PENDAHULUAN Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo

Fauziah dan Diniyati 2008 mengatakan bahwa terdapat jenis tanaman yang ditanam di hutan rakyat terdiri dari jenis tanaman kayu dan MPTS Multi Purpose Tree Species , jenis-jenis tanaman kayu yaitu seperti mahoni Swietenia sp, sengon Paraserianthes falcataria, pala Myristrica fragrans, afrika Maesopsis eminii, sungkai Peronema canescens, suren Toona sureni, jati Tectona grandis, dan sebagainya. Pohon-pohon MPTS atau pohon serbaguna adalah jenis pohon yang memiliki beragam kegunaan, selain dapat dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan lain-lain, pohon ini memiliki manfaat lain sebagai makanan buah, biji, daun, atau kulitnya, pakan ternak bahkan dapat dijadikan obat-obatan. Kemudian dari sisi ekologis pohon ini juga dapat berfungsi sebagai penahan angin, konservasi tanah, pagar hidup, fiksasi nitrogen, pupuk, dan sebagainya. Pohon-pohon MPTS yang ditanam di lahan masyarakat akan memberikan penghasilan tambahan yang bisa lebih sering dirasakan manfaatnya dibanding tanaman kayu. Jenis-jenis MPTs diantaranya yaitu alpukat Persea americana, nangka Arthocarpus heterophyllus, duku Lansium domesticum, petai Parkia speciosa, rambutan Nephelium lappecum, manggis Garcinia mangostana, dan lain-lain.

2.1.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

Hardjanto 2003 mengatakan bahwa terdapat dua jenis pengelolaan hutan rakyat yaitu hutan rakyat swadayatradisional dan hutan rakyat kemitraaninpres. Pengelolaan swadaya dibagi lagi menjadi dua berdasarkan kedekatan jarak pemilik dengan lokasi hutan rakyat yakni pemilik memiliki jarak dekat dan jauh dari lokasi hutan rakyat. Hutan rakyat pengelolaan kemmitraan dengan pemerintah digolongkan kepada jenis hutan rakyat inpres, meskipun hutan rakyat inpres tidak ada lagi programnya sekarang ini, kegiatan ini termasuk inpres karena semua bantuan yang diberikan berasal dari pemerintah dan tidak perlu dikembalikan lagi dana yang digulirkan kepada petani. Mustofa et.al 2011 mengatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat terdapat perbedaan dengan pengelolaan hutan secara umum, dimana pengelolaan dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0.25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 persen serta dikembangkan sesuai kondisi dan situasi sosial budaya setempat. Usaha hutan rakyat adalah usaha pengelolaan hutan rakyat dalam satuan unit manajemen yang didasarkan pada azas ekonomi dan kelestarian lingkungan. Hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah, berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah berupa sertifikat hak milik atau Leter C, sertifikat hak pakai, dan surat lainnya yang diakui sebagai bukti pengusaan tanah. Hasil hutan rakyat disebut kayu rakyat, kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas lahan masyarakat. 2. Hutan tanaman rakyat adalah usaha untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang diberikan kepada perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur yang sesuai untuk menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Kegiatan usaha dilaksanakan di kawasan hutan alam dan produksi yang dikonversi menjadi hutan tanaman, yakni kawasan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak atau perizinan lainnya. Pengelolaan usaha dilakasanakan melalui tahapan dimana masayarakat di dalam dan di sekitar hutan membentuk koperasi yang dapat mengelola paling luas 700 ha dan perorangan paling luas 15 ha, dengan dukungan pendanaan dari pusat melalui pembiayaan pembangunan hutan untuk kredit dengan bunga ringan. 3. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya diajukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, dengan sasaran adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi; belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan; menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat; izin diberikan kepada “Kelompok Masyarakat Setempat”. Areal kerja hutan kemasyarakatan adalah suatu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari, sedangkan penyelengaraan hutan kemasyarakatan yaitu untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat untuk persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.

