Melalui REDD+ diharapkan mampu mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu skenario yang ditawarkan adalah moratorium ijin
pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana BAU. Bila moratorium ijin sebanyak 30 dari BAU maka laju deforestasi akan menurun menjadi 41.256
hektartahun. Bila moratorium ijin sebanyak 50 dari BAU maka dapat menurunkan laju deforestasi menjadi 37.991 hektar dan Bila moratorium ijin
sebanyak 70 dari BAU akan menurunkan laju deforestasi mencapai 25.997 hektartahun.
Penerapan skema REDD+ pada taraf 30, 50 dan 70 diharapkan akan memberikan dampak positif pada penerimaan usaha kehutanan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan no. P.36Menhut-II2009, dilakukan simulasi pendapatan dan biaya transaksi yang harus timbul ketika skema REDD+
dijalankan.
Bila waktu proyek REDD adalah 30 tahun dengan harga Cton adalah 5 US dan verifikasi dan validasi dilakukan selama 5 tahun. Rata-rata income REDD+
selama periode untuk standar CCB bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebanyak 30 adalah -0,42 milyar US, -0,68 milyar US untuk standar
Carbon Fix dan -0,74 milyar US untuk standar Plan Vivo. Pada standar VCS AFOLU, income REDD+ 30 mencapai -0,78 milyar US.
Penerapan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan sebesar 50 tidak memberikan income yang positif. Income REDD+ akan positif bila penerapan
REDD+ 70. Bila standar CCB carbon, community and biodiversity yang diterapkan akan memberikan income REDD+ sebesar 1,36 milyar US. Standar
Carbon Fix CF akan memberikan income REDD+ sebesar 0,93 milyar US. Standar Plan Vivo PV akan memberikan income REDD+ sebesar 1,01 milyar
US. Penerapan standar VCS AFOLU akan memberikan income REDD+ sebesar 1,06 milyar US. Dengan demikian, standar yang memberikan income REDD+
tertinggi adalah standar CCB.
Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan konservasi dilakukan sebesar 30 maka kombinasi yang dapat memberikan income REDD+ positif
dengan hutan produksi sebesar 70 yakni sebesar 136 juta US. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan lindung sebesar 30 akan memberikan income
REDD+ yang positif jika dikombinasikan dengan moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 70. Income REDD+ akan mencapai 83 juta
US. Bila moratorium ijin penggunaan kawasan hutan produksi sebesar 30, maka tidak akan memberikan income REDD+ positif meski dengan kombinasi
hutan konservasi atau hutan lindung sebesar 70. Income REDD+ akan sangat tinggi bila dikombinasikan antara skenario REDD+ 70 di hutan konservasi dan
hutan produksi. Nilai income REDD+ mencapai 2,63 milyar US setiap periode 5 tahun.
Penyebab tingginya deforestasi dan degradasi hutan salah satunya disebabkan oleh penentuan fungsi kawasan atas dasar faktor biofisik di lapangan
tanpa memperhitungkan aspek sosial dan ekonomi. Pemberian ijin usaha pertambangan yang tidak disertai ijin pinjam pakai kawasan hutan mengakibatkan
negara mengalami kerugian mencapai 23,16 milyar rupiah setiap tahunnya. Selain itu, pemberian ijin HPH dan HTI serta perkebunan, dapat meningkatkan
perubahan luas kawasan hutan. Namun, timbul dampak positif dari sektor sosial ekonomi dari HTI, HPH dan kebun. Penetapan skenario moratorium 30, 50
dan 70 tidak menjadi rekomendasi utama dalam manajemen hutan. Hal ini karena bila moratorium pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
ditetapkan sepihak tanpa mempertimbangkan usaha yang telah dilaksanakan selama BAU maka akan sangat mempengaruhi dampak ekonomi dan sosial
masyarakat. Keterbatasan ini akan mengakibatkan menurunnya pendapatan secara keseluruhan. Selain pendapatan secara makro, pendapatan masyarakat yang
selama ini timbul akibat bisnis penggunaan hutan produksi seperti HPH akan semakin kecil. Bila di semester 2 tahun 2009 pendapatan daerah dari sektor
pengusahaan hutan produksi berupa SKSHH Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan mencapai Rp. 2.175.222.101,60 dan DR mencapai USD 437.220,32 atau
mencapai Rp. 6.110.204.981,60 pada kurs rupiah 9000 harus dikurangi sebanyak 70 untuk mendapatkan income 4,84 milyar USD dari REDD+ maka perkiraan
pendapatan dari pengusahaan hutan produksi kurang dari 1,8 milyar rupiah.
