Nomor  P.4Menhut-II2009  Tentang  Penyelesaian  Hak  Pengusahaan  Hutan Tanaman Industri Sementara.
HPHTI sementara yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, akan  dialihkan  menjadi  Ijin  Usaha  Pemanfaatan  Hasil  Hutan  Kayu  pada  Hutan
Tanaman Industri IUPHHK-HTI dengan definisi yakni Izin Usaha Pemanfaatan Hasil  Hutan  Kayu  IUPHHK  pada  Hutan  Tanaman  Industri  dalam  Hutan
Tanaman  pada  Hutan  Produksi  yang  selanjutnya  disingkat  IUPHHK-HTI  yang sebelumnya  disebut  Hak  Pengusahaan  Hutan  Tanaman  HPHT  atau  Hak
Pengusahaan  Hutan  Tanaman  Industri  HPHTI  atau  Izin  Usaha  Pemanfaatan Hasil  Hutan  Kayu  pada  Hutan  Tanaman  IUPHHK-HT  adalah  izin  usaha untuk
membangun  hutan  tanaman  pada  hutan  produksi  yang  dibangun  oleh  kelompok industri  untuk  meningkatkan  potensi  dan  kualitas  hutan  produksi  dalam  rangka
memenuhi kebutuhan bahan baku industri Kemenhut 2009. Konversi hutan alam menjadi HTI mengakibatkan simpanan karbon di hutan
menurun.  Bila  hutan  alam  terdapat  348  tonha  dan  HTI  yang  dibangun  adalah Eucaliptus  urograndis
dengan  daur 5  tahun  sebesar  157  tonha  maka  penurunan cadangan karbon mencapai 191 tonha. Konversi  ini tentunya berdampak negatif
pada  simpanan  namun  berdampak  positif  bagi  serapan.  Bila  hutan  alam  adalah hutan  klimaks  maka  nilai  serapan  menjadi  nol.  Penanaman  HTI  meningkatkan
serapan mencapai 157 dikalikan masa molekul CO
2
atau 4412 atau sama dengan 575,67 tonha.
Pemanenan HTI tidak serta merta mengakibatkan seluruh simpanan karbon hilang. Namun, simpanan  karbon dialihkan dalam bentuk  lain dan bukan  karbon
yang tersimpan di hutan. Bila biomasa yang termanfaatkan adalah ½ dari biomasa tegakan  di  hutan,  maka  rotasi  berikutnya  simpanan  karbon  yang  ada  akan
mencapai 157 tonha + 157 x 12  atau sama dengan 235 tonha. Bila ijin usaha HTI adalah 20 tahun maka simpanan karbon yang telah dibangun adalah sebanyak
1.727 tonha. Pertumbuhan biomasa HTI disajikan pada Gambar berikut.
Gambar 28. Pertumbuhan Biomasa HTI
Gambar  di  atas  menunjukan  bahwa  selama  ijin  HTI,  pembangunan  hutan tanaman  ini  telah  meningkatkan  simpanan  biomasa  baik  yang  terdapat  di  hutan
maupun  yang  telah  dikelola  untuk  kepentingan  pemenuhan  bahan  baku  industri. Bahwa  pertumbuhan  hutan  tanaman  akan  terus  meningkat  dan  nilai  serapannya
pun  lebih  baik.  Untuk  mengoptimalkan  nilai  simpanan dan  serapan  karbon  pada HTI,  perlu  teknik  manajemen  lahan  dan  pengaturan  waktu  tanam  yang  tepat
sehingga tidak hanya berfungsi untuk simpanan karbon namun dapat memperkecil dampak ikutan yang dihasilkan dari pembukaan lahan untuk replanting HTI.
Pembukaan  lahan  merupakan  langkah  penting  dalam  menduga  besarnya sumbangan  kehilangan  simpanan  karbon  dan sumbangan  CO
2
.  Salah  satu  teknik yang baik adalah dengan cara mekanis dan menghindari sistem bakar. Penyiapan
lahan dengan sistem bakar dapat meningkatkan sumbangan CO
2
di atmosfer serta mampu memusnahkan biota tanah serta habitat makhluk lainnya. Teknik mekanis,
lebih ramah dengan sumbangan CO
2
yang minim.
