Pantangan Taboo Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB

58 dianggap wajar di komunitas Sasak. Beberapa responden juga menjawab bahwa pakpak dilakukan karena mereka tidak memiliki waktu untuk membuat makanan lumat untuk bayinya. Pada beberapa kasus, bayi menangis dimaknai sebagai tanda dari kelaparan. Dengan memberi nasi pakpak bayi dipercaya akan lebih nyenyak untuk tidur dan membantu pertumbuhan anak. Sehingga Ibunya bisa mencari uang dalam kasus telah bercerai dan papu‟ yang telah renta bisa beristirahat. Dari sudut pandang tindakan sosial Weber, pemberian nasi pakpak didorong oleh rasionalitas formal, karena tindakan ini didorong atas alasan tradisi, dan kepentingan material yakni memudahkan para ibu untuk berkonsentrasi mencari uang. Di usia anak yang menginjak masa balita atau dikenal dengan golden age, balita sangat membutuhkan asupan gizi yang mencukupi untuk tumbuh kembangnya. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan bahwa ada beberapa anjuran dan larangan yang bertolak belakang dengan kebutuhan anak balita, misalnya saja anak-anak balita sangat membutuhkan asupan protein nabati yang salah satunya bisa diperoleh dari kacang hijau. Melarang balita memakan kacang hijau berarti telah mengurangi asupan protein nabati yang berasal dari kacang- kacangan. Selain protein nabati, anak-anak balita di usia saat perkembangan otak, kemampuan motorik, dan sensorik membutuhkan asupan protein hewani antara lain dari ikan sulit diperoleh balita karena adanya pantangan tersebut. Jagung sebagai pangan alternatif selain beras tidak akan menjadi pilihan alternatif rumahtangga, karena adanya pantangan yang diyakini dapat menyebabkan batuk pada anak. Sampai saat ini beras memang menjadi primadona bagi masyarakat Sasak sebagai pangan utama khususnya di persawahan.Terkecuali, komunitas Sasak pesisir keterbatasan kemampuan membeli beras dan akulturasi budaya Sasak dengan Bugis dan Bajo menciptakan preferensi pangan yang beragam tidak hanya pada konsumsi beras melulu, melainkan juga mengkonsumsi singkong atau ubi kayu. Konsumsi air nyet atau air mentah oleh keluarga balita dipercaya dapat meningkatkan kesehatan anak. Air nyet sendiri adalah air sumur mentah yang dimiliki rumahtangga dan konsumsinya tanpa proses memasak hingga mendidih. Sehingga, sangat mengancam kesehatan keluarga termasuk balita. Menurut hasil penelitian Sahidu 2002 menemukan bahwa masyarakat Sasak persawahan rata- rata mengkonsumsi air mentah dari sumur atau dikenal dengan air nyet. Kemudian hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa karena rata-rata sumur rumahtangga dekat dengan kandang sapi, maka rata-rata air nyet yang dikonsumsi oleh rumahtangga mengandung bakteri E. coli yang sangat membahayakan tubuh manusia, sebagian besar balitanya menderita penyakit kulit gatal-gatal yang berkepanjangan. Menurut Utami et al., 2011 konsumsi air nyet dengan dimasak terlebih dahulu hingga mendidih saat ini mulai dilakukan saat musim penghujan datang. Karena, menurut hasil penelitiannya pada saat hujan, air-air sumur akan menjadi sangat keruh. Namun, ketika musim penghujan berakhir, air nyet kembali dikonsumsi tanpa dimasak sampai mendidih. Ini dilakukan oleh rumahtangga untuk mengurangi beban keuangan rumahtangga, khususnya penghematan bahan bakar untuk memasak. Ternak khususnya sapi yang identik di komunitas Sasak persawahan tidak hanya bernilai secara ekonomi, namun juga bernilai secara sosial. Masyarakat Sasak khususnya persawahan, ternak