Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut .1. Pengembangan Wilayah

Berikut hasil identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan usaha tani di Kabupaten Banyuasin. Tabel 4 Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin No Kelompok Masalah Peringkat Masalah 1 Kondisi saluran banyak yang dangkal dan pintu air belum ada pada saluran tersier 1 2 Kemasaman tanah tinggi kandungan Fepirit dan salinitas pada saat musim kemarau yang menyebabkan keracunan pada tanaman 2 3 Harga benih yang mahal 3 4 Harga pupuk KCL yang mahal 4 5 Serangan hama tikus pada tanaman padi pada musim tanam II musim kemarau 5 6 Pengeringan dan penyimpanan gabah pada saat setelah panen yang bersamaan dengan musim hujan 6 7 Harga jual gabah masih di bawah standar pembelian pemerintah yang dilakukan oleh UPGB 7 8 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya dan alsintan untuk tanaman palawija 9 9 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya untuk pemeliharaan ikan 10 10 Rendahnya produktivitas kelapa milik petani 11 11 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya ternak sapi dan masih kurangnya pengetahuan teknologi pemeliharaan ternak yang produktif 12 12 Belum ada fasilitas IB untuk perkawinan ternak sapi dan masih kurangnya pengetahuan teknologi pemeliharaan ternak yang produktif 14 13 Jalan poros desa masih rusak sehingga menyulitkan transportasi terutama pada musim hujan 13 14 Kelembagaan tani belum aktif 8 Sumber: BPTP Sumsel, 2007, dalam Pramono 2003 Dari penelitian diketahui bahwa masalah utama di daerah pasang surut di Kabupaten Banyuasin ini adalah kondisi saluran banyak yang dangkal dan pintu air belum pada saluran tersier, dengan peringkat masalah ke 1. Selanjutnya Syahrial 2006, yang melakukan penelitian dengan metode survai lapangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, di tiga lokasi dengan tingkat perkembangan wilayah berbeda yaitu daerah maju di Delta Telang I, daerah sedang di Delta Saleh dan daerah tingkat perkembangan rendah di Air Sugihan Kiri. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan sebagai sawah paling dominan, di Delta Telang I 46,58 persen 30.918,00 ha, Delta Saleh 34,07 persen 17.518,00 ha dan Air Sugihan Kiri 32,65 persen 26.373,24 ha. Terjadi penurunan dan penambahan luas pemanfaatan lahan seperti hutan mangrove, kelapa dan semak belukar. Hutan mangrove sekunder dari hasil interpretasi Citra memperlihatkan terjadi penurunan luas di Delta Telang I dan Air Sugihan Kiri dari 3.816,00 ha, 7.548,21 ha pada tahun 1992 menjadi 2.483,00 ha, 1.949,84 ha pada tahun 2002. Hutan mangrove primer terjadi penurunan luas di Delta Telang I, Delta Saleh dan Air Sugihan Kiri dari 4.446,00 ha, 3.259,44 ha, dan 9.331,47 ha pada tahun 1992 menjadi 2.268,36 ha, 2.068,56 ha, dan 7.052,40 ha pada tahun 2002. Kebun kelapa di Delta Telang I, Delta Saleh dan Air Sugihan Kiri terjadi penambahan dari 7.729,40 ha, 0 ha, dan 2.876,85 ha pada tahun 1992 menjadi 8.288,16 ha, 3.882,84 ha, dan 14.435,16 ha pada tahun 2002. Semak belukar di Delta Telang I, Delta Saleh dan Air Sugihan Kiri terjadi penambahan dari 4.034,00 ha, 7.889,40 ha, dan 11.398,05 ha pada tahun 1992 menjadi 7.882,58 ha, 9.345,78 ha, 16.715,25 ha pada tahun 2002. Kondisi jaringan reklamasi sebagian besar belum berfungsi secara optimal, kecuali di Telang I Desa Telang Karya P8-12S dan Delta Saleh P10-2S. Pola tanam di Delta Telang I umumnya padi-padi IP-200, Delta Saleh sebagian padi- jagung atau kedelai IP-150 dan Air Sugihan Kiri umumnya padi-bera IP-100. Kondisi fisik tanah di tiga Delta, mencerminkan tanah masih sesuai untuk lahan pertanian. Perbaikan bangunan air dan prasarana jaringan reklamasi, dan pemeliharaan, penguatan kelembagaan petani Kelompok Tani, masih sangat diperlukan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Pendekatan Carrying Capacity daya dukung lahan Analisis Daya Dukung Carrying Capacity RatioCCR merupakan suatu alat perencanaan pembangunan yang memberikan gambaran mengenai hubungan antara penduduk, penggunaan lahan dan lingkungan. Pada Sektor pertanian, kemampuan daya dukung Carrying Capacity Ratio merupakan perbandingan antara lahan yang tersedia dan jumlah petani. Sehingga perlu diketahui luas lahan rata-rata yang dibutuhkan per keluarga, potensi lahan yang tersedia dan penggunaannya untuk kegiatan non-pertanian Bratakusumah dan Riyadi, 2004. Selanjutnya Bratakusumah dan Riyadi 2004, mengemukakan keseimbangan antara daya dukung dari suatu lahan dan keberadaan penduduk juga bisa diperhitungkan, sehingga bisa diperkirakan daya serap potensi lahan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, sehingga keseimbangan antara potensi alamlingkungan dan sumberdaya manusia tetap terjaga, dan dapat menimbulkan multiflier effect, dimana pengangguran bisa diperhitungkan dan diatasi. Selain itu kondisi lingkungan dan ekosistem yang ada di wilayah pembangunan akan tetap terpelihara dan termanfaatkan sesuai dengan peruntukannya yang logis dan seimbang. Meskipun analisis daya dukung merupakan upaya untuk mengetahui perbandingan antara jumlah lahan dan jumlah penduduk, penggunaannya tidak hanya untuk sektor pertanian atau perkebunan. Dengan ditunjang alat-alat lainnya, analisis ini juga dapat digunakan untuk membantu menentukan kegiatan dalam bidang atau sektor apa saja yang layak dikembangkan di suatu daerah. Konsep daya dukung menekankan kemampuan suatu daerah wilayah untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingkat kebutuhan sumberdaya yang diperlukan. Dengan demikian kemampuan ini sangat tergantung pada kekayaan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu daerah dan tingkat kebutuhan sumberdaya oleh suatu organisme, kemampuan daerah wilayah tersebut tidak pernah berkurang atau secara terus menerus terpelihara Rustiadi, 2010. Raganathan dan Daily 2003 dalam Rustiadi 2010 menyatakan bahwa jika dihubungkan dengan jumlah penduduk yang mampu didukung ditampung oleh lingkungan hidup di suatu wilayah secara berkelanjutan, konsep daya dukung menjadi lebih rumit karena peranan yang unik dari kebudayaan manusia. Terdapat tiga faktor kebudayaan yang saling terkait secara kritikal dengan daya dukung suatu wilayah, yaitu : 1 Perbedaan-perbedaan individual dalam hal tipe dan kuantitas sumberdaya yang dikonsumsi 2 Perubahan yang cepat dalam hal konsumsi sumberdaya 3 Perubahan teknologi dan perubahan budaya lainnya Daya dukung suatu wilayah dari segi penyediaan lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dinyatakan dalam kemapuan lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia dinyatakan dalam kemampuan lahan produktif di wilayah tersebut menghasilkan produk hayati biocapacity. Lahan produktif terdiri atas : 1 lahan pertanian cropland; 2 lahan peternahan pasture; 3 Perikanan fishery; 4 hutan forest; 5 lahan terbangun built up area; 6 lahan penyerapan karbon biomassa energy. Selanjutnya menurut Rustiadi et al. 2010, status daya dukung lahan merupakan gambaran antara rasio atau selisish ketersediaan lahan supply dan sisi kebutuhan lahan demand , jika “supply demand”maka status daya dukungnya adalah “surplus”, sedangkan jika “supply demand “maka status daya dukungnya adalah “defisit”, interpretasi status tingkat keberlanjutan dapat dikembangkan kearah dua pengkategorian, yakni : 1 neraca daya dukung lahan berbasis standard absolute daya dukung dan 2 neraca daya dukung lahan berbasis pergeseran relatif. Daya dukung lahan adalah nilai maksimum kerapatan atau biomassa populasi yang dapat didukung pada wilayah tertentu. Nilai ini dapat berubah seiring waktu, dan dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan seperti curah hujan, temperatur, sumber daya alam. Konsep ini telah dikenal lebih dari 150 tahun yang lalu dan digunakan selama ini Harvitgsen, 2001.

