Keterbatasan Model Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan

Kebijakan pelepasan kawasan hutan mengakomodir pembangunan kebun dan usaha pertanian tanaman pangan lainnya. Tercatat 18.116 hektar per tahun, kawasan hutan Jambi harus dilepas untuk usaha pertanian. Tercatat 7 juta hektar sampai tahun 1997 lahan hutan yang harus dikonversi menjadi areal perkebunan. Hasil analisis menunjukkan total kawasan lahan hutan Indonesia yang dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta hektar. Dari angka ini, menurut penelitian lainnya 1,8 juta hektar hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000 FWI 2003. Dan untuk itu respon tercepat terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Menurut Kartodihardjo dan Supriyono diacu dalam FWI 2003 bahwa di tahun 1997 tercatat 7 juta hektar telah disetujui untuk dikonversi untuk perkebunan ditambah pencadangan 9 juta hektar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Casson diacu dalam FWI 2003 menyebutkan bahwa 840.000 hektar telah disetujui untuk dilepas dan 70 adalah untuk perkebunan kelapa sawit. Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146Kpts-II2003 tentang Pedoman Evaluasi Pengggunaan Kawasan Hutaneks Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan Menteri ini disebutkan bahwa kawasan yang diijinkan dilepas untuk usaha budidaya perkebunan adalah kawasan hutan yang tidak berhutan dan apabila di dalam kawasan tersebut ketika pencadangan dilakukan telah terdapat kebun maka kegiatan ini disebut dengan kejahatan kehutanan. Definisi lahan tidak berhutan menurut keputusan Menteri Kehutanan ini adalah kawasan hutan yang memiliki kondisi penutupan lahan terdiri dari tanah kosong, semak belukar, padang alang-alang. Dalam aturan ini, tidak didefinisikan nilai historis dari lahan. Apakah lahan itu dari awalnya tidak berhutan atau lahan tersebut bekas pengelolaan yang tidak lestari dan akhirnya tersisa tanah kosong atau alang-alang atau semak belukar. Bila, yang dilihat hanyalah kriteria penutupan lahan yang bervegetasi sebagai pembatas, maka dapat saja dilakukan penebangan dan kemudian ditelantarkan sehingga kriteria ini terpenuhi. Selain interaksi sktakeholder dalam bentuk pelepasan kawasan, interaksi lain adalah pinjam pakai kawasan hutan dan tukar menukar kawasan hutan. Pinjam pakai kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan sektor non-kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut. Salah satu kegiatan sektor non-kehutanan yang sangat akrab dengan ijin ini adalah pertambangan. Usaha pertambangan hadir ketika ada potensi tambang dalam kawasan hutan. Dan kebanyakan potensi tambang tersebut terdapat dalam kawasan hutan tetap. Artinya terdapat upaya untuk merelakan potensi hutan dieksploitasi untuk keperluan pertambangan. Berdasarkan statistik Semester II Tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha. Berdasarkan delineasi kedudukannya terhadap tata guna hutan kesepakatan, usaha pertambangan dalam kawasan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45 dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49 dari luas areal usaha. Dari 18 unit usaha pemegang izin pertambangan, terdapat 1 pemegang izin pinjam pakai kawasan yang telah diterbitkan oleh Kemenhut yakni PT. Wahana Alam Lestari yang mengeksplorasi batubara di kabupaten Tebo dengan luas areal mencapai 5.243 hektar antara lain di dalam kawasan terdapat 3.106 hektar dan di luar kawasan mencapai 2.136,75 hektar. Hal ini berarti bahwa terdapat 7 dari ijin usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan dan 93 illegal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan, menjelaskan cara perhitungan PNBP dengan rumus PNBP = L1 x tarif + L2 x 4 x tarif + L3 x 2 x tarif Rptahun. L1 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang bersifat permanen dan bukaan tambang selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan ha. L2 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan reklamasi ha. L3 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi ha. Dengan luas ijin yang telah diterbitkan seluas 43.978,5 hektar maka dalam tahun pertama saja, nilai PNBP yang harus diterima mencapai 24,9 milyar rupiah. Bila realisasi hanya 7 dari luas tersebut, maka PNBP hanya mencapai 1,7 milyar rupiah. Ini artinya kerugian negara mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahun. Kerugian yang sangat besar ini harus berlangsung selama 30 tahun ijin. Atau dapat dikatakan mencapai 695 milyar rupiah hilang akibat ketidakmampuan para pemangku kepentingan di Jambi. Hilangnya nilai ini, berdampak pada pemulihan kondisi hutan dan pengembangan masyarakat.

