Kebijakan Pembangunan Pertanian Orientasi Gizi Masyarakat Studi Sosio Budaya di Provinsi NTB (Kasus di Pulau Lombok Provinsi NTB

80 Sumbawa. Sehingga, mau tidak mau, nelayan harus menangkap di wilayah yang jauh. Nelayan Sasak yang sebagian besar adalah nelayan kecil, kemudian harus menjadi sabi di armada penangkapan yang dimiliki oleh nelayan punggawa Bugis dan Bajo. Introduksi tanaman tembakau, juga memiliki dampak terhadap status gizi balita di persawahan 18 . Namun, nampaknya menjadi faktor yang tidak langsung. Tanaman tembakau, diakui oleh beberapa informan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat karena tanaman tembakau membutuhkan tenaga kerja yang banyak dalam kegiatan usahataninya. Mulai dari kegiatan pembibitan, hingga proses oven dan pengepakan. Tanaman tembakau tidak dipungkiri jika diseriusi akan memberikan keuntungan yang luar biasa besar. Pada Tabel 18, diilustrasikan perkembangan introduksi tanaman tembakau di pulau Lombok berdasarkan luasan lahan petani yang diperuntukkan untuk produksi tembakau. Data pada Tabel 18 di atas menunjukkan bahwa areal tanam tembakau telah meningkat lebih dari 129 kali lipat, yaitu dari 125 hektar pada tahun 1970 menjadi 16.125 hektar pada tahun 2006. Sejalan dengan peningkatan areal tanam, produksi pun mengalami peningkatan dari 100 ton menjadi 27.242,24 ton pada tahun yang sama. Peningkatan produksi yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh pertambahan luas areal tanam tetapi juga karena peningkatan produktivitas. Akan tetapi, pada kenyataannya berusaha tembakau malah bukan untung namun buntung. Tembakau bagi sebagian besar informan, adalah penyebab maraknya fenomena Janda Malaysia atau dikenal dengan Jamal, dan Janda Arab. Para janda Malaysia, semua berasal dari masyarakat kelas bawah. Para suami-suami rata-rata adalah buruh tani yang menjual tenaganya kepada pemilik lahan pertanian. Berikut adalah ilustrasi kasus rumahtangga dari buruh tani yang kemudian bermigrasi ke Malaysia meninggalkan istri dan anak-anaknya: 18 Menurut Hamidi, Hirwan 2009. Pengembangan tembakau virginia di Pulau Lombok dimulai tahun 1969 yang diawali dengan pelaksanaan uji coba pada tahun 1968 oleh PT. Faroka SA sehingga pada waktu itu petani lebih mengenalnya dengan nama tembakau faroka. Hasil uji coba tersebut tampaknya cukup baik sehingga mendorong ninat beberapa pengusaha tembakau seperti PT. Gabungan Impor-Ekspor Bali GIEB, PT. BAT Indonesia dan PTP XXVII mulai memasuki bisnis tembakau virginia dalam subsistem usahatani pada tahun 1974. Dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan tersebut melibatkan dan membina petani hanya dari sisi budidaya, sistem pengembangan bersifat bebas, pengolahan dilakukan sendiri oleh perusahaan dengan cara membeli daun basah dari petani. Pada tahun 1980, PT. Jarum mulai memasuki bisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dengan pola yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang lebih dahulu masuk. Masuknya PT. Jarum tidak membuat perkembangan usahatani tembakau virginia tumbuh dengan cepat. Akhirnya pada tahun 1988 mulai dilaksanakan kebijaksanaan pengembangan pola kemitraan melalui program intensifikasi tembakau virginia. Tampaknya, tembakau virginia Lombok memiliki keunggulan kompetitif dan kekhasan tersendiri sehingga pada tahun-tahun berikutnya banyak perusahaan-perusahaan rokoktembakau lainnya juga memasuki bisnis ini. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak sembilan perusahaan pengelola yang telah mendapatkan izin operasional dari Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu PT. BAT Indonesia, PT. Djarum, CV. Trisno Adi, UD Nyoto Permadi, PT. Philip Moris Indonesia, PT.Sadhana Arif Nusa, PT. Gelora Jaya, KUD Tunggal Kayun, dan PT. Mayang Sari Keputusan Gubernur NTB Nomor: 467 Tahun 2005. Pada tahun 2006 jumlah perusahaan pengelola meningkat menjadi tigabelas, yaitu CV. Trisno Adi, PT. Sadhana Arif Nusa, KUD Tunggal Kayun, PT. Philip Morris Ind, PT. BAT Indonesia Tbk, PT. Djarum, PT. Glora Djaya, UD Nyoto Permadi, UD. Cakrawala, PT. Ind. Indah Tobacco Citra Niaga, PT. Indonesia Dwi Sembilan, UD. Keluarga Sakti, dan CV. Karya Putra Makmur. 81 Pak MR 32 Tahun adalah buruh tani yang merupakan gambaran migran di Lombok Timur yang mengalam i masa “sulit”. Lelaki yang telah tiga kali menikah ini mengakui bahwa menjadi TKI di Malaysia dilakukannya karena di Desa tidak ada lagi pekerjaan yang bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cerita selengkapnya ada di Lampiran 4. Tabel 18 Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas tembakau virginia tahun 1970-2006 di Pulau Lombok. Tahun Areal Ha Produksi ton Produktivitas kuha 1970 125 100 8,0 1980 1.350 1.350 10 1990 3.600 3.930 10,91 1995 6.628 7.671 11,57 1996 9.037 12.999 14,38 1997 12.691 18.977 14,95 1998 13.483 21.145 15,68 1999 15.868 24.774 15,61 2000 22.676 33.373 14,72 2001 18.016 27.435 15,23 2002 12.966 18.732 14,45 2003 16.765 28.604 17,06 2004 18.115 31.443 17,36 2005 18.113 31.472 17,37 2006 16.125 27.242 16,89 Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi NTB, 1990 dan BPS 1995, 2000, dan 2007 dalam Hamidi, Hirwan.2009. Lain janda Malaysia atau jamal lain pula dengan Janda Arab. Sebagian besar janda Arab Saudi adalah berasal dari keluarga yang dahulu cukup berada di lingkungan sosialnya. Namun, karena gagal berusaha tembakau, dan akhirnya terlilit utang oleh ikatan kerjasama atau kemitraan antara petani tembakau dengan industri tembakau, mau tidak mau, suka atau tidak suka, para suami-suami yang gagal dan merugi harus mencari uang untuk menutupi utang yang banyak. Berikut adalah ilustrasi kasus janda di wilayah penelitian: Ibu IP 38 Tahun adalah contoh perempuan yang hidup sendiri, merupakan gambaran seorang perempuan yang teguh mempertahanakan pernikahan dan statusnya “digantung” oleh suami yang saat ini bekerja sebagai TKI di Arab. Menurutnya, menikah lagi bukan menjadi solusi atas kemalangan yang dihadapinya dahulu suami adalah keluarga cukup berada di Desanya. Cerita selengkapnya terdapat di Lampiran 4. Kedua kasus tersebut, menunjukkan bagaimana pertanaman tembakau beserta sistem pengembangan pertanian tembakau dengan model kemitraan menciptakan kerentanan pada kehidupan masyarakat Sasak di Lombok Timur. Kerentanan tidak hanya terjadi pada masyarakat Sasak pada level buruh tani yang tidak bertanah, melainkan juga pada masyarakat pada level pemilik produksi 82 pertanian. Ketika kerentanan itu terjadi maka jalan yang tersedia untuk ke luar dari permasalahan keuangan akibat gagal tembakau, dan kemiskinan yang kronis menyebabkan kepala keluarga harus keluar dari desa melintasi batas negara untuk mencari nafkah. Posisi seperti ini tentulah mengganggu sistem rumah tangga. Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, tidak jarang kepala keluarga kemudian tidak menafkahi istri dan anaknya karena penghasilannya hanya cukup untuk membayar utang kepada tekong atau makelar yang membiayai keberangkatan ke luar negeri, atau juga banyak terjadi suami kemudian tidak menafkahi lagi istri dan anaknya karena telah menikah lagi di perantauan. Jika hal ini terjadi maka beban tanggungjawab penghidupan perempuan atau kaum ibu dipikul sendiri. Beban istri yang besar, kemudian memaksa dirinya menafkahi anak-anaknya, atau kemudian menikah lagi untuk mencari keamanan bagi dirinya dan anak-anaknya, atau