sapi menjadi barang berharga yang rawan 59 untuk diambil oleh orang lain, karena harganya yang tinggi di pasaran. Sapi menjadi alat utama dalam kegiatan budidaya pertanian. Sapi digunakan sebagai alat untuk membajak tanah persawahan. Memakan daging sapi merupakan suatu prestise bagi masyarakat Sasak khususnya masyarakat kelas bawah. Jumlah sapi juga dianggap sebagai bentuk status sosial seseorang di masyarakat Sasak.Terlebih sapi menjadi tabungan setiap keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak sapi di rumahtangga persawahan cenderung menjadi asset atau tabungan keluarga. Sebagian rumahtangga memaknai bahwa ternak sapi menjadi aset tabungan keluarga yang sangat berharga. Begitu pula halnya dengan rumahtangga pesisir. Meskipun rumahtangga di wilayah pesisir cenderung tidak memiliki sapi, namun mereka cenderung memaknai sapi sebagai tabungan atau aset keluarga. Sebagai masyarakat yang berbasiskan persawahan, maka selain kepemilikan lahan pertanian, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, kepemilikan ternak menjadi sumberdaya kedua yang bernilai baik bagi petani pemilik, penggarap, maupun buruh tani. Pada masyarakat Sasak, sapi bernilai sangat ekonomi tinggi sehingga tidaklah mengherankan sapi menjadi incaran pencuri sapi. Makan daging sapi menjadi suatu prestise bagi masyarakat Sasak persawahan sebut saja bebalung, makanan khas suku Sasak yang mirip rawon namun berkuah bening ini menjadi makanan yang istimewa bagi masyarakat suku Sasak khususnya bagi para keluarga buruh tani.Sapi selain ekonomis juga sangat bermanfaat, baik sebagai tabungan, yang katanya juga untuk menjaga kesehatan. Masyarakat Sasak, khususnya yang tempat tinggalnya masih berlantaikan tanah, sangat menggantungkan kebersihan rumahnya pada kotoran sapi. Kotoran sapi yang masih hangat kemudian dicampur dengan air diaduk kemudian digunakan untuk mengepel lantai rumah. Lantai rumah dipel dengan cara menyiramkan kotoran sapi tersebut, lalu disapu perlahan dengan sapu lidi. Setelah dipel, lantai rumah yang dari tanah tersebut dibiarkan mengering beberapa jam, kemudian hasilnya adalah lantai rumah menjadi halus dan licin mengkilap. Menurut Ina Jasi‟ah seorang belian nganak, kotoran sapi tersebut membuat lantai rumah yang terbuat dari tanah tidak menimbulkan debu, sehingga rumah menjadi lebih bersih karena debu dari lantai rumah tidak naik ke udara mengotori perkakas rumah dan mengganggu pernafasan. Selain digunakan sebagai ternak yang membantu di dalam kegiatan pembajakan sawah, sapi juga bisa digunakan sebagai modal untuk berangkat ke Arab Saudi maupun ke Malaysia. Sapi digadai kemudian uangnya diberikan ke tekong, atau sapi dalam kondisi hidup-hidup diberikan kepada tekong sebagai jaminan. Melihat pentingnya sapi dan nilai ekonomi yang tinggi, maka di Desa Loyok, dan desa-desa lainnya di pedesaan sawah kasus pencurian sapi sangat marak. Maka strategi masyarakat Sasak persawahan untuk menghindari pencurian sapi adalah dengan menempatkan kandang sapi sedekat mungkin dengan tempat tinggal. Biasanya jarak kandang sapi hanya sekitar satu sampai dengan dua meter dari rumah induk. Bahkan ada warga yang tidur dengan sapinya, atau tidur di kandang sapinya. Ini tidaklah mengherankan karena maling atau pencuri sapi juga menggunakan magic, sehingga sapi bisa jalan sendiri keluar kandang dan menuju si maling atau pencuri berada.Yang lebih canggih lagi maling dan pencuri sapi biasanya menggunakan truk yang tujuannya untuk mengangkut