Penurunan emisi gas rumah kaca yang telah terjadi selama ini harus menjadi kewajiban berdasarkan sumbangan emisi. Secara sederhana, penentuan basis
emisi disepakati pada jumlah penduduk, penggunaan teknologi berbahan bakar fosil, perubahan tutupan areal berhutan dan lain-lain. Bila yang dikehendaki
adalah tidak mengubah hutan maka baiknya dalam menentukan nilai additionality akibat project tersebut adalah sebesar simpanan karbon yang mampu
dipertahankan di hutan. Nilai karbon yang ada dari sejumlah lahan yang dicegah alih fungsi dan alih tutupan dikurangi hasil kali luas lahan yang ada sebelum
project
dengan faktor konversi pencegahan deforestasi dan degradasi
Key word: deforestation, degradation, income REDD+, stakeholder interaction
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Emisi gas rumah kaca sejak tahun 1970 hingga tahun 2004, terus meningkat sampai 70 dan diantaranya terjadi peningkatan sebanyak 24 selama periode
tahun 1990 hingga 2004. Dari angka tersebut 40 disumbang dari sektor penggunaan lahan dan kehutanan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan dan
deforestasi dan degradasi hutan IPCC 2007. Menurut Stern 2006 menyebutkan sektor deforestasi dan degradasi hutan telah menyumbang 18 emisi ke atmosfer.
Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama tahun 2003 – 2006 mencapai 1,089 juta hektar per tahun Kemenhut 2009.
Secara umum, penurunan cadangan karbon di kawasan hutan dan non-kawasan hutan Indonesia dari sektor pengelolaan lahan baik hutan maupun
non hutan terus menurun terjadi pada periode tahun 1990-2000, yaitu sebesar 3.646,1 Mt atau rata-rata per tahun sebesar 364,64 Mt, kemudian turun menjadi
1.046,78 Mt pada periode 2000-2003 atau 348,93 Mt tahun, dan periode 2003-2006 menurun lagi menjadi 531,68 Mt atau 177,56 Mttahun
Budiharto 2009. Penurunan terbesar terjadi di P. Kalimantan dan P. Sumatera dengan rata-rata perubahan sebesar 112,35 Mttahun dan 77,57 Mttahun.
Saharjo 2009 menyebutkan bahwa jumlah karbon yang tersimpan di wilayah tropika mencapai 83,3 Gt, 44,5 Gt atau sekitar 53,1 terdapat di Indonesia yang
terbagi pada 3 pulau besar yakni Sumatera tersimpan 18,3 Gt 41,1, Kalimantan 15,1 Gt 33,8 dan Papua Barat 10,3 Gt 23. Menurut FAO
2010, cadangan karbon pada biomasa hutan Indonesia tahun 1990 sebesar 16.335 juta ton, tahun 2000 sebesar 15.182 juta ton, tahun 2005 sebesar 14.299
juta ton, tahun 2010 sebesar 13.017 juta ton. Cadangan karbon biomasa hutan Indonesia per hektar 2010 mencapai 138 juta tonhektar.
Deforestasi hutan
Indonesia berdampak
pada penurunan
PDB Product Domestic Bruto kehutanan terhadap PDB Indonesia. Tahun 1997
proporsi PDB Kehutanan terhadap PDB Indonesia mencapai 1.56 namun di tahun 2000 menurun menjadi 1,18. Tahun 2008 mencapai 0,81 Kemenhut
2009 dan di triwulan II tahun 2009 hanya menyumbang 0,85 atau Rp. 4.433,3 Milyar Kemenhut 2010.