jika pasangan barunya kemudian tidak menerima keberadaan anak yang dibawa oleh calon istrinya, dengan beragam alasan, antara lain karena calon suami juga membawa anak, atau ia adalah seorang bujang yang belum mampu menafkahi anak bawaan calon istrinya, maka biasanya ibu kemudian meninggalkan anak-anaknya bahkan yang masih bayi dan balita untuk diasuh oleh orang tuanya. Papu‟ yang renta, dan juga harus mencari nafkah, menyebabkan cucunya tidak maksimal dalam asupan gizi makanannya, apalagi dengan masih seringnya bayi diberikan makanan dengan dipakpak dengan alasan untuk mempermudah papu ‟ menyiapkan makanan bayi, serta tidak maksimal menerima pola asuh psikososial, karena usia papu ‟, dan beban hidup yang harus ditanggung oleh papu‟. Perubahan pada pola pertanaman juga sekaligus memberi perubahan dalam hubungan petani dengan pasar. Petani pemilik yang rasional secara ekonomi, akhirnya akan membuat mereka memilih untuk menanam tanaman bernilai ekonomi tinggi dibandingkan dengan pertanaman tanaman pangan. Kenyataan ini menjadi sangat berbahaya, khususnya bagi rumah tangga petani miskin. Berbahaya karena dengan mengutamakan pada tanaman komersil di pasar internasional seperti tembakau, tanaman pangan akan tergantikan dengan tembakau. Maka rumah tangga miskin akan sulit mengakses beras sebagai makanan pokok utama rumah tangga. Maka, bisa dipahami kondisi yang paradoksal terjadi di wilayah penelitian. Sebagai sentra tanaman padi, namun masyarakat harus membeli beras dengan harga yang sangat tinggi. Akhirnya pendapatan rumah tangga yang selalu kurang hanya cukup untuk membeli makanan pokok. serta meskipun mereka mengerahkan seluruh kekuatan tenaga kerja rumah tangga kemudian akan tidak berpengaruh secara signifikan untuk meningkatkan tingkat konsumsi rumah tangga, karena harga bahan pokok semakin merangkak, pendapatan mereka sebagai buruh tani bernilai tetap, tanpa peningkatan yang berarti. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus, maka kerawanan sosial akan semakin meningkat khususnya di wilayah penelitian, Lombok Timur, dan bukti awal adalah munculnya booming kasus gizi buruk dan gizi kurang. Kegagalan masyarakat mengakses pangan khususnya beras akan menimbulkan implikasi sosial dan politik yakni konflik yang akan memberikan kerugian yang sangat besar. Menurut Hall 1988 dan de Graaf 1990 dalam Pranadji 2003 salah satu penyebab utama kegagalan pasukan Mataram dalam penyerangan Batavia pada perempatan awal abad ke 17 adalah hancurnya gudang bahan pangan dan tidak tersedianya beras di sepanjang Pantura Jawa, dan bukan 83 disebabkan oleh kekurangan semangat perang dan taktik perang. Malthus 1766 dalam Pranadji 2003 mengingatkan bahwa sebagian besar masalah kependudukan atau dinamika masyarakat ditentukan oleh pangan. Krisis sosial ekonomi politik atau kependudukan ditentukan oleh kecukupan bahan pangan. Seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa kelembagaan sambi seiring dengan komersialisasi pertanian juga perlahan-lahan hilang. Padahal, sambi merupakan kelembagaan lokal yang berperan untuk menjaga stabilitas stok pangan, dan menjamin distribusi pangan bukan hanya pada internal keluarga, melainkan lintas lapisan sosial masyarakat. Menurut MacAdrews dan Amal 1995, Pranadji 1999 dalam Pranadji 2003 salah satu faktor strategis yang menyebabkan lemahnya daya saing perekonomian pedesaan selama lebih tiga dekade, sistem kelembagaan perekonomian pedesaan bukan saja tercabut dari akar budayanya, namun juga mengalami proses pembusukan secara sistemik dan sangat intensif. Sistem kelembagaan pedesaan yang hingga beberapa tahun terakhir secara politik masih terkooptasi oleh kebijakan pembangunan