2.1.3 Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Indonesia telah dibangun dalam skala besar sejak zaman kolonial Belanda baik melalui swadaya masyarakat maupun program bantuan penghiajauan. Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarakan inisiatif masyarakat, pembangunan hutan rakyat diarahkan untuk mengembalikan produktivitas lahan kritis, konversi lahan, perlindungan hutan, dan pengentasan kemiskinan melalui upaya pemberdayaan di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Hardjanto 2003 mengemukakan istilah dan bentuk-bentuk pengelolaan hutan rakyat yaitu: 1 Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang terdiri dari suatu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur; 2 Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran; dan 3 Hutan rakyat dengan sistem agroforetry adalah hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usaha tani lainnya seperi perkebunan, pertanian, perternakan, dan lain-lain secara terpadu pada suatu lokasi. Hutan rakyat agroforestry berorientasi kepada optimalisasi pemanfaatan lahan secara ideal, baik dari segi ekonomi maupun ekologi. Fandeli 1995 mengatakan bahwa agrofrestry adalah suatu sistem pertanaman yang merupakan bentuk kegiatan kehutanan, pertanian dan atau perikanan, ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Agroforestry merupakan bentuk usaha tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama atau berurutan jenis-jenis tanaman pertanian, bentuk lapangan penggembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan Satjapradaja 1983. Bentuk pengelolaan hutan rakyat tidak lepas dari hak kepemilikan lahan atas suatu sumberdaya alam, Fauzi 2006 mengatakan bahwa dalam membagi hak kepemilikan lahan menjadi empat macam yaitu: 1 Private property, yaitu suatu kepemilikan oleh swasta dimana hak akses, pemanfaatan, pengelolaan dan lain-lain yang melekat dengan barang atau komoditas tersebut sepenuhnya menjadi hak swasta. Swasta disini bisa bersifat perorangan atau badan hukum; 2 Kepemilikan oleh negara, dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara. Negara pula yang berhak mentransfer hak atas barangkomoditas tersebut kepada pihak lain; 3 Kepemilikan kolektif, dimana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang yang sudah terdefinisi secara jelas, misalnya anggota kelompok, koperasi atau organisasi tertentu. Artinya, hak-hak tersebut hanya melekat pada sejumlah orang yang telah terdefinisikan secara jelas; dan 4 Kepemilikan terbuka open access pada hakekatnya kepemilikan terbuka bukanlah hak kepemilikan karena tidak ada pihak yang dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumberdaya tersebut. Lautan lepas atau hutan belantara umumnya merupakan kepemilikan terbuka karena tidak ada yang mengklaim sebagai pemiliknya.