Penurunan potensi hutan dan konversi lahan hutan terjadi merata di seluruh wilayah termasuk provinsi Jambi. Menurut Wurjanto diacu dalam Prasetyo
2009, dari perubahan citra landsat terlihat ada pengurangan jumlah tutupan hutan sebesar 2 per tahun dari total luas 1,2 juta hektar hutan di Jambi.
Sampai dengan tahun 2008, tersisa 2 IUPHHK Hutan Alam dengan luas mencapai 45.825 hektar dan jatah tebangan tahunan 2008 mencapai 60.000 m
3
atau turun 14.130 m
3
di tahun 2006 Kemenhut 2008. Untuk keperluan kayu industri, di provinsi Jambi telah dibangun HTI dari tahun 2004 – 2008 mencapai 101.907,34
hektar. IUPHHK Hutan Tanaman terdapat 13 unit usaha yang mengelola lahan seluas 572.054 hektar. Realisasi produksi kayu bulat untuk tahun 2008 hanya
mencapai 4.895.484,55 m
3
dari rencana sebanyak 8.334.519,58 m
3
. Penurunan potensi dan perubahan fungsi penggunaan kawasan hutan yang
terjadi terus menerus disebabkan oleh perbedaan kepentingan stakeholder terhadap kawasan hutan dan mempengaruhi institusi yang mengatur tentang
pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Hubungan ini membentuk suatu sistem yang utuh dan saling mempengaruhi. Portela dan Rademacher 2001,
menggunakan model dinamika untuk menganalisis pola deforestasi yang ditunjukan oleh perbedaan pola degradasi lingkungan di hutan Amazon Brasil.
1.2 Perumusan Masalah
Tingginya angka emisi sektor LULUCF Land Use, Land Use Change and Forestry
kebutuhan lahan dan hasil hutan yang terus meningkat. Pada tahun 2005 telah dilepas kawasan hutan sebesar 66.180.70 hektar, tahun 2006 seluas
151.892,73 hektar dan tahun 2007 sebesar 73.673.99 hektar. Sedangkan tahun 2008 dilepas kawasan hutan seluas 77.216,73 hektar Kemenhut 2008.
Pentingnya pembangunan
sektor non-kehutanan
mengakibatkan berkurangnya luas dan tutupan kawasan berhutan. Kebutuhan lahan hutan untuk
eksploitasi sumberdaya tambang, alokasi lahan hutan untuk kebun dan transmigrasi serta pemanfaatan hasil hutan kayu melalui HPH dan pemenuhan
kebutuhan kayu industri melalui HTI merupakan faktor pendorong berubahnya
luas dan tutupan hutan. Selain itu, desakan masyarakat untuk mengelola kawasan hutan semakin tinggi. Hasil rekap data statistik Kementerian Kehutanan
menunjukan bahwa sampai dengan tahun 2008 telah dilakukan pinjam pakai kawasan hutan seluas 344.305 hektar, tukar menukar kawasan yang keluar dari
kawasan hutan sampai dengan tahun 2009 mencapai 48.193 hektar dan yang masuk menjadi kawasan hutan sebesar 80.861 hektar. Jumlah HPH yang masih
aktif sampai dengan tahun 2009 hanya 1 perusahaan dan HTI mencapai 131.260 hektar.