yang sangat sentralistik dan tersubordinasi oleh organisasi pemerintahan pusat. Komersialisasi pertanian juga menyebabkan polarisasi sosial. Ekonomi yang tajam di pedesaan Hayami dan Kikuchi, 1987. Tesis ini bisa menguatkan fakta yang menghubungkan benang merah mengapa pembangunan pertanian secara tidak langsung menimbulkan kasus gizi buruk dan gizi kurang di lokasi penelitian. Menurut Mulyani dan Alkusuma 2003 Kabupaten Lombok Timur NTB termasuk wilayah yang padat penduduk yaitu sebanyak 1.009.471 jiwa, dengan cakupan wilayah seluas 160.555 ha, dengan kepemilikan lahan sekitar 0,52 harumah tangga petani RTP. Pada kurun waktu 1993-2003 telah terjadi peningkatan jumlah rumah tangga petani dari 179.123 RTP pada tahun 1993 menjadi 203.944 RTP pada tahun 2003 BPS, 1993 dan 2003. Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga petani yang tidak diimbangi dengan peningkatan lahan pertanian yang memadai, telah mendorong terjadinya fragmentasi luas kepemilikan lahan akibat sistem bagi waris dan terjadinya pembukaan lahan pertanian di lahan berbukit-bergunung dengan lereng curam, dan bahkan merambah ke kawasan hutan. Hasil penelitian juga memperlihatkan bagaimana rumahtangga petani yang tidak memiliki lahan kemudian tersingkir dan bergeser ke wilayah pesisir Lombok Timur. Polarisasi semakin besar sekali lagi karena kelembagaan ekonomi sosial sambi sebagai penghubung petani pemilik dan buruh tani kemudian semakin memudar. Sajogyo 1974 dalam Pranadji 2003 juga menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pedesaan dalam pengembangan perekonomian padi yang didasarkan pada penerapan bibit unggul haus masukan berupa pupuk organik, bahan kimia, air dan tenaga kerja hanya terbatas pada lapisan elit desa atau pemilik lahan luas. Golongan inilah yang secara akumulatif lebih banyak menikmati serangkaian kebijakan intensifikasi padi sawah yang didukung pemberian bantuan kredit berbunga rendah. Dengan struktur penguasaan lahan yang timpang, perekonomian desa dikuasai elit penguasa tanah dan pemilik uang dari kota. sementara petani yang tidak memiliki lahan tersingkir dan mencari penghidupan ke negara lain, dan berdampak pada stabilitas rumahtangganya. Pada kasus di lokasi penelitian sendiri, sebagian besar petani di persawahan cenderung banyak yang tidak berlahan landless. Di Desa Loyok misalnya, sebagian besar lahan dimiliki oleh orang-orang di Kotaraja yang 84 memiliki banyak modal. Faktor pewarisan dan sengketa tanah juga mendorong lepasnya lahan pertanian oleh petani kecil, sehingga banyak petani yang kehilangan lahan dan harus menyewa lahan pertanian kepada pemilik lahan di Kotaraja. Di seluruh negara berkembang, produksi pertanian secara komersial telah meningkatkan permintaan tenaga kerja produksi pertanian, khususnya perempuan. Waktu kerja perempuan sendiri pada pola pertanian tradisional sudah banyak menyita waktu kaum perempuan, sehingga pembangunan meningkatkan jam kerja perempuan di luar kegiatan domestiknya, dan hal ini berakibat pada kegiatan penyiapan makanan keluarga, dan kecukupan gizi oleh perempuan itu sendiri Ojiambo, 1967 dalam Fleuret dan Fleuret, 1980. Dengan mengabaikan kesempatan yang ada, perempuan kemudian akan terjebak dalam keadaan kekurangan makanan atau kurang pendapatan keluarga Sharman, 1970 dalam Feluret dan Fleuret, 1980. Seperti yang kita ketahui, perempuan menanggung beban berat di dalam keluarga, antara lain beban produktif dan beban domestik. Bagi kaum perempuan yang berada di lapisan bawah masyarakat, maka tenaganya akan sangat dibutuhkan untuk menunjang penghasilan rumahtangga. Sehingga ketika kaum perempuan miskin kemudian mengandung seorang anak, energi yang dikeluarkan