bahwa elemen central core sebuah representasi sosial dapat saja berubah sesuai dengan keadaan, namun kaitannya dengan sejarah masa lalu subjek yang
bersangkutan tidak dapat diabaikan. Selanjutnya, keterlibatan tingkat tinggi dalam grup menjadi dasar dari segalanya pada kondisi transformasi representasi sosial.
Keterlibatan individu dalam kelompok atau lingkungan profesionalnya juga diyakini oleh Pandjaitan 1998 sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
representasi profesional. Hasil penelitian Gunawan 2003, representasi sosial yang terbentuk pada
suatu kelompok masyarakat dipengaruhi oleh faktor kesejarahan, kondisi geografis, serta pola dan situasi interaksi yang ada. Adriana 2009 menambahkan,
proses representasi sosial pada individu dalam kelompok tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor demografi subjek, faktor internal, faktor eksternal, serta faktor
struktural yang mempengaruhi lingkungan sosialnya seperti kebijakan pemerintah. Putra, I.E. dkk. 2009 lebih memfokus pada aspek lingkungan sosial yang
berpengaruh terhadap representasi sosial, dimana faktor–faktor tersebut adalah kompleksitas kehidupan, kondisi atau latar belakang konteks sosial, serta
ketersediaan informasi terkait objek yang direpresentasikan. Dapat disimpulkan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi representasi sosial antara lain berupa
faktor internal dalam hal ini karakteristik individu yang bersangkutan, tingkat keterlibatan individu dalam kelompok, serta komunikasi sehari–hari dalam
kelompok.
f. Metode Pengukuran Representasi Sosial
Berbagai macam metode dapat digunakan untuk mengungkap representasi sosial yang ada pada suatu komunitas ataupun masyarakat. Farr dan Moscovici
1984 menyatakan bahwa beberapa ahli psikologi sosial menggunakan metode eksperimen laboratorium untuk mengetahui representasi sosial pada objek yang
mereka amati. Selain itu, representasi sosial juga dapat diukur dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian yang telah dilakukan
oleh Jodelet menggunakan metode yang memanfaatkan data naratif dan kualitatif, namun dalam waktu bersamaan juga menggunakan metodologi antropologi dan
etnografi Deaux dan Philogene, 2001. Selanjutnya, dari beberapa penelitian
mengenai representasi sosial sebelumnya, terlihat cara yang lebih familiar dan yang lebih sering digunakan ialah dengan metode kualitatif dan asosiasi
kataasosiasi bebas. Metode kualitatif dapat dilaksanakan dengan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya yaitu pengamatan langsung, wawancara
mendalam indepth interview personal maupun kelompok focus group interview, studi dokumentasi, serta memperoleh informasi dari informan
Tarigan, 2004; Gunawan, 2003. Metode lainnya ialah dengan asosiasi kata atau asosiasi bebas yaitu sebuah
sebuah metode pengumpulan kata–kata atau kalimat pendek, langsung dari subjek penelitian mengenai pemaknaan mereka terhadap suatu hal Putra, I.E. dkk., 2009;
Adriana, 2009. Metode ini ditempuh dengan cara memberikan pertanyaan terbuka mengenai pemaknaan mereka terhadap suatu hal serta apa yang mereka
bayangkan dan mereka simpulkan ketika mendengar tentang suatu hal tersebut. Hasil dari asosiasi bebas tersebut, juga dapat disajikan kembali dengan alat
pengumpulan data berupa angket atau kuesioner dengan pertanyaan terbuka maupun tertutup bahkan penggunaan gambar, untuk mendapat hasil yang lebih
akurat menurut teknik kuantitatif mengenai representasi sosial tersebut. Menurut Nunnally dalam Suryabrata 1999 mengenai intitujuan penggunaan metode
kuantitatif dalam studi psikologi adalah bahwa pengukuran itu terdiri dari aturan– aturan untuk mengenakan bilangan kepada objek sedemikian rupa guna
menunjukkan kuantitas atribut objek itu. Selanjutnya ditambahkan oleh Suryabrata 1999, penerapan aturan–aturan seperti tersebut, secara langsung
berkenaan dengan pembakuan, yang dimaksudkan agar para ilmuan yang bekerja secara terpisah menghasilkan yang sama atau sekurang–kurangnya setara agar
diperoleh objektivitas, kuantifikasi, murah dari segi ekonomi, serta generalisasi ilmiah.