50 100
150 200
250 300
350
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
B io
m a
sa T
o n
H a
Tahun
Pertumbuhan Biomasa HTI
Penebangan Dekomposisiloss
Produk Kayu
6.3.3 Kebun Perkebunan  di  Jambi  mengalami  masalah  yang  sama  dengan  tambang.
Hanya terdapat 32 dari 179 ijin usaha perkebunan IUP  yang telah diterbitkan oleh  BupatiGubernur  Jambi  yang  memiliki  HGU.  Hal  ini  tentu  saja  disebabkan
oleh interaksi oleh pengusaha dengan pemberi IUP. Pembukaan  hutan  alam  atau  hutan  bekas  tebangan  untuk  pembangunan
kebun dapat mengakibatkan kehilangan simpanan karbon lahan yang sangat besar. Yulianti 2009 menyebutkan bahwa 0.7-16.43 tonha biomasa yang tersimpan di
kebun  sawit.  Akumulasi  karbon  biomassa  terbesar  terdapat  pada  batang  kecuali pada  tanaman  kelapa  sawit  muda  karbon  biomasa  terakumulasi  pada  pelepah.
Suatu  angka  yang  sangat  kecil  bila  dibandingkan  dengan  simpanan  karbon  di hutan  alam  Jambi  yang  mencapai  348  tonha  dan  hutan  bekas  tebangan  yang
mencapai 196 tonha. Perubahan  tutupan  hutan  menjadi  kebun  atau  hutan  tanaman,  tidak  dapat
dilihat  sebagai  sifat  perusak  cadangan  karbon  hutan  alam.  Bila  kebun  dan  hutan tanaman  dibangun  di  lahan  semak  belukar  atau  lahan  alang-alang  dengan
simpanan  karbon  masing-masing  15  dan  2  tha  akan  meningkatkan  simpanan karbon tanah dan tanaman emisi karbon netto negatif. Pada tanah gambut, emisi
karbon  terjadi  karena  dekomposisi  gambut,  kebakaran  gambut  jika  ada,  dan emisi  karbon  dari  tanaman.  Rehabilitasi  gambut  terlantar  yang  ditumbuhi  semak
belukar  dengan  simpanan  karbon  15  tha,  dan  kedalaman  drainase  rata-rata 40  cm menjadi  lahan  perkebunan,  dibandingkan  dengan  konversi  hutan  gambut
dengan  simpanan  karbon  200  tha  dan  kedalaman drainase  0  meter, berpotensi menurunkan  emisi  sebesar  862  tCO
2
-eha25  tahun  34  tCO
2
-ehatahun, karena  besarnya  penurunan  kehilangan  karbon  dari  biomasa  dan  tanah  gambut.
Belukar  gambut  yang  dibiarkan  tetap  sebagai  belukar  gambut  mengemisi  sekitar 22 tCO
2
-ehatahun. Bila belukar  gambut dikonversi  menjadi  sawah,  perkebunan karet
atau perkebunan
sawit, tingkat
emisi berturut-turut
menjadi 11  tCO
2
-ehatahun,7  tCO
2
-ehatahun,  dan  30  tCO
2
-ehatahun.  Berarti  bahwa rehabilitasi  belukar  gambut  menjadi  sawah  atau  perkebunan  karet  mengurangi
emisi  berturut-turut  11  tCO
2
-ehatahun  dan  15  tCO
2
-ehatahun,  sedangkan rehabilitasi  belukar  gambut  menjadi  perkebunan  kelapa  sawit  hanya  menambah
emisi  8  tCO
2
-ehatahun,  dibandingkan  bila  belukar  gambut  diterlantarkan. Dengan  demikian,  ekstensifikasi  perkebunan  perlu  diprioritaskan  melalui
rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah mineral atau belukar gambut karena  selain  penambatan  CO
2
netto  juga  berpotensi  memperbaiki  kehidupan masyarakat  Agus  et  al  2009.  Konversi  hutan  gambut  bekas  tebangan  dan
sekunder  mengakibatkan  penurunan  cadangan  karbon  vegetasi  masing-masing sebesar 103,53 tonhatahun dan 61,02 tonhatahun Rochmayanto 2009.
Pola  deforestasi  yang  disebabkan  oleh  perkebunan,  dapat  diketahui  oleh siklus.  Sekitar  46  kebun  sawit  dikuasai  oleh  rakyat.  Dengan  siklus  hidup
30  tahun  dan  waktu  persiapan  berbuah  5  tahun  maka  pada  tahun  ke-30  akan terjadi  perbaruan  tanaman.  Bila  perusahaan  tersebut  tidak  taat  hukum  dan
cenderung  untuk  meningkatkan  pendapatan  dengan  sedikit  korbanan  waktu  dan biaya  maka  dalam  kurun  waktu  25 tahun,  perusahaan  kebun  sawit  akan  mencari
lahan baru untuk dibuka menjadi kebun. Bila hal ini dibiarkan maka perambahan lahan hutan untuk kebun akan makin tinggi.