kemudian akan sangat terkuras, karena tenaganya juga diarahkan pada upaya peningkatan pendapatan rumah tangga. Pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan janin di dalam kandungannya. Para orang tua khususnya ibu pada akhirnya juga menganut sistem makan asal kenyang tanpa memperhatikan komposisi gizi dalam makanannya, ini akan berperan di dalam peningkatan kasus gizi buruk dan kurang balita jika ibu tengah mengandung. Menurut Fleuret dan Fleuret 1980 dengan diperkenalkannya pasar komoditas pertanian, konsekuensi lainnya adalah relasi tenaga kerja yang kemudian menyebabkan meningkatnya jumlah kebutuhan energi tubuh, oleh meningkatnya kegiatan yang menghasilkan uang tunai untuk rumahtangga. Selain itu juga menurut hasil penelitian Taussig 1978 di Kolombia, Gross dan Underwood 1971 di utara Tenggara Brazil, Eder 1975 di Filipina, Rapapport 1971 di Papua Nugini, dan Gross 1975 dalam Fleuret dan Fleuret 1980, di Lembah sungai Amazon menunjukkan bahwa dikenalkannya pasar pertanian kepada masyarakat tradisional dapat meningkatkan jumlah energi manusia yang diperlukan untuk mendapatkan nutrisi yang diperlukan, dan juga dapat menimbulkan rusaknya pola pemberian gizi dari distribusi makanan di dalam rumahtangga. Yang menarik juga untuk diketahui bahwa, dengan peningkatan permintaan akan tenaga kerja perempuan di lahan pertanian dan perikanan, rupanya juga mempengaruhi waktu yang disediakan para ibu untuk menyiapkan makanan. Misalnya seperti yang telah diuraikan pada bagian adaptasi ekologi rumah tangga nelayan menunjukkan bahwa para ibu, akibat pengalokasian waktunya lebih banyak kepada kegiatan produktif, maka kegiatan penyiapan pangan kepada anak balita diserahkan kepada anggota keluarga misalnya anak- anaknya yang mulai beranjak dewasa untuk menyiapkan panganan keluarga. Makanan instant seperti mie instant kemudian menjadi pilihan ibu dan anaknya. Karena tidak menyita waktu, dan gampang diolah oleh anak yang ditugaskan untuk mengurus makanan, dan cita rasanya yang disukai oleh anak-anak. Bagitu pula dengan jajanan yang manis seperti kembang gula dan snack ringan atau 85 chiki, minuman ringan sering diberikan kepada anak. Menurut Judiastuti dalam Tonny et al., 2006 mengungkapkan bahwa adanya hubungan makanan jajanan dengan kurang gizi, dikarenakan banyaknya makanan jajanan mengandung zat-zat kimia yang meningkatkan cita rasa akan tetapi tidak mengandung zat-zat gizi yang cukup untuk kebutuhan balita. Sementara balita sangat menyukai makanan jajanan dan terasa kenyang dengan hanya makan makanan jajanan, hal ini berdampak pada keadaan gizi balita yang buruk. Tidak hanya ibu dan balita saja yang mengalami kurang gizi, anak-anak yang mulai beranjak dewasa juga rentan mengalami kurang gizi, karena di wilayah Sasak pesisir seluruh anggota keluarga merupakan modal dalam perolehan pendapatan rumah tangga. Seperti yang disampaikan sebelumnya. Anak-anak merupakan tenaga kerja yang sangat potensial yang mampu menghasilkan pendapatan melalui kegiatan menciro, dan madat. Kemudian, salah satu alasan mengapa tradisi nasi pakpak pada balita tetap ada, karena nasi pakpak memudahkan ibu dan papu ‟ dalam menyediakan MPASI, dan dipercaya bayi akan tidak rewel karena perutnya telah kenyang, sehingga bayi tidak akan banyak mengganggu kegiatan ibu dan papu‟.

7.2 Kebijakan Pembangunan di Bidang Kesehatan