2.1.2 Fenomena Kemiskinan
Permasalahan kemiskinan menjadi permasalahan tersendiri disetiap negara, khususnya negara yang sedang berkembang. Definisi bagi kemiskinan
tersebut sangat beragam dan terkadang kemiskinan didefinisikan dalam banyak dimensi. Dalam tulisan Kamaluddin 2004, dikemukakan definisi berikut:
“Menurut Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen 1995, Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002
kemiskinan dalam arti luas di negara–negara berkembang memiliki wujud yang multidimensi yang meliputi sangat rendahnya tingkat
pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; keterbatasan
dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan–layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit
yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang jauh dari memadai; lingkungan yang tidak aman; serta
diskriminasi dan keterasingan sosial”.
Penyebab timbulnya permasalahan kemiskinan tersebut menurut Fristoto 2009 adalah kurang modal usaha, kurang kesempatan usaha, banyaknya
tanggungan hidup, kurang pemenuhan kebutuhan gizi, dan etos kerja yang rendah. Krisis ekonomi pun telah turut berkontribusi dalam peningkatan jumlah penduduk
miskin yang sebelumnya telah berhasil dikurangi pemerintah berbagai upaya penanggulangan kemiskinan Roosgandha dan Darwis, 2000. Terkadang
masyarakat miskin mempunyai potensi besar akan tetap berada di dalam lingkaran kemiskinan karena anak–anak mereka sebagai generasi penerus tidak memperoleh
intervensi untuk memutuskan rantai kemiskinan tersebut Indraswari, 2009. Karakteristik yang terlihat dari masyarakat miskin juga sangat beragam.
Tingkat pendidikan mereka cenderung rendah Roosgandha dan Darwis, 2000. Terkadang jika pendidikan cukup baik namun jam kerja keluarga miskin relatif
rendah, dan hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat pendapat mereka Pertiwi, 2008. Karakteristik lain yang ditambahkan oleh Fristoto 2009 ialah penduduk
miskin umumnya berasal dari keluarga petani yang tergusur dari lahannya dan memiliki asset yang terbatas, mempunyai keterampilan yang kurang dibidang
teknis dan kurang tekun bekerja, serta memiliki keterbatasan peluang dalam memasuki bidang pekerjaan formal.
Kondisi masyarakat miskin yang sebenarnya adalah pendapatan rata–rata mereka masih berada di bawah garis kemiskinan, dan jam kerja yang masih
berada jauh di bawah jam kerja rata–rata penduduk tidak miskin Pertiwi, 2008. Namun menurut Handayani 2009, permasalahan kemiskinan tersebut tidak
hanya berkenaan dengan pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat miskin tersebut, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan
kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik powerlessness, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi
voicelessness, dan rendahnya mutu hidup manusia human development. Sumodiningrat 2009 menanggapi hal tersebut dengan sudut pandang
yang lebih luas. Terjadi pengangguran, kesenjangan, dan kemiskinan secara sekaligus dapat disebut sebagai perangkap atau lingkaran kemiskinan poverty
trap yaitu sebuah lingkaran proses pemiskinan yang semakin lama semakin kronis, sehingga secara bertahap dapat menghancurkan tatanan ekonomi suatu
negara dan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan sebuah upaya penanggulangan.
Data dari tahun 2003 hingga 2004 menunjukkan adanya kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin. Namun sempat terjadi peningkatan jumlah
dan persentase penduduk miskin pada tahun 2006 dimana menurut Kamaluddin 2004 hal tersebut terjadi karena harga barang–barang kebutuhan pokok selama
periode tersebut naik tinggi, digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen pada saat itu. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun
penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Namun dari tahun 2006 hingga 2008 terlihat adanya penurunan
persentase penduduk miskin yang bertahap. Tabel 1 berisi data lebih rinci mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2003–2008.
