Konsepsi Carrying Capacity Daya Dukung

aktivitas off-farm yang mampu meningkatkan penghasilan petani dengan basis kegiatan yang terkait usahatani, 3 Mengupayakan insentif bagi tumbuhnya industri hulu dan hilir pertanian, 4 Mengupayakan adanya payung hukum bagi bertumbuhnya lembaga pembiayaan pertaniaan yang tersedia di perdesaan Bappenas,2010. Menurut Badan Pusat Statistik 1993, indikator kesejahteraan rakyat dilihat dari aspek spesifik yaitu kesehatan, pendidikan, konsumsi rumahtangga dan perumahan. Aspek pendapatan, kondisi dan fasilitas perumahan, juga rasa aman merupakan indikator kesejahteraan. Tingkat pendapatan keluarga diukur dari besarnya pendapatan rumahtangga per kapita dalam sebulan dibagi kedalam tiga kategori interval yang sama dalam satuan rupiah, yakni tinggi, sedang dan rendah. Klasifikasi tingkat kesejahteraan untuk pedesaan di Indonesia, menurut Sajogyo 1993, yang termasuk kategori rendah miskin apabila pengeluaran per kapita per tahun kurang dari setara 320 kilogram beras, Kategori sedang hampir cukup apabila pengeluaran per kapita per tahun setara dengan 320 kilogram beras sampai 480 kilogram beras. Sedangkan untuk kategori tinggi cukup apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih dari setara 460 kilogram beras. Sedangkan Menurut Departemen Transmigrasi 1984 dalam Tulak 2009, Penilaian tingkat kesejahteraan program transmigrasi dapat pula dilakukan melalui kriteria tingkat kesejahteraan ekonomi, serta melalui indikator kesejahteraan ekonomi masyarakat, yaitu: 1 pendapatan per kapita setara dengan 500 kilogram per tahun; 2 sumber pendapatan dari usahatani setara 420 kilogram beras. Keluarga sejahtera adalah 1 keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik sandang, pangan, perumahan, sosial, maupun agama 2 keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan dengan jumlah anggota keluarganya, dan 3 keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk dan terpenuhinya kebutuhan pokok Badan Koordinasi Keluarga Nasional, 1996 dalam Tulak 2009.