Untuk mengurangi laju penurunan tutupan hutan dan meningkatkan pendapatan dari pengelolaan hutan, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan
merencanakan pembangunan HKm seluas 45.500 hektar, hutan desa 39.000 hektar, RHL 62.100 hektar sampai dengan tahun 2014. Untuk memenuhi
kebutuhan kayu industri, di provinsi Jambi akan dibangun HTR dan HTI sampai tahun 2020 seluas 508.000 hektar. Selain itu akan dilakukan pemanfaatan LOA
Log Over Area seluas 163 ribu hektar Kemenhut 2010. Upaya menurunkan emisi pada BAU business as usual dengan skema
REDD+ melibatkan unsur stakeholder pemerintah pusat, daerah, masyarakat lokal dan stakeholder yang berkepentingan lainnya. Setiap stakeholder memiliki tujuan
dan motivasi tertentu dalam manajemen peruntukan lahan. Perubahan peruntukan lahan dapat berdampak positif maupun negatif baik terhadap penutupan lahan,
ekonomi masyarakat dan pendapatan negara dan daerah. Pertanyaan yang menjadi masalah penelitian adalah : 1 bagaimanakah
bentuk manajemen hutan di provinsi Jambi pada masa lampau dan rencana akan datang? 2 bagaimana peran stakeholder di level provinsi Jambi dalam
menentukan peruntukan lahan hutan selama ini? dan 3 bila REDD+ dilaksanakan, berapa nilai ekonomi yang dapat diterima?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Menganalisis institusi pengurusan hutan pada masa lampau dan rencana akan
datang serta peran aktor dalam manajemen hutan;
2. Membangun model simulasi pemanfaatan dan peruntukan hutan sebagaimana BAU business as usual dijalankan
3. Mengetahui nilai REDD+ yang dapat diperoleh berdasarkan standar pasar karbon yang ada.
1. 4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi tentang : 1. Peran yang dikendalikan oleh setiap stakeholder yang berwenang dalam
pengurusan kawasan hutan; 2. Membangun model dinamika perubahan lahan berdasarkan ketertarikan agen;
3. Fluktuasi cadangan karbon ketika BAU dan REDD+ dijalankan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Pendugaan Karbon Pada Perubahan Penggunaan Lahan
Metode pendugaan karbon tersimpan pada berbagai jenis penggunaan lahan adalah hal penting dalam menduga besarnya perubahan cadangan karbon ketika
terjadi perubahan penggunaan lahan, misalnya dari areal berhutan menjadi kebun atau sebaliknya dari tanah kosong menjadi areal bertutupan vegetasi hutan.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menduga simpanan karbon pada setiap jenis lahan diantaranya dilakukan oleh Rahayu et al 2005 dan Agus et al 2009.
IPCC 2006 memberikan pedoman pendugaan cadangan karbon pada areal berhutan, pemukiman, lahan pertanian, padang rumput dan bentuk penggunaan
lahan lainnya yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukan di beberapa negara.
Karbon merupakan fungsi dari biomasa pohon. Biomasa merupakan fungsi dari volume yang dibentuk dari dimensi tinggi dan diameter. Pertambahan
dimensi tinggi dan diameter terbentuk karena adanya proses fotosintesis yang mengubah CO
2
dan H
2
O menjadi selulosa. Besarnya kandungan karbon dapat menduga besarnya serapan CO
2
untuk keperluan fotosintesis yakni sebesar nilai karbon dikalikan dengan berat molekul CO
2
yakni sebesar 4412 yang dinyatakan dengan satuan tonha Aminudin 2008. Kandungan karbon dalam biomasa
diasumsikan sebesar 50 dari nilai biomasa Brown 1997. Penelitian lain menemukan bahwa angka konversi biomasa ke nilai kandungan karbon tidak
mencapai 50 atau hanya mencapai 10 atau kurang dari 50. Kesalahan dalam penggunaan nilai konversi ini akan berakibat pada kesalahan pendugaan cadangan
karbon pada satu individu pohon dan suatu hamparan penggunaan lahan Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Karbon terikat terhadap kandungan biomasa No. Tipe hutanjenis pohon
Persen Karbon Terikat
Sumber Pustaka 1.
Mangrove 19.00 – 47.00
Hilmi 2003 diacu dalam
Widyasari 2010 2.
