Kamaluddin 2004 yang menyatakan bahwa masyarakat miskin mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya
usaha dari pemerintah dalam menganggulangi rendahnya akses pendidikan pada masyarakat miskin. Salah satu upaya pemerintah ialah dengan diadakannya dana
BOS ataupun PKH komponen pendidikan. Karakteristik responden pada tipe ini juga memiliki banyak persamaan
dengan kelompok responden yang berada pada tipe dominan, yaitu pendidikan itu berat. Perbedaan hanyalah pada tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan mereka.
Seluruh responden pada tipe pendidikan itu dimudahkan, tersebar merata pada kategori pendidikan tidak tamat SD, tamat SD, dan tamat SMP. Selanjutnya pada
aspek pekerjaan mereka tergolong kepada kategori tidak bekerja, karena lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Terdapat dua sumber nafkah dalam keluarga
dan diduga suami dan anaklah yang bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Responden pada kategori ini umumnya ialah peserta PKH yang memiliki anak
yang berada pada usia SD, atau anak yang bersekolah di SMP negeri atau SMP terbuka. Pada SD dan SMP negeriterbuka biaya pendidikan yang harus
ditanggung oleh orang tua cenderung tidak terlalu besar, sehingga mereka merepresentasikan pendidikan sebagai suatu hal yang telah dimudahkan untuk
diperoleh.
7.3 Representasi Sosial terhadap Kemiskinan
Pada penelitian ini, juga dirasakan penting untuk dapat mengetahui bagaimana representasi sosial peserta PKH terhadap kemiskinan. Hal ini
dibutuhkan untuk menjadi informasi tambahan sehingga dapat diketahui bagaimana peserta PKH yang juga tergolong kepada RTSM memandang kondisi
hidup mereka yang tergolong, atau hanya digolongkan melalui data statistik, kepada masyarakat sangat miskin. Penelitian dilakukan dengan melakukan
asosiasi kata mengenai kata “miskin” kepada 50 orang responden. Setiap responden mengeluarkan satu hingga lima kata yang terlintas dalam pikiran
mereka saat mendengar kata miskin diutarakan dan akhirnya terkumpul sebanyak 161 kata. Kata–kata tersebut bukan hanya mencerminkan kehidupan mereka tetapi
juga pandangan dan penilaian mereka terhadap kondisi kemiskinan yang pernah mereka lihat baik langsung ataupun tidak langsung, seperti melalui media massa.
Seperti hal nya pada representasi sosial terhadap PKH dan pendidikan, pengolahan dilakukan dengan mengelompokkan kata ke dalam kategori kata dan
pada bagian ini terdapat tiga kategori kata, yang sekaligus juga menjadi tipe representasi sosial bagi responden terhadap objek kemiskinan. Tipe tersebut ialah
1 Hidup kekurangan dan pendapatan kecil, dengan 111 kali pengulangan kata, 2 Miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup, 34 kali pengulangan, serta
3 Orang miskin tetap bersyukur, 16 kali pengulangan. Jumlah responden berdasarkan perbedaan tipe representasi sosial terhadap kemiskinan terangkum
pada Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tipe terhadap
Kemiskinan n=50
Tipe representasi sosial terhadap kemiskinan n orang
n Hidup kekurangan dan pendapatan kecil
33 66
Miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup 13
26 Orang miskin tetap bersyukur
4 8
7.3.1 Hidup Kekurangan dan Pendapatan Kecil
Kemiskinan meliputi sangat rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan;
keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan–layanan pokok lainnya; serta tempat tinggal yang jauh dari memadai Kementerian Koordinator
Bidang Kesra, 2002 dalam Kamaluddin, 2004. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan peserta PKH yang merupakan masyarakat sangat miskin
terhadap kemiskinan itu sendiri.
Tipe hidup kekurangan dan pendapatan kecil merupakan tipe dominan
yang dimiliki oleh sebagian besar responden 66 persen. Mereka mengasosiasikan kata “miskin” dengan kata–kata sebagai berikut: kekurangan,
pendapatan sedikit, hidup susah, rumah tidak layak, tidak ada biaya berobat, susah mendaftarkan anak sekolah, suami ga kerja, makan dikesampingkan, makan
seadanya, bantuan pemerintah, BLT, santunan, orang tua miskin sehingga sekolah
rendah, tidak dapat melanjutkan pendidikan, modal habis, kerja ga matuh, hutang dan beberapa kata lainnya.
Menurut peserta PKH, kekurangan dalam hal materi yang dialami masyarakat miskin disebabkan oleh pendapatan yang kecil, pekerjaan yang kurang
layak dan kurang menjanjikan, tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik disebabkan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan mereka yang juga rendah.
Tipe ini sejalan dengan hasil penelitian Meyrizki 2010 mengenai representasi sosial masyarakat miskin kota terhadap kemiskinan yang menyatakan bahwa
pemilihan tipe orang yang serba kekurangan oleh masyarakat miskin kota
berkaitan dengan kualitas hidup mereka yang selalu mengalami kekurangan diberbagai aspek kehidupannya.