sapi. Gambar 6 60 pada Lampiran 7 menunjukkan kondisi kandang sapi yang sangat dekat dengan tempat tinggal penduduk. Jika jarak kandang sapi dengan truk sangat jauh maka di tengah-tengah perjalanan, sapi oleh malingpencuri kemudian di sembelih dan dagingnya diangkut menggunakan truk yang telah disediakan. Dorongan rasionalitas instrumental terhadap sapi memberikan kosekuensi besar terhadap kesehatan anggota rumah tangga, khususnya balita. Menurut Bidan yang bertugas di wilayah penelitian karena letak kandang sapi yang sangat dekat dengan tempat tinggal tidak jarang terjadi kasus ISPA infeksi saluran pernafasan akut. Kasus gangguan pernafasan juga sering terjadi tidak saja menyerang orang dewasa melainkan juga anak-anak. Anak-anak khususnya balita yang daya tahan tubuhnya belum sekuat orang dewasa menyebabkan dengan mudahnya kuman yang ada dikandang sapi mengganggu kesehatan. Anak yang rentan sakit akan menyebabkan berat badannya sulit untuk meningkat. Sepedapat dengan hasil penelitian Syarief 1997 dalam Salimar 2010 bahwa status gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi secara langsung juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan sanitasi termasuk kesehatan lingkungan pemukiman. Pemukiman yang sanitasinya kurang baik akan memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang dapat menderita kurang gizi.

6.5 Pengetahuan Lokal

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai sistem pengetahuan dan teknologi asli yang berkembang dan kaitannya dengan kasus gizi buruk dan gizi kurang, antara lain sistem medis tradisional. Sistem medis tradisional masyarakat Sasak didominasi oleh konsepsi bahwa penyakit merupakan etiologi personalistik dalam artian bahwa agen penyakit berasal dari kekuatan gaib. Pada etiologi personalistik masyarakat Sasak khususnya persawahan ini, unsur-unsur budaya yang berperan di dalam sistem medis tradisional antara lain berasal dari penggabungan agama Hindu dan agama Islam. seperti yang diuraikan bahwa kelompok Islam Wetu Telu, meskipun dalam perjalanannya semakin memudar pengaruhnya, rupanya juga masih memiliki pengikut yang cukup besar. Nilai-nilai Islam Wetu Telu rupanya kemudian masuk dalam konsepsi pemahaman masyarakat Sasak mengenai sumber penyakit. Di dalam Islam Wetu Telu sendiri kekuatan-kekuatan mahluk gaib sangat dipercaya pengaruhnya terhadap kondisi kesehatan mental manusia. Kemudian, benda-benda yang menurut mereka mempunyai kekuatan sakti antara lain : keris, tombak, berlian, batu akik, dan sebagainya. Demikian juga dengan kepercayaan akan peran mahluk halus antara lain jin, setan, dan ilmu hitam yang dipercaya mempengaruhi kesehatan manusia, dan menjadi sumber penyakit. Bagi masyarakat Sasak, penyembuh penyakit- penyakit gaib yang sangat dipercaya antara lain Belian, Belian Nganak, dan Tuan Guru. Beberapa Tuan Guru yang kuat pengaruhnya seperti Tuan Guru Jerowaru sangat dipercaya oleh masyarakat Lombok mampu mengobati segala bentuk penyakit gaib. Kaitannya dengan proses kelahiran seorang anak di masyarakat Sasak, seperti yang telah diuraikan pada bab enam, mengenai peran seorang dukun beranak atau dalam istilah Sasak Belian, menunjukkan bahwa Belian merupakan 61 institusi sosial yang mapan dan tetap dipercaya oleh masyarakat Sasak, meskipun pengobatan medis biomedical telah dikenal dan diterima oleh masyarakat Sasak. Kepercayaan masyarakat sasak akan kekuatan magis khususnya ilmu hitam yang bisa mencelakai sang ibu yang sedang hamil, serta