Hutan Kerangas, Kalimantan Barat
19.00 – 27.00 Onrizal 2004
3. Acacia mangium, Sumatera
Selatan a. Areal Bekas Tebangan
b. Areal Bukan Bekas Tebangan
14.70 – 28.80 14.40 – 28.40
Ismail 2005 diacu dalam
Widyasari 2010
4. Pohon Puspa, Sumatera Selatan
a. Kelas diameter 2 – 10 cm b. Kelas diameter 10 – 20 cm
c. Kelas diameter 20 cm 31.53
28.51 33.54
Salim 2005 diacu dalam
Widyasari 2010
5. Acacia crassicarpa
, Sumatera Selatan
a. Umur 2 tahun b. Umur 4 tahun
c. Umur 6 tahun 15.21
18.69 17.63
Limbong 2009 diacu dalam
Widyasari 2010
6. Hutan Gambut bekas tebangan
Sumatera Selatan 13.7 – 22.99
Novita 2010 7.
Hutan gambut bekas terbakar a. Kelas diameter 2-10 cm
b. Kelas diameter 10-20 cm c. Kelas diameter 20 cm
17.7 16.83
16.99 Widyasari 2010
Tabel di atas menunjukan bahwa presentasi karbon terikat pada biomasa pohon tidak merupakan setengah dari biomasa pohon sebagaimana disampaikan
oleh Brown. Hal ini sangat mempengaruhi pendugaan nilai karbon pada suatu jenis peruntukan lahan. Widyasari 2010 menyebutkan bahwa perbedaan
pendugaan karbon terikat pada biomasa dengan hasil penelitian Brown 1997 karena Brown 1997 tidak menggunakan pendekatan perhitungan kadar abu
seperti penelitian yang dilakukan sebagaimana tabel di atas. Hygreen dan Bowyer 1993 diacu dalam Aminudin 2008, sepotong kayu terdiri atas 49 unsur C,
6 unsur H dan 44 unsur O serta 0.1 abu. Kandungan biomasa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar
68,08-82,28 terdapat di batang, di daun terdapat 4,17-14,44, di ranting terdapat 6,16-10,32 serta 7,15-7,45 terdapat di cabang Widyasari 2010.
Pendugaan cadangan karbon berkorelasi positif dengan nilai transaksi perdagangan karbon dan sangat mempengaruhi rekomendasi untuk partisipasi
dalam pemanfaatan jasa lingkungan karbon. Berdasarkan ketelitian dan ketersediaan data, IPCC 2006 mengklasifikasikan metode pendugaan karbon
dalam 3 tiga tingkat ketelitian yang disebut dengan tier. Semakin tinggi angka tier
yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon, data yang digunakan semakin rumit dan lengkap sehingga hasilnya semakin teliti. Metode tier 1
dirancang untuk penggunaan sederhana dalam menduga cadangan karbon, dengan mengalikan nilai cadangan karbon yang telah ditetapkan dengan luas peruntukan
lahan maka dapat diketahui cadangan karbon yang terdapat pada suatu peruntukan lahan. Tier 2 dapat menggunakan pendekatan metodologi yang sama seperti
tier 1 tetapi angka-angka yang digunakan dalam pendugaan cadangan karbon
menggunakan data spesifik pada satu negara atau wilayah tertentu ditambah faktor yang mempengaruhi pengambilan karbon. Tier 3, menggunakan model dan teknik
pengukuran disesuaikan untuk mengatasi keadaan nasional, berulang dari waktu ke waktu, dan didorong oleh resolusi data yang tinggi. Metode ini memberikan
estimasi kepastian lebih besar dari tingkatan yang lebih rendah. Pemilihan metode pendugaan cadangan karbon bergantung pada ketersediaan dan ketelitian
pengumpulan data. Perubahan gas-gas rumah kaca di sektor AFOLU agriculture, forestry and
other land use dapat diduga dengan 2 cara yakni 1 perubahan bersih karbon
stok pada suatu periode waktu tertentu dan 2 laju perubahan aliran CO
2
ke dan dari atmosfer. Besarnya serapan CO
2
dari atmosfer bergantung pada kerapatan biodiversitas tumbuhan yang melakukan fotosintesis dan menyimpan hasilnya
dalam bentuk biomasa. Sebagian besar CO
2
dipindahkan dari atmosfer ke ekosistem daratan melalui fotosintesis dan respirasi. Serapan CO
2
melalui fotosintesis sering disebut dengan gross primary product GPP. Setengah dari
GPP akan terlepas kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan yang tersisa pada tubuh tumbuhan disebut sebagai net primary production NPP yakni total
produksi biomasa tumbuhan dan bahan organik mati dalam satu tahun IPCC 2006.