6.3 Faktor Pendorong Deforestasi Dan Degradasi Hutan Jambi

6.3.1 HPH Pemanfaatan kawasan hutan dan kawasan hutan di Indonesia dan Jambi khususnya mulai efektif berlangsung sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, yang memberikan hak pengusahaan hutan kepada pihak swasta nasional, swasta multinasional untuk mengelola hutan selama 20-25 tahun Hidayat 2008. Kebijakan ini menjadikan Indonesia muncul sebagai negara dengan devisa tertinggi kedua di dunia yakni 75 hasil panen kayu diekspor keluar negeri. Sehingga terjadi peningkatan yang sangat signifikan antara tahun 1968 dan tahun 1974. Di tahun 1968, devisa negara hanya 6 juta US dan di tahun 1974 meningkat menjadi 564 juta US. Di tahun 1979, Indonesia menjadi negara pengekspor utama kayu dengan perolehan devisa mencapai 2,1 miliar US Hidayat 2008. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, agenda utama pada Pelita I sampai Pelita IV adalah pembangunan ekonomi bangsa dan sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang diberdayakan dengan memanen dan mengekspor log kayu bulat. Pulau Sumatera dan Kalimantan sebagai primadona pemanenan hasil hutan ini Hidayat 2008. Untuk itu dibuka pintu selebar-lebarnya bagi pemilik modal asing untuk ikut serta dalam mempercepat pembangunan sektor ekonomi dengan diterbitkan 3 produk hukum yakni UU Nomor 1 tahun 1967 tentang imvestasi modal asing, UU Nomor 6 tahun 1967 tentang Modal Dalam Negeri, UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan dan PP Nomor 21 tahun 1970 tentang Mekanisme Perijinan HPH yang akhirnya berdampak pada kerusakan hutan tropika Indonesia. Menyadari peranan asing sangat besar maka melalui PP Nomor 18 tahun 1975 tanggal 13 Mei 1975 dilakukan perubahan atas Pasal 9 PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang pemegang ijin HPH dibatasi pada perusahaan negara dan swasta nasional. Awalnya perijinan pengusahaan hutan diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dengan PP Nomor 64 Tahun 1957 namun dengan keluarnya PP Nomor 1 Tahun 1970 ini mencabut wewenang Pemerintah Daerah atas perijinan pengusahaan hutan berupa : 1. Izin Konsesi Hutan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 20 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 10.000 ha. 2. Izin persil penebangan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 5 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 5.000 ha. 3. Izin penebangan, yaitu untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu selama-lamanya 2 tahun. Pelibatan pihak asing dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tersebar merata di seluruh nusantara. George Pasific dan Wayerhouse dari Amerika Serikat di Kalimantan Timur, Mitsubishi, Sumitomo dan Shin Asahigawa dari Jepang, dari Korea Selatan terdapat perusahaan Korindo dan Kodeko di Kalimantan Selatan dan Papua. Dari Perancis International Forest Asiatique IFA di Jambi dan dari Singapura kelompok Sambu Hurst 1990 diacu dalam Hidayat 2008. Pelibatan pihak asing yang berkolaborasi dengan pihak swasta nasional dalam eksplorasi hasil hutan kayu nasional dan khusus di provinsi Jambi menjadikan potensi hutan alam di Jambi terus menurun. Jumlah pemegang ijin HPH yang terus menurun dari angka 30 unit di tahun 1988 menjadi 2 unit di tahun 2008 atau dari luas konsesi sekitar 256.600 hektar di tahun 1988 menjadi 45.825 hektar.