Interaksi Stakeholder Dengan Kawasan Hutan

Selain unsur kepemilikan perusahaan, masalah ketimpangan pendapatan ikut mempengaruhi sehingga terjadi penyerobotan lahan dan pungutan-pungutan kompensasi lainnya oleh masyarakat. Menurut Syahza 2004, masuknya HPH memberikan kesempatan kerja semakin besar, namun tidak untuk masyarakat lokal. Sebagian besar mata pencaharian penduduk sekitar areal kegiatan HPH adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Jenis tanaman pangan yang diusahakan, antara lain ubi-ubian, jagung, kacang dan sayuran. Sedangkan jenis tanaman perkebunan yang banyak diusahakan adalah karet, kelapa sawit, dan kelapa. Luas areal pertanian masyarakat pada umumnya kecil dari 0,5 Ha. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat lokal, yaitu Rp 632.253,00 per KK per bulan. Sementara, tingkat pendapatan masyarakat pendatang relatif tinggi, sehingga ketimpangan pendapatan cukup tinggi dengan Gini Rasio sebesar 0,443404. Kegiatan HPH menyebabkan berkurangnya pemilikan lahan bagi masyarakat lokal, sering terjadi konflik antara masyarakat pendatang maupun dengan pihak perusahaan HPH. Konflik timbul karena masalah perebutan lahan dan kegiatan illegal loging. Masalah penurunan potensi kayu di hutan lebih dipengaruhi oleh teknik penebangan yang diterapkan. Praktek penebangan hutan di Indonesia selama ini masih disebut dengan conventional logging CL. Meski telah diperkenalkan teknis penebangan yang beresiko rendah pada lingkungan. Elias 2009 menjelaskan bahwa bila dibandingkan persentase kerusakan tegakan tinggal oleh conventional logging CL dan RIL, RIL mampu menurunkan resiko kerusakan ketika eksploitasi hasil hutan itu terjadi. Di tingkat semai kerusakan disebabkan oleh penerapan CL mencapai 33,47 sedangkan RIL mencapai 17,65 dengan rasio -44,27, sedangkan pada tingkat sapling kerusakan dengan CL mencapai 34,93 dan RIL mencapai 19,59 dengan rasio -43,92. Kerusakan pada tingkat tiang dan pohon dengan sistem CL mencapai 40,42 dan RIL mencapai 19.08 atau rasio mencapai -52,79. Selain itu, bila dilihat keterbukaan wilayah akibat penebangan dengan sistem CL mencapai 11,1 sedangkan RIL mencapai 7,65 dan keterbukaan areal akibat penyaradan dengan CL mencapai 8,73 sedangkan RIL mencapai 5,21 atau rasionya mencapai -40,32. Artinya dengan menerapkan RIL, kerusakan hutan akibat penyaradan dapat direduksi mencapai 40. Namun RIL tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hambatan adopsi sistem RIL di Indonesia dapat diklasifikasikan atas dua faktor, yakni faktor eksternal yaitu 1 efektivitas pelaksanaan regulasi dan monitoring operasional di hutan yang tidak pernah dilakukan dengan baik dan masih banyak ketidakpastian batasan yuridiksi desentralisasi di Indonesia, 2 masalah tenure yang tidak pasti, 3 kurangnya penegakan aturan sehingga seakan-akan membiarkan perusahaan pemegang hak konsesi untuk memanipulasi pelaksanaan pengelolaan hutan yang terkesan lestari, 4 masih terdapat ijin pemanenan hutan tanpa persyaratan silvikultur yang berarti atau kontrol aturan, 5 penegasan hak masyarakat lokal untuk lahan hutan dan konversi ke non-hutan atau menjual hak mereka ke pelaku bisnis lainnya, 6 aktivitas pemanenan illegal dan tidak disahkan dengan aturan. Faktor internal yang mempengaruhi yakni 1 kesalahan persepsi, 2 ketidakpahaman, 3 petunjuk teknis RIL yang tidak jelas, 4 defisiensi kemampuan teknis, 5 ketidakmampuan menggunakan alat Klassen 2010. Berdasarkan hasil penelitian Pinard dan Cropper 2000 menyatakan bahwa cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun tebangan yakni dari 213 ton CHa menjadi 97 ton CHa. Untuk itu, untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50 dari AAC maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26 di 40-60 tahun mendatang. Tresnawan dan Rosalina 2002, menyebutkan bahwa hutan alam Jambi mengandung simpanan karbon mencapai 348 tonha dan bila ditebang dengan CL akan menurunkan simpanan karbon menjadi 189,26 – 221.39 tonha. 