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Indonesia Tahun 2003–
2008
Tahun Jumlah Juta jiwa
Persentase 2003
12,20 13,75
2004 11,40
12,13 2005
12,40 11,68
2006 14,49
13,47 2007
13,56 12,52
2008 12,77
11,65 Sumber:
Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional dalam Kamaluddin 2004 dan diambil seperlunya oleh penulis
Melengkapi data di atas, jumlah penduduk miskin kota dan desa mencapai 32.530 ribu jiwa pada tahun 2009 dengan persentase penduduk miskin sebesar
14,15 persen per total jumlah penduduk. Jika dibandingkan dengan persentase penduduk miskin dari tahun 2007, 2008, hingga 2009 terlihat kecenderungan
adanya penurunan jumlah penduduk. Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin ialah 16 persen, terjadi penurunan pada tahun 2008 menjadi 15 persen dan
pada tahun 2009 menjadi 14 persen BPS, 2010
1
. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan
yang terjadi di Indonesia ialah adanya penurunan jumlah penduduk miskin. Fenomena mengenai penduduk miskin terjadi diberbagai tempat. Tidak
terkecuali di kota–kota besar yang menjadi kota penyangga ibukota seperti Bogor. Berbeda dengan kondisi penduduk miskin yang terjadi secara umum di Indonesia,
jumlah keluarga miskin di Kota Bogor setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tahun 2002 tercatat sebanyak 20.000 KK Kepala Keluarga sebagai keluarga
miskin. Jumlah tersebut sempat mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi 17.957 KK, namun pada 2004 hingga 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk
miskin terus menerus, hingga tahun 2009 tercatat 41.398 KK merupakan penduduk miskin di wilayah kota Bogor. Jumlah tersebut meningkat dua kali lebih
besar dibandingkan dengan data tahun 2002. Tabel 2 berisi informasi mengenai data penduduk miskin Kota Bogor yang dipaparkan per kecamatan.
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga Miskin serta Persentasenya
terhadap Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga secara Keseluruhan di Kota Bogor berdasarkan Kecamatan pada Tahun 2009
No Kecamatan
KK Miskin
Jumlah Penduduk
Miskin KK
Seluruh nya
Penduduk Seluruhnya
Persentase Gakin
Penduduk
Miskin
1 Bogor Selatan
7.197 43.004
35.517 163.266
20,6 19
2 Bogor Timur
5.284 22.448
35.187 151.562
15,0 14,6
3 Bogor Utara
11.016 45.399
41.753 198.296
26,3 23,2
4 Bogor Tengah
5.284 22.448
39.050 176.094
13,5 13,1
5 Bogor Barat
2.214 9.304
18.594 91.609
11,9 10,4
6 Tanah Sareal
3.859 16.536
24.256 109.039
15,9 15,6
Jumlah 41.398
173.968 194.357
905.132 21.3
16,7
Sumber: Amanah, dkk. 2009
Kota Bogor terdiri atas enam kecamatan dengan jumlah penduduk seluruhnya ialah 905.132 jiwa. Sebanyak 173.968 jiwa atau 16.7 persen dari total
penduduk tersebut tergolong kepada penduduk miskin. Jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Bogor Utara, dengan jumlah 198.296 jiwa, jauh berbeda
1 http:www.bps.go.idtab_subview.php?tabel=1daftar=1id_subyek=23notab=3
diakses pada 13 Desember 2010 pukul 10.00
dengan kecamatan lainnya. Jumlah penduduk yang besar di Kecamatan Bogor utara tersebut berimbang dengan jumlah penduduk miskinnya yang juga besar.
Bogor Utara ialah kecamatan yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar yaitu dengan 45.399 jiwa 23,2 persen. Sedangkan jumlah penduduk miskin yang
terkecil ialah di Kecamatan Bogor Barat yaitu sebanyak 9.304 jiwa 10,4 persen.
