Deforestasi dan Degradasi Hutan Jambi

Gambar 17. Cadangan Karbon pada tahun 2005 ICRAF 2010 Dari set gambar di atas, terlihat bahwa di tahun 1990, cadangan karbon sebesar 1000 – 100.000 tonha dan lebih dari 1.000.000 tonha tersebar merata dan hanya sedikit sekali cadangan karbon yang kurang dari 7,5 – 10 tonha. Sebaliknya terjadi pada kondisi tahun 2000 dan di tahun 2005 sebaran cadangan karbon lebih dari 1000 tonha semakin sedikit dan sebaliknya didominasi oleh cadangan karbon kurang dari 7,5 – 10 tonha. Sisa cadangan karbon yang ada di tahun 2005 hanya terdapat di daerah gambut dan taman nasional Kerinci Seblat. Perubahan cadangan karbon yang sangat signifikan ini menunjukkan bahwa neraca potensi tegakan hutan di Jambi terus menurun. Penurunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal sebagai driven deforestation factor seperti HPH, HTI, Perkebunan, Transmigrasi, Pertambangan dan ijin-ijin lainnya untuk keperluan pembangunan sektor non-kehutanan serta bentuk pembukaan lahan dengan sistem tebas dan bakar. Pendugaan perubahan cadangan karbon di atas didasarkan pada perubahan penggunaan lahan di Provinsi Jambi. ICRAF 2010 menunjukkan perubahan penggunaan lahan pada tiga periode waktu sebagai berikut. Gambar 18. Kondisi penggunaan lahan tahun 1990-an ICRAF 2010 Gambar 19. Kondisi penggunaan lahan tahun 2000-an ICRAF 2010 Gambar 20. Kondisi penggunaan lahan tahun 2005 ICRAF 2010 Terlihat bahwa Gambar 18 menunjukkan kondisi penggunaan lahan Jambi tahun 1990-an hutan virgin masih sangat luas dan kondisi gambut yang masih luas yang ditunjukkan dengan warna ungu. Namun hal ini berubah di tahun 2000-an, tutupan hutan virgin menurun serta telah terjadi pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah gambut. Di tahun 2005, menunjukkan kondisi yang lebih khususnya di gambut yang semakin menurun.

5.4 Pemahaman stakeholder tentang REDD

Isu emisi dari sektor penggunaan lahan yang telah menyumbang emisi antara 18-20 emisi gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi perhatian utama melalui skema perdagangan karbon REDD. Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi 26 dari sektor penggunaan lahan di tahun 2020 dan bila ada dukungan internasional maka tekad tersebut akan ditingkatkan menjadi 41. Untuk sektor kehutanan dibebankan 14 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Sesuai dengan Siaran Pers Kemenhut Nomor S.59PIK-12010 tanggal 1 Februari 2010 bahwa penetapan pencadangan Hutan Tanaman Rakyat HTR, Hutan Kemasyarakatan HKm, Hutan Rakyat dan Hutan Desa sebagai salah satu upaya sektor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi karbon sebesar 14 dari target yang ditetapkan Presiden RI sebesar 26 pada 2020. Program mitigasi sektor kehutanan ini fokus pada penyerapan CO 2 melalui penanaman pohon seluas 500 ribu hatahun melalui Hutan Kemasyarakatan HKm dan Hutan Desa, 300 ribu hektar Rehabilitasi Hutan dan Lahan RHL di Daerah Aliran Sungai DAS super kritis, 500 ribu hektar pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI dan Hutan Tanaman Rakyat HTR, 300 ribu hatahun HPH Restorasi Ekosistem dan 50 ribu hektar Hutan Rakyat Kemitraan dengan industri perkayuan. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga meningkatkan pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, perambahan hutan dan pengurangan laju konversi hutan. Suatu perhatian yang perlu diuji di level pelaksanaan program pemerintah di daerah dalam hal ini Provinsi Jambi. Pengujian dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Jambi, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi. Wawancara ditekankan pada pengambil kebijakan atau yang mewakili pada masing-masing institusi untuk dievaluasi pengetahuan dan pemahaman pengambil kebijakan terhadap program REDD. Evaluasi yang dilakukan di Dinas Kehutanan Provinsi Jambi adalah pemahaman keberadaan target penurunan emisi dari skema REDD hanya berada pada level pimpinan yakni pada level eselon III dan II. Inisiatif-inisiatif penentuan penggunaan lahan belum dilakukan dan masih menunggu kebijakan atau pedoman pemerintah pusat. Namun untuk menanggulangi laju penurunan luas dan potensi hutan telah dikembangkan pola budidaya tegakan hutan yakni penanaman buffer zone sekitar kawasan hutan di APL dengan tanaman jelutung dan karet, membuat demplot HTR, pendampingan HTR dengan dana APBD dan OMOT one man one tree . Untuk kegiatan OMOT dilakukan beberapa kegiatan seperti Pembagian bibit gratis untuk ditanam di tempat kosong, di RT-RT, ada kebun bibit dan Tanaman Unggulan Lokal TUL seperti jernang, jelutung, bulianulin dan meranti yang semuanya memiliki persemaian atau dibeli dari masyarakat. Selain itu Dinas Kehutanan Provinsi Jambi telah memiliki kebun tanaman hutan yang disebut Kenali Asam yang berada di Km 11 dengan luas mencapai 10,25 hektar. Untuk mengakses wilayah ini maka pengunjung harus membayar retribusi. Selain itu terdapat juga kebun raya bukit sari dengan luasan mencapai 425 hektar yang dikelilingi oleh kebun sawit. REDD dianggap sebagai suatu program yang positif dan mampu untuk menjaga keberadaan hutan dan potensinya. Namun penekanan yang diharapkan adalah tindakan manajemen hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat sekitar hutan. Karena bila masyarakat di sekitar hutan tidak diperhatikan maka kebocoran atas kredit karbon yang diproyekkan akan terjadi dan bisa saja target penurunan emisi akan gagal. Untuk menyukseskan REDD, terdapat beberapa institusi yang menurut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dapat diajak bekerjasama yakni UPTD Dinas Kehutanan, UPT Kementerian dan Dinas Perkebunan. Sedangkan Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral di Kabupaten dianggap sebagai institusi yang sering mengeluarkan ijin yang tidak memperhatikan peruntukan dan penunjukan kawasan hutan sehingga terkadang terdapat ijin pertambangan yang dikeluarkan di dalam kawasan hutan. Dinas Energi dan sumberdaya mineral merupakan stakeholder lain yang perlu dievaluasi terkait dengan dampak pelaksanaan REDD terhadap usaha pertambangan. Hasil yang ditemukan adalah pemahaman REDD belum memadai namun pemahaman pemulihan areal bekas tambang sebagai konsekuensi pembukaan lahan pertambangan cukup baik. Demikian juga pemahaman akan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Batubara dan Mineral serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain kedua produk hukum tersebut terdapat produk hukum lainnya yang membatasi usaha pertambangan yakni UU no 26 tahun 2007 dan UU Nomor 41 tahun 1999. Dukungan terhadap perlindungan lingkungan hidup adalah melalui penertiban kegiatan reklamasi lahan pasca tambang serta jaminan bank atas dana reklamasi sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan. Namun yang menjadi permasalahan lanjutan adalah institusi apa yang lebih bertanggung jawab dalam mengontrol areal bekas tambang dan apa sanksi atas pelanggaran bila reklamasi areal bekas tambang tidak dapat mengembalikan tutupan lahan? Hal ini yang sampai kini masih menjadi masalah klasik yang menurunkan potensi dan luas hutan Indonesia. Permasalahan lain yang ditemui adalah dari sejumlah ijin yang diterbitkan baik oleh Bupati atau Gubernur hanya terdapat 1 ijin pertambangan yang telah mendapatkan ijin pinjam pakai kawasan seluas 5.243 hektar diantaranya 3.106 hektar terdapat di dalam kawasan hutan dan 2.136,75 hektar di luar kawasan hutan. Padahal luas wilayah pertambangan yang telah diajukan dan mendapatkan ijin Bupati atau Gubernur Jambi adalah seluas 97.047 hektar dengan jumlah pemegang ijin 18 unit usaha dan yang terdapat di dalam kawasan hutan mencapai 43.978,5 hektar atau mencapai 45 dari luas areal usaha dan yang terdapat di luar kawasan hutan mencapai 47.187,75 hektar atau mencapai 49 dari luas areal usaha.