kemampuan Belian yang dipercayai paling mampu didalam menjauhkan dan menyembuhkan sang ibu dan janin dari gangguan roh halus menyebabkan peran belian masih penting bagi penentu keselamatan sang Ibu dan anak yang dikandung. Jenis perawatan kehamilan yang biasa diberikan oleh Ibu sedang hamil antara lain selain air jampi-jampi, jeringo yang disematkan dengan peniti ke pakaian Ibu hamil dan bayi, dan memberikan jimat 10 dari benang yang dipulum dan diikat seadanya dengan hiasan kayu kecil sebagai gelang di tangan ibu dan bayi. Juga memberikan “oroh-orohan” atau pijat kehamilan yang berfungsi untuk relaksasi ibu hamil, dan mengendalikan posisi bayi di dalam perut sehingga tidak terjadi bayi sungsang, dan mudah dalam proses kehamilan. Belian diperlukan sesungguhnya menjelang persalinan atau saat mulai pembukaan tiga. Belian kemudian memberi air jampi-jampi agar bayi dengan mudah melewati jalan lahir. Setelah air ketuban telah pecah, yang merupakan tanda bahwa kegiatan persalinan akan segera dilaksanakan, barulah bidan medis melakukan tugasnya, setelah bayi lahir dan proses kelahiran selesai, perawatan ibu pasca melahirkan dan bayi kembali menjadi tanggung jawab belian. Belianlah yang mencucikan pakaian ibu yang bernoda darah nifas, memandikan bayi, mengurus ari-ari beserta ritual tanam ari-ari di halaman rumah atau peraq api 11 , makna ari-ari bayi ditanam di botok tanah liat nemek yang ditanam di halaman rumah menandakan harapan bahwa kelak anak tidak akan pergi jauh dari rumah, dan jika anak kelak hidup merantau tidak akan pernah lupa akan rumah, orang tua, dan kampung halaman. Belian nganak juga mengurus ibu, ketikan tali pusar bayi jatuh atau kira-kira seminggu setelah dilahirkan, atau saat api di atas tempat ari-ari padam, barulah belian nganak melakukan pengobatan kepada ibu. sebulan pasca kelahiran baru lah tugas belian selesai. Belian juga membantu ibu dan anak melaksanakan peraq api 12 atau mate api yang dimaksudkan adalah mematikan 10 Menurut Amin et al.1997, Anak-anak kecil yang nakal serta suka menangis diberi simat azimat. Azimat tersebut dibuat dari tulisan berupa doa atau mantra-mantra, kemudian dibungkus dengan sobekan kain dan dimasukkan ke dalam tabung bambu atau logam kemudian di leher anak sebagai kalung. 11 Menurut May et al., 1989 upacara kelahiran masyarakat Sasak dimulai dari pembersihan ari- ari. Ari-ari bayi tonto yang telah dibersihkan oleh Belian kemudian ditanam oleh ayah. Ini dimaksudkan agar supaya ayah juga turut merasakan penderitaan istri dari sejak mengandung sampai melahirkan bayinya. Setelah itu dukun beranak belian nganak akan memulai untuk membacakan doa-doanya mantera pada rangkaian upacara tersebut. Pada upacara ini dibuat semacam sesajen yang akan dibagi-bagikan kepada setiap mereka yang ada disana. Sesajen tersebut dibuat dari tepung beras dicampur gula kelapa dan kelapa yang sudah agak tua lalu kemudian ditumbuk. Adonan yang sudah halus tersebut disebut songgaq. 12 Menurut May et al., 1989 upacara peraq api dilaksanakan setelah tujuh atau sembilan hari pasca bayi lahir ke dunia. Upacara peraq api adalah upacara pemberian nama kepada anak. Peraq api merupakan upacara pemadaman tungku yang sejak lahir sampai hari upacara tersebut dinyalakan. Tungku tersebut dimaksudkan untuk memanasi pakaian bayi yang tidak kering dari jemuran dari siang hari atau untuk menghangati batu yang dipakai ibu untuk merawat kesehatan dari sehabis melahirkan. Api yang dinyalakan selama 7 atau 9 hari pada tungku atau sulung itu disebut sebagai dapuh. Sedangkan kayu yang dibakar pada sulung atau tungku itu disebut sebagai perereng. Pada upacara perakapi itu, bayi diberi nama dan untuk yang pertama kalinya bayi boleh dibawa keluar rumah. 