2.3.2 Kondisi Ekologi

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan ogranisme hidup elemen biotik dengan benda tak hidup elemen abiotik di lingkungan sekitarnya. Ekologi mempelajari struktur dan fungsi dari alam, termasuk buatan Apa yang menjadi biaya ekologi dari desa sederhana dan pembangunan pertanian, beberapa indikator seperti : tanah, hutan, laju deforestasi, laju reforestasi, emisi karbon, kehilangan mangrove, dan pembaharuan sumber air, semuanya merefleksikan status degradasi lingkungan Partap et al, 2001. Ekologi dapat terfokus secara global dan umum, atau lokal dan sangat spesifik, tetapi seringkali dalam unit ilmu yang lain disebut ekosistem, baik kecil maupun besar, ekosistem memiliki karakteristik sendiri yang sangat penting bagi perencana wilayah di tingkat lokal. Wackernagel et al 1997, menyatakan secara persuasif bahwa kita perlu mulai berpikir dalam terminologi jejak ekologi, dimana dideskripsikan sebagai total area ekologi produktif, lahan dan air secara eksklusif untuk memproduksi semua sumber daya makanan dan serat konsumsi dan untuk asimilasi semua sampah yang termasuk sebagai penyebab polusi, berupa rumah tangga, masyarakat dan negara Honachefsky, 2000. Secara sadar ataupun tidak, pentingnya mereduksi kerusakan lingkungan hidup yang menjadi fenomena perubahan iklim, banjir dan sebagainya telah terbungkus dengan kepentingan-kepentingan tertentu di setiap negara. Tanpa visi pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Itu dapat terlihat dengan liberalisasi penyelamatan ekologi melalui mekanisme pasar. Berbagai inisiatif global dalam kerangka penyelamatan ekologi-lingkungan hidup telah digeser pelan-pelan ke arah pendekatan neoliberalisme. Konsepsi penanganannya, didorong melalui pendekatan mekanisme pasar. Yang paling mengemuka saat ini, adalah berbagai inisiatif penanganan pemanasan iklim global baik pada skema mitigasi, adaptasi dan konsep carbon offset. Baik melalui mekanisme pertukaran kerusakan di suatu wilayah dengan pembiayaan konservasi di wilayah lainnya. Ataupun melalui mekanisme carbon trade atau perdagangan karbon. Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim climate change belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan global global warming telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi gaya hidup konsumtif. Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan. Secara ekologi, kawasan pesisir cukup rentan terhadap berbagai bencana alam, seperti gelombang pasang dan pemanasan global. Kemudian jika terjadi peningkatan pencemaran yang berasal dari hulu sungai yang bermuara ke laut, maka kualitas perairan beserta flora dan fauna yang hidup didalamnya cenderung memburuk. Sumber bencana lainnya adalah perusakan dan penambangan terumbu karang, penggunaan sodium atau potassium sianida untuk penangkapan ikan, serta pembabatan hutan bakau yang dikonversi untuk tambak, pemukiman, kawasan wisata, industri dan sebagainya. Pada gilirannya kerusakan fungsi ekologi dapat menyebabkan penurunanjJumlah dan keanekaragaman hayati laut lainnya Widiati A, 2003. Gambut adalah tanah yang terdiri dari sisa-sisa tanaman yang telah busuk, dalam keadaan basah gambut seperti bubur, gambut yang masih baru mengandung serat-serat dan bekas kayu tanaman. Tanah gambut kurang subur, sehingga hasil tanamannya rendah. Air tanahnya asam, jika pirit terkena udara maka akan bertambah asam lagi, air bisa mengalir dengan mudah kedalam gambut sehingga petakan sawah bisa kering karena air bocor keluar dari tanggul bila tidak dialiri secara teratur. Selain itu tanah gambut dapat terbakar, dan pembakaran dipermukaan, kemungkinan dibawah permukaan api terus menjalar ke daerah yang jauh sekalipun, dan pembakaran gambut dapat menghilangkan lapisan gambut sehingga dapat menyebabkan lahan mati suri Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian, 1997. Menurut Andriesse 1988 dalam Noor. M 2001, fungsi lingkungan lahan gambut antara lain berkaitan dengan masalah daur ulang karbon, iklim global, hidrologi, perlindungan lingkungan dan penyangga lingkungan. Gambut mempunyai peran penting dalam penyimpanan atau pemendaman karbon, setiap lapisan 1 m gambut diperkirakan memendam sekitar 7 102 ton karbonhath, sehingga dapat menekan emisi gas CO2, namun peranan ini untuk jangka pendek hampir terabaikan, dalam iklim global pembukaan kawasan gambut untuk pertanian, perkebunan, kehutanan atau lainnya akan mempengaruhi suhu wilayah setempat. Pengaruh suhu ini tidak hanya penting bagi lahan yang direklamasi, tetapi perubahan yang terjadi juga akan merambat kelahan-lahan lain yang telah digunakan. Dalam hidrologi, lahan gambut berfungsi sebagai reservoir mengikuti pola pergantian selama musim hujan dan musim kemarau. Reklamasi telah mengubah peranan reservoir menjadi lebih berat sebagai pengendali aliran impas. Sebagai pelindung lingkungan gambut berperan sebagai penyerap unsur dan senyawa-senyawa racun yang dilepas dilingkungan, seperti timbal, air raksa, timah, cadmium, arsenic, seng dan selenium yang muncul diatas gambut, sehingga gambut berperan sebagai penyaring alami. Lahan gambut juga berfungsi sebagai penyangga wilayah sekitar atau bagian hulu. Lahan gambut yang terletak di daerah pesisirpantai berfungsi sebagai penyanggga antara wilayah air payau dan wilayah air tawar. Tanggul alam yang terletak antara Wilayah air tawar dan air payauasin, contoh antara hutan bakau dan hitan nipah, akan berubah setelah reklamasi, jadi dengan mempertahankan fungsi keduanya, maka dapat dicegah terjadinya penyusupan air laut ke pesisir dan pencemaran perairan pantai akibat hasil buangan daratan Rieley et al, 1996 dalam Noor. M, 2001. Secara ekologis, lahan gambut adalah wilayah penampung air untuk melindungi wilayah sekitar dari kebanjiran, dan menjaga kontinuitas penyediaan air sepanjang tahun, juga untuk menjaga kualitas air karena gambut dapat menjadi filter dari pencemaran Barchia. M. F, 2006. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan terus berupaya mencegah alih fungsi lahan pertanian di daerah itu agar produksi pangan dapat lebih ditingkatkan. Upaya pencegahan alih fungsi lahan itu, antara lain dengan melakukan sosialisasi dan penerapan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

