Kebijakan Pembangunan Pertanian Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB
80 Sumbawa. Sehingga, mau tidak mau, nelayan harus menangkap di wilayah yang
jauh. Nelayan Sasak yang sebagian besar adalah nelayan kecil, kemudian harus menjadi sabi di armada penangkapan yang dimiliki oleh nelayan punggawa Bugis
dan Bajo.
Introduksi tanaman tembakau, juga memiliki dampak terhadap status gizi balita di persawahan
18
. Namun, nampaknya menjadi faktor yang tidak langsung. Tanaman tembakau, diakui oleh beberapa informan menciptakan lapangan kerja
bagi masyarakat karena tanaman tembakau membutuhkan tenaga kerja yang banyak dalam kegiatan usahataninya. Mulai dari kegiatan pembibitan, hingga
proses oven dan pengepakan. Tanaman tembakau tidak dipungkiri jika diseriusi akan memberikan keuntungan yang luar biasa besar. Pada Tabel 18, diilustrasikan
perkembangan introduksi tanaman tembakau di pulau Lombok berdasarkan luasan lahan petani yang diperuntukkan untuk produksi tembakau.
Data pada Tabel 18 di atas menunjukkan bahwa areal tanam tembakau telah meningkat lebih dari 129 kali lipat, yaitu dari 125 hektar pada tahun 1970
menjadi 16.125 hektar pada tahun 2006. Sejalan dengan peningkatan areal tanam, produksi pun mengalami peningkatan dari 100 ton menjadi 27.242,24 ton pada
tahun yang sama. Peningkatan produksi yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh pertambahan luas areal tanam tetapi juga karena peningkatan produktivitas. Akan
tetapi, pada kenyataannya berusaha tembakau malah bukan untung namun buntung. Tembakau bagi sebagian besar informan, adalah penyebab maraknya
fenomena Janda Malaysia atau dikenal dengan Jamal, dan Janda Arab. Para janda Malaysia, semua berasal dari masyarakat kelas bawah. Para suami-suami rata-rata
adalah buruh tani yang menjual tenaganya kepada pemilik lahan pertanian. Berikut adalah ilustrasi kasus rumahtangga dari buruh tani yang kemudian
bermigrasi ke Malaysia meninggalkan istri dan anak-anaknya:
18
Menurut Hamidi, Hirwan 2009. Pengembangan tembakau virginia di Pulau Lombok dimulai tahun 1969 yang diawali dengan pelaksanaan uji coba pada tahun 1968 oleh PT. Faroka SA
sehingga pada waktu itu petani lebih mengenalnya dengan nama tembakau faroka. Hasil uji coba tersebut tampaknya cukup baik sehingga mendorong ninat beberapa pengusaha tembakau seperti
PT. Gabungan Impor-Ekspor Bali GIEB, PT. BAT Indonesia dan PTP XXVII mulai memasuki bisnis tembakau virginia dalam subsistem usahatani pada tahun 1974. Dalam operasionalnya,
perusahaan-perusahaan tersebut melibatkan dan membina petani hanya dari sisi budidaya, sistem pengembangan bersifat bebas, pengolahan dilakukan sendiri oleh perusahaan dengan cara membeli
daun basah dari petani. Pada tahun 1980, PT. Jarum mulai memasuki bisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dengan pola yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang lebih dahulu masuk.
Masuknya PT. Jarum tidak membuat perkembangan usahatani tembakau virginia tumbuh dengan cepat. Akhirnya pada tahun 1988 mulai dilaksanakan kebijaksanaan pengembangan pola
kemitraan melalui program intensifikasi tembakau virginia. Tampaknya, tembakau virginia Lombok memiliki keunggulan kompetitif dan kekhasan tersendiri sehingga pada tahun-tahun
berikutnya banyak perusahaan-perusahaan rokoktembakau lainnya juga memasuki bisnis ini. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak sembilan perusahaan pengelola yang telah mendapatkan izin
operasional dari Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu PT. BAT Indonesia, PT. Djarum, CV. Trisno Adi, UD Nyoto Permadi, PT. Philip Moris Indonesia, PT.Sadhana Arif Nusa, PT.