2.2 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Cadangan Karbon Lahan
Perubahan bentuk penggunaan lahan berkorelasi negatif dengan cadangan karbon, namun tidak berarti bahwa perubahan bentuk akan mengemisi sejumlah
cadangan karbon yang dimiliki. Pada tanah mineral, konversi hutan primer dan hutan sekunder dengan simpanan karbon rata-rata berturut-turut 300 dan 132 tha,
dapat menurunkan simpanan karbon tanah dan tanaman emisi karbon neto positif. Jika lahan semak belukar atau lahan alang-alang dengan simpanan
karbon masing-masing 15 dan 2 tha direhabilitasi menjadi lahan perkebunan, pada umumnya akan meningkatkan simpanan karbon tanah dan tanaman emisi
karbon neto negatif. Pada tanah gambut, emisi karbon terjadi karena dekomposisi gambut, kebakaran gambut jika ada, dan emisi karbon dari tanaman.
Pembangunan kebun di lahan gambut terlantar yang ditumbuhi semak belukar dengan simpanan karbon 15 tha, dan kedalaman drainase rata-rata 40 cm akan
meningkatkan cadangan karbon. Hal ini berpotensi menurunkan emisi sebesar 862 tCO
2
-eha25 tahun 34 tCO
2
-ehatahun, karena besarnya penurunan kehilangan karbon dari biomasa dan tanah gambut. Bila belukar gambut dipertahankan maka
akan mengemisi sekitar 22 CO
2
-ehatahun. Bila belukar gambut dikonversi menjadi sawah, perkebunan karet atau perkebunan sawit, tingkat emisi berturut-
turut menjadi 11, 7, dan 30 CO
2
-ehatahun. Dengan demikian, rehabilitasi belukar gambut menjadi sawah atau perkebunan karet mengurangi emisi berturut-turut
11 dan 15 CO
2
-ehatahun, sedangkan rehabilitasi belukar gambut menjadi perkebunan kelapa sawit hanya menambah emisi 8 CO
2
-ehatahun, dibandingkan bila belukar gambut diterlantarkan. Dengan demikian, ekstensifikasi perkebunan
perlu diprioritaskan melalui rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah mineral atau belukar gambut karena selain penambatan CO
2
netto juga berpotensi memperbaiki kehidupan masyarakat Agus et al 2009. Konversi hutan gambut
bekas tebangan dan sekunder mengakibatkan penurunan cadangan karbon vegetasi masing-masing sebesar 103,53 tonhatahun dan 61,02 tonhatahun
Rochmayanto 2009. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa konversi lahan kosong atau
belukar menjadi perkebunan dapat meningkatkan simpanan dan serapan karbon.
