PENUTUP Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan memberikan manfaat yang semakin lama semakin dapat kita rasakan, baik dilihat dari fungsi produk, sosial maupun lingkungan Hardjanto 2003. Hutan memiliki fungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem, perlindungan kehidupan, proteksi daerah aliran, penyimpanan cadangan, pemelihara kesuburan tanah dan penyerap CO 2 dan pengahasil O 2. Undang-undang No.41 Tahun 1999 mengatakan bahwa salah satu penyelenggraan hutan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari. Pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam memiliki status public property yang bermanfaat bagi kemakmuran kemakmuaran rakyat, sehingga perlu adanya kerjasama dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari. Berdasarkan kepemilikannya, hutan dibedakan menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara adalah kawasan hutan yang tumbuh di atas lahan yang tidak dibebani oleh hak milik, sedangkan hutan milik atau hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani secara perseorangan maupun bersama-sama atau badan hukum. Data dari Departemen Kehutanan 2012 mengatakan bahwa luas kawasan hutan Indonesia tahun 2012 mencapai 120.61 juta ha, kawasan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi 21.17 juta ha, kawasan hutan lindung 32.06 juta ha, kawasan hutan produksi terbatas 22.82 juta ha, kawasan hutan produksi 33.68 juta ha, dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonservasi 20.88 juta ha. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 0.45 persen 542 745 ribu ha dari jumlah total luas hutan Indonesia. Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi, dan lainnya. Faktor-faktor penyebab rusaknya hutan dan meluasnya lahan kritis yaitu pembalakan liar, kebakaran hutan, okupasi lahan, dan alih fungsi lahan sebagai akibat dari desakan ekonomi masyarakat terutama di sekitar hutan Dephut 2012. Kementerian Kehutanan telah berupaya dengan menetapkan program-program untuk mengatasi kerusakan hutan dan meluasnya lahan kritis, antara lain: pemberantasan illegal loging, revitalisasi sektor kehutanan, rehabilitasi, dan konservasi sumberdaya hutan serta pemberdayaan masyrakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Salah satu contoh kerusakan hutan dan lahan kritis terdapat di Provinsi Lampung, dari 1 004 735 ha luas hutan, setidaknya 64 persen 643 030 ha kawasan hutan di Provinsi Lampung telah mengalami kerusakan Dephut 2012. Kerusakan hutan tersebut mengakibatkan fungsi-fungsi hutan menjadi terganggu, baik fungsi ekonomi dan fungsi ekologis. Penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lahan kritis di Provinsi Lampung yaitu rusaknya deaerah tangkapan air, okupasi lahan, maraknya perambahan liar dan konflik kawasan hutan serta penzonaan kawasan hutan yang belum maksimal Dephut 2012. Kerusakan hutan dan lahan kritis disebabkan pengelolaan hutan di Provinsi Lampung hanya dikelola oleh pihak pemerintah tanpa melibatkan keikutsertaan masyarakat, sehingga pengelolaan hutan masih bersifat top down. Menurut Hardjanto 2003 kementerian kehutanan menetapkan program- program untuk mengatasi meluasnya lahan kritis seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gerhan, Social Forestry Pengembangan hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan Rotan, Madu, Sutera Alam. Selain itu, menurut Purnomo 2006 salah satu pola rehabilitasi lahan kritis secara vegetasi dan partisipatif bagi masyarakat adalah membangun hutan dengan pola PHBM, karena melalui pembangunan tersebut akan meningkatkan produktivitas lahan serta menunjang konservasi tanah dan air. Keberhasilan pola PHBM diperlukan keterlibatan aktor- aktor yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tadjudin 2000 merumuskan dalam pengelolaan hutan terdapat aktor- aktor yang berkepentingan yaitu pemerintah, swasta dan, masyarakat. Pemerintah mendefiniskan hutan sebagai karunia tuhan yang pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat. Swasta mengartikan hutan sebagai bisnis yang menguntungkan dan menghasilkan uang yang besar. Masyarakat mengartikan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam, sehingga terciptanya keharmonisan antara lingkungan hutan dan lingkungan manusia. Pengelolaan hutan melalui pola PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat merupakan salah satu usaha untuk merehabilitasi di lokasi lahan kritis dan kawasan