Gelora Jaya, KUD Tunggal Kayun, dan PT. Mayang Sari Keputusan Gubernur NTB Nomor: 467 Tahun 2005. Pada tahun 2006 jumlah perusahaan pengelola meningkat menjadi tigabelas, yaitu
CV. Trisno Adi, PT. Sadhana Arif Nusa, KUD Tunggal Kayun, PT. Philip Morris Ind, PT. BAT Indonesia Tbk, PT. Djarum, PT. Glora Djaya, UD Nyoto Permadi, UD. Cakrawala, PT. Ind. Indah
Tobacco Citra Niaga, PT. Indonesia Dwi Sembilan, UD. Keluarga Sakti, dan CV. Karya Putra Makmur.
81 Pak MR 32 Tahun adalah buruh tani yang merupakan gambaran migran
di Lombok Timur yang mengalam i masa “sulit”. Lelaki yang telah tiga
kali menikah ini mengakui bahwa menjadi TKI di Malaysia dilakukannya karena di Desa tidak ada lagi pekerjaan yang bisa diharapkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cerita selengkapnya ada di Lampiran 4.
Tabel 18 Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas tembakau virginia tahun 1970-2006 di Pulau Lombok.
Tahun Areal
Ha Produksi
ton Produktivitas
kuha 1970
125 100
8,0 1980
1.350 1.350
10 1990
3.600 3.930
10,91 1995
6.628 7.671
11,57 1996
9.037 12.999
14,38 1997
12.691 18.977
14,95 1998
13.483 21.145
15,68 1999
15.868 24.774
15,61 2000
22.676 33.373
14,72 2001
18.016 27.435
15,23 2002
12.966 18.732
14,45 2003
16.765 28.604
17,06 2004
18.115 31.443
17,36 2005
18.113 31.472
17,37 2006
16.125 27.242
16,89 Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi NTB, 1990 dan BPS 1995, 2000, dan 2007
dalam Hamidi, Hirwan.2009. Lain janda Malaysia atau jamal lain pula dengan Janda Arab. Sebagian
besar janda Arab Saudi adalah berasal dari keluarga yang dahulu cukup berada di lingkungan sosialnya. Namun, karena gagal berusaha tembakau, dan akhirnya
terlilit utang oleh ikatan kerjasama atau kemitraan antara petani tembakau dengan industri tembakau, mau tidak mau, suka atau tidak suka, para suami-suami yang
gagal dan merugi harus mencari uang untuk menutupi utang yang banyak. Berikut adalah ilustrasi kasus janda di wilayah penelitian:
Ibu IP 38 Tahun adalah contoh perempuan yang hidup sendiri, merupakan gambaran seorang perempuan yang teguh mempertahanakan
pernikahan dan statusnya “digantung” oleh suami yang saat ini bekerja
sebagai TKI di Arab. Menurutnya, menikah lagi bukan menjadi solusi atas kemalangan yang dihadapinya dahulu suami adalah keluarga cukup
berada di Desanya. Cerita selengkapnya terdapat di Lampiran 4.
Kedua kasus tersebut, menunjukkan bagaimana pertanaman tembakau beserta sistem pengembangan pertanian tembakau dengan model kemitraan
menciptakan kerentanan pada kehidupan masyarakat Sasak di Lombok Timur. Kerentanan tidak hanya terjadi pada masyarakat Sasak pada level buruh tani yang
tidak bertanah, melainkan juga pada masyarakat pada level pemilik produksi
82 pertanian. Ketika kerentanan itu terjadi maka jalan yang tersedia untuk ke luar
dari permasalahan keuangan akibat gagal tembakau, dan kemiskinan yang kronis menyebabkan kepala keluarga harus keluar dari desa melintasi batas negara untuk
mencari nafkah. Posisi seperti ini tentulah mengganggu sistem rumah tangga. Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, tidak jarang kepala
keluarga kemudian tidak menafkahi istri dan anaknya karena penghasilannya hanya cukup untuk membayar utang kepada tekong atau makelar yang membiayai
keberangkatan ke luar negeri, atau juga banyak terjadi suami kemudian tidak menafkahi lagi istri dan anaknya karena telah menikah lagi di perantauan. Jika hal
ini terjadi maka beban tanggungjawab penghidupan perempuan atau kaum ibu dipikul sendiri. Beban istri yang besar, kemudian memaksa dirinya menafkahi
anak-anaknya, atau kemudian menikah lagi untuk mencari keamanan bagi dirinya dan anak-anaknya, atau jika pasangan barunya kemudian tidak menerima
keberadaan anak yang dibawa oleh calon istrinya, dengan beragam alasan, antara lain karena calon suami juga membawa anak, atau ia adalah seorang bujang yang
belum mampu menafkahi anak bawaan calon istrinya, maka biasanya ibu kemudian meninggalkan anak-anaknya bahkan yang masih bayi dan balita untuk
diasuh oleh orang tuanya.