62 atau memadamkan api atau tungku di atas ari-arinya. Tugas belian berhenti setelah upacara peraq api. Belian dipercaya mampu menyembuhkan kancing yakni kelainan saat persalinan. Menurut informan IJ kancing dipercaya sebagai penyakit kiriman orang yang jahat. Kelainan yang terjadi saat persalinan memiliki ciri-ciri antara lain sudah sampai pembukaan delapan, namun kepala bayi belum keluar-keluar juga. Artinya kancing diistilahkan sebagai penyakit guna-guna yang menyebabkan bayi tidak bisa lahir. Disinilah fungsi penting belian, belian akan memberikan air jampi-jampi kepada pasien yang akan melahirkan, untuk menyembuhkan dan mempermudah lahirnya bayi. Ada mahluk yang ditakuti oleh masyarakat Sasak, mahluk yang setengah manusia dan setengah iblis dipercaya sangat menginginkan wanita hamil dan anak bayi yang baru lahir. Di masyarakat Sasak mahluk jadi-jadian tersebut disebut Tusela‟ 13 . Mahluk ini jika siang hari berubah menjadi manusia, namun pada malam hari mahluk ini berubah menjadi iblis berkepala manusia badannya terdiri atas organ tubuh yang terburai kemudian berterbangan di malam hari dan memunculkan suara-suara layaknya suara burung gagak di malam hari. Mahluk ini dipercaya muncul karena keturunan mereka mengabdi kepada setan, dan pada akhirnya dikutuk keturunannya menjadi manusia setengah iblis. Korbannya khususnya bayi, akan menangis terus-menerus tanpa henti, menurut IJ itulah tanda kalau sang mahluk sedang mengincar seorang anak. Bagi yang tidak memiliki ilmu khusus atau ilmu terawang, maka mahluk tersebut nyaris sama dengan manusia biasa. Namun, ada satu ciri khas dari mahluk ini untuk mudah dikenali, yakni jika Ia melayat jenazah, maka ia akan segera meminta makan kepada keluarga yang berduka. Maka untuk melindungi perempuan hamil, dan bayi dari mahluk tersebut, maka peran belian nganak seperti IJ sangat diperlukan. Peran belian nganak memang tidak bisa disingkirkan sepenuhnya. Belian berperan besar di dalam melindungi kondisi psikologis sang ibu yang sedang akan melahirkan. Para ibu hamil percaya dengan adanya belian nganak disampingnya, maka penyakit jahat kiriman orang, mahluk jadi-jadian, dan kesulitan saat melahirkan akan dijauhkan oleh belian nganak. Pada uraian sebelumnya bagian Bab 7 dikatakan bahwa peran seorang Belian adalah mempersiapkan seorang ibu secara psikologis dan menghindarkan ibu dari penyakit-penyakit gaib, dan niat jahat orang lain kepada ibu. Belian juga masih mendapatkan tempat di masyarakat Sasak selain karena masih bercokolnya konsepsi gaib, Belian juga dalam kegiatan pengobatannya sangat menekankan hubungan yang sangat intim dan personal dengan pasiennya. Seorang belian tidak hanya menanti pasien yang sedang dalam proses bertarung nyawa dalam proses persalinan melalui mantra-mantra, dan air penyembuh yang kemudian memberikan sugesti kepada ibu sehingga kuat dan percaya diri untuk menghadapi puncak dari proses persalinan. Melainkan juga memberikan perawatan setelah pasca kelahiran. Kepercayaan bahwa roh-roh halus dan tusela akan terus mengganggu, sampai jatuhnya pusar bayi, dan api di atas ari-ari bayi dipadamkan atau istilah sasaknya pera‟ api menyebabkan fungsi belian tetap sangat penting bagi keselamatan ibu. Belian biasanya setelah pasien melahirkan, akan menuntut kepada para pasien yang baru melahirkan untuk minum air yang ramuannya 13 Di masyarakat Bali, mahluk tersebut dikenal dengan istilah leak. Di Sumatera Barat dikenal dengan parasik, di Sulawesi dikenal dengan istilah parakang. 