Organisasi sosial tradisional dibeberapa bagian dunia mendorong distribusi dari makanan secara setara antara komunitas dan keluarga, dan pada saat yang sama faktor-faktor budaya juga menciptakan ketimpangan distribusi makanan didalam rumahtangga Fleuret and Fleuret, 1980. Implikasinya seperti yang diperoleh Kolata 1978, Wilmsen 1978 dan lainnya misalnya Haas dan Harrison, 1977 dalam Fleuret and Fleuret 1980 adalah bahwa kekurangan gizi secara sistematis bagi perempuan yang mengandung, ibu menyusui, dan balita khususnya balita perempuan yang diteliti diseluruh dunia, bisa jadi merupakan suatu mekanisme budaya untuk mengontrol kelahiran dan pertumbuhan penduduk. Djoht 2002 mengungkapkan bahwa sebaliknya, intervensi pembangunan kesehatan justru memberikan kelebihan penduduk dan bertambahnya penyakit, sehingga siklus mata rantai lingkaran peristiwa yang disebabkan oleh penyakit dimulai. Intervensi kesehatan sesungguhnya berasal dari pemikiran Barat bahwa penyakit menghambat pembangunan sehingga mendorong tumbuh dan berkembangnya pelayanan-pelayanan kesehatan dan pengawasan penyakit, termasuk pos pelayanan terpadu atau POSYANDU bagi bayi dan balita. Bentuk-bentuk pengaturan dan intervensi kesehatan yang dilakukan pemerintah kita adalah melalui pembentukan lembaga-lembaga kesehatan modern yang sejalan dengan tatanan kesehatan universal Aminah Koesbardjati, 2012. Secara historis, kebijakan kesehatan dimulai sejak REPELITA I. Pada evaluasi menjelang Pelita I terungkap adanya permasalahan kesehatan yang perlu memperoleh pemecahan segera melalui suatu pendekatan baru, yaitu PKMD Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa. Suatu pendekatan yang diharapkan dapat mengatasi latar belakang permasalahan terhadap: 1 merajalelanya penyakit-penyakit menular yang banyak menimpa rakyat kecil di pedusunan, 2 keadaan under-nurishment yang menyangkut terutama bayi dan balita maupun ibu-ibu dalam masa reproduktif, 3 keadaan sanitasi lingkungan jelek ditambah ekses dari pertumbuhan industrialisasi, 4 pertambahan penduduk secara alamiah 86 yang masih tinggi dan 5 tingkat pendapatan perkapita yang rendah Erfandi, 2008. Tugasnya selama Pelita I itu diletakkan rintisan yang mendasar melalui perbaikan tingkat kesehatan rakyat dengan skala prioritas program kesehatan antara lain: 1 pemulihan kesehatan, 2 pembinaan hidup sehat, 3 pemberantasan penyakit menular, 4 farmasi, 5 pengembangan infra struktur, 6 penelitian kesehatan, dan 7 training Erfandi, 2008. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pelayanan selama Pelita I karenanya dititik beratkan kepada: 1 perencanaan kesehatan yang lebih baik, karena sebelumnya masih meraba-raba sebab belum ada data yang akurat, 2 melihat kenyataan keterbatasan-keterbatasan dana dan fasilitas maupun atas dasar efektifitas dan efisiensi, 3 daerah sasaran diprioritaskan pada daerah-daerah pedeusunan, daerah transmigrasi dan daerah pengembanganpembangunan lainnya, 4 kebijaksanaan pelayanan ditetapkan atas dasar skala prioritas program dengan pertimbangan adanya keterbatasan-keterbatasan di atas dan, 5 usaha-usaha preventif maupun promotif lebih ditingkatkan dengan memperhatikan pola keseimbangannya berdasarkan situasionalnya dan kondisioningnya Erfandi, 2008. Pada bagian ini akan menyoroti pada performa Posyandu sebagai pusat layanan kesehatan yang dibangun untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu bayi dan balita. Posyandu berperan di dalam menekan kasus kematian ibu dan anak dan juga kasus gizi buruk dan kurang. Untuk mencegah dan menangani gizi buruk, Posyandu berperan dalam mendesiminasikan pentingnya mengonsumsi makanan yang beragam dan seimbang kepada masyarakat, meminum tablet penambah darah selama hamil, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita secara rutin di Posyandu, dan memeriksakan diri ke Puskesmasrumah sakit apabila sakit. Penanganan kasus gizi kurang dan buruk selama ini sering mengalami kendala dari aspek partisipasi masyarakat. Masyarakat dianggap kurang