Papu‟ yang renta, dan juga harus mencari nafkah, menyebabkan cucunya tidak maksimal dalam asupan gizi makanannya, apalagi
dengan masih seringnya bayi diberikan makanan dengan dipakpak dengan alasan untuk mempermudah papu
‟ menyiapkan makanan bayi, serta tidak maksimal menerima pola asuh psikososial, karena usia papu
‟, dan beban hidup yang harus ditanggung oleh
papu‟. Perubahan pada pola pertanaman juga sekaligus memberi perubahan
dalam hubungan petani dengan pasar. Petani pemilik yang rasional secara ekonomi, akhirnya akan membuat mereka memilih untuk menanam tanaman
bernilai ekonomi tinggi dibandingkan dengan pertanaman tanaman pangan. Kenyataan ini menjadi sangat berbahaya, khususnya bagi rumah tangga petani
miskin. Berbahaya karena dengan mengutamakan pada tanaman komersil di pasar internasional seperti tembakau, tanaman pangan akan tergantikan dengan
tembakau. Maka rumah tangga miskin akan sulit mengakses beras sebagai makanan pokok utama rumah tangga. Maka, bisa dipahami kondisi yang
paradoksal terjadi di wilayah penelitian. Sebagai sentra tanaman padi, namun masyarakat harus membeli beras dengan harga yang sangat tinggi. Akhirnya
pendapatan rumah tangga yang selalu kurang hanya cukup untuk membeli makanan pokok. serta meskipun mereka mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
kerja rumah tangga kemudian akan tidak berpengaruh secara signifikan untuk meningkatkan tingkat konsumsi rumah tangga, karena harga bahan pokok
semakin merangkak, pendapatan mereka sebagai buruh tani bernilai tetap, tanpa peningkatan yang berarti. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus, maka
kerawanan sosial akan semakin meningkat khususnya di wilayah penelitian, Lombok Timur, dan bukti awal adalah munculnya booming kasus gizi buruk dan
gizi kurang. Kegagalan masyarakat mengakses pangan khususnya beras akan menimbulkan implikasi sosial dan politik yakni konflik yang akan memberikan
kerugian yang sangat besar. Menurut Hall 1988 dan de Graaf 1990 dalam Pranadji 2003 salah satu penyebab utama kegagalan pasukan Mataram dalam
penyerangan Batavia pada perempatan awal abad ke 17 adalah hancurnya gudang bahan pangan dan tidak tersedianya beras di sepanjang Pantura Jawa, dan bukan
83 disebabkan oleh kekurangan semangat perang dan taktik perang. Malthus 1766
dalam Pranadji 2003 mengingatkan bahwa sebagian besar masalah kependudukan atau dinamika masyarakat ditentukan oleh pangan. Krisis sosial
ekonomi politik atau kependudukan ditentukan oleh kecukupan bahan pangan.
Seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa kelembagaan sambi seiring dengan komersialisasi pertanian juga perlahan-lahan hilang.
Padahal, sambi merupakan kelembagaan lokal yang berperan untuk menjaga stabilitas stok pangan, dan menjamin distribusi pangan bukan hanya pada internal
keluarga, melainkan lintas lapisan sosial masyarakat. Menurut MacAdrews dan Amal 1995, Pranadji 1999 dalam Pranadji 2003 salah satu faktor strategis
yang menyebabkan lemahnya daya saing perekonomian pedesaan selama lebih tiga dekade, sistem kelembagaan perekonomian pedesaan bukan saja tercabut
dari akar budayanya, namun juga mengalami proses pembusukan secara sistemik dan sangat intensif. Sistem kelembagaan pedesaan yang hingga beberapa tahun
terakhir secara politik masih terkooptasi oleh kebijakan pembangunan yang sangat sentralistik dan tersubordinasi oleh organisasi pemerintahan pusat.
