unit penangkapan setiap tahunnya. Retribusi yang dipungut sebesar 8 karena di Kabupaten Kulon Progo masih menggunakan tenaga pendorong untuk melaut,
sehingga pembagian retribusi yaitu: 5 untuk pihak TPI dan 3 untuk tenaga pendorong. Upah ABK sebesar 50 setelah dipotong dengan biaya operasional
dan retribusi. Total biaya yang ada sebesar Rp 178.710.000,00 per tahun. Keuntungan yang diterima sebesar Rp 125.040.000,00 setelah dikurangi
dengan total biaya. Sedangkan revenue per cost yang didapatkan dari nilai perbandingan total penerimaan dengan total biaya sebesar 1,70 yang menunjukkan
bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan dapat memberikan keuntungan sebesar 0,70 rupiah sehingga usaha perikanan layak untuk dijalankan karena RC
1 maka usaha menguntungkan dan mendapatkan pengembalian modal dalam jangka waktu 0,25 tahun.
5.10 Analisis Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap
Usaha perikanan tangkap di Kabupaten Kulon Progo masih dalam tahap pengembangan. Agar dapat melihat dan memprediksi pengembangan usaha yang
terjadi di sektor perikanan tangkap, maka diperlukan alat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya baik internal maupun eksternal. Alat
tersebut adalah analisis SWOT yang dapat mengkaji faktor-faktor tersebut. Faktor internal yang dimaksud merupakan faktor yang mempengaruhi
secara langsung kegiatan usaha perikanan tangkap. Faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Faktor eksternal merupakan faktor dari lingkungan yang
turut mempengaruhi berkembangnya usaha perikanan tangkap di Kabupaten Kulon Progo. Faktor eksternal terdiri dari peluang dan ancaman.
5.10.1 Faktor internal
Faktor internal berupa kekuatan, antara lain: 1 Potensi SDI yang besar S1.
Sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Kulon Progo memiliki potensi yang cukup besar. Pada tahun 2008, produksi perikanan laut di Kulon Progo sebesar
512.082 kg, dengan nilai produksi sebesar Rp 2.920.132.800,00. Potensi ikan di Samudera Indonesia yang berada di luar Zone Ekonomi Eksklusif ZEE
belum dapat dijangkau oleh nelayan tradisional lihat pada sub bab. 4.3.
2 Jumlah nelayan semakin meningkat S2. Pada hakikatnya, nelayan Kulon Progo adalah seorang petani, namun sumber
pendapatan dari bertani saja tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup karena pada saat musim paceklik September-Januari para petani menganggur. Oleh
karena itu, petani Kabupaten Kulon Progo memilih pekerjaan sebagai nelayan sebagai pekerjaan sambilan utama. Hal ini membuat kuantitas nelayan di
Kabupaten Kulon Progo meningkat lihat pada sub bab 4.2.2 dan sub bab 5.8. 3 Adanya kelompok nelayan yang aktif S3.
Nelayan di Kabupaten Kulon Progo memiliki kelompok nelayan di tiap-tiap daerahnya. Kelompok-kelompok nelayan ini memiliki kegiatan pertemuan
yang cukup rutin, sehingga dapat dikatakan bahwa nelayan telah dapat berorganisasi dengan baik. Peranan kelompok nelayan cukup dapat dirasakan
oleh nelayan itu sendiri, dengan terwujudnya pembelian kapal oleh kelompok nelayan lihat pada sub bab 4.5.
4 Keinginan melaut cukup besar S4. Kondisi alam di Kulon Progo yang kurang mendukung seperti gelombang
besar dan kondisi angin yang tidak baik, tidak menyurutkan keinginan nelayan Kulon Progo untuk melaut. Motivasi untuk melaut sebagai modal nelayan,
sehingga mereka nekat untuk melaut meskipun kondisi alam kurang baik. Tidak sedikit kapal yang nyaris terbalik untuk melawan gelombang yang
besarnya 4 meter tersebut. lihat pada sub bab 5.7. 5 Peranan koperasi sebagai penyalur dana simpan pinjam S5.
Koperasi Swamitra Mina merupakan koperasi yang berguna untuk melakukan kegiatan simpan pinjam. Kegiatan simpan pinjam ini memberikan keuntungan
bagi nelayan Kulon Progo, karena nelayan mendapatkan pinjaman dan bantuan untuk menyalurkan kebutuhan yang diperlukan oleh nelayan.