63 berupa abu sisa pembakaran di dapur yang dicampur dengan air asam serta aurat kemaluannya dibasuh dengan air garam. Selain mengurus ibu dengan ramuan- ramuan, dan mantra-mantra. Belian juga berperan di dalam perawatan bayi setelah dilahirkan. Upah yang diberikan atas jasanya cenderung sangat kecil, biasanya jasanya hanya dibayar dengan uang sekitar 20 ribu hingga lima puluh ribu rupiah dan selembar kain, uang juga bisa diganti dengan beras. Semua tergantung kemampuan keluarga ibu dan bayi. Namun ada yang menarik, dibalik perannya yang besar membentuk kepercayaan diri pasiennya melalui mantra-mantra, dan air penyembuh, dan perawatan bayi setelah dilahirkan, Belian rupanya merupakan aktor yang mensosialisasikan nilai-nilai kepada ibu mengenai nasi pakpak kepada bayi, yang seperti telah diuraikan sebelumnya diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita di masyarakat Sasak, baik persawahan maupun pesisir. Kemudian, selain peran orang tua dalam mensosialisasikan taboo makanan, Belian juga berperan dalam melembagakan taboo makanan. Misalnya, dalam setiap pengobatannya kepada para Ibu yang hamil, Belian akan menyampaikan hal-hal yang dilarang oleh nenek moyang karena dipercaya jika dilanggar akan menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya selain yang telah dipaparkan sebelumnya pada bab enam, anak-anak misalnya dilarang keras makan buntut ayam embut manok, otak ayam ecephalon, empela ayam tempula, kerak nasi dan sebagainya. Berikut kutipan wawancara dengan I na‟ Js seorang Belian nganak di Desa Loyok yang sering membantu proses kelahiran : Pada saat sore hari sendikele, bayi yang baru lahir pantang untuk dikeluarkan dari rumah. Saat sore hari mahluk halus banyak berkeliaran dan mengganggu bayi yang baru lahir. Kalau seorang bayi menangis terus-menerus, maka selain menandakan Ia diganggu oleh roh halus, juga dimaknai sebagai tanda bahwa bayi tersebut kelaparan. Maka menurut I na‟Js, jika ada bayi yang baru lahir kemudian menangis tanpa henti dan jika sudah di mantera belum juga berhenti tangisannya maka I na‟ Js akan menyuruh Ibu untuk memberikan susu tambahan selain ASI, misalnya susu formula. Jika bayi belum puas juga, maka I na‟ Js akan menyuruh Ibu untuk memberikan makanan, misalnya nasi pakpak. Menurut Belian jika bayi lapar, meskipun belum cukup umur untuk menerima makanan, tetap diberikan makanan, karena bisa jadi ibunya tidak menghasilkan ASI yang cukup untuk bayi. Wawancara dengan I na‟ Js, 14 Juni 2012 Kutipan di atas menunjukkan bahwa beberapa perilaku di dalam kebudayaan masyarakat Sasak tampak tidak selalu memberikan konsekuensi yang baik kepada kesehatan, namun juga konsekuensi yang buruk terhadap kesehatan fisik, khususnya balita. Dari kategori personalistik yang telah dijabarkan di atas, maka penyakit bagi ibu dan balita dianggap terjadi karena: 1 hukuman atas kesalahan pelanggaran tabu, 2 kejahatan dari orang lain karena berniat jahat melalui guna-guna senggeger dan banggruq, dan 3 gangguan jin dan tusela. Sementara untuk etiologi penyakit naturalistik diserahkan diagnosa dan pengobatannya kepada sistem medis biomedikal. Khususnya bagi kesehatan ibu hamil dan balita diserahkan kepada bidan yang ditunjuk oleh pemerintah. Dari