Komersialisasi pertanian juga menyebabkan polarisasi sosial. Ekonomi yang tajam di pedesaan Hayami dan Kikuchi, 1987. Tesis ini bisa menguatkan
fakta yang menghubungkan benang merah mengapa pembangunan pertanian secara tidak langsung menimbulkan kasus gizi buruk dan gizi kurang di lokasi
penelitian. Menurut Mulyani dan Alkusuma 2003 Kabupaten Lombok Timur NTB termasuk wilayah yang padat penduduk yaitu sebanyak 1.009.471 jiwa,
dengan cakupan wilayah seluas 160.555 ha, dengan kepemilikan lahan sekitar 0,52 harumah tangga petani RTP. Pada kurun waktu 1993-2003 telah terjadi
peningkatan jumlah rumah tangga petani dari 179.123 RTP pada tahun 1993 menjadi 203.944 RTP pada tahun 2003 BPS, 1993 dan 2003. Peningkatan
jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga petani yang tidak diimbangi dengan peningkatan lahan pertanian yang memadai, telah mendorong terjadinya
fragmentasi luas kepemilikan lahan akibat sistem bagi waris dan terjadinya pembukaan lahan pertanian di lahan berbukit-bergunung dengan lereng curam,
dan bahkan merambah ke kawasan hutan. Hasil penelitian juga memperlihatkan bagaimana rumahtangga petani yang tidak memiliki lahan kemudian tersingkir
dan bergeser ke wilayah pesisir Lombok Timur. Polarisasi semakin besar sekali lagi karena kelembagaan ekonomi sosial sambi sebagai penghubung petani
pemilik dan buruh tani kemudian semakin memudar. Sajogyo 1974 dalam Pranadji 2003 juga menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pedesaan
dalam pengembangan perekonomian padi yang didasarkan pada penerapan bibit unggul haus masukan berupa pupuk organik, bahan kimia, air dan tenaga kerja
hanya terbatas pada lapisan elit desa atau pemilik lahan luas. Golongan inilah yang secara akumulatif lebih banyak menikmati serangkaian kebijakan
intensifikasi padi sawah yang didukung pemberian bantuan kredit berbunga rendah. Dengan struktur penguasaan lahan yang timpang, perekonomian desa
dikuasai elit penguasa tanah dan pemilik uang dari kota. sementara petani yang tidak memiliki lahan tersingkir dan mencari penghidupan ke negara lain, dan
berdampak pada stabilitas rumahtangganya.
Pada kasus di lokasi penelitian sendiri, sebagian besar petani di persawahan cenderung banyak yang tidak berlahan landless. Di Desa Loyok
misalnya, sebagian besar lahan dimiliki oleh orang-orang di Kotaraja yang
84 memiliki banyak modal. Faktor pewarisan dan sengketa tanah juga mendorong
lepasnya lahan pertanian oleh petani kecil, sehingga banyak petani yang kehilangan lahan dan harus menyewa lahan pertanian kepada pemilik lahan di
Kotaraja.
Di seluruh negara berkembang, produksi pertanian secara komersial telah meningkatkan permintaan tenaga kerja produksi pertanian, khususnya perempuan.
Waktu kerja perempuan sendiri pada pola pertanian tradisional sudah banyak menyita waktu kaum perempuan, sehingga pembangunan meningkatkan jam kerja
perempuan di luar kegiatan domestiknya, dan hal ini berakibat pada kegiatan penyiapan makanan keluarga, dan kecukupan gizi oleh perempuan itu sendiri
Ojiambo, 1967 dalam Fleuret dan Fleuret, 1980. Dengan mengabaikan kesempatan yang ada, perempuan kemudian akan terjebak dalam keadaan
kekurangan makanan atau kurang pendapatan keluarga Sharman, 1970 dalam Feluret dan Fleuret, 1980. Seperti yang kita ketahui, perempuan menanggung
beban berat di dalam keluarga, antara lain beban produktif dan beban domestik. Bagi kaum perempuan yang berada di lapisan bawah masyarakat, maka tenaganya
akan sangat dibutuhkan untuk menunjang penghasilan rumahtangga. Sehingga ketika kaum perempuan miskin kemudian mengandung seorang anak, energi yang
dikeluarkan kemudian akan sangat terkuras, karena tenaganya juga diarahkan pada upaya peningkatan pendapatan rumah tangga. Pada akhirnya akan
mempengaruhi perkembangan janin di dalam kandungannya. Para orang tua khususnya ibu pada akhirnya juga menganut sistem makan asal kenyang tanpa
memperhatikan komposisi gizi dalam makanannya, ini akan berperan di dalam peningkatan kasus gizi buruk dan kurang balita jika ibu tengah mengandung.
