Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat
diantaranya konsep kebutuhan dasar the concept of minimum needs dan konsep satuan pengukuran unit measure Schiller 2008.
Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis
kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan
nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Kebutuhan makanan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah
yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energy sebesar 2100 kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makan adalah
nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya
Urip 2008.
Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa
tercemin dari daya beli purchasing power dan satuan mata uang merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli Schiller 2008. Konsep
tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2 per
hari. 2.1.9 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Alam
Menurut Lynch dan Harwell 2002 terdapat empat tipe rezim hak kepemilikan property rights sumberdaya alam yaitu sebagai berikut:
1. Akses terbuka open access adalah tidak ada hak pengusaankepemilikan atas sumberdaya, sumberdaya bebas dan terbuka diakses oleh siapapun,
tidak ada regulasi yang mengatur serta hak kepemilikan tidak didefinisikan dengan jelas.
2. Milik pribadi private property adalah sumberdaya bukan milik negara melainkan dimiliki oleh organisasi atau individu, ada aturan yang
mengatur hak-hak pemilik dalam memanfaatkan sumberdaya alam, manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik, dan hak pemilikan
dapat dipindah-tangankan.
3. Milik kelompok masyarakat common property adalah sumberdaya dikuasai oleh sekelompok masyarakat dimana para anggota punya
kepentingan untuk kelestarian pemanfaatan, pihak luar bukan anggota tidak boleh memanfaatkan, hak pemilikan tidak bersifat eksklusif dapat
dipindah-tangankan sepanjang sesuai aturan yang disepakati bersama, dan aturan pemanfaatan mengikat anggota kelompok.
4. Milik negara state property adalah hak pemanfaatan sumberdaya alam secara eksklusif dimiliki oleh pemerintah dan pemerintah yang
memutuskan tentang akses serta tingkat dan sifat eksploitasi sumberdaya alam.
Rezim hak kepemilikan mempunyai fungsi dan peranan masing-masing dalam mengelola sumberdaya alam yang dimiliki, tetapi terdapat kelemahan dari
masing-masing tipe rezim hak kepemilikan tersebut. Seperti yang dijelasakan
menurut Garret Hardyn 1968 kelemahan dalam setiap tipe rezim hak kepemilikan sumberdaya alam sebagai berikut:
1. Kelemahan rezim akses terbuka adalah terjadinya tragedy of the commons, ketika sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya dimanfaatkan semua
orang, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkan secara intensif, dan berakibat kelimpahan sumberdaya alam menurun serta semua
pihak merugi.
2. Kelemahan rezim milik pribadi adalah lemahnya komitmen pada kelestariaan sumberdaya alam, menimbulkan konflik dengan masyarakat
setempat, dan kesenjangan ekonomi. 3. Kelemahan rezim milik kelompok masyarakat adalah pertimabangan
saintifik rendah, bersifat lokal dan spesifik, serta institusionalisasi rumit. 4. Kelemahan rezim milik negara adalah transaction cost yang tinggi,
ketidaksesuaian antara aturan dengan kondisi lapang, lambat dalam merespon kejadian permasalahan di lapang, keterlambatan pelaksanaan
aturan, kesulitan penegakan hukum, dan masalah koordinasi serta konflik kewenangan.
Salah satu cara penyelesaiaan konflik pengelolaan sumberdaya alam yaitu dengan rezim manajemen kolaborasi, suatu konsep untuk menunjukkan kombinasi
derajat intensitas keterlibatan antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Tadjudin 2000 menyatakan bahwa manajemen kolaboratif sebagai bentuk
manjemen
yang mengakomodasikan
kepentingan-kepentingan seluruh
stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai
ensitas yang sederajat sesuai dengaan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Mitchell 2000 menyatakan manajemen kolaboratif adalah sebagai salah satu bentuk kemitraan dimana pembagian kekuasaan dalam pengambilan
keputusan benar-benar
diterapkan. Pihak-pihak
yang terlibat
saling mempertukarkan informasi, dana, dan tenaga untuk mencapai tujuan yang
diterima oleh semua pihak. Menurut Tadjudin 2000 manajemen kolaborasi mempunyai tahapan-tahapan manajerial seperti perencanaan, pengorganisasian,
dan pelaksanaan. Tahapan tersebut ditempatkan pada dalam dua konteks, yaitu bahwa seluruh tahapan itu dipandang sebagai siklus perbaikan yang
mengakomdasikan adanya feedback loop dan setiap introduksi tahapan tersebut ditempatkan dalam konteks pengembangan masyarakat yang mengandung
komponen pembelajaran sosial, pemberdayaan kelmabgaan, dan aksi kloketif.