Uji Sensivitas Model Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan

Tentunya karakteristik non-fisik ini terus mengalami dinamika dan tidak seragam di semua lokasi. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dalam menentukan kriteria penunjukan kawasan hutan masih menggunakan kriteria fisik sebagaimana diatur oleh peraturan sebelumnya. Padahal, pada era peraturan pemerintah tersebut telah banyak terjadi perubahan fungsi yang tidak dipengaruhi kriteria fisik namun oleh interaksi non-fisik. Meski dalam penunjukan dan peruntukan kawasan hutan telah disesuaikan dengan rencana pengelolaan kawasan yang diatur dalam RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah, pendekatan fisik menjadi batasan utama. Penentuan kebutuhan lahan untuk pembangunan perlu diprioritaskan karena sesuai dengan arah pembangunan daerah otonomi. Prioritas ini perlu dibatasi dengan karakteristik fisik lapangan namun tidak berarti bahwa ketika karakteristik lapangan tidak diijinkan untuk dikelola untuk keperluan produktif, maka prioritas itu menjadi menurun. Eksploitasi pengetahuan masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan lingkungannya perlu ditingkatkan serta perlu adanya penyesuaian pasar terhadap peruntukan lahan yang telah disepakati. Lima 5 kebutuhan dasar Maslow yakni 1 kebutuhan fisiologis, 2 kebutuhan keamanan dan keselamatan, 3 kebutuhan sosial, 4 kebutuhan penghargaan dan 5 kebutuhan aktualisasi diri merupakan hal mendasar yang perlu diperhatikan agar penunjukan kawasan hutan tersebut dapat berjalan dengan baik dan dikelola secara optimal.

6.2 Interaksi Stakeholder Dengan Kawasan Hutan

Pemanfaatan kawasan hutan disadari tidak hanya untuk pembangunan sektor kehutanan namun juga sektor non-kehutanan. Alokasi lahan untuk usaha pertanian sebagaimana Surat Keputusan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 364Kpts-II90, 519KptsHK.05090 dan 23 – VIII – 1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan Dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian sebagai contoh tingginya permintaan lahan hutan untuk usaha-usaha non- kehutanan. Kebijakan pelepasan kawasan hutan mengakomodir pembangunan kebun dan usaha pertanian tanaman pangan lainnya. Tercatat 18.116 hektar per tahun, kawasan hutan Jambi harus dilepas untuk usaha pertanian. Tercatat 7 juta hektar sampai tahun 1997 lahan hutan yang harus dikonversi menjadi areal perkebunan. Hasil analisis menunjukkan total kawasan lahan hutan Indonesia yang dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta hektar. Dari angka ini, menurut penelitian lainnya 1,8 juta hektar hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000 FWI 2003. Dan untuk itu respon tercepat terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menurut Kartodihardjo dan Supriyono diacu dalam FWI 2003 bahwa di tahun 1997 tercatat 7 juta hektar telah disetujui untuk dikonversi untuk perkebunan ditambah pencadangan 9 juta hektar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Casson diacu dalam FWI 2003 menyebutkan bahwa 840.000 hektar telah disetujui untuk dilepas dan 70 adalah untuk perkebunan kelapa sawit. Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146Kpts-II2003 tentang Pedoman Evaluasi Pengggunaan Kawasan Hutaneks Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan Menteri ini disebutkan bahwa kawasan yang diijinkan dilepas untuk usaha budidaya perkebunan adalah kawasan hutan yang tidak berhutan dan apabila di dalam kawasan tersebut ketika pencadangan dilakukan telah terdapat kebun maka kegiatan ini disebut dengan kejahatan kehutanan. Definisi lahan tidak berhutan menurut keputusan Menteri Kehutanan ini adalah kawasan hutan yang memiliki kondisi penutupan lahan terdiri dari tanah kosong, semak belukar, padang alang-alang. Dalam aturan ini, tidak didefinisikan nilai historis dari lahan. Apakah lahan itu dari awalnya tidak berhutan atau lahan tersebut bekas pengelolaan yang tidak lestari dan akhirnya tersisa tanah kosong atau alang-alang atau semak belukar. Bila, yang dilihat hanyalah kriteria penutupan lahan yang bervegetasi sebagai pembatas, maka dapat saja dilakukan penebangan dan kemudian ditelantarkan sehingga kriteria ini terpenuhi.