Menurut Fleuret dan Fleuret 1980 dengan diperkenalkannya pasar komoditas pertanian, konsekuensi lainnya adalah relasi tenaga kerja yang kemudian
menyebabkan meningkatnya jumlah kebutuhan energi tubuh, oleh meningkatnya kegiatan yang menghasilkan uang tunai untuk rumahtangga. Selain itu juga
menurut hasil penelitian Taussig 1978 di Kolombia, Gross dan Underwood 1971 di utara Tenggara Brazil, Eder 1975 di Filipina, Rapapport 1971 di
Papua Nugini, dan Gross 1975 dalam Fleuret dan Fleuret 1980, di Lembah sungai Amazon menunjukkan bahwa dikenalkannya pasar pertanian kepada
masyarakat tradisional dapat meningkatkan jumlah energi manusia yang diperlukan untuk mendapatkan nutrisi yang diperlukan, dan juga dapat
menimbulkan rusaknya pola pemberian gizi dari distribusi makanan di dalam rumahtangga.
Yang menarik juga untuk diketahui bahwa, dengan peningkatan permintaan akan tenaga kerja perempuan di lahan pertanian dan perikanan,
rupanya juga mempengaruhi waktu yang disediakan para ibu untuk menyiapkan makanan. Misalnya seperti yang telah diuraikan pada bagian adaptasi ekologi
rumah tangga nelayan menunjukkan bahwa para ibu, akibat pengalokasian waktunya lebih banyak kepada kegiatan produktif, maka kegiatan penyiapan
pangan kepada anak balita diserahkan kepada anggota keluarga misalnya anak- anaknya yang mulai beranjak dewasa untuk menyiapkan panganan keluarga.
Makanan instant seperti mie instant kemudian menjadi pilihan ibu dan anaknya. Karena tidak menyita waktu, dan gampang diolah oleh anak yang ditugaskan
untuk mengurus makanan, dan cita rasanya yang disukai oleh anak-anak. Bagitu pula dengan jajanan yang manis seperti kembang gula dan snack ringan atau
85 chiki, minuman ringan sering diberikan kepada anak. Menurut Judiastuti dalam
Tonny et al., 2006 mengungkapkan bahwa adanya hubungan makanan jajanan dengan kurang gizi, dikarenakan banyaknya makanan jajanan mengandung zat-zat
kimia yang meningkatkan cita rasa akan tetapi tidak mengandung zat-zat gizi yang cukup untuk kebutuhan balita. Sementara balita sangat menyukai makanan
jajanan dan terasa kenyang dengan hanya makan makanan jajanan, hal ini berdampak pada keadaan gizi balita yang buruk. Tidak hanya ibu dan balita saja
yang mengalami kurang gizi, anak-anak yang mulai beranjak dewasa juga rentan mengalami kurang gizi, karena di wilayah Sasak pesisir seluruh anggota keluarga
merupakan modal dalam perolehan pendapatan rumah tangga. Seperti yang disampaikan sebelumnya. Anak-anak merupakan tenaga kerja yang sangat
potensial yang mampu menghasilkan pendapatan melalui kegiatan menciro, dan madat. Kemudian, salah satu alasan mengapa tradisi nasi pakpak pada balita tetap
ada, karena nasi pakpak memudahkan ibu dan papu
‟ dalam menyediakan MPASI, dan dipercaya bayi akan tidak rewel karena perutnya telah kenyang,
sehingga bayi tidak akan banyak mengganggu kegiatan ibu dan papu‟.