kesehatan rupanya menghadapi tantangan besar. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian
pendahuluan, bahwa kasus kejadian gizi buruk di Indonesia masih tergolong sangat tinggi, dan propinsi Nusa Tenggara Barat menduduki peringkat sepuluh
besar. Sangat disayangkan pandangan pemerintah yang menyamaratakan sumber penyebab dari keadaan gizi buruk. Pemerintah seolah-olah beranggapan bahwa
kasus gizi buruk akan selesai dengan hanya memberikan bantuan makanan tambahan pada kegiatan posyandu, dan bantuan makanan, seperti pemberian
biskuit dan penyuluhan gizi.
Mengatasi masalah gizi buruk, bukanlah hal yang mudah. Upaya tersebut, tersandung dengan rendahnya partisipasi para ibu membawa anaknya di
Posyandu. Berikut adalah data yang menunjukkan rendahnya partisipasi ibu di wilayah cakupan pelayanan puskesmas Paruga :
Tabel 4. Persentasi Partisipasi para Ibu Membawa Balitanya ke Posyandu Puskesmas Paruga untuk Melakukan Penimbangan Sejak Maret 2011
hingga November 2011
PMT Penyuluhan
Persentasi partisipasi para Ibu Bulan
Maret April
Mei Juni
Juli Agus
tus September
Oktober November
dan Jumlah Pemberiaan
PMT Penyuluhan
32 32
32 32
32 32
Angka DS 61,31
61,25 62,16
61,11 60,31
60,02 61,2
60,98 61,07
Sumber : Puskesmas Paruga, 2011
26 Dari data di atas diperoleh kesimpulan bahwa selain partisipasi masyarakat
sangat rendah dalam kegiatan penimbangan dan beragam intervensi untuk mengurangi angka gizi buruk yakni pemberian makanan tambahan juga tidak
memberikan peningkatan partisipasi seperti yang diharapkan. Misalnya saja pada bulan maret diadakan pemberian PMT dan penyuluhan kepada ibu-ibu, namun
angka DS hanya berkisar 61,31 persen. Sementara pada bulan Juli tidak diberikan intervensi apapun, nilai DS menurun secara tidak signifikan, artinya penurunan
tidak berarti, nilai DS nyaris tetap di 60,31 persen.
Sangat disayangkan bahwa pemerintah memberikan bentuk intervensi kebijakan yang cenderung tidak berlanjut. Pemberantasan gizi buruk melalui
kebijakan dana BOK, sesungguhnya bisa menjadi sedikit solusi untuk mengurangi gizi buruk. Namun, pemerintah dengan program pemberian asupan makanan
tambahan pabrikan, hasilnya tentu saja tidak signifikan meningkatkan partisipasi ibu dan bayi ke posyandu, apalagi untuk menurunkan angka gizi buruk dan gizi
kurang. Anak-anak bosan dengan rasa dan tekstur makanan pabrikan. Sementara program makanan tambahan khas lokal yang dilaksanakan pada tahun 2006 malah
tergolong cukup sukses dalam meningkatkan tingkat partisipasi ibu dan bayi ke Posyandu, begitu juga peningkatan asupan gizi anak. Program makanan tambahan
khas lokal sendiri merupakan program yang kegiatannya memberikan uang kepada para kader posyandu untuk menyiapkan panganan khas lokal yang
memang familiar di lidah anak-anak. Mengatasi gizi buruk tidaklah mudah, hambatan sosial budaya juga menjadi kunci mengapa intervensi kebijakan
mengenai gizi buruk hanya berjalan di tempat, dengan keberhasilan yang kurang berarti.
Beberapa tulisan mengenai permasalahan kesehatan yang ada berpijak pada dua paradigma besar yakni dari sisi paradigma medis, dan antropologi
kesehatan. Pada Lampiran enam dijabarkan mengenai beberapa tulisan dan hasil penelitian yang erat kaitannya dengan budaya dan kesehatan pada komunitas
masyarakat suku adat. Melihat hasil-hasil penelitian yang ada belum ditemukan penelitian yang menekankan bagaimana sistem nilai budaya berperan di dalam
pemaknaan terhadap kesehatan ibu dan anak dan pola kunsumsi pangan keluarga di dua komunitas yang berbeda yaitu Suku Sasak pesisir dan sawah. Dan juga
belum ada yang meneliti bagaimana struktur sosial, baik sistem pelapisan sosial, maupun jejaring kekerabatan berperan di dalam kasus gizi buruk di dua komunitas
berbeda tersebut. Serta peran intervensi negara dalam hal ini pemerintah, dan juga
LSM di dalam memberikan “reaksi berantai” terhadap kejadian gizi buruk. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengisi ruang kosong tersebut dengan mengangkat
kajian orientasi nilai budaya gizi masyarakat ditinjau dari sosiologi budaya dan sosiologi kesehatan di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.