aktif dalam memeriksakan kesehatan anak akibat ketidaktahuan mereka tentang gizi dan penyakit gizi buruk. Masyarakat selama ini tidak mengenal dengan baik apa yang dimaksud dengan gizi buruk, apakah yang anaknya menderita gizi buruk atau tidak karena konsepsi sehat dan sakit yang mereka anut berbeda dengan konsep sehat yang diberlakukan pemerintah dan aktor-aktor kesehatan. Dalam hal ini yang mengetahui dengan pasti apakah seseorang menderita kekurangan gizi adalah petugas kesehatan. Kader Posyandu dan PAUD selama ini kurang maksimal karena kurangnya kemampuan dan pengetahuan kader di bidang kesehatan dan gizi. Para kader, yang adalah masyarakat lokal biasanya ditunjuk oleh pihak aparat kesehatan. Permasalahan yang terjadi terkait dengan kinerja Kader adalah mereka yang terpilih enggan melakukan sosialisasi akibat tunjangan yang diperoleh terlalu kecil dan tidak sebanding dengan tugas berat yang dilakukan. Menurut para Kader di wilayah persawahan, anggaran yang diberikan kecamatan untuk sekali Posyandu sangat terbatas, hanya 50 ribu rupiah. Pada akhirnya untuk mengatasi keterbatasan biaya tersebut, secara swadaya, para kader mengumpulkan uang untuk memenuhi kebutuhan akan ketersediaan PMT. PMT 87 sendiri juga diakui oleh Kader menjadi daya tarik Posyandu agar partisipasi para ibu meningkat 19 . Banyak cara yang ditempuh oleh pemegang kebijakan untujk meningkatkan angka partisipasi ibu menimbang balitanya, salah satunya adalah dengan memberikan makanan tambahan kepada balita. Pemberian makanan tambahan bermenu lokal seperti bubur kacang hijau misalnya, juga tidak serta merta mampu meningkatkan angka partisipasi ibu membawa anaknya untuk ditimbang dan dipantau berat badannya. Menurut para Kader, beberapa ibu dan balita, enggan untuk menerima PMT dengan menu lokal dengan alasan makanan tersebut ada di rumah. Namun, ada juga anak-anak yang menyukai makanan tersebut, karena disukai oleh anak-anaknya. Sehingga menurut Kader, tidak bisa dipukul rata bahwa dengan panganan lokal kemudian bisa meningkatkan angka partisipasi ibu membawa anaknya untuk ditimbang. Karena masalah pilihan makanan berbeda-beda tergantung pada pilihan anak-anaknya. Selain itu menurut pak mantri, anak-anak di desa Loyok juga malas untuk makan karena anak-anak khususnya balita lebih menyukai jajanan yang dijual di warung-warung. Kemungkinan menurut pak mantri bumbu penyedap yang kuat pada jajajnan menjadi daya tarik anak untuk mengkonsumsi makanan tersebut. Sehingga tidak jarang pemberian makanan tambahan berupa mie instant yang kurang zat-zat gizi dan mengandung bahan kimia. Upaya untuk mengolah panganan lokal menjadi makanan tambahan tidak didorong oleh pemegang kebijakan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi gizi buruk dan gizi kurang. Bubur kacang ijo dianggap sebagai panganan lokal, padahal jika diseriusi dengan baik, panganan lokal seperti lambuk bisa menjadi daya pikat ibu membawa anaknya untuk ditimbang. Dan pemberian makanan lokal tidak saja pemberian secara cuma-cuma setiap dilakukannya posyandu melainkan juga diberikan penyampaian pembuatan panganan lokal yang bahan-bahannya gampang diperoleh ibu dan dengan harga yang sangat terjangkau, serta menganut pada asas diversifikasi bahan pangan tidak melulu pada beras. Karena seperti yang telah dibahas sebelumnya, preferensi makan beras orang-orang Sasak sangat tinggi. Perlu juga diperhatikan bahwa, beberapa hasil penelusuran menunjukkan, khususnya di wilayah pesisir, pemberian PMT bagi balita khususnya yang bergizi kurang dan buruk bantuan dalam bentuk uang segar kepada kader. Seiring dengan berjalannya waktu, pemberian uang segar, dengan alasan bisa disalahgunakan oleh Kader, kemudian digantikan dengan bahan makanan segar. Pada banyak kasus yang terjadi, bahan makanan segar tersebut berkualias sangat buruk, sehingga sangat tidak layak untuk dikonsumsi oleh balita. Sehingga penanganan kasus gizi buruk dan kurang tidak berlanjut. 