tidak produktif. Pelaksanaan PHBM dilakukan oleh pihak Perhutani dengan melibatkan partispasi aktif masyarakat desa di sekitar kawasan hutan, agar masyarakat tidak merambah hutan dengan ilegal serta mencegah kerusakan ekosistem hutan Purnomo 2006. Pola PHBM yang diterapkan kepada masyarakat yaitu dengan melakukan tanam tumpang sari atau banjar harian, penetapan pola tanam, optimalisasi ruang, maupun pengembangan usaha produktif. Jangka pendek dengan adanya pola PHBM bagi masyarakat desa sekitar kawasan hutan adalah mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan. Tujuan pengelolaan hutan melalui pola PHBM untuk pemeliharaan hutan dan mendapatkan tegakan yang berkualitas dan bernilai ekonomi tinggi pada akhir daur. Kegiatan pemeliharaan hutan meliputi penyiangan, wiwil pembersihan tunas air, pruning pemangkasan cabang, penjarangan, pencegahan terhadap hama dan penyakit, pencegahan gangguan penggembalan dan perlindungan hutan lainnya Purnomo 2006. Kegiatan pemeliharaan tersebut dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan partisipatif masyarakat desa sekitar hutan agar dapat memberikan jaminan kepada masyarakat atas akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan untuk penghidupan mereka di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Masyarakat menaruh harapan yang besar terhadap hutan melalui pola PHBM dalam segi ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai sumber penghidupan mereka. Pengelolaan hutan rakyat melalui pola PHBM sebagai perlindungan hutan untuk upaya mencegah kerusakan dari gangguan keamanan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, meliputi: pencurian pohon, okupasi lahan, pembalakan liar, kebakaran hutan, dan bencana alam Hidayah 2012. Cara yang dilakukan dalam upaya pengamanan hutan dilakukan secara preemtif, persuasif, preventif, dan represif kepada masyarakat desa sekitar hutan melalui sistem PHBM yang aktif dan partisipatif Hidayah 2012. Pengelolaan hutan melalui pola PHBM terdapat di Provinsi Lampung yaitu Tahura Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan bagian integral dari pembangunan daerah Provinsi Lampung dalam rangka pendayagunaan hutan sebagai modal dasar pembangunan dan sistem penyangga kehidupan untuk kesejahteraan masyarakat saat kini dan masa yang akan datang. Tahura Wan Abdul Rachman merupakan inisiatif dalam mendukung pengelolaan hutan sumberdaya berbasis masyarakat Kemenhut 2011. Pengelolaan hutan rakyat melalui pola PHBM memberikan dampak terhadap pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan, dikarenakan dari pihak pemerintah khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Lampung memberikan kebijakan dengan memberi peluang kepada masyarakat di kawasan hutan untuk dapat mengelola hutan dan tetap menjaga fungsi hutan, sedangkan dari pihak masyarakat memandang penting atas kebijakan hutan melalui pola PHBM dalam memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat mengelola kawasan hutan, mengambil manfaat hutan, dan menjaga kelestarian kawasan hutan Kemenhut 2011. Tahura Wan Abdul Rachman merupakan sumber sistem penghidupan bagi masyarakat desa di sekitar kawasan hutan, karena masyarakat bisa mendapatkan pangan untuk hidup sehari-hari, memperoleh makanan untuk pangan ternak, kayu bakar untuk keperluan masak, bekerja dari sektor kehutanan sebagai mata pencahariaan, dan untuk obat-obatanramuan tradisional bagi kesehatan masyarakat Kurniawan 2009. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Tahura Wan Abdul Rachman melihat hutan sebagai sumber penghidupan, cadangan bagi perluasan lahan usaha pertanian, dan untuk menjaga kerawanan struktural, seperti pertumbuhan penduduk yang begitu cepat. Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dimanfaatkan oleh masyarakat desa sebagai mata pencaharian baik dari sektor pertanian, sektor kehutanan dan sektor non pertanian buruh, berdagang, tukang kayu, tukang batu, tukang ojek, dan wiraswasta. Keadaan ini menunjukan bahwa usaha di bidang pertanian dengan menfaatkan potensi hutan di Tahura sebagai salah satu upaya untuk menjamin keperluan hidup keluarga. Hadirnya pengelolaan hutan rakyat melalui pola PHBM seperti Tahura Wan Abdul Rachman memberikan potensi tenaga kerja yang beragam bagi masyarakat pedesaan, sehingga pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan melalui distribusi tugas rumahtangga antar suami, istri, dan anak- anak Kurniawan 2009.

