Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD

serta konflik antara satwa dan manusia. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberlakukan moratorium logging adalah “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera” melalui tiga program pokok, yakni redesign, reforestrasi, dan reduksi laju deforestrasi Gumay 2008. Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m 3 kayu bulat tiap tahunnya. Sayangnya, hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m 3 , dua kali lipat kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar adalah akibat dari ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin meluluhlantakkan hutan kita. Tercatat total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m 3 , yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 Syumada 2010. Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan. Bila kebijakan pemenuhan kebutuhan kayu mengimpor, akan sangat mempengaruhi nilai investasi yang diperlukan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp. 75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH Hak Pengusahaan Hutan dan 77 perusahaan HTI Hutan Tanaman Industri Effendi 2009. Lebih lanjut Effendi 2009 menjelaskan bahwa Luas hutan alam yang terdapat di areal konsesi 187 perusahaan-perusahaan HPH dan HTI tersebut mencapai 7,58 juta hektar, dan perusahaan-perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu dan konversi hutan alam seluas 1,84 juta hektar hingga 2018. Angka Rp 75,24 triliun adalah nilai penjualan kayu dari rencana eksploitasi kayu oleh 187 perusahaan HPH dan HTI tersebut hingga 2018 nanti yang mencapai 79,69 juta m 3 . 2. Penerapan RIL RIL Reduced Impact Logging adalah suatu kebijakan pemanenan hutan dengan meminimalkan resiko kerusakan pada tegakan tinggal dan tapak serta untuk menjaga potensi di hutan. RIL merupakan suatu pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dalam pemanenan kayu. RIL dapat menyimpan lebih dari 30 ton karbon per hektar. Penerapannya pada 30 juta ha areal HPH hutan alam di Indonesia berpotensi untuk mengurangi lebih dari satu milyar ton emisi CO 2 Wardojo 2009. Aplikasi RIL dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia tidak dapat berjalan baik. Ada 7 faktor yang mempengaruhi implementasi RIL, yakni 1 kepastian lahan, 2 klaim lahan oleh masyarakat, 3 illegal logging, 4 konflik penggunaan lahan, 5 tidak ada dukungan manajemen, 6 pelatihan yang kurang memadai, dan 7 masalah sumberdaya manusia serta biaya tambahan implementasi yang terlalu tinggi. Dua faktor yang sangat mempengaruhi adalah investasi tambahan untuk meningkatkan teknologi dan tidak adanya dukungan dari pemerintah Priyadi 2007. Tanpa kepemimpinan yang kuat, manejer di level tengah yang progresif maupun pekerja lapangan dan pengawasan yang memiliki sedikit insentif untuk mengubah status quo dapat mengakibatkan kegagalan implementasi RIL. Smith dan Applegate 2001 diacu dalam Priyadi 2007, illegal logging dan konversi hutan yang tidak terencana sebagai faktor penghambat pelaksanaan RIL. Enters et al 2001 diacu dalam Puts, et al 2008 menjelaskan bahwa Barney Chan dari Sarawak Timber Association Malaysia menjelaskan akronim RIL adalah reduced income logging karena dalam pelaksanaan RIL reduced impact logging membutuhkan investasi yang tinggi baik teknologi maupun sumberdaya manusia serta dibutuhkan dukungan implementasi kebijakan. Healey et al 2000; Smith et al 2006 diacu dalam Puts et al 2008 menjelaskan bahwa bila RIL ditujukan untuk mengurangi area tebangan dan tidak mendapatkan dukungan aturan yang tegas seperti di daerah tropis maka akan menurunkan pendapatan pemilik HPH apalagi dengan suku bunga yang tinggi. Sangat tidak mudah menjelaskan bahwa mengapa RIL tidak efektif berjalan dibandingkan dengan CL dari sisi performasi finansial, karena banyak faktor yang mendasari kelangsungan kebijakan ini. Harga produk, sumberdaya manusia, kondisi hutan, upah tenaga kerja dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keuntungan dalam bisnis operasi HPH di tropis merupakan hal-hal mendasar yang mempengaruhi implementasi RIL Put et al 2008. Beberapa penelitian juga menyimpulkan bahwa sebenarnya RIL tidak menjamin kelangsungan produksi hasil yang akan meningkat pada siklus berikutnya. Sist dan Fereira 2007 diacu dalam Puts et al 2008 menjelaskan bahwa panen awal di hutan dataran rendah basah Brazil mencapai 21 m 3 ha namun setelah 30 tahun kemudian hasil yang akan ditebang hanya 50 dari volume awal. Dauber et al 2005 diacu dalam Puts et al 2008 meramalkan bahwa setelah pemanenan hanya terdapat 11,8 m 3 ha dari hutan liana di Amazon Bolivia dengan RIL dan pada siklus tebang 25 tahun kemudian hanya akan dipanen 21 dari volume tebangan awal. RIL juga gagal mencapai tujuan silvikultur kelestarian hasil di hutan namun mampu mereduksi 50 kerusakan tegakan, menjaga biodiversitas dan fungsi ekosistem Puts et al 2001 diacu dalam Puts et al 2008. Klassen 2010, hambatan adopsi sistem RIL di Indonesia dapat diklasifikasikan atas dua faktor, yakni faktor eksternal yaitu 1 efektivitas pelaksanaan regulasi dan monitoring operasional di hutan yang tidak pernah dilakukan dengan baik dan masih banyak ketidakpastian batasan yuridiksi desentralisasi di Indonesia, 2 masalah tenurial yang tidak pasti, 3 kurangnya penegakan aturan sehingga seakan-akan membiarkan perusahaan pemegang hak konsesi untuk memanipulasi pelaksanaan pengelolaan hutan yang terkesan lestari, 4 masih terdapat ijin pemanenan hutan tanpa persyaratan silvikultur yang berarti atau kontrol aturan, 5 penegasan hak masyarakat lokal untuk lahan hutan dan konversi ke bukan hutan atau menjual hak mereka ke pelaku bisnis lainnya, 6 aktivitas penebangan liar dan tidak disahkan dengan aturan. Faktor internal yang mempengaruhi yakni 1 kesalahan persepsi, 2 ketidakpahaman, 3 petunjuk teknis RIL yang tidak jelas, 4 defisiensi kemampuan teknis dan 5 ketidakmampuan menggunakan alat.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pendekatan Masalah