2.1.4 Pengelolaan Hutan melalui Program PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

Purnomo 2006 mengatakan bahwa pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM adalah suatu pola atau sistem pengelolaan sumberdaya hutan. Hal tersebut sesuai dengan azaz kemitraan dan prinsip untuk menyeleraskan pola kepentingan antara pemangku kepentinganstakeholders. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ini dimaksudkan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proposional dan profesional. PHBM bertujuan untuk meningkatkan peran dan tangung jawab Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. Pola pengelolaan hutan PHBM memiliki perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan social forestry. PHBM dicanangkan oleh Perum Perhutani sebagai tonggak transformasi Perusahaan kehutanan milik negara menuju yang berorientasi kepada masyarakat. Pengelolaan hutan Perum Perhutani tidak lagi berorientasi kepada produk kayu saja, melainkan kepada semua komponen sumberdaya hutan. Pola manajemen yang dulunya state based forest management berubah menjadi community based forest management, artinya proses pengelolaan hutan Perum Perhutani dilaksanakan bersama masyarakat dengan prinsip saling berbagi, kesetaraan dan keterbukaan. Prinsip berbagi yang dimaksud adalah pembagian peran, tanggung jawab dan faktor produksi bahkan hingga pembagian hasil. Pengelolaan produk merupakan bentuk kegiatan dalam PHBM yang tidak hanya berorientasi produk kayu namun juga mengembangkan berbagai jenis produk selain kayu. Melalui kegiatan PHBM seluruh sumberdaya dan potensi hutan termasuk jasa lingkungan dapat dikerjasamakan. Pengelolaan peran yaitu dalam kegiatan PHBM masyarakat memiliki peran sebagai pelaku utama disamping perum perhutani. Masyarakat memiliki peran yang sangat besar mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi hingga proses pemanenan hasil. Hal ini untuk meningkatkan kualitas kerjasama dalam melaksanakan pengelolaan hutan. Pengelolaan pembagian hasil yaitu mekanisme pembagian keuntungan dari proses kegiatan PHBM. Besarnya nilai pembagian hasil dalam pelaksanaan kegiatan PHBM dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomer 001 Tahun 2002. Dalam surat keputusan ini, masyarakat akan memperoleh pembagian hasil dari tanaman pokok sebesar 25 persen, sementara Perum Perhutani memperoleh sebesar 75 persen. Prinsip kesetaraan yang dimaksud adalah implementasi sistem PHBM meliputi proses sosial dan proses fisik yang meliputi tahapan kegiatan yaitu: 1 sosialisasi sistem PHBM kepada pihak internal dan eksternal; 2 pemetaan wilayah hutan menjadi wilayah-wilayah Hutan Pangkuan Desa HPD serta inventarisasi potensi desa dan potensi hutan; 3 pembentukan kelembagaan desa Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH; 4 penyusunan rencana dan strategi pengelolaan hutan antara LMDH dan Perum Perhutani; 5 penandatanganan Perjanjian kerja sama PKS PHBM antara LMDH dengan Perum Perhutani; dan 6 monitoring dan evaluasi Pelaksanaan PHBM. Prinsip keterbukaan yang dimaksud adalah berjalannya sistem partisipatif pada masyarakat dalam memberikan sumbangsih aturan main terhadap konsep PHBM. Berdasarkan penelitian Hidayah 2012 konsep PHBM memberikan pola- pola kerjasama kepada masyarakat, seperti pola pesanggem banjar harian dan tumpang sari. Pesanggem atau petani yang menggarap lahan hutan Perhutani mempunyai dua pilihan dalam memanfaatkan lahan PHBM. Pilihan tersebut adalah pola banjar harian dan tumpang sari. Banjar harian adalah pesanggem yang bekerja di lahan Perhutani untuk melakukan pembersihan atau pembabatan sebelum dilakukan penanaman jati. Pola tumpang sari adalah pesanggem yang ikut mengolah lahan untuk ditanami tanaman sela. Letak perbedaannya adalah pesanggem pada pola banjar harian diberikan upah untuk melakukan pembersihan dan pembabatan lahan. Sementara pesanggem pada pola tumpang sari tidak diberikan. Pesanggem mendapatkan upah sesuai jenis pekerjaan dan lama waktu kerja. Pesanggem banjar harian dibutuhkan apabila tidak ada atau minim keinginan masyarakat untuk mengolah lahan hutan. Lahan yang dapat diolah tersedia, namun tidak ada masyarakat yang ingin mengolahnya. Hal tersebut dapat dilihat ketika lahan bekas tebangan setahun sebelumnya tetapi masyarakat tidak ada yang mengajukan untuk bisa mengolahnya. Menurut pihak Perhutani dengan pola banjar harian atau tumpang sari dapat menyelaraskan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan Perhutani, seperti dalam pola banjar harian, Perhutani mengeluarkan biaya modal produksi dengan model seperti ini. Perhutani memanfaatkan pesanggem atau masyarakat membersihkan lahan yang akan ditebang atau sebelum penanaman ulang tanaman jati, berbeda dengan pola tumpang sari yang sedikit lebih menghemat biaya karena pesanggem yang akan menanam tanaman akan sekaligus membersihkan lahan yang akan ditanam kayu jati kembali. Hal ini juga menjadi sebuah simbiosis mutualisme antara Perhutani dan masyarakat, Perhutani mendapatkan hasil dari pembersihan lahan tersebut dan masyarakat dapat mengambil lahan hutan milik Perhutani. 2.1.5 Strategi Nafkah Rumahtangga Dharmawan 2007 mengatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Ellis 2000 mengatakan bahwa nafkah mengarah pada perhatian hubungan antara aset dan pilihan orang untuk kegiatan alternatif yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan untuk bertahan hidup, di mana sebuah nafkah terdiri dari aset, alam, fisik, manusia, modal keuangan, dan sosial kegiatan dan akses dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumah tangga. Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumahtangga yaitu dengan menyususun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, keamanan sosial berbasis kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis pertetanggaan Iqbal 2004. Chambers 1992 membagi strategi nafkah rumah tangga ke dalam tiga tahap, yaitu: desperation, vulnerbility, dan, independence. Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Tahap pertama yaitu Desperation, tujuannya adalah bertahan hidup survival, cara yang ditempuh adalah dengan menjadi buruh lepas, memanfaatkan common property, migrasi musiman, dan meminjam dari patron. Tahap kedua yaitu Vulnerability, jaminan keamanan adalah tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset, menggadaikan aset, dan berhutang. Tahap ketiga yaitu Independence, kehormatan diri, misalnya: berusaha membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patronklien, melunasi hutang, menabung dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki. Scoones 1998 mengatakan bahwa dalam penerapan strategi nafkah, rumahtangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk dapat mempertahankan hidup. Strategi nafkah livelihood strategy diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori, yaitu: 1 rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja intensifikasi, maupun dengan memperluas lahan garapan ekstensifikasi; 2 pola nafkah ganda diversifikasi, yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga ayah, ibu dan anak untuk ikut bekerja, selain pertanian, dan memperoleh pendapatan; dan 3 rekayasa spasial migrasi, merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan tambahan. White 1990 mengatakan bahwa dapat dibedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten. Mereka biasanya bekerja pada sektor non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Rumahtangga golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup survival strategy.