1.2 Masalah Penelitian

Data dari Departemen Kehutanan 2012 kondisi kawasan hutan Tahura Wan Abdul Rachman dari luas sebesar 22 249.31 ha, sekitar 39 persen 8 670.42 ha yang kondisinya masih berhutan, sedangkan selebihnya berupa kebun campuran, semak belukar, dan lahan terbuka. Kondisi hutan Tahura Wan Abdul Rachman akan sulit menngharapkan fungsi dan manfaat kawasan berjalan optimal. Hutan Tahura Wan Abdul Rachman menyimpan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya hayati yang penting bagi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan. Masyarakat pedesaan sangat tergantung dengan adanya kawasan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai sumber pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat pedesaan mengandalkan sektor pertanian, sektor kehutanan, dan sektor non-pertanian dari kawasan hutan tersebut sebagai sumber nafkah. Hal ini menunjukkan keterkaitan masyarakat dengan lahan di kawasan hutan sangat tinggi. Bertambahnya jumlah penduduk di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman yang berasal dari Pulau Jawa menyebabkan terbatasnya lahan garapan, sehingga membuat masyarakat dalam memanfaatkan hutan tersebut menjadi tidak optimal Kurniawan 2009. Terbatasnya lahan garapan membuat kegiatan usaha masyarakat dalam menjamin keperluan hidup rumahtangga hanya sebatas produksi secara subsisten. Diversifikasi merupakan salah satu usaha untuk mengoptimalkan kegitan produksi dari lahan garapan tidak hanya sebagai untuk pemenuhan hidup subsisten tetapi bisa untuk tabungan atau investasi jangka panjang Kurniawan 2009. Kementerian Kehutanan 2011 menyatakan bahwa hutan Tahura Wan Abdul Rachman melalui program PHBM merupakan salah satu program pemerintah Provinsi Lampung untuk melestarikan lingkungan, seperti reboisasi, mencegah erosi, dan pemabalakan liar. Program tersebut erat kaitannya dengan efek pemanasan global, dimana hutan bisa mengurangi kadar CO 2 di udara dan memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Program tersebut dapat memberikan kontribusi dalam penurunan gas rumah kaca secara signifikan. Selama ini persepsi masyarakat tentang memahami kawasan Tahura Wan Abdul Rachman berbeda dengan pemerintah antara lain mencegah banjir, sumber pendapatan, untuk mencukupi kebutuhan manusia, dan kesejahteraan manusia. Perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat lebih mengutamakan kepentingan masing-masing, akan tetapi perspesi, perilaku, dan sikap masyarakat cenderung eksploitatif dalam memanfaatkan hutan seperti perambahan liar dan perburuan liar, sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan. Akibat dari eksploitatif membuat sistem ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar dan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman berkurang dan terganggu, hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat menjadikan hutan sebagai areal perladangan dengan tidak mereboisasinya kembali dan semakin banyaknya pembalakan liar serta tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah dalam memahami arti fungsi hutan sebenarnya Kemenhut 2011. Kurniawan 2009 menjelaskan bahwa persoalan pendapatan masyarakat di Tahura Wan Abdul Rachman sangat fluktuatif tergantung pada alam sekitarnya. Ketika alam sedang kondusif bagi pertumbuhan tanaman yang masyarakat garap, maka pendapatan masyarakat akan tambah membaik, namun ketika alam kurang bersahabat misal musim kemarau yang panjang akan berpengaruh pada hasil pendapatan yang diperoleh, sehingga pendapatan akan menurun Kurniawan 