IncomeREDDHP Model Dynamic of Forest and Land Use Change and Carbon Trade Scenario in Jambi.

RINGKASAN LUTFY ABDULAH. Model Dinamika Perubahan Hutan dan Lahan dan Skenario Perdagangan Karbon di Provinsi Jambi. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO and DODIK RIDHO NURROCHMAT. Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70 dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24 selama periode tahun 1990 hingga 2004. Menurut FAO 2010, cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000 sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299 juta ton, tahun 2010 sebesar 13.017 juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta tonhektar. Deforestasi hutan Indonesia berdampak pada penurunan PDB Product Domestic Bruto kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997 proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56 namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18. Tahun 2008 mencapai 0,81 Kemenhut 2009 dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85 atau Rp. 4.433,3 Milyar Kemenhut 2010. Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Penelitian ini bertujuan untuk menduga laju deforestasi dan degradasi hutan di provinsi Jambi. Sub tujuan yang ingin dicapai adalah dinamika kebijakan penggunaan kawasan hutan, simulasi interaksi aktor dengan kawasan hutan, nilai ekonomi REDD+ pada masing-masing fungsi hutan dan kombinasi fungsi kawasan hutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendugaan deforestasi dan degradasi hutan secara historis dengan bersumber pada data pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Pendugaan laju deforestasi dan degradasi hutan menggunakan metode IPCC tahun 2006 volume 4. Terdapat 4 kebijakan utama yang mengatur penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan, yakni pinjam pakai kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan alih fungsi. Setiap stakeholder baik itu di pusat maupun di daerah memegang perannya masing- masing. Setiap stakeholder saling berinterasi dan bergantung satu sama lain. Ketika stakeholder kunci tidak dapat memainkan perannya maka tidak akan ada perubahan pada penggunaan kawasan tersebut. Isu REDD+ sangat dikenal oleh pengambil keputusan di pemerintah daerah Provinsi Jambi, namun tidak dengan pimpinan pada level yang rendah dan staf. Hal ini menyulitkan pada komunikasi kebijakan dengan masyarakat. Luas kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 412Kpts-II1999 adalah 2.179.440 hektar atau 42,73 luas daratan yang telah mengalami deforestasi mencapai 45.571 hektartahun. Luas kawasan hutan lindung mencapai 191.130 hektar terdeforestasi mencapai 3.140 hektartahun, kawasan hutan produksi 1.312.190 hektar mengalami deforestasi mencapai 34.147 hektartahun. Luas hutan konservasi mencapai 676.130 hektar mengalami deforestasi mencapai 5.942 hektartahun. Melalui REDD+ diharapkan mampu mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu skenario yang ditawarkan adalah moratorium ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana BAU. Bila moratorium ijin sebanyak 30 dari BAU maka laju deforestasi akan menurun menjadi 41.256 hektartahun. Bila moratorium ijin sebanyak 50 dari BAU maka dapat menurunkan laju deforestasi menjadi 37.991 hektar dan Bila moratorium ijin sebanyak 70 dari BAU akan menurunkan laju deforestasi mencapai 25.997 hektartahun. Penerapan skema REDD+ pada taraf 30, 50 dan 70 diharapkan akan memberikan dampak positif pada penerimaan usaha kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan no. P.36Menhut-II2009, dilakukan simulasi pendapatan dan biaya transaksi yang harus timbul ketika skema REDD+ dijalankan. Bila waktu proyek REDD adalah 30 tahun dengan harga Cton adalah 5 US dan verifikasi dan validasi dilakukan selama 5 tahun. Rata-rata income REDD+ selama periode untuk standar CCB bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebanyak 30 adalah -0,42 milyar US, -0,68 milyar US untuk standar Carbon Fix dan -0,74 milyar US untuk standar Plan Vivo. Pada standar VCS AFOLU, income REDD+ 30 mencapai -0,78 milyar US. Penerapan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebesar 50 tidak memberikan income yang positif. Income REDD+ akan positif bila penerapan REDD+ 70. Bila standar CCB carbon, community and biodiversity yang diterapkan akan memberikan income REDD+ sebesar 1,36 milyar US. Standar Carbon Fix CF akan memberikan income REDD+ sebesar 0,93 milyar US. Standar Plan Vivo PV akan memberikan income REDD+ sebesar 1,01 milyar US. Penerapan standar VCS AFOLU akan memberikan income REDD+ sebesar 1,06 milyar US. Dengan demikian, standar yang memberikan income REDD+ tertinggi adalah standar CCB. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan konservasi dilakukan sebesar 30 maka kombinasi yang dapat memberikan income REDD+ positif dengan hutan produksi sebesar 70 yakni sebesar 136 juta US. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan lindung sebesar 30 akan memberikan income REDD+ yang positif jika dikombinasikan dengan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 70. Income REDD+ akan mencapai 83 juta US. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 30, maka tidak akan memberikan income REDD+ positif meski dengan kombinasi hutan konservasi atau hutan lindung sebesar 70. Income REDD+ akan sangat tinggi bila dikombinasikan antara skenario REDD+ 70 di hutan konservasi dan hutan produksi. Nilai income REDD+ mencapai 2,63 milyar US setiap periode 5 tahun. Penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan salah satunya disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan atas dasar faktor biofisik di lapangan tanpa memperhitungkan aspek sosial dan ekonomi. Pemberian ijin usaha pertambangan yang tidak disertai ijin pinjam pakai kawasan hutan mengakibatkan negara mengalami kerugian mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahunnya. Selain itu, pemberian ijin HPH dan HTI serta perkebunan, dapat meningkatkan perubahan luas kawasan hutan. Namun, timbul dampak positif dari sektor sosial ekonomi dari HTI, HPH dan kebun. Penetapan skenario moratorium 30, 50