Namun jika perkebunan dibangun dengan mengkonversi hutan alam dengan cadangan karbon di hutan alam maka akan menurunkan simpanan karbon di lahan
tersebut. Penurunan cadangan karbon tidak berarti akan mengemisi sebesar nilai cadangan karbon, namun dapat diduga dengan menghitung selisih perubahan
cadangan karbon hutan alam ke perkebunan dikalikan dengan rendemen pengolahan kayu. Rendemen pengolahan kayu bulat dari hutan alam mencapai
57 – 70 dari volume yang dipanen Kemenhut, 2007. Hal ini menunjukan bahwa pengambilan cadangan karbon dalam bentuk kayu tidak langsung diuapkan
menjadi CO
2
bebas di atmosfer namun dikonversi menjadi bentuk simpanan karbon lainnya seperti mebel, kayu pertukangan, konstruksi, kayu lapis, veneer
dan lain-lain Soedomo 2010. Untuk meningkatkan serapan dan simpanan karbon di hutan, maka tegakan
hutan yang pertumbuhannya telah mencapai klimaks perlu ditebang dan dilakukan permudaan sehingga selisih fotosintesis terhadap respirasi positif. Tumbuhan
muda lebih membutuhkan karbohidrat untuk pertumbuhan dibandingkan tumbuhan yang tua yang telah mencapai keseimbangan antara serapan CO
2
untuk proses fotosintesis dan melepaskan CO
2
sebagai hasil respirasi. Pada awal penebangan akan terjadi kehilangan cadangan karbon, namun akan memberi
ruang untuk tumbuh tanaman muda. Pinard dan Cropper 2000 menyebutkan bahwa, cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun
tebangan yakni dari 213 ton CHa menjadi 97 ton CHa. Untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50 dari AAC
Annual Available Cutting maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26 di 40-60 tahun mendatang.
Lasco et al 2006 menyebutkan bahwa kegiatan penebangan akan menurunkan paling sedikit 50 dari simpanan karbon yang ada di hutan.
Konversi hutan alam menjadi padang rumput atau lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan cadangan karbon kurang dari 40 tonha dari
500 tonha yang dimiliki. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman juga mengakibatkan penurunan cadangan karbon sekitar 50 dari cadangan karbon
yang ada. Kegiatan pemanenan dan perlakuan TPTJ tebang pilih tanam jalur
memberikan pengaruh nyata pada kandungan karbon serasah. Kandungan karbon serasah di areal bekas tebangan lebih tinggi dibandingkan hutan primer.
Kandungan karbon di serasah segar sekitar 6,1 ton Cha pada areal bekas tebangan dan hanya 2,4 ton Cha di hutan primer. Namun pelaksanaan silvikultur TPTJ
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan karbon tanah pada kedalaman 0-40 cm Almulqu 2008.
Beberapa penelitian untuk menduga cadangan karbon pada jenis penggunaan lahan yang berbeda disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai cadangan karbon setiap penggunaan lahan No.
Jenis Penggunaan Lahan Cadangan
Karbon TonHa
Sumber Pustaka
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9.
10. 11.
Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan
Kebun Karet Kebun Kelapa Sawit
Alang-alang Agroforestry
Hutan rakyat jati Kerangas di Taman Nasional
Hutan gambut bekas terbakar Hutan gambut bekas tebangan
Hutan Gambut 348.02
189.26 206.8
16.43 4,8
4,2 37,7
66,3 176,1
29,1 41,82
Tresnawan dan Rosalina 2002 Tresnawan dan Rosalina 2002
Widayati et al 2005 Yulianti 2009
Widayati et al 2005 Widayati et al 2005
Widayati et al 2005 Aminudin 2008
Onrizal 2004 Widyasari 2010
Novita 2010
2.3 REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi
Menurut Lund 2008 bahwa definisi deforestasi dapat dikelompokkan ke dalam kategori : perubahan penutupan lahan, perubahan penggunaan lahan,
perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Berikut ini beberapa definisi deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional, antaranya
adalah : UNFCCC 11CP.7 mendefinisikan deforestasi sebagai konversi langsung yang disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan.
FAO 2010 mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari
batasan minimal 10. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan petutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik
yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi
hutan ke lahan pertanian, padang rumputpenggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi.
Definisi degradasi hutan juga bervariasi, hingga kini setidaknya terdapat lebih dari 10 definisi yang telah digunakan oleh berbagai institusi Lund, 2007.
