Pendidikan Pengaruh Antara Karakteristik terhadap Kejadian HIVAIDS di Klinik IMS Bestari Medan

5.1.2. Pendidikan

Berdasarkan hasil analisis univariat dapat diketahui bahwa mayoritas waria berpendidikan lanjut yaitu SMP. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan waria dengan kejadian HIVAIDS yang ditunjukkan nilai p= 0,551 p0,05 dan χ 2 Berdasarkan hasil penelitian Eda dkk 2012 bahwa responden yang memiliki pendidikan rendah yang tidak berniat menggunakan kondom secara konsisten saat melakukan hubungan seks 50,0. Hal ini terjadi karena responden tidak mau mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tentang resiko penularan IMS dan HIVAIDS. =0,355 dengan nilai OR=1,429 artinya waria yang positif mengalami HIVAIDS berpeluang 1 kali mempunyai pendidikan dasar dibandingkan waria yang negatif mengalami HIVAIDS. Kurniawati 2003 menyatakan bahwa faktor utama penyebab laki-laki menjadi waria adalah kesalahan dalam proses pendidikan pembentukan identitas jenis kelamin dan kesalahan imitasi yang ditunjang dengan penguatan. Penguatan mulai didapat dari masa kanak-kanak dan terus berlanjut sampai ia menyadari bahwa dirinya adalah waria, penguatan terjadi dalam keluarga berupa pujian saat ia berpakaian atau berperilaku seperti perempuan. Materi tentang pendidikan perilaku seksual yang menyimpang dengan contoh IMSAIDS sebenarnya sudah cukup banyak tersedia untuk dijadikan bahan KIE komunikasi, informasi,dan edukasi. WHO, misalnya telah banyak mengeluarkan publikasi yang terkait dengan HIVAIDS. Beberapa lembaga juga telah mencoba Universitas Sumatera Utara mempublikasikan dalam bahasa Indonesia berbagai informasi pendidikan berkaitan dengan HIVAIDS. Waria merupakan kelompok berisiko tinggi terkena HIVAIDS, beberapa faktor yang menyebabkan kelompok ini mudah terserang HIVAIDS, diantaranya pemahaman mereka yang masih kurang terhadap HIVAIDS. Taraf pendidikan waria yang rata-rata hanya pendidikan lanjutan mempengaruhi pengetahuan meliputi upaya pencegahan, penularan, gejala dan pengobatan terhadap HIVAIDS. Selain itu perilaku waria yang cenderung berisiko seperti seks bebas, penggunaan kondom dan keterbatasan jarum suntik steril merupakan salah faktor yang berpengaruh terhadap penularan HIVAIDS. Akses informasi kesehatan yang terbatas tentunya juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap upaya pencegahan HIVAIDS, mengingat stigma yang kuat melekat pada mereka sebagai kelompok yang yang berperilaku menyimpang. Seharusnya sebagai kelompok yang berisiko waria diberikan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan termasuk pelayan kesehatan informasi HIVAIDS. Pemerintah dalam menyikapi semakin meningkatnya penderita HIVAIDS memasukkan pengetahuan tentang informasi HIVAIDS kedalam kurikulum sekolah. Mulai dari penularan, pencegahan serta pengobatan dan apa yang harus dilakukan bila sudah terkena infeksi HIVAIDS. Sebagai contoh kecil mulai dari pengenalan virus HIV bahwa virus HIV tidak akan tertular dengan tinggal serumah, berjabat tangan, satu kolam berenang, melalui gigitan nyamuk atau memakai alat makan yang sama, virus HIV hanya menjangkiti kelompok waria dan pengguna narkoba saja, atau Universitas Sumatera Utara kita dapat mengetahui bahwa seseorang terkena HIVAIDS hanya dengn meliht dari penampilannya saja. Selain itu mitos yang mengatakan minum antibiotic sebelum melakukan hubungan seks dapat mencegah terkena IMS, pemakaian kondom tetap saja dapat menularkan HIVAIDS, lalu terinfeksi HIVAIDS berarti vonis mati. Artinya banyak mitos-motos yang beredar dimasyarakat seputar HIVAIDS dapat memunculkan sikap dan perilaku yang merugikan tidak hanya buat orang lain, tapi juga diri sendiri. Disamping itu bisa memunculkan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIVAIDS. Stigma juga dialami oleh waria pada tempat-tempat pelayanan kesehatan seperti klinik, rumah sakit dan pusat kesehatan lainnya. Ketika mereka mendapatkan gunjingan, hal tersebut yang membuat para waria enggan datang ke klinik kesehatan untuk memeriksakan kesehatan mereka. Dalam komunitas ini sudah mendapatkan bantuan dari LSM yang menyediakan pelayanan mobil, dimana dokter dan perawat langsung mendatangi para waria dan melakukan perawatan secara gratis. Tapi kini bantuan tersebut tidak lagi di perpanjang dari pusat, sehingga saat ini para waria tidak melalukan pemeriksaan lagi, karena kurangnya biaya yang mereka miliki untuk melakukan perawatan.

5.1.3. Pekerjaan

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

5 90 147

Gambaran Karakteristik Infeksi Menular Seksual (IMS) Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Pada Tahun 2012

4 62 85

Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Pemakaian Kondom Dalam Upaya Pencegahan Penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) Di Kota Medan Tahun 2010

3 40 99

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara Tentang Infeksi Menular Seksual (IMS)

0 29 60

Keputusan Waria Melakukan Tes HIV/AIDS Pasca Konseling Di Klinik Infeksi Menular Seksual Dan Voluntary Counselling And Testing Veteran Medan Tahun 2009

0 68 124

Persepsi Kelompok Risiko Tinggi Tertular Hiv/Aids Tentang Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Dan Voluntary Counseling & Testing (VCT) Di Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2008

0 21 103

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014

5 54 177

Gaya Hidup Seksual “Ayam Kampus” dan Dampaknya Terhadap Risiko Penularan Infeksi Menular Seksual (IMS)

0 3 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Menular Seksual 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual - Studi Kualitatif Pencegahan Penyakit Infeksi Menular pada Komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 1 26

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

0 0 16