REDD dan Peluang Pelaksanaan di Jambi

hutan ke lahan pertanian, padang rumputpenggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi. Definisi degradasi hutan juga bervariasi, hingga kini setidaknya terdapat lebih dari 10 definisi yang telah digunakan oleh berbagai institusi Lund, 2007. Salah satu definisi degradasi hutan adalah perubahan yang terjadi di dalam hutan yang memberi efek negatif pada struktur ataupun fungsi tegakan, sehingga menurunkan kapasitas produksi FAO 1993 dalam Lund 2007. Perubahan yang terjadi di dalam hutan yang masih dalam kategori terdegradasi tidak melampaui batasan area yang ditentukan sebagai hutan. UNFCCC-IPCC menyatakan bahwa degradasi dapat didefinisikan sebagai kehilangan langsung, yang disebabkan oleh manusia, untuk jangka panjang terjadi selama X tahun atau lebih atau sedikitnya Y dari persediaan karbon hutan dan nilai hutan sejak waktu T dan tidak dapat dikategorikan sebagai deforestasi. Parameter X, Y dan T belum ditetapkan. Tingginya angka deforestasi adalah peluang pelaksanaan REDD Masripatin 2007. Bila angka deforestasi tersebut dapat ditekan maka akan terpelihara carbon sink yang mampu menyerap CO 2 bebas di atmosfer. Bila carbon sink ini ditingkatkan maka kemampuan untuk menyerap CO 2 akan makin meningkat. Menurut FAO 2010 bahwa laju perubahan tahunan cadangan karbon di Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan 2010 terus menurun. Antara tahun 1990-2000, perubahan cadangan karbon mencapai 1,5 juta ton, antara tahun 2000-2005 menurun sebesar 1,3 juta ton dan di tahun 2005-2010 mengalami penurunan sebesar 1,7 juta ton. Menurunnya cadangan karbon menjadi perhatian utama pemerintah. Pemerintah berkomitmen menurunkan 14 emisi karbon dari sektor LULUCF dari Bussines As Usual BAU yang telah dijalankan selama ini, manajemen sampah yang benar 6, dan efisiensi energi 6. Bila BAU dijalankan sampai tahun 2020 maka emisi tahunan akan menjadi 1,24 Gt CO 2 e dan kemampuan serapan CO 2 e hanya berkisar antara 0.6 sampai dengan 0.71 Gt CO 2 e Kemenhut 2010. Guna memenuhi program tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp 83,3 triliun pada tujuh sektor prioritas, yakni sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1. Sektor transportasi dan industri masing-masing 0,3 dan 0,01, sektor pertanian 0,3, sektor kehutanan 13,3, pengelolaan limbah 1,6, dan pengelolaan lahan gambut 9,6. Untuk meningkatkan serapan karbon dari BAU akan dilakukan upaya mitigasi dengan skema REDD yang diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti mampu menyerap 1.31 Gt CO 2 e dengan menanam 500.000 hektar per tahun dan upaya lainnya. Skema REDD reducing emission from deforestation and forest degradation dicetuskan dalam konferensi UNFCCC ke-13 di Bali pada akhir tahun 2007. Hal ini bermaksud untuk menyertakan sektor kehutanan dalam skema perdagangan karbon sebagai carbon sink terbaik. Namun COP Conference of Parties ke 15 di Kopenhagen – Denmark memutuskan REDD sebagai suatu instrumen kerjasama internasional yang tidak mengikat. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer karena menurut Masripatin 2007 vegetasi dan tanah dapat menyimpan ± 7500 Gt CO 2 atau dua kali lipat lebih banyak CO 2 di atmosfer, sedangkan hutan menyimpan 4500 Gt CO 2 lebih besar dari gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 14. Kegiatan pengayaan dan penanaman hutan, pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m 3 menjadi 9 juta m 3 serta pengendalian jumlah titik api. Selain itu dilaksanakan pengendalian volume kayu yang diekstraksi dengan illegal logging dan mengurangi kerusakan tegakan tinggal dengan metode RIL Reduced Impact Logging. Diharapkan sampai dengan tahun 2020 nanti terdapat selisih antara emisi dan serapan sebesar 0,7 Gt. Bila BAU dijalankan maka selisih negatif sebesar 0,53 Gt dan bila hanya dilakukan penanaman seluas 500.000 hektar per tahun maka selisih negatif sebesar 0,35 Gt. Pencapaian penurunan target emisi sebagaimana dijelaskan di atas, akan dilaksanakan bersama-sama dengan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Beberapa rencana strategi peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi disajikan pada tabel berikut. Tabel 3. Rencana strategis peningkatan serapan karbon di Provinsi Jambi Kemenhut 2010 Jenis Kegiatan Rencana Pelaksanaan Ha 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah HKm - - 16.000 14.600 14.900 45.500 Hutan Desa 16.500 8.500 6.100 4.300 3.600 39.000 HTIHTR 47.000 42.500 52.000 46.500 41.000 229.000 RHL 11.500 12.000 11.300 13.400 13.900 62.100 Pengelolaan LOA 50.000 52.000 61.000 163.000 Skema REDD diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia. Insentif yang disiapkan negara-negara maju untuk mempersiapkan pelaksanaan REDD di negara-negara berkembang yang memiliki hutan tropis dalam Copenhagen Accord sebesar 30 milyar US dan untuk pembayaran REDD sampai tahun 2020 disiapkan dana sebesar 100 milyar US UNFCCC 2009. Skema REDD perlu dilihat dari dua sisi perhitungan pilihan kerangka kerja yakni 1 pilihan untuk mengikutkan REDD pada semua kerangka kerja hanya di sektor kehutanan, dan 2 pilihan untuk mengikutkan sektor kehutanan dalam semua kerangka kerja pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Total stok karbon hutan pada suatu waktu ditentukan melalui dua faktor yakni 1 luas areal berhutan atau kawasan hutan dan 2 kerapatan karbon per hektar hutan Angelsen et al 2008. Hal ini berarti bahwa dalam mengestimasi kandungan karbon suatu tegakan hutan perlu melihat keberadaan dan status kawasan hutan tidak berkurang yang disebut deforestasi dan tidak menurun stok karbon pada setiap hektar hutan yang disebut degradasi hutan. Menurut Stern 2008 diacu dalam Angelsen dan Kanounnikoff 2008 , terdapat tiga kriteria dalam mengevaluasi pencapaian tujuan REDD yakni effectiveness yakni mitigasi dan adopsi emisi gas rumah kaca GHG pada skala yang disyaratkan untuk menjaga resiko dari perubahan iklim pada level yang dapat diterima. Kriteria kedua adalah efisiensi, yakni mitigasi emisi GHG harus diimplementasikan pada cara-cara yang efisien dan biaya yang minimum, dan equity yakni hasil penjualan karbon harus terdistribusi bagi seluruh masyarakat dan komponen bangsa. Mekanisme pembayaran REDD+ harus i efektif, yakni berkontribusi nyata dan bebas dari tekanan pihak ketiga dalam verifikasi stabilisasi konsentrasi GHG atmosfer, ii efisien, yakni menghasilkan nilai uang dan menyertakan kelembagaan sektor swasta maupun publik untuk berpartisipasi secara adil, iii kesamaan, yakni meminimumkan atau menghindari resiko yang lebih besar dari masyarakat miskin dan marjinal yang mata pencahariannya bergantung pada hutan, mengalihkanmencegah distorsi pasar hasil hutan dan melibatkan partisipasi pemerintah dalam kesepakatan keadilan pada level nasional dan internasional.