6.4 Perdagangan Karbon dan skenario REDD
REDD  adalah  suatu  skema  kompensasi  jasa  negara-negara  berkembang dalam menjaga hutan sebagai penyerap gas-gas rumah kaca di atmosfer terutama
CO
2
. Jasa lingkungan ini terbagi atas dua yakni sebagai penyerap dan penyimpan karbon.  Hutan  dapat  berfungsi  sebagai  penyerap  jika  proses  fotosintesis  terus
berlangsung.  Dan  hutan  akan  berfungsi  sebagai  penyimpan  jika  biomasa  hutan tidak dimusnahkan dan hanya dialih bentuk ke berbagai produk berbasis biomasa.
Pendugaan kandungan karbon dalam biomasa hutan telah banyak dilakukan. Nilai  konversi  karbon  dari  biomasa  ditetapkan  oleh  Brown  adalah  setengah  dari
biomasa  pohon.  Meski  beberapa  penelitian  lain  mengatakan  berbeda. Semakin tinggi nilai konversi maka semakin tinggi nilai serapan CO
2
namun juga semakin  kecil  kemungkinan  untuk  mengeksploitasi  hutan  untuk  keperluan
pembangunan. Meski nilai serapan CO
2
tinggi, namun tidak disertai dengan tinggi nilai  jual  karbon.  Rendahnya  nilai  jual  karbon  disinyalir  sebagai  faktor
penghambat  utama  negara-negara  dengan  hutan  tropis  menjual  jasa  karbon
dibandingkan menjual kayu sebagaimana BAU. Penelitian ini dalam menentukan basis  karbon  menggunakan  skenario  BAU  bersama  dengan  basis  kredit  untuk
tanggung jawab bersama tetapi dengan tanggungan  berbeda. Metode ini dikenali dengan  pemberian  jatah  DAF  Development  Adjusment  Factor.  Untuk
menghindari  resiko  kebocoran,  maka  additionality  project dihitung  dari  baseline ditambah DAF.
Dengan  kisaran  harga  karbon  5  US  saja,  simulasi  skenario  REDD  untuk menahan  laju  penggunaan  dan  pemanfaatan  kawasan  hutan  sebanyak  30  dari
BAU masih belum memberikan income hasil usaha REDD+ yang positif. Bahkan, bila  simulasi  dilakukan  di  masing-masing  fungsi,  angka  positif  angka  terbentuk
jika  moratorium  di  atas  50.  Income  REDD  akan  positif  bila  luas  penggunaan dan  pemanfaatan  hutan  produksi  ditahan  sebanyak  70.  Hasil  simulasi
menunjukkan bahwa menaikkan harga karbon menjadi 35US tidak memberikan income
REDD+ positif bila hanya menurunkan laju penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan sebesar 30.
Namun,  bila  hutan  produksi  dilaksanakan  kebijakan  moratorium  sampai dengan  70  hanya  untuk  mendapatkan  income  REDD+,  maka  usaha  lain  yang
menggunakan kawasan ini semakin terbatas. Keterbatasan ini akan mengakibatkan menurunnya  pendapatan  secara  keseluruhan.  Selain  pendapatan  secara  makro,
pendapatan  masyarakat  yang  selama  ini  timbul  akibat  bisnis  penggunaan  hutan produksi  seperti  HPH  akan  semakin  kecil.  Bila  di  semester  2  tahun  2009
pendapatan  daerah  dari  sektor  pengusahaan  hutan  produksi  berupa  SKSHH Surat  Keterangan  Sahnya  Hasil  Hutan  mencapai  Rp.      2.175.222.101,60  dan
DR  mencapai  USD  437.220,32  atau  mencapai  Rp.  6.110.204.981,60  pada  kurs rupiah  9000  harus  dikurangi  sebanyak  70  untuk  mendapatkan  income
1,35  milyar  USD  dari  REDD+  maka  perkiraan  pendapatan  dari  pengusahaan hutan produksi kurang dari 1,8 milyar rupiah.
Pendapatan  REDD+  belum  menjawab  permasalahan  yang  selanjutnya timbul yakni tentang pasokan kebutuhan kayu untuk pembangunan dan bagaimana
usaha masyarakat  selanjutnya dengan  REDD+. Berdasarkan  BPS 2009, jumlah angkatan  kerja  provinsi  Jambi  di  tahun  2008  mencapai  1.290.854  orang.
