Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan
Tabel 1. Nilai Karbon terikat terhadap kandungan biomasa No. Tipe hutanjenis pohon
Persen Karbon Terikat
Sumber Pustaka 1.
Mangrove 19.00 – 47.00
Hilmi 2003 diacu dalam
Widyasari 2010 2.
Hutan Kerangas, Kalimantan Barat
19.00 – 27.00 Onrizal 2004
3. Acacia mangium, Sumatera
Selatan a. Areal Bekas Tebangan
b. Areal Bukan Bekas Tebangan
14.70 – 28.80 14.40 – 28.40
Ismail 2005 diacu dalam
Widyasari 2010
4. Pohon Puspa, Sumatera Selatan
a. Kelas diameter 2 – 10 cm b. Kelas diameter 10 – 20 cm
c. Kelas diameter 20 cm 31.53
28.51 33.54
Salim 2005 diacu dalam
Widyasari 2010
5. Acacia crassicarpa
, Sumatera Selatan
a. Umur 2 tahun b. Umur 4 tahun
c. Umur 6 tahun 15.21
18.69 17.63
Limbong 2009 diacu dalam
Widyasari 2010
6. Hutan Gambut bekas tebangan
Sumatera Selatan 13.7 – 22.99
Novita 2010 7.
Hutan gambut bekas terbakar a. Kelas diameter 2-10 cm
b. Kelas diameter 10-20 cm c. Kelas diameter 20 cm
17.7 16.83
16.99 Widyasari 2010
Tabel di atas menunjukan bahwa presentasi karbon terikat pada biomasa pohon tidak merupakan setengah dari biomasa pohon sebagaimana disampaikan
oleh Brown. Hal ini sangat mempengaruhi pendugaan nilai karbon pada suatu jenis peruntukan lahan. Widyasari 2010 menyebutkan bahwa perbedaan
pendugaan karbon terikat pada biomasa dengan hasil penelitian Brown 1997 karena Brown 1997 tidak menggunakan pendekatan perhitungan kadar abu
seperti penelitian yang dilakukan sebagaimana tabel di atas. Hygreen dan Bowyer 1993 diacu dalam Aminudin 2008, sepotong kayu terdiri atas 49 unsur C,
6 unsur H dan 44 unsur O serta 0.1 abu. Kandungan biomasa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar
68,08-82,28 terdapat di batang, di daun terdapat 4,17-14,44, di ranting terdapat 6,16-10,32 serta 7,15-7,45 terdapat di cabang Widyasari 2010.
Pendugaan cadangan karbon berkorelasi positif dengan nilai transaksi perdagangan karbon dan sangat mempengaruhi rekomendasi untuk partisipasi
dalam pemanfaatan jasa lingkungan karbon. Berdasarkan ketelitian dan ketersediaan data, IPCC 2006 mengklasifikasikan metode pendugaan karbon
dalam 3 tiga tingkat ketelitian yang disebut dengan tier. Semakin tinggi angka tier
yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon, data yang digunakan semakin rumit dan lengkap sehingga hasilnya semakin teliti. Metode tier 1
dirancang untuk penggunaan sederhana dalam menduga cadangan karbon, dengan mengalikan nilai cadangan karbon yang telah ditetapkan dengan luas peruntukan
lahan maka dapat diketahui cadangan karbon yang terdapat pada suatu peruntukan lahan. Tier 2 dapat menggunakan pendekatan metodologi yang sama seperti
tier 1 tetapi angka-angka yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon
menggunakan data spesifik pada satu negara atau wilayah tertentu ditambah faktor yang mempengaruhi pengambilan karbon. Tier 3, menggunakan model dan teknik
pengukuran disesuaikan untuk mengatasi keadaan nasional, berulang dari waktu ke waktu, dan didorong oleh resolusi data yang tinggi. Metode ini memberikan
estimasi kepastian lebih besar dari tingkatan yang lebih rendah. Pemilihan metode pendugaan cadangan karbon bergantung pada ketersediaan dan ketelitian
pengumpulan data. Perubahan gas-gas rumah kaca di sektor AFOLU agriculture, forestry and
other land use dapat diduga dengan 2 cara yakni 1 perubahan bersih karbon
stok pada suatu periode waktu tertentu dan 2 laju perubahan aliran CO
2
ke dan dari atmosfer. Besarnya serapan CO
2
dari atmosfer bergantung pada kerapatan biodiversitas tumbuhan yang melakukan fotosintesis dan menyimpan hasilnya
dalam bentuk biomasa. Sebagian besar CO
2
dipindahkan dari atmosfer ke ekosistem daratan melalui fotosintesis dan respirasi. Serapan CO
2
melalui fotosintesis sering disebut dengan gross primary product GPP. Setengah dari
GPP akan terlepas kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan yang tersisa pada tubuh tumbuhan disebut sebagai net primary production NPP yakni total
produksi biomasa tumbuhan dan bahan organik mati dalam satu tahun IPCC 2006.