Pinjaman dan bantuan yang ada dipergunakan oleh nelayan untuk membeli alat tangkap dan kapal lihat pada sub bab 4.5.
6 Adanya nelayan pendatang dari Cilacap S6. Nelayan pendatang berasal dari Cilacap yang melaut di perairan Kulon Progo
yang dapat dilihat dari kapal-kapal andon yang masuk ke wilayah Kulon Progo. Nelayan Cilacap yang memiliki keterampilan mengoperasikan alat
tangkap lebih baik dari nelayan lokal, sehingga nelayan lokal belajar dari nelayan Cilacap. Keterampilan dan pengetahuan nelayan lokal mengenai
operasional penangkapan semakin meningkat lihat pada sub bab 4.2.2. 7 Peranan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam memberikan pelatihan S7.
Dinas Kelautan dan Perikanan mendukung usaha perikanan laut dengan memberikan pelatihan-pelatihan mengenai kegiatan penangkapan ikan dan
pengenalan teknologi. Pelatihan diadakan di daerah Gunung Kidul, Kebumen dan Pacitan karena daerah-daerah tersebut sudah maju, baik dalam
keterampilan melaut di laut lepas dan juga memiliki peralatan yang lengkap lihat pada sub bab 5.1
Adapun kelemahan-kelemahan yang ada, antara lain: 1 Keterbatasan fasilitas penunjang W1.
Fasilitas seperti TPI di PPI Karangwuni tidak dapat dipergunakan untuk pelelangan karena nelayan yang melaut dari PPI masih sedikit. Hal ini
dikarenakan oleh kolam pelabuhan yang belum selesai, sedangkan kapal nelayan yang melewati kolam pelabuhan mudah terhempas ke breakwater dan
membuat kapal rusak sebelum pergi melaut. Selain itu, setiap TPI yang ada di Kabupaten Kulon Progo memiliki fasilitas yang minim antara lain tidak
adanya persediaan air bersih, tempat pencucian ikan, bangunan TPI yang sudah tua. Hal ini dikarenakan oleh TPI yang tidak dirawat dengan baik lihat
pada sub bab 5.2. 2 Akses transportasi masih sulit
W2. Transportasi untuk pergi ke PPI atau TPI masih terbatas. Tidak adanya
kendaraan umum yang melewati PPI atau TPI, yang ada hanyalah ojek. Perlu adanya kendaraan pribadi untuk mencapai TPI atau PPI. Selain itu, jalanan
yang ditempuh untuk mencapai lokasi tersebut masih jalanan kecil yang hanya cukup untuk satu mobil lihat pada sub bab 5.2.
3 Perselisihan antara pihak PPI dan nelayan W3. Glagah dipusatkan pada kegiatan pariwisata, sehingga nelayan Glagah
dihimbau oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan perikanan di Karangwuni. Namun yang terjadi adalah nelayan Glagah enggan melakukan
kegiatan penangkapan ikan di PPI Karangwuni. Awal perkembangan kegiatan
penangkapan ikan berasal dari Glagah dengan datangnya nelayan andon untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Kulon Progo lihat pada sub bab
5.2. 4 Keterampilan nelayan masih rendah W4.
Keterampilan nelayan lokal yang diperoleh dari rekan dan kerabat mereka. Pengetahuan mengenai operasi penangkapan masih tergolong rendah,
sehingga hasil tangkapan yang didapat tidak seperti yang diharapkan dan kurang maksimal lihat pada sub bab 5.2.
5 Keterbatasan alat tangkap yang sesuai musim W5. Alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Kabupaten Kulon Progo hanya
sebatas jaring sirang bottom gillnet dan pancing. Hal ini menyebabkan nelayan belum dapat menangkap ikan pada musim-musim ikan selain
menggunakan kedua alat tangkap tersebut lihat pada sub bab 5.2. 6 Armada yang digunakan dalam skala kecil W6.
Kapal yang digunakan oleh nelayan merupakan kapal jukung berukuran 3 GT sehingga kapal hanya sebatas melaut di daerah yang dekat sekitar 4 mil.
Terbatasnya ukuran kapal membuat nelayan yang dapat beroperasi pun hanya 2-3 orang per kapal lihat pada sub bab 5.7.
5.10.2 Faktor eksternal