Pelaksanaan pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini BAU mengakibatkan menurunnya luas kawasan hutan dan tutupan bervegetasi hutan. Tercatat bahwa periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2020, emisi yang terjadi dengan kegiatan BAU setiap tahunnya mencapai 1,24 Gt CO 2 e dan kemampuan untuk mitigasi emisi hanya mencapai 0.71 CO 2 e dan laju deforestasi dari tahun 2003-2006 mencapai 1,089 hatahun. Deforestasi disebabkan permintaan lahan hutan untuk transmigrasi dan perkebunan serta konversi untuk lahan budidaya tanaman semusim baik secara legal maupun illegal yang terus meningkat. Degradasi hutan disebabkan oleh permintaan kayu yang semakin tinggi dan tidak diikuti potensi hutan alam yang memadai sehingga perlu penanaman hutan tanaman industri di areal bekas HPH atau konversi hutan alam. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 2009 mencatat bahwa realisasi penanaman HTI selama tahun 2009 hanya mencapai 35 dari target luas yang harus ditanam. Pembukaan hutan alam untuk kepentingan HTI tanpa diikuti penanaman maka akan mengakibatkan hilangnya cadangan karbon di kawasan hutan alam tersebut. Perubahan luas kawasan hutan dan tutupan kawasan berhutan dapat mempengaruhi cadangan karbon yang ada pada kawasan tersebut. Perubahan cadangan karbon dapat mengurangi serapan karbon oleh tegakan hutan meski karbon tersebut tersimpan dalam bentuk lain. Kepentingan stakeholder akan hasil hutan kayu dan lahan sangat beragam. Stakeholder Dinas Kehutanan Provinsi Jambi memainkan peran yang nyata dalam mengendalikan perubahan luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebijakan untuk mengakomodir kepentingan stakeholder lain selain kehutanan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan negara mengakibatkan hilangnya cadangan karbon. Alokasi lahan untuk perkebunan dan HTI tidak secara langsung menunjukkan nilai emisi namun konversi ini mengakibatkan berkurangnya cadangan karbon di hutan. Perubahan cadangan karbon dapat dikendalikan dengan memanfaatkan cadangan karbon untuk serapan CO 2 bebas di atmosfer. REDD+ merupakan salah satu skema perdagangan jasa lingkungan yang dapat meningkatkan cadangan karbon dan ekonomi masyarakat. Keterangan : : Pengaruh Langsung : Pengaruh Tidak Langsung Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Provinsi Jambi, pada bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010.

3.3 Alat dan Bahan

Alat Dalam penelitian ini akan menggunakan program komputer Stela 9.0.1, kuesioner, Ms. Excel dan ArcView 3.2 Bahan Peta tutupan lahan, peta laju deforestasi, laporan ekonomi, Statistik Kehutanan, Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan kawasan .

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Metode Pengumpulan Data a. Pengumpulan Data Primer Menggunakan kusioner untuk mengukur persepsi stakeholder tentang pengelolaan hutan dan isu REDD, meliputi: 1 Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah 2 Peran masyarakat lokal 3 Peran lembaga non pemerintah, akademisi dan bisnis b. Pengumpulan Data Sekunder Melakukan pengumpulan data hasil dan rencana manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan akan datang yang meliputi : a. Data penggunaan kawasan hutan, yang mengurai tentang : 1 Data perubahan fungsi kawasan hutan; 2 Data pelepasan kawasan hutan 3 Data pinjam pakai kawasan 4 Data tukar menukar kawasan b. Data pemanfatan kawasan hutan, yang mengurai tentang: 1 Data pemegang hak konsesi HPH 2 Data pembangunan HTI c. Luas Rehabilitasi Hutan dan Lahan