2009. Faktor lain yang menyebabkan pendapatan masyarakat fluktuatif dan cenderung rendah di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman adalah budaya masyarakat yang kurang menonjolkan adanya suatu pembaharuan dalam bekerja keras di sektor pertanian, selain itu pola adaptasi masyarakat terwujud dalam ketidakseriusan untuk berusaha mengurus pertanian sebaik mungkin ketika harga jual pertanian jatuh. Adaptasi lainnya adalah dalam bentuk pola produksi yang subsisten atau hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidup, meskipun diperoleh dengan cara menjual hasil produksi. Pola produksi subsisten memberikan dampak pada pola perilaku masyarakat yang baru mau berusaha bertani, ketika pendapatan yang diperoleh hampir habis. Selama pendapatan yang ada belum habis, maka masyarakat di Tahura Wan Abdul Rachman tidak berusaha melakukan kegiatan lain untuk menambah pendapatan. Masyarakat di kawasan hutan Tahura Wan Abdul Rachman memiliki sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari sektor pertanian, sektor kehutanan, dan sektor non-pertanian. Permasalahan pertumbuhan penduduk yang meningkat, belum paham dan masih rendahnya pendidikan masyarakat tentang memahami fungsi hutan, dan pola adaptasi dengan produksi subsisten menyebabkan sumber pendapatan keluarga menjadi fluktuatif. Berdasarkan uraian tersebut rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk akses masyarakat desa sekitar hutan dalam program PHBM di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran? 2. Bagaimana strategi nafkah rumahtangga petani di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran? 3. Bagaimana struktur nafkah rumah tangga petani di Desa Bogorejo dari sumber pendapatan di sektor PHBM hutan rakyat, sektor pertanian, dan sektor non- pertanian? Seperti apa perbandingan sumber pendapatan diantara ketiganya? 4. Seberapa besar kontribusi struktur nafkah rumahtangga petani di Desa Bogorejo dari sumber pendapatan di sektor PHBM hutan rakyat, sektor pertanian, dan sektor non-pertanian terhadap tingkat kemiskinan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis bentuk akses masyarakat desa sekitar hutan dalam program PHBM di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. 2. Menganalisis bentuk strategi nafkah rumahtangga petani di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. 3. Menganalisis struktur nafkah rumah tangga petani dari sumber pendapatan di sektor PHBM hutan rakyat, sektor pertanian, dan sektor non-pertanian serta perandingan ketiganya. 4. Menganalisis kontribusi struktur nafkah rumahtangga petani di Desa Bogorejo dari sumber pendapatan di sektor PHBM hutan rakyat, sektor pertanian, dan sektor non-pertanian terhadap tingkat kemiskinan

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi beberapa pihak, yakni: 1. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan hutan dengan program PHBM memberi peluang kepada masyarakat di kawasan hutan untuk dapat mengelola hutan dan tetap menjaga fungsi hutan. 2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan mengenai strategi nafkah masyarakat di Desa Bogorejo terhadap kawasan hutan Tahura Wan Abdul Rachman yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat mengelola kawasan hutan, mengambil manfaat hutan, dan menjaga kelestarian kawasan hutan. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat digunakan masyarakat sebagai sumber pendapatan masyarakat, sehingga menjadi variatif, bahkan bisa dikombinasikan dari aktivitas ekonomi di bidang pertanian dan non pertanian.