2.3.3 Kondisi Sosial

Sejarah pembangunan telah menjadi subjek dari cabang ilmu sosial, mempelajari kesejateraan masyarakat tergantung pada pola konsumsi dari bahan makanan dan jasa. Meskipun secara ekonomi fokus pada tradisionalisme, dimana konsumsi hanya beberapa barang yang digunakan konsumen yang disarankan untuk diproduksi dengan sumberdaya berskala besar. Menurut Mulyanto 2008, Azas sosial dalam pengembangan wilayah merupakan usaha-usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat didalam wilayah itu diantaranya dengan mengurangi pengangguran dan menyediakan lapangan kerja serta menyediakan prasarana-prasarana kehidupan yang lebih baik seperti pemukiman, papan, fasilitas transportasi, kesehatan, sanitasi, air minum dan lain-lainnya. Ekosistem rawa merupakan proses, fungsi dan struktur dinamis dari ekosistem itu sendiri dengan atribut yang mendukung nilai-nilai sosial. Atribut dari struktur ekosistem antara lain sebagai wilayah penyangga pelestarian plasma nutfah biodiversity, memiliki keunikan dimana didalamnya tersimpan warisan dan budaya kearifan lokal, serta ladang penggalian ilmu pengetahuan. Lahan gambut juga tempat penyedia bahan bahan bangunan, energi dan sumber pangan tanaman, ikan dan binatang buruan buat masyarakat tradisional Barchia M. F, 2006. Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi kegenerasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatan nya tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Kearifan lokal meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu untuk mebangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan pada masa sekarang. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang. Investasi petani sebagaimana tergambar dalam kapasitas pertanian sekarang, merupakan indikator bahwa petani dalam proses sejarahnya merupakan investor yang secara individu memang kecil, tetapi secara keseluruhan menghasilkan nilai investasi besar. Kapital yang telah dihasilkan melalui proses evolusi yang lama tersebut akan menurun nilai dan kapasitasnya apabila tidak dilakukan reinvestasi baru. Reinvestasi ini hanya akan memberikan manfaat yang besar apabila investasi yang dilakukan kompatibel dengan modal sosial yang sudah hidup, atau bahkan investasi tersebut dilakukan sekaligus pula untuk merekapitalisasi modal sosial yang kondisinya memang pada saat ini sedang menghadapi erosi. Reinvestasi dan rekapitalisasi sosial capital ini merupakan syarat untuk membangun sumber-sumber pertumbuhan dan kesejahteraan pada masa mendatang Pakpahan, 2004. Menurut Dharmawan 2007, dalam mahzab Bogor, karakteristik sistem nafkah dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial budaya setempat. Terdapat tiga elemen sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumah tangganya yaitu 1 infrastruktur sosial setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku. 2 struktur sosial setting lapisan sosial, struktur agrarian, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal, 3 supra-struktur sosial setting ideology, etika moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku 2.4 Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut 2.4.1. Pengembangan Wilayah Menurut Mulyanto 2008, pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka memanfaatkan potensi-potensi wilayah yang ada, untuk mendapatkan kondisi-kondisi dan tatanan kehidupan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakatnya. Pada umumnya pengembangan wilayah dapat dikelompokkan menjadi usaha-usaha mencapai tujuan bagi kepentingan- kepentingan didalam kerangka azas: sosial, ekonomi dan wawasan lingkungan. Pengembangan wilayah pada umumnya mencakup berbagai dimensi pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal kegiatan pengembangan wilayah biasanya ditekankan pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun begitu, tahapan ini bukanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap wilayah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan wilayah yang lain. Potensi sumberdaya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain sangat berpengaruh pada penerapan konsep pengembangan wilayah yang digunakan Alkadri et al, 2001. Menurut hidrologinya, lahan rawa merupakan suatu kesatuan wilayah. Suatu tindakan tata air di suatu tempat berakibat langsung atas seluruh kawasan. Maka usaha pengembangan lahan rawa harus selalu berskala besar. Jarak jangkauan gerakan pasang surut ke darat ditentukan oleh ketinggian dan bentuk muka daratan pantai dan perubahannya kearah pedalaman, serta tahapan hidraulika sepanjang jalur rambatan. Estuari sungai atau bagian hilir sungai yang memasukkan air pasang dan mengeluarkan air surut adalah jalur rambatan utama gerakan pasang surut. Makin panjang dan lebar estuarinya, makin jauh jarak jangkauan gerakan pasang surut ke pedalaman. Estuari panjang jika daratan dan keduanya nyaris tidak berubah sampai jauh di pedalaman. Makin rapat bagian estuarinya makin lebar wilayah yang terjangkau oleh gerakan pasang surut. Karena ini kawasan rawa pasang surut potensial dapat diperluas dengan jalan menggali saluran yang menembus sampai ke laut, memperpanjang estuari pendek, mencabangkan estuari, atau menghubungkan estuari yang satu dengan yang lainnya. Jadi dengan mengubah hidrologi lahan, luas kawasan rawa pasang surut potensial dapat diperbesar. Maka disamping reklamasi, perluasan kawasan potensial merupakan gatra aspek pula dari pengembangan lahan rawa pasang surut. Akan tetapi oleh karena perluasannya bersifat buatan menggiatkan gejala alam, kelestariannya bergantung pada kemantapan dukungan teknologi. Perluasan kawasan rawa pasang surut dengan teknologi mempunyai padanan pada lahan atasan berupa perluasan jaringan irigasi. Dalam pengembangan lahan rawa pasang surut juga lahan rawa yang lain terlibat banyak sekali kegiatan teknik sipil, mulai dari tahap awal, kemudian pemantapan, sampai dengan tahap akhir berupa pemeliharaan hasil pengembangan. Pekerjaan pemantapan dan pemeliharaan sangat penting karena hidrologi lahan peka terhadap perubahan kecil saja pada salah satu faktor pengendalinya, khususnya hidrologi lahan pasang surut. Faktor pengendali hidrologi yang terpenting adalah tata saluran. Syafroe, 2011. Seperti pada agrosistem lainnya, sistem agribisnis dilahan pasang surut perlu mencakup : 1 subsistem produksi berupa penerapan teknologi produksi 2 subsistem sarana dan prasarana pertanian seperti pengembangan prasarana tata air serta penyediaan sarana produksi dan jasa tenaga kerja, 3 subsistem pengolahan hasil atau agroindustri, 4 Subsistem pemasaran dan distribusi, 5 Subsistem pendukung. Setiap subsistem tersebut memerlukan kelembagaan yang sesuai dan ditata dalam suatu tatanan yang sinergis dan harmonis melalui peningkatan kemampuan dan pemberdayaan masyarakat maupun kelembagaan yang sudah ada Alihamsyah et al, 2003 dalam Subagyo et al, 2006 Menurut Dewi 2003 yang dikutip oleh Tulak 2009, adanya pergeseran orientasi pembangunan transmigrasi kearah pengembangan wilayah menyebabkan pemukiman transmigrasi didesain untuk ditumbuh kembangkan menjadi pusat- pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut maka kawasan eks transmigrasi harus terbuka bagi penanaman modal, khususnya investasi agribisnis berbasis lahan dengan penekanan usaha di sektor pertanian.