19 Dari pengamatan saat penelitian, PMT yang diberikan merupakan makanan ringan berjenis biscuit penambah tenaga bermerek biskuat. Saat biscuit tersebut telah habis, sementara balita yang datang semakin banyak. Salah satu kader meronggoh kantungnya sendiri, dan membelikan beberapa bungkus mie instant, yang dijadikan sebagai PMT untuk balita. 88 7.3 Pola Adaptasi Ekologi 7.3.1 Adaptasi Ekologi Pesisir Jika kembali dari sejarah kehadiran masyarakat Sasak Pesisir Lombok Timur yang telah dijabarkan pada bagian tulisan ini, sesungguhnya korban dari dampak pembangunan adalah masyarakat Sasak pesisir. Mereka tersingkir karena tidak lagi memiliki lahan untuk digarap, tidak adanya lapangan pekerjaan yang bisa menghidupi rumah tangga, akhirnya untuk mencari selamat bergeser mencari penghidupan di wilayah pesisir. Beberapa masyarakat Sasak pendatang selain menjadi sabi, ada juga yang mencari nafkah sebagai nelayan mandiri dengan armada penangkapan yang sederhana, dan tergolong sebagai nelayan kecil dengan daerah fishing ground 0-3 mil saja. Hanya mengandalkan jaring klitik. Nelayan sasak yang mandiri dan terbilang nelayan kecil sangat mengandalkan anggota keluarga sebagai tenaga kerjanya. Biasanya anak-anaknya khususnya anak laki-laki akan membantu sang ayah mencari ikan dengan menggunakan jaring klitik. Sementara sang ibu dan anak-anak perempuannya akan menunggu perahu sang suami di pantai, setelah ikan didaratkan barulah wewenang perempuan dalam mengelola hasil tangkapan suami. Sehingga tidaklah mengherankan jika keluarga nelayan sasak memiliki anak yang relatif lebih banyak dibandingkan di wilayah persawahan. Anak bagi masyarakat Sasak pesisir lebih dimaknai sebagai tenaga kerja yang akan membantu perekonomian keluarga. Sehingga ungkapan banyak anak banyak rezeki masih dipegang kuat oleh keluarga nelayan Sasak. Selain menjadi sabi, masyarakat Sasak sebagai masyarakat kelas dua di desa-desa pesisir juga menggantungkan hidupnya sebagai buruh garam di lahan- lahan garam milik daeng-daeng dari Bugis dan Bajo di desa Tanjung Luar, Kecamatan Ciwaru. Berikut penuturan PA: “Masyarakat sasak dari desa persawahan yang berbeda yang terdesak, menjadi buruh tani yang tidak memiliki tanah akibat sistem pewarisan, yang menyebabkan lahan terpecah-pecah menjadi ukuran-ukuran yang sangat kecil, dan umumnya telah banyak digadai. Maka akibat tekanan hidup, masyarakat sasak yang terdesak ini datang untuk hidup di pinggir pantai mencari nafkah di desa-desa pesisir yang telah lama didiami oleh orang Bugis dan Bajo. Dan saat itu sumberdaya cumi menjadi primadona. Sebagai masyarakat yang dianggap pendatang maka orang- orang sasak kemudian menggantungkan nafkahnya pada orang-orang Bugis dan Bajo yang telah berhasil sebagai nelayan. Kecenderungan yang terjadi penduduk sasak menjadi sabi di armada penangkapan orang-orang Bajo dan Bugis. Selain itu juga menjadi buruh di lahan- lahan garam milik para daeng-daeng Bugis dan Bajo. Karena posisinya sebagai pendatang, maka sangat jarang orang sasak yang mampu memiliki armada penangkapan yang besar dan lahan garam. semua dikuasai oleh orang-orang bugis. Tidak pernah kami mendengar bahwa kapal dan lahan garam milik “amak-amak” 20 . melainkan kapal-kapal penangkap cumi adalah milik daeng-daeng, begitu pula lahan garam yang luas” Wawancara dengan PATanggal 16 Juni 2012, perjalanan menuju Desa Putun Bako. 20 Sebutan bagi orang-orang Sasak yang terpandang