688.541  orang  di  antaranya  bekerja  di  sektor  pertanian  dan  masih  terdapat
892  orang  yang  masih  mencari  peluang  kerja  di  sektor  ini.  Jadi,  bila  REDD+ dijalankan  dengan  skenario  kebijakan  moratorium  hutan  produksi  maka  peluang
angka  pengangguran  lebih  tinggi  dari  1.290.854  orang  mengingat  laju pertumbuhan  penduduk  di  provinsi  Jambi  mencapai  1.68.  Untuk  itu,  terkait
dengan  pelaksanaan  REDD+,  baiknya  tidak  menjalankan  kebijakan  skenario moratorium  kawasan  hutan  di  hutan  produksi,  namun  mungkin  di  hutan
konservasi  dan  hutan  lindung  dengan  asumsi  penetapan  REL  sebesar  laju kehilangan simpanan karbon di kedua fungsi hutan tersebut.
Sampai  sekarang  ini,  masih  terdapat perdebatan  tentang  metode penentuan basis atau baseline pembayaran upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan.
Menggiring deforestasi dan degradasi  hutan menjadi isu utama dalam perubahan iklim  merupakan  suatu  upaya  menyerahkan  tanggung  jawab  negara-negara
industri  yang  masuk  dalam  Annex  I  Protokol  Kyoto.  Negara-negara  Annex  I berkewajiban menurunkan tingkat emisi yang telah dikeluarkan. Penurunan emisi
dapat  ditempuh  dengan  membeli  kredit  karbon  dan  dengan  perbaikan  teknologi dan  pemanfaatan  sumberdaya  energi  fosil.  Hal  ini  kini  berbalik,  ketika
negara-negara  tersebut  mempertanyakan  basis  pembayaran  dan  ketakutan terjadinya  kebocoran  serta  tanggung  jawab  negara-negara  pemilik  hutan  untuk
membayar kompensasi atas kebocoran yang disebut dengan liability. Penurunan emisi gas rumah kaca yang telah terjadi selama ini harus menjadi
kewajiban  berdasarkan  sumbangan  emisi.  Secara  sederhana,  penentuan  basis emisi  disepakati  pada  jumlah  penduduk,  penggunaan  teknologi  berbahan  bakar
fosil,  perubahan  tutupan  areal  berhutan  dan  lain-lain.  Bila  yang  dikehendaki adalah tidak mengubah hutan maka baiknya dalam menentukan nilai additionality
akibat  project  tersebut  adalah  sebesar  simpanan  karbon  yang  mampu dipertahankan di hutan. Nilai karbon  yang ada dari sejumlah lahan  yang dicegah
alih  fungsi  dan  alih  tutupan  dikurangi  hasil  kali  luas  lahan  yang  ada  sebelum project
dengan  faktor  konversi  pencegahan  deforestasi  dan  degradasi. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
Additionality = Luas Lahan REDD – Luas Lahan BAU x faktor konversi
Penentuan  faktor  konversi  didasarkan  pada  keinginan  buyer  atau  pembeli kredit karbon dari negara-negara Annex I. Bila tingkat emisi tahunan negara  yang
diperbolehkan  untuk  “carbon  offset”  adalah  X  juta  tontahun,  maka  faktor konversi adalah dihitung dengan luas lahan dengan jumlah simpanan karbon lahan
sebesar  X  juta  ton  dibagi  luas  total  lahan  hutan  Y  ha  di  negara  berkembang. Bila  ditetapkan  adalah  sebesar  x  hatahun,  maka  additionality  yang  harus
dikompensasi adalah nilai seluas x hektar tersebut. Tidak  semua  nilai  emisi  yang  dihasilkan  negara  pembeli  jasa  dapat
dikompensasi  dengan  REDD+.  Skema  REDD+  baiknya  peruntukkan  untuk menambah  nilai  serapan  emisi,  dan  bukan  satu-satunya  skema  yang
membersihkan  emisi  yang  dikeluarkan.  Bila  emisi  negara  tersebut  berasal  dari sektor  industry,  maka  sebelum  diturunkan  lewat  REDD+,  perlu  dilakukan
efisiensi  penggunaan  bahan  bakar,  penggunaan  teknologi  yang  low  carbon  dan metode lain sehingga sumbangan emisi sangat rendah.