2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan dari Pemerintah dan Respon
Masyarakat Miskin
Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan upaya yang bertujuan untuk membebaskan dan melindungi masyarakat dari kemiskinan beserta segala
penyebabnya. Upaya tersebut tidak hanya diarahkan untuk mengatasi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga dalam rangka
membangun semangat dan kemandirian masyarakat miskin untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai pelaku dalam berbagai tahap pembangunan Sumodiningrat,
2009. Berbagai program penanggulangan telah diupayakan pemerintah untuk
mengatasi masalah kemiskinan tersebut agar tidak menyebabkan masalah yang lebih kompleks. Dalam beberapa penelitian, pelaksanaan berbagai program
pemerintah terbukti telah berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Penurunan jumlah penduduk miskin ini disebabkan oleh
membaiknya kondisi perekonomian yang diikuti pula oleh penurunan harga barang dan jasa, serta meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai hasil transfer
pendapatan dari program Jaring Pengaman Sosial Roosgandha dan Darwis, 2000 sebagai sebuah upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan.
Pemerintah telah melaksanakan berbagai program penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sejak tahun
1960–an. Selanjutnya, sejak krisis ekonomi pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial JPS yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190
tahun 1998 serta berbagai program–program penanggulangan kemiskinan lain, diantaranya KUBE Kelompok Usaha Bersama, PDM–KDE Pemberdayaan
Daerah Mengenai Dampak Krisis Ekonomi, P2MPD Proyek Pembangunan Masyarakat dan Daerah, pembangunan sektoral, program penanggulangan
kemiskinan oleh Bank Indonesia, lembaga non–keuangan, dan lain sebagainya. Mengatasi kemungkinan terjadinya tumpang–tindih, presiden juga telah
membentuk sebuah Komite Penanggulangan Kemiskinan KPK yang berupaya menggalang koordinasi, integrasi, sinergi, dan sinkronisasi berbagai program
penanggulangan kemiskinan Sumodiningrat, 2009. Pemerintah juga membagi sasaran dan menentukan fokus program–
program penanggulangan guna meningkatkan efektifitas program. Sasaran dibagi menurut umur penduduk yaitu kelompok umur dibawah 15 tahun, 15–55 tahun,
dan di atas 55 tahun. Penanggulangan kemiskinan difokuskan kepada penanganan penduduk miskin usia produktif yaitu penduduk yang berusia 15–55 tahun.
Penduduk miskin pada kisaran usia ini yang sehat secara jasmani maupun rohani merupakan sumberdaya manusia yang memiliki potensi besar untuk menjadi
pelaku aktif dalam pembangunan. Disamping itu, penduduk berusia produktif juga merupakan individu yang berada pada fase rumah tangga, sehingga apabila tidak
ditangani dengan baik, dapat menciptakan penduduk miskin baru. Penanganan yang dimaksudkan adalah melalui peningkatan kesempatan kerjaberusaha,
peningkatan kapasitaspendapatan, dan untuk selanjutnya mampu mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan sosial secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam
hal ini, intervensi kebijakan pemerintah akan dikonsentrasikan kepada upaya pengurangan beban berupa penyediaan modal seperti penyediaan dana, subsidi,
dan prasarana dasar dan peningkatan produktivitas penyediaan aksesibilitas terhadap pembiayaan usaha ekonomi produktif skala mikro Sumodiningrat,
2009. Mengingat ada berbagai macam tingkatan sosial ekonomi masyarakat,
maka setiap tingkatan kemiskinan tersebut harus ditangani dengan solusi yang tepat. Berikut grand strategy pemberdayaan penduduk miskin melalui konsep tiga
klaster yang dikemukakan oleh Sumodiningrat 2009: a. Klaster I ialah program yang Memberdayakan Masyarakat Miskin. Sasaran
adalah masyarakat the poorest of the poor, yang mereka butuhkan adalah perlindungan dan bantuan sosial. Bantuan berbentuk bantuan langsung dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka terutama untuk memenuhi kebutuhan pasokan gizi pendidikan, dan kesehatan. Bentuak bantuan pada
klaster ini adalah bantuan langsung seperti: Program Keluarga Harapan PKH
, Beras untuk masyarakat miskin Raskin, Bantuan Operasional Sekolah BOS, Jaminan kesehatan masyarakat Jamkesmas, bantuan sosial
untuk pengungsikorban bencana, bantuan untuk penyandang cacat, bantuan untuk kelompok lansia, dan Bantuan Langsung Tunai BLT.