3.1.2 Struktur Nafkah dan Tingkat Kesejahteraan

Secara spesifik kesejahteraan dinilai dari kekurangan pendapatan, konsumsi, pemilikan harta benda baik diam maupun bergerak, aset modal dan stok. Nilai minimum penghasilan rumah tangga miskin adalah kurang dari 1920 kg setara beras per rumah tangga pertahun Sajogyo, 1993. Makin tinggi pendapatan diasumsikan makin baik konsumsi kalori dan gizi. Keprihatinan akan hilangnya hak-hak hidup individu dan masyarakat karena hempasan sistem ekonomi kapitalisme global dan kehancuran sumber daya alam dan lingkungan hidup akibat modernitas akhir late modernity merupakan landasan pemikiran mengapa kita perlu memahami sistem nafkahpenghidupan dimasa depan. Menurut Sajogyo “Kita perlu memahami sistem nafkahpenghidupan pedesaan guna mengungkap akar persoalan tata-penghidupan serta kerentanan-kerentanan yang menyertai sistem penghidupan livelihood vulnerability penduduk pedesaan”. Persoalan kemiskinan kemudian menjadi derivatnya. Selain itu implikasi persoalan struktural pedesaan yaitu : 1.ketimpangan penguasaan sumber-sumber nafkah agrarian yang menajam, 2. Hilangnya berbagai sumber nafkah. Perkembangan sistem penghidupan dan nafkah pedesaan tidak bisa lepas dari keseluruhan proses destabilisasi sistem sosial-ekonomi yang melanda pedesaan yang merupakan upaya menyelaraskan eksistensi mereka terhadap arus perubahan sosial dan menghasilkan sejumlah gambaran dinamik sistem penghidupan dan nafkah pedesaan Dharmawan, 2007 Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu 1 berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya basic needs, 2 meningkatkan rasa harga diri self-esteem masyarakat sebagai manusia dan 3 meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih freedom from servitude yang merupakan salah satu hak azasi manusia Todaro, 2000. Pada Mahzab Bogor, Strategi penghidupan dan nafkah pedesaan dibangun selalu menunjuk ke sektor pertanian dalam arti luas. Dalam posisi sitem nafkah yang demikian, basis nafkah rumah tangga petani adalah segala aktifitas ekonomi pertanian dan ekonomi non pertanian Dharmawan, 2007.