5.5 Model Dinamika Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan

5.5.1 Organisasi bentang alam

Penggunaan kawasan hutan didefinisikan sebagai peruntukan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan sektor bukan kehutanan seperti pemukiman transmigrasi, tambang dan kebun. Perubahan peruntukan lahan dapat dilakukan dengan prosedur pinjam pakai kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan. Luas kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 421Kpts-II1999 tanggal 15 Juni 1999 sebagaimana tabel 14. Luas hutan negara mencapai 2.179.440 hektar atau 43 dari luas daratan provinsi Jambi. Bila diasumsikan bahwa luas kawasan hutan sifatnya statis dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan stakeholder lain untuk memenuhi kebutuhan lahan dan potensi sumberdaya alam maka luas kawasan hutan dapat diproyeksikan tetap, yakni luas kawasan hutan konservasi tetap 676.120 hektar, luas kawasan hutan lindung 191.130 hektar, luas kawasan hutan produksi 1.312.190 hektar dan kawasan areal penggunaan lain 2.920.560 hektar gambar 21. LUAS DARATAN JAMBI KAWASAN HUTAN BUKAN KAWASAN HUTAN TETAP TIDAK TETAP APL KONSERVASI LINDUNG PRODUKSI PRODUKSI KONVERSI H NH H NH H NH H NH COMMUNITY LOGGING LADANG PEMUKIMAN HPH HTI KEBUN KETERANGAN: NH : TIDAK BERTUTUPAN VEGETASI HUTAN H : BERTUTUPAN VEGETASI HUTAN : TERDIRI ATAS : STOCK Gambar 21. Organogram bentang alam provinsi Jambi Luas lahan pertanian lebih besar dibandingkan dengan luas kawasan hutan tetap. Lebih dari 50 luas daratan dialokasikan untuk usaha pertanian. 17 dari luas daratan dipertahankan sebagai kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung. Interaksi stakeholder pada lahan ini akan semakin kecil terbatas pada pemanfaatan jasa lingkungan dan bukan produksi hasil hutan kayu Tabel 18. Tabel 18. Luas Hutan Menurut Paduserasi dan TGHK Luas hutan menurut paduserasi dan TGHK Luas Ha 1. Suaka alam 30.400 a. Cagar Alam b. Suaka Margasatwa c. Cagar Biosfer 3.940 - 26.460 2. Hutan pelestarian alam 648.720 a. Taman Nasional b. Taman Hutan Raya c. Taman Wisata d. Hutan Diklat 608.630 36.660 430 3000 3. Hutan Lindung 191.130 a. Hutan lindung b. Hutan Lindung Gambut 105.550 85.630 4. Hutan Produksi a. HP terbatas 340.700