Penentuan Kawasan Hutan PEMBAHASAN

selebar-lebarnya bagi pemilik modal asing untuk ikut serta dalam mempercepat pembangunan sektor ekonomi dengan diterbitkan 3 produk hukum yakni UU Nomor 1 tahun 1967 tentang imvestasi modal asing, UU Nomor 6 tahun 1967 tentang Modal Dalam Negeri, UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan dan PP Nomor 21 tahun 1970 tentang Mekanisme Perijinan HPH yang akhirnya berdampak pada kerusakan hutan tropika Indonesia. Menyadari peranan asing sangat besar maka melalui PP Nomor 18 tahun 1975 tanggal 13 Mei 1975 dilakukan perubahan atas Pasal 9 PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang pemegang ijin HPH dibatasi pada perusahaan negara dan swasta nasional. Awalnya perijinan pengusahaan hutan diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dengan PP Nomor 64 Tahun 1957 namun dengan keluarnya PP Nomor 1 Tahun 1970 ini mencabut wewenang Pemerintah Daerah atas perijinan pengusahaan hutan berupa : 1. Izin Konsesi Hutan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 20 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 10.000 ha. 2. Izin persil penebangan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 5 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 5.000 ha. 3. Izin penebangan, yaitu untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu selama-lamanya 2 tahun. Pelibatan pihak asing dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tersebar merata di seluruh nusantara. George Pasific dan Wayerhouse dari Amerika Serikat di Kalimantan Timur, Mitsubishi, Sumitomo dan Shin Asahigawa dari Jepang, dari Korea Selatan terdapat perusahaan Korindo dan Kodeko di Kalimantan Selatan dan Papua. Dari Perancis International Forest Asiatique IFA di Jambi dan dari Singapura kelompok Sambu Hurst 1990 diacu dalam Hidayat 2008. Pelibatan pihak asing yang berkolaborasi dengan pihak swasta nasional dalam eksplorasi hasil hutan kayu nasional dan khusus di provinsi Jambi menjadikan potensi hutan alam di Jambi terus menurun. Jumlah pemegang ijin HPH yang terus menurun dari angka 30 unit di tahun 1988 menjadi 2 unit di tahun 2008 atau dari luas konsesi sekitar 256.600 hektar di tahun 1988 menjadi 45.825 hektar. Selain unsur kepemilikan perusahaan, masalah ketimpangan pendapatan ikut mempengaruhi sehingga terjadi penyerobotan lahan dan pungutan-pungutan kompensasi lainnya oleh masyarakat. Menurut Syahza 2004, masuknya HPH memberikan kesempatan kerja semakin besar, namun tidak untuk masyarakat lokal. Sebagian besar mata pencaharian penduduk sekitar areal kegiatan HPH adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Jenis tanaman pangan yang diusahakan, antara lain ubi-ubian, jagung, kacang dan sayuran. Sedangkan jenis tanaman perkebunan yang banyak diusahakan adalah karet, kelapa sawit, dan kelapa. Luas areal pertanian masyarakat pada umumnya kecil dari 0,5 Ha. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat lokal, yaitu Rp 632.253,00 per KK per bulan. Sementara, tingkat pendapatan masyarakat pendatang relatif tinggi, sehingga ketimpangan pendapatan cukup tinggi dengan Gini Rasio sebesar 0,443404. Kegiatan HPH menyebabkan berkurangnya pemilikan lahan bagi masyarakat lokal, sering terjadi konflik antara masyarakat pendatang maupun dengan pihak perusahaan HPH. Konflik timbul karena masalah perebutan lahan dan kegiatan illegal loging. Masalah penurunan potensi kayu di hutan lebih dipengaruhi oleh teknik penebangan yang diterapkan. Praktek penebangan hutan di Indonesia selama ini masih disebut dengan conventional logging CL. Meski telah diperkenalkan teknis penebangan yang beresiko rendah pada lingkungan. Elias 2009 menjelaskan bahwa bila dibandingkan persentase kerusakan tegakan tinggal oleh conventional logging CL dan RIL, RIL mampu menurunkan resiko kerusakan ketika eksploitasi hasil hutan itu terjadi. Di tingkat semai kerusakan disebabkan oleh penerapan CL mencapai 33,47 sedangkan RIL mencapai 17,65 dengan rasio -44,27, sedangkan pada tingkat sapling kerusakan dengan CL mencapai 34,93 dan RIL mencapai 19,59 dengan rasio -43,92. Kerusakan pada tingkat tiang dan pohon dengan sistem CL mencapai 40,42 dan RIL mencapai 19.08 atau rasio mencapai -52,79. Selain itu, bila dilihat keterbukaan wilayah akibat penebangan dengan sistem CL mencapai 11,1 sedangkan RIL mencapai 7,65 dan keterbukaan areal akibat penyaradan dengan CL mencapai 8,73 sedangkan RIL mencapai 5,21 atau rasionya mencapai -40,32.