Salah satu definisi degradasi hutan adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan, sehingga
menurunkan kapasitas produksi FAO 1993 dalam Lund 2007. Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih dalam kategori terdegradasi tidak melampaui
batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC-IPCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai kehilangan langsung, yang disebabkan oleh
manusia, untuk jangka panjang terjadi selama X tahun atau lebih atau sedikitnya Y dari persediaan karbon hutan dan nilai hutan sejak waktu T dan tidak dapat
dikategorikan sebagai deforestasi. Parameter X, Y dan T belum ditetapkan. Tingginya angka deforestasi adalah peluang pelaksanaan REDD Masripatin
2007. Bila angka deforestasi tersebut dapat ditekan maka akan terpelihara carbon sink
yang mampu menyerap CO
2
bebas di atmosfer. Bila carbon sink ini ditingkatkan maka kemampuan untuk menyerap CO
2
akan makin meningkat. Menurut FAO 2010 bahwa laju perubahan tahunan cadangan karbon di
Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan 2010 terus menurun. Antara tahun 1990-2000, perubahan cadangan karbon mencapai 1,5 juta ton, antara tahun
2000-2005 menurun sebesar 1,3 juta ton dan di tahun 2005-2010 mengalami penurunan sebesar 1,7 juta ton. Menurunnya cadangan karbon menjadi perhatian
utama pemerintah. Pemerintah berkomitmen menurunkan 14 emisi karbon dari sektor LULUCF dari Bussines As Usual BAU yang telah dijalankan selama ini,
manajemen sampah yang benar 6, dan efisiensi energi 6. Bila BAU dijalankan sampai tahun 2020 maka emisi tahunan akan menjadi 1,24 Gt CO
2
e dan kemampuan serapan CO
2
e hanya berkisar antara 0.6 sampai dengan 0.71 Gt CO
2
e Kemenhut 2010. Guna memenuhi program tersebut dibutuhkan dana sebesar
Rp 83,3 triliun pada tujuh sektor prioritas, yakni sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1. Sektor transportasi dan industri
masing-masing 0,3 dan 0,01, sektor pertanian 0,3, sektor kehutanan 13,3, pengelolaan limbah 1,6, dan pengelolaan lahan gambut 9,6.
Untuk meningkatkan serapan karbon dari BAU akan dilakukan upaya mitigasi dengan skema REDD yang diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti
mampu menyerap 1.31 Gt CO
2
e dengan menanam 500.000 hektar per tahun dan upaya lainnya. Skema REDD reducing emission from deforestation and forest
degradation dicetuskan dalam konferensi UNFCCC ke-13 di Bali pada akhir
tahun 2007. Hal ini bermaksud untuk menyertakan sektor kehutanan dalam skema perdagangan karbon sebagai carbon sink terbaik. Namun COP Conference of
Parties ke 15 di Kopenhagen – Denmark memutuskan REDD sebagai suatu
instrumen kerjasama internasional yang tidak mengikat. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat
menunda terjadinya emisi ke atmosfer karena menurut Masripatin 2007 vegetasi dan tanah dapat menyimpan ± 7500 Gt CO
2
atau dua kali lipat lebih banyak CO
2
di atmosfer, sedangkan hutan menyimpan 4500 Gt CO
2
lebih besar dari gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan
2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 14. Kegiatan pengayaan dan penanaman hutan,
pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m
3
menjadi 9 juta m
3
serta pengendalian jumlah titik api. Selain itu dilaksanakan pengendalian volume kayu
yang diekstraksi dengan illegal logging dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal dengan metode RIL Reduced Impact Logging. Diharapkan sampai
dengan tahun 2020 nanti terdapat selisih antara emisi dan serapan sebesar 0,7 Gt. Bila BAU dijalankan maka selisih negatif sebesar 0,53 Gt dan bila hanya
dilakukan penanaman seluas 500.000 hektar per tahun maka selisih negatif sebesar 0,35 Gt. Pencapaian penurunan target emisi sebagaimana dijelaskan di
atas, akan dilaksanakan bersama-sama dengan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Beberapa rencana strategi
peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi disajikan pada tabel berikut. Tabel 3.
Rencana strategis peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi Kemenhut 2010
Jenis Kegiatan Rencana Pelaksanaan Ha
2010 2011
2012 2013
2014 Jumlah
HKm -
- 16.000
14.600 14.900
45.500