Selain itu pada tipe ini, peserta PKH menyatakan bahwa orang miskin membutuhkan bantuan agar mereka dapat keluar dari masalah kemiskinan
tersebut. Bantuan tersebut khususnya ialah bantuan dari pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai BLT, Program Keluarga Harapan PKH, Bantuan
Operasional Sekolah BOS, Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamkesmas, dan santunan dari tetangga.
Karakteristik individu responden yang berada pada tipe ini ialah ibu yang memiliki usia antara 43 hingga 56 tahun dan pendidikan hanya tamat SD. Bekerja
sebagai buruh dengan pendapatan kurang dari Rp. 500.000,00. Jumlah sumber nafkah keluarga ialah dua buah, dan jumlah tanggungan hingga 3 orang.
7.3.2 Miskin Harus mempunyai Strategi bertahan Hidup
Kondisi masyarakat miskin yang selalu dianggap dan menganggap diri mereka tidak berdaya tampaknya saat ini sudah mengalami sedikit perubahan.
Tipe miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup memberikan informasi
bahwa masyarakat miskin yang biasanya mengalami kekurangan, diskriminasi dan keterasingan sosial hingga mengalami kekurangan dan keterbatasan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, berusaha melakukan banyak hal untuk dapat bertahan hidup dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Pada tipe ini diperoleh
kata–kata istri ikut bekerja, kerja berat, nabung, jangan boros dan anak harus rajin.
Responden yang tergolong pada tipe ini cukup besar yaitu sebanyak 26 persen, dan tipe ini menjadi tipe kedua terbesar dalam hal jumlah responden.
Karakteristik mereka cenderung sama dengan responden pada tipe pertama terhadap kemiskinan. Hanya terdapat satu perbedaan dimana hampir sebagian dari
responden pada tipe ini memiliki usia kurang dari 43 tahun. Usia mereka yang masih cukup muda dibandingkan dengan responden lainnya diduga menyebabkan
mereka lebih optimis memandang kehidupan. Walaupun tergolong kepada kelompok miskin, mereka masih memiliki banyak harapan kedepannya dan
berpendapat hidup sebagai orang miskin pun harus memiliki strategi bertahan hidup, agar tetap dapat menjalani kehidupan dengan baik.
7.3.3 Orang Miskin Tetap bersyukur
Kondisi yang serba kekurangan yang dialami masyarakat miskin tidak
membuat masyarakat miskin selalu menyalahkan keadaan. Pada tipe orang miskin tetap bersyukur,
terlihat bahwa walaupun mereka hidup dalam kondisi yang kekurangan dan kesulitan, rasa syukur tetap mereka panjatkan kepada
Tuhan, ikhlas menerima nasib dan keinginan untuk terus dapat menjalani hidup dengan bahagia. Kata–kata yang muncul seperti Alhamdulillah, bersyukur,
menerima dengan ikhlas, tetap senang, dan tidak terlalu dipikirkan. Terdapat 8 persen responden yang tergolong pada tipe ini.
Representasi sosial RTSM penerima PKH ini memiliki perbedaan dengan representasi sosial masyarakat miskin kota yang merepresentasikan miskin
sebagai orang yang memiliki sifat negatif yang berkaitan dengan sifat–sifat
negatif yang cenderung dimiliki oleh masyarakat yang tergolong miskin, yang menyebabkan mereka terus terbelit dalam permasalahan kemiskinan secara
ekonomi dalam hidupnya. Tipe tersebut menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki ciri negatif seperti malas, pelaku kejahatan, orang yang selalu pesimis,
selalu putus asa dalam hidup, banyak pikiran, masa bodoh dan tidak ingat akan keberadaan Tuhan karena sibuk mencari pekerjaan Meyrizki, 2010. Perbedaan
tersebut diduga dipengaruhi oleh konteks lokasi, dimana RTSM peserta PKH tinggal di daerah sub-urban dengan lingkungan tempat tinggal dan sosial masih
cukup baik, nilai religi yang masih cukup kental, kekerabatan yang erat, dan
memperoleh berbagai bentuk bantuan dan santunan dari pemerintah sepert BLT, PKH, PNPM, BOS dan lain–lain. Berbeda dengan konteks lokasi penelitian
Meyrizki 2010 yang berada di perkampungan kumuh di Kota Jakarta, yang pada umumnya masyarakat miskin di lokasi tersebut kurang memperoleh bantuan dan
perhatian lain dari pemerintah. Terdapat 8 persen responden yang tergolong pada tipe ini dan karakteristik
mereka tidak jauh berbeda dengan karakteristik responden pada tipe pertama terhadap kemiskinan. Hanya aspek pendapatan yang berbeda, dimana responden
pada tipe ini memiliki pendapatan Rp. 500.000,00 hingga di atas Rp. 650.000,00, yaitu kategori pendapatan tertinggi bagi pendapatan RTSM pada penelitian ini.