2.1.6 Sumber Pendapatan Rumahtangga

Mengacu pada Dharmawan 2001 yang menyebutkan bahwa sumber nafkah rumahtangga sangat beragam multiple source of livelihood karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Menurut Purnomo 2006 sumber nafkah merupakan aset, sumberdaya atau modal yang dimiliki rumahtangga untuk dapat digunakan dalam pencapaian tujuan nafkah rumahtangga. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga. Aset mengacu semua hal yang dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga. Menurut Ellis 2000 pendapatan dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, pendapatan pertanian on-farm, yakni pendapatan yang diperoleh dari pertanian yang diperhitungkan sendiri seperti lahan milik sendiri atau lahan yang diperoleh melalui pembelian tunai atau bagi hasil. Kedua, pendapatan off-farm, yakni pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian termasuk upah dalam bentuk pemberian barang seperti padi dan bentuk upah kerja yang lain. Ketiga, pendapatan non pertanian non-farm, yakni pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi enam kategori yaitu: 1 upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; 2 usaha sendiri di luar kegiatan pertanian atau pendapatan bisnis; 3 pendapatan dari hak milik misalnya: sewa; 4 kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; 5 transfer dari urban yang lain seperti pendapatan pensiunan dan 6 kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Ellis 2000 mengatakan bahwa teradapat lima ketegori modal utama sebagai basis nafkah yaitu sebagai berikut: 1. Modal alam mengacu pada sumberdaya alam tanah, air, pohon yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan hidup mereka; 2. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi; 3. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi; 4. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit; dan 5. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka. Ellis 2000 mengelompokkan pendapatan menjadi pendapatan uang tunai in cash atau bentuk kontribusi lain in kind untuk kesejahteraan material individu atau keluarga yang diperoleh dari berbagai kegiatan. Bentuk pendapatan tunai meliputi penjualan tanaman atau ternak, gaji atau upah, sewa dan kiriman uang remittance. Pendapatan dalam bentuk lain mengacu pada konsumsi produk tanaman sendiri, pembayaran dalam bentuk barang, dan transfer atau pertukaran barang konsumsi antara rumahtangga dalam komunitas desa atau antara rumahtangga dengan desa dan kota. Upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup, rumahtangga petani tidak hanya menerapkan salah satu strategi nafkah tetapi dengan mengkombinasikan dari berbagai bentuk strategi nafkah. Masitoh 2005 mengatakan bahwa terdapat enam bentuk strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani yaitu sebagai berikut: 1. Strategi waktu pola musiman, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan saat-saat tertentuperistiwa tertentu yang terjadi; 2. Strategi alokasi sumberdaya manusia tenaga kerja, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing; 3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian secara maksimal; 4. Strategi spasial, strategi ini dilakukan dengan berbasiskan rekayasa sumberdaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga guna mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga; 5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara menganekaragamkan nafkah; dan 6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi.

2.1.7 Rumahtangga Petani RTP

Pengertian Rumhtangga Petani RTP dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Farm Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi Nakajima 1986. RTP dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi RTP akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku RTP dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan atau sampai berorientasi ke pasar Ellis 1988. Nakajima 1986 mengatakan bahwa pertanian sebagai suatu industri memiliki karakteristik yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1. Karakteristik teknologi dan produksi pertanian 2. Karakteristik rumahtangga petani sebagai satu kesatuan unit ekonomi produksi pertanian sebagian besar di bawah kontrol rumahtangga petani 3. Karakteristik dari komoditas pertanian Nakajima 1986 memberikan definisi RTP farm household sebagai satu kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian farm firm, rumahtangga pekerja dan rumahtangga konsumen the laborer’s household and consumer’s household dengan prinsip perilaku yang memaksimalkan utilitas. Produktivitas pertanian sangat ditentukan oleh keberadaan RTP dan lingkungan sekitarnya. Secara spesifik, RTP merupakan satu unit kelembgaan yang setiap saat memutuskan produksi pertanian, konsumsi, dan reproduksi. Pola perilaku RTP mempunyai karakteristik semikomersial, sebagian hasil produksi dijual ke pasar