Penentuan  basis  lahan  tidak  serta  merta  dapat  menyelesaikan  masalah  di negara  penyedia  jasa  karbon,  karena  belum  tentu  pembelian  jasa  karbon  akan
memberikan tambahan income bagi negara tersebut bila diusahakan sebagaimana BAU. Untuk itu, penentuan  nilai karbon didasarkan pada indeks  multiplier effect
total  kegiatan  yang  mungkin  diperoleh  bila  BAU  dijalankan.  Sebagai  contoh, menurut Syahza 2005, nilai multiplier effect dapat memberikan arti bahwa setiap
pembelanjaan  oleh  petani  kelapa sawit  di  lokasi  dan  sekitarnya  sebesar  Rp  100, secara  sinerjik  menjadikan  perputaran  uang  di  lokasi  tersebut  dan  sekitarnya
sebesar  Rp  248,00  melalui  bentuk-bentuk  usaha,  baik  sektor  riil  maupun  jasa. Harga  karbon  harus  mampu  membayar  minimal  sama  dengan  usaha  perkebunan
yang akan dibangun jika project perdagangan emisi tidak ada. Bila project REDD akan dilaksanakan dengan luas 100 hektar, maka untuk menghitung harga karbon
adalah  jumlah  petani  yang  dibutuhkan  dalam  100  hektar  kebun  kelapa  sawit  x 2,48 x  gaji setiap bulan + jumlah sektor bisnis terkait  x income bersih  x 2,48.
Atau  nilai  karbon  tersertifikasi  adalah  nilai  yang  harusnya  dikeluarkan  melalui upaya penghematan penggunaan teknologi atau alih tekonologi yang low carbon.
Sirkulasi  pembagian  hasil  jual  jasa  serapan  emisi  haruslah  disesuaikan dengan lalu lintas bisnis sebagaimana BAU. Hal ini dikarenakan, instrument yang
kini  tersedia  lebih  akrab  dengan  BAU.  Sertifikasi  hanya  dilakukan  pada  nilai kredit karbon yang akan dibeli dan tidak pada institusi pengelola. Sehingga  yang
harus  dilakukan  adalah  memetakan  lalu  lintas  BAU  untuk  diaplikasikan  dalam REDD.
Untuk  memperpendek  jalur  birokrasi  maka  perlu  membatasi  stakeholder lain. Stakeholder lain seperti lembaga sertifikasi, verifikasi, validasi perlu dibatasi
sehingga  income  REDD  bias  tinggi  bagi  negara  penyedia  jasa  REDD+. Baiknya, proses sertifikasi, verifikasi dan validasi dilakukan oleh negara pembeli
buyer dalam luasan  yang ditentukan dan tidak  menjadi  kewajiban tunggal bagi negara  penyedia  jasa  REDD+.  Hal  ini  dipandang  penting,  karena  ketika  negara
penyedia  REDD+  yang  harus  dikontrol  namun  negara  pengemisi  bebas melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer maka project penurunan emisi sulit
tercapai.
7. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1.  Kebijakan  penggunaan  dan  pemanfaatan  hutan  dapat  mengakibatkan perubahan simpanan karbon  yang ada di hutan. Kebijakan dikendalikan oleh
interaksi antara stakeholder dan kawasan hutan. 2.  Laju  deforestasi  kawasan  hutan  Jambi  pada  skema  BAU  mencapai  45.571
hatahun.  Penerapan  skenario  REDD+  dapat  menurunkan  laju  deforestasi antara 25.997– 41.256 hatahun.
3.  Degradasi hutan Jambi mencapai 15.859 Mtha. Penerapan skenario REDD+ dapat menurunkan laju degradasi sekitar 9.045-14.357 Mtontahun.
4.  Skenario  REDD+ dengan  moratorium  ijin  penggunaan  kawasan  hutan  BAU sebanyak 70 akan memberikan income REDD+ sebesar 0,93 – 1,36 milyar
US. 5.  Skenario  moratorium  ijin  penggunaan  kawasan  hutan  lindung  dan  hutan
konservasi tidak memberikan  nilai tambah Income REDD+  yang signifikan. Bila  moratorium  dilakukan  secara  bersamaan  dengan  fungsi  hutan  porduksi
maka akan meningkatkan Income REDD+ menjadi 0,63– 2,63 milyar US. 6.  Nilai  income  REDD+  yang  terdapat  pada  point  4  dan  5  tidak  merupakan
referensi  pilihan  terbaik  dalam  manajemen  hutan,  namun  hanya  merupakan tinjauan konsekuensi bila skenario REDD+ dilaksanakan. Nilai karbon hanya
sebagian kecil dari sejumlah jasa lingkungan hutan.
7.2 Saran
1.  Perlu  studi  lanjutan  tentang  optimasi  pemanfaatan  hasil  hutan  secara keseluruhan berdasarkan fungsi kawasan.
2.  Moratorium  penggunaan  kawasan  hutan  sebagai  skenario  REDD+  baiknya dilaksanakan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, dengan asumsi
penetapan  REL  didasarkan  pada  rata-rata  kehilangan  simpanan  karbon  di
kedua fungsi hutan tersebut.