b. Klaster II disebut sebagai program Menuju Kemandirian. Sasarannya ialah masyarakat miskin yang telah mendapatkan mengalami peningkatan gizi,
kesehatan, dan pendidikan. Mereka akan diberdayakan atau ditingkatkan kemandiriannya baik melalui pembentukan kelompok masyarakat produktif,
penggalian gagasan, pengenalan etika, bekerja secara gotong royong baik ekonomi maupun sosial secara berkelompok, serta dilatih menjalankan prinsip
perencanaan komunitas partisipatif. Contoh program pada klaster ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri PNPM Mandiri. Dua
kategori PNPM Mandiri yaitu PNPM Inti dan PNPM Penguatan. PNPM Inti terdiri atas program berbasis kewilayahan seperti PNPM Pedesaan PPK,
PNPM Perkotaan P2KP, PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus P2DTK, PNPM Infrastruktur Pedesaan PPIP, dan PNPM Infrastruktur Sosial
Ekonomi Wilayah PISEW. Sementara itu, PNPM Penguatan terdiri atas program pemberdayaan masyarakat berbasis sektoral, kewilayahan serta
khusus mendukung
penanggulangan kemiskinan
seperti Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan PUAP, BLM untuk keringanan Investasi Pertanian BLM KIP, dan lain–lain.
c. Klaster III ialah upaya Menciptakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Sasarannya ialah kelompok masyarakat yang telah diberdayakan dan
ditingkatkan kemandiriannya. Melalui hal ini, diharapkan masyarakat semakin matang dan terlatih dalam mengelola keuangan secara produktif dan
berkelanjutan. Upaya pendampingan fasilitasi dari konsultan Keuangan Mitra Bank KKMB juga disediakan untuk menjamin keberhasilannya.
Contoh program ialah Kredit Usaha Rakyat KUR Mikro yang disalurkan melalui enam bank yang ditunjuk pemerintah yaitu BRI, Bank Mandiri, Bank
Syariah Mandiri, Bank Bukopin, BTN, dan BNI. Kredit ini dijamin oleh PT Askrindo dan PT Jamkrindo.
Pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan diupayakan pemerintah untuk mengatasi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh
permasalahan kemiskinan tersebut. Namun dalam pelaksanaannya, terkadang mengalami berbagai kendala baik yang berasal dari komponen program, dari
masyarakat penerima manfaat, bahkan dari kondisi lingkungan yang kurang mendukung sehingga program berjalan kurang optimal. Kendala yang berasal dari
program itu sendiri misalnya pelaksanaan program tidak sesuai dengan rencana, penentuan sasaran penerima manfaat yang kurang tepat, terjadi penyimpangan
danabantuan, serta kekurangsesuaian program dengan kebutuhan masyarakat. Kendala yang berasal dari masyarakat penerima manfaat diantaranya kurang
mampu dan kurang konsisten dalam menjalankan program, serta penyimpangan dalam penggunaan dana bantuan Anggen, 2005; Pertiwi, 2008; Fristoto, 2009.
Umumnya respon masyarakat miskin juga termasuk masyarakat sangat miskin terhadap program klaster I misalnya raskin ialah merasakan manfaat yang
besar, walaupun mereka mengetahui beberapa menyimpangan dalam pelaksanaan program tersebut Anggen, 2005. Respon masyarakat terhadap program klaster II
dan III juga cukup positif, walau dalam beberapa situasi masyarakat miskin dan pelaksana lapangan program tersebut tidak dapat melaksanakan seluruh ketentuan
yang ditetapkan Pertiwi, 2008 dan Fristoto, 2009.
2.2 Kerangka Pemikiran