6.3.2 HTI Hutan Tanaman Industri HTI adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya satu atau lebih sistem silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun bukan kayu. Tujuan pembangunan HTI adalah 1 meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha pertumbuhan ekonomipro-growth, penyediaan lapangan kerja pro-job, pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan pro-poor dan perbaikan kualitas lingkungan hidup pro-enviroment; 2 mendorong daya saing produk industri perkayuan penggergajian, kayu lapis, pulp paper, meubel dan lain-lain untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor Direktorat Pengembangan Hutan Tanaman Kemenhut 2009. Kebijakan pembangunan HTI dimulai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990. HTI dibangun pada hutan produksi yang tidak produktif lagi. Dijelaskan dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 200Kpts-II1994 bahwa kriteria hutan produksi yang tidak produktif adalah 1 pohon inti yang berdiameter 20 cm, kurang dari 25 batangha, 2 pohon induk 10 batangha, dan 3 permudaan alamnya kurang, yaitu semai 1000 batangha, dan atau pancang 240 batangha, dan atau tiang 75 batangha. Ditegaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 1999 bahwa ijin HTI tidak dapat diberikan pada suatu wilayah konsesi yang telah terdapat ijin HPH sehingga HTI maupun HPH merupakan dua bentuk badan usaha yang berbeda dan tidak tumpang tindih satu sama lainnya. Namun selanjutnya diterbitkan PP Nomor 34 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa a usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar di hutan produksi Pasal 30 ayat 3, b terhadap HPH yang diberikan berdasarkan ketentuan ini dan HPH yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum ditetapkannya PP. Hal ini tetap berlaku sampai haknyaizinnya berakhir Bab X Pasal 99 huruf a. Pertentangan dengan kepemilikan dua bentuk usaha dalam satu ijin konsesi seperti dijelaskan oleh PP Nomor 34 Tahun 2002 di atas akhirnya dicabut dengan terbitnya PP Nomor 6 Tahun 2007, namun untuk HPH yang dibangun untuk keperluan pemberdayaan transmigrasi dan pola swasta murni diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.04Menhut-II2009 tentang Penyelesaian HPHTI Sementara yang diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49Menhut-II2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4Menhut-II2009 Tentang Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Sementara. HPHTI sementara yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, akan dialihkan menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri IUPHHK-HTI dengan definisi yakni Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman HPHT atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri HPHTI atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri Kemenhut 2009. Konversi hutan alam menjadi HTI mengakibatkan simpanan karbon di hutan menurun. Bila hutan alam terdapat 348 tonha dan HTI yang dibangun adalah Eucaliptus urograndis dengan daur 5 tahun sebesar 157 tonha maka penurunan cadangan karbon mencapai 191 tonha. Konversi ini tentunya berdampak negatif pada simpanan namun berdampak positif bagi serapan. Bila hutan alam adalah hutan klimaks maka nilai serapan menjadi nol. Penanaman HTI meningkatkan serapan mencapai 157 dikalikan masa molekul CO 2 atau 4412 atau sama dengan 575,67 tonha. Pemanenan HTI tidak serta merta mengakibatkan seluruh simpanan karbon hilang. Namun, simpanan karbon dialihkan dalam bentuk lain dan bukan karbon yang tersimpan di hutan. Bila biomasa yang termanfaatkan adalah ½ dari biomasa tegakan di hutan, maka rotasi berikutnya simpanan karbon yang ada akan mencapai 157 tonha + 157 x 12 atau sama dengan 235 tonha. Bila ijin usaha HTI adalah 20 tahun maka simpanan karbon yang telah dibangun adalah sebanyak 1.727 tonha. Pertumbuhan biomasa HTI disajikan pada Gambar berikut.