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Hutan Rakyat Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 mengatakan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, dengan penutupan tajuk dominasi oleh tanaman perkayuan lebih dari 50 persen, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang Awang 2001. Hardjanto 2003 mengatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga hutan milik. Walaupun hutan rakyat di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari total hutan, namun tetap penting karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan masyarakat juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, disamping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya. Hutan rakyat juga didefinisikan sebagai penghijauan suatu daerah untuk diperuntukan bagi masyarakat dan hutan rakyat dapat diartikan sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat, baik secara perseorangan, kelompok, maupun suatu badan hukum atau koperasi Nurwanto dan Prakoso 1979. Hutan rakyat telah memberikan manfaat ekonomi yang langsung dirasakan oleh masyarakat desa pemilik hutan rakyat. Manfaat yang dirasakan adalah kayu yang digunakan untuk bahan bangunan guna memperbaiki kondisi rumah mereka yang dulunya terbuat dari bambu. Masyarakat pedesaan dapat memperoleh tambahan pendapatan dari menjual kayu hasil hutan rakyat baik dalam bentuk pohon berdiri maupun dalam bentuk bahan bakar. Penjualan kayu hasil hutan rakyat ini biasanya dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak dan keuangan yang ada kurang mampu mencukupi Suharjito 2000. Kebutuhan yang mendesak dan keuangan yang tidak mencukupi diartikan sebagai mekanisme tebang butuh yaitu sifat pengelolaan hutan rakyat secara subsisten, tetapi petani menebang hanya pada saat mereka membutuhkan uang tunai untuk keperluan kebutuhan keluarga, seperti untuk biaya sekolah, hajatan, dan memenuhi kebutuhan untuk konstruksi rumah sendiri Hindra 2005. Jaffar 1993 mengatakan bahwa pembangunan hutan rakyat bertujuan untuk: 1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau area yang tidak produktif secara optimal dan lestari. 2. Membantu keanekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat. 3. Membantu dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku kayu industri serta bahan bakar. 4. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di pedesaan. 5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan hulu daerah aliran sungai. Fauziah dan Diniyati 2008 mengatakan bahwa terdapat jenis tanaman yang ditanam di hutan rakyat terdiri dari jenis tanaman kayu dan MPTS Multi Purpose Tree Species , jenis-jenis tanaman kayu yaitu seperti mahoni Swietenia sp, sengon Paraserianthes falcataria, pala Myristrica fragrans, afrika Maesopsis eminii, sungkai Peronema canescens, suren Toona sureni, jati Tectona grandis, dan sebagainya. Pohon-pohon MPTS atau pohon serbaguna adalah jenis pohon yang memiliki beragam kegunaan, selain dapat dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan lain-lain, pohon ini memiliki manfaat lain sebagai makanan buah, biji, daun, atau kulitnya, pakan ternak bahkan dapat dijadikan obat-obatan. Kemudian dari sisi ekologis pohon ini juga dapat berfungsi sebagai penahan angin, konservasi tanah, pagar hidup, fiksasi nitrogen, pupuk, dan sebagainya. Pohon-pohon MPTS yang ditanam di lahan masyarakat akan memberikan penghasilan tambahan yang bisa lebih sering dirasakan manfaatnya dibanding tanaman kayu. Jenis-jenis MPTs diantaranya yaitu alpukat Persea americana, nangka Arthocarpus heterophyllus, duku Lansium domesticum, petai Parkia speciosa, rambutan Nephelium lappecum, manggis Garcinia mangostana, dan lain-lain.

2.1.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

Hardjanto 2003 mengatakan bahwa terdapat dua jenis pengelolaan hutan rakyat yaitu hutan rakyat swadayatradisional dan hutan rakyat kemitraaninpres. Pengelolaan swadaya dibagi lagi menjadi dua berdasarkan kedekatan jarak pemilik dengan lokasi hutan rakyat yakni pemilik memiliki jarak dekat dan jauh dari lokasi hutan rakyat. Hutan rakyat pengelolaan kemmitraan dengan pemerintah digolongkan kepada jenis hutan rakyat inpres, meskipun hutan rakyat inpres tidak ada lagi programnya sekarang ini, kegiatan ini termasuk inpres karena semua bantuan yang diberikan berasal dari pemerintah dan tidak perlu dikembalikan lagi dana yang digulirkan kepada petani. Mustofa et.al 2011 mengatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat terdapat perbedaan dengan pengelolaan hutan secara umum, dimana pengelolaan dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0.25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 persen serta dikembangkan sesuai kondisi dan situasi sosial budaya setempat. Usaha hutan rakyat adalah usaha pengelolaan hutan rakyat dalam satuan unit manajemen yang didasarkan pada azas ekonomi dan kelestarian lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah, berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah berupa sertifikat hak milik atau Leter C, sertifikat hak pakai, dan surat lainnya yang diakui sebagai bukti pengusaan tanah. Hasil hutan rakyat disebut kayu rakyat, kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas lahan masyarakat. 2. Hutan tanaman rakyat adalah usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur yang sesuai untuk menjamin