Hal tersebut tampaknya berpengaruh terhadap representasi sosial mereka terhadap kemiskinan. Pendapatan yang lebih baik dibandingkan responden lain membuat
beban pikiran mereka sedikit berkurang dan perasaan syukur terlintas dalam pikiran mereka saat mendengar kata miskin, karena membandingkan dengan
kondisi kemiskinan yang lebih parah lainnya disekitar mereka. 7.4
Keterkaitan Representasi Sosial Peserta PKH Pada PKH, tipe yang paling dominan bagi peserta ialah PKH untuk biaya
pendidikan anak , pada pendidikan ialah tipe pendidikan itu berat, dan pada
kemiskinan ialah tipe hidup kekurangan dan pendapatan kecil Gambar 15.
Representasi Sosial Peserta PKH PKH
Pendidikan Kemiskinan
PKH untuk untuk biaya pendidikan anak
Pendidikan itu berat Hidup kekurangan dan
pendapatan kecil PKH belum memuaskan
Pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik
Miskin harus mempunyai strategi bertahan hidup
PKH membuat senang Pendidikan itu dimudahkan
Orang miskin tetap bersyukur
PKH memiliki aturan
Gambar 15. Representasi Sosial Responden sebagai Peserta PKH terhadap PKH, Pendidikan, dan Kemiskinan
Pengetahuan peserta PKH terhadap PKH ialah suatu hal yang baru, karena mereka baru mengetahui PKH sejak tahun 2007, dengan kata lain representasi
terhadap PKH masih cukup baru dan belum lama terbentuk. Lain hal dengan representasi sosial mereka terhadap pendidikan dan kemiskinan. Representasi
sosial terhadap dua objek tersebut mungkin saja telah mengalami proses pembentukan, penjalanan yang panjang, hingga pergeseran makna.
Representasi sosial dominan peserta mengenai kemiskinan ialah hidup kekurangan dan pendapatan kecil, tidak jauh berbeda dengan definisi kemiskinan
secara umum yang telah lama dikemukakan oleh banyak ahli sebelumnya. Kondisi kemiskinan memang tidak jauh dari masalah hidup dengan kondisi kekurangan,
baik kekurangan dalam hal materi, kecilnya pendapatan, maupun kurangnya kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup, khususnya kebutuhan
pokok. Representasi sosial mengenai pendidikan juga diduga telah terbentuk sejak
lama, yaitu sejak mereka kecil dan mengetahui bahwa mereka atau teman-teman mereka dapat menuntut ilmu di sekolah atau tempat mengaji. Mengenai
representasi responden terhadap pendidikan, diduga terdapat semacam perubahan. Hasil wawancara dan penjelasan responden saat asosiasi kata, diketahui bahwa
dahulu mereka merasakan untuk memperoleh pendidikan tersebut tidaklah sulit dalam hal pembiayaan. Namun, saat ini kondisi yang berseberangan telah terjadi,
dimana mereka menilai pendidikan sangatlah sulit untuk diperoleh karena adanya keterbatasan dalam hal pendanaan dan adanya kekurangmampuan dalam
mengakses fasilitas pendidikan seperti mahalnya biaya pendidikan. Representasi sosial terhadap kemiskinan dan pendidikan tersebut terlihat
memiliki keterkaitan. Representasi sosial dominan terhadap kemiskinan yaitu tipe
hidup kekurangan dan pendapatan kecil diduga menyebabkan representasi
sosial terhadap pendidikan yang muncul ialah tipe pendidikan itu berat.
Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang telah umum terjadi di indonesia dimana masalah kemiskinan masih menjadi permasalahan yang cukup besar, dan
menyebabkan akses masyarakat yang tergolong miskin menjadi sangat kecil terhadap pendidikan. Namun, permasalahan di atas telah diatasi oleh pemerintah
melalui program penanggulangan kemiskinan dan program lain yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan.
PKH ialah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang ditujukan kepada masyarakat miskin untuk mengurangi beban mereka dalam memenuhi
biaya pendidikan, disamping mereka juga memperoleh bantuan lain yang juga
dapat meningkatkan akses mereka terhadap pendidikan seperti dana BOS, ataupun program sekolah terbuka. Pada PKH telah dilakukan berbagai sosialiasi mengenai
program, sehingga peserta dapat mengetahui tujuan, sasaran, hak dan kewajiban mereka sebagai peserta. Tampaknya sosialisasi tersebut cukup berhasil, dimana
sebagian besar responden telah memandang dana PKH komponen pendidikan harus digunakan untuk membiayai pendidikan anak mereka dan representasi sosial
yang umumnya dimiliki ialah PKH untuk biaya pendidikan anak.
Namun, pemberian dana bantuan PKH tersebut belum cukup berpengaruh terhadap pandangan mereka terhadap pendidikan. Hingga penelitian ini dilakukan,
dan peserta PKH telah beberapa tahun menerima dana bantuan dari PKH, peserta masih menganggap pendidikan sebagai suatu hal yang sulit diperoleh karena
permasalahan biaya. Besar dana bantuan yang masih kurang memadai diduga menyebabkan hal tersebut. Terbukti dengan adanya representasi sosial dominan
kedua terhadap PKH yaitu PKH belum memuaskan.
7.5 Ikhtisar