2.4 Skenario Pengelolaan Hutan Pada Skema REDD

REDD merupakan bentuk pembayaran jasa lingkungan atas serapan CO 2 bebas di atmosfer oleh hutan melalui mekanisme fotosintesis. REDD merupakan skema untuk memperoleh nilai jasa hutan yang tidak semata karena kayu namun REDD dapat berjalan karena adanya potensi kayu dan bentuk serapan karbon lainnya. Adapun beberapa skenario yang mungkin dapat ditawarkan dalam pengelolaan hutan bersama REDD antara lain: 1. Moratorium Penebangan Moratorium penebangan adalah penundaan produksi atau ekstraksi hasil hutan kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga carbon sink dari hutan serta menjaga serapan karbon di atmosfer. Kebijakan ini berlangsung ketika hutan dianggap sebagai pabrik O 2 dan ketika pabrik itu diganggu maka kemampuan serapan akan menurun. Emisi rujukan adalah proyeksi emisi dari deforestasi dan degradasi yang memungkinkan untuk dilakukan pengukuran pengurangan emisi. Emisi rujukan dapat dinyatakan sebagai tolok ukur peta tutupan hutan yang menunjukkan lokasi hutan dan bagaimana variasi hutan-hutan tersebut terkait dengan karbon, atau kepentingan nasional lainnya IFCA 2007b diacu dalam Budiharto 2009. Moratorium penebangan sering disebut dengan jeda tebangan sebagaimana kini telah dipraktekkan di Nanggroe Aceh Darussalam NAD dengan Instruksi Gubernur NAD Nomor 5 Tahun 2007. Menurut Instruksi Gubernur INGUB No. 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, latar belakang lahirnya kebijakan ini didasari oleh kondisi objektif pengelolaan hutan Aceh yang tidak terkendali, sehingga kerap melahirkan bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor, serta konflik antara satwa dan manusia. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberlakukan moratorium logging adalah “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera” melalui tiga program pokok, yakni redesign, reforestrasi, dan reduksi laju deforestrasi Gumay 2008. Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m 3 kayu bulat tiap tahunnya. Sayangnya, hal ini tak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m 3 , dua kali lipat kemampuan hutan Indonesia. Maraknya pembalakan liar adalah akibat dari ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin meluluhlantakkan hutan kita. Tercatat total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m 3 , yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 Syumada 2010. Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan. Bila kebijakan pemenuhan kebutuhan kayu mengimpor, akan sangat mempengaruhi nilai investasi yang diperlukan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp. 75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH Hak Pengusahaan Hutan dan 77 perusahaan HTI Hutan Tanaman Industri Effendi 2009. Lebih lanjut Effendi 2009 menjelaskan bahwa Luas hutan alam yang terdapat di areal konsesi 187 perusahaan-perusahaan HPH dan HTI tersebut mencapai 7,58 juta hektar, dan perusahaan-perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu dan konversi hutan alam seluas 1,84 juta hektar hingga 2018. Angka Rp 75,24 triliun adalah nilai penjualan kayu dari rencana eksploitasi kayu oleh 187 perusahaan HPH dan HTI tersebut hingga 2018 nanti yang mencapai 79,69 juta m 3 . 2. Penerapan RIL