2.4.2. Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut

Pembangunan berkelanjutan sustanaible development, merupakan suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan geberasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Keberlanjutan pembangunan dilihat dari tiga dimensi keberlanjutan, sebagaimana yang dikemukakan Serageldin 1996 sebagai a triangular framework yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi, dan kemudian ditambahkan oleh Spangerberg 1999, berupa dimensi kelembagaan sebagai dimensi keberlanjutan yang keempat, sehingga membentuk prisma keberlanjutan Prism of Sustainability Rustiadi et a., 2009. Pembangunan berkelanjutan muncul dengan terlebih dahulu menjelaskan pandangan-pandangan tentang lingkungan yang dimiliki masyarakat, yang meliputi tiga tahapan, yakni: lingkungan untuk pembangunan ekonomi, lingkungan untuk keperluan manusia, dan terakhir lingkungan untuk lingkungan. Kelemahan padangan pertama dan kedua telah dievaluasi yakni menghasilkan kondisi lingkungan yang bisa dikatakan mengkhawatirkan Susilo, 2008. Kemiskinan merupakan cerminan dari kondisi lingkungan gambut, khususnya produktivitas sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia yang tersedia di lahan gambut, selain itu keterbatasan sarana dan prasarana seperti infrastruktur jalan, akses pasar, pelayanan sarana produksi, pelayanan publik, pendapatan penduduk dilahan gambut tergolong rendah, terutama yang mengandalkan usaha taninya hanya pada komoditas padi. Permasalahan kemiskinan menjadi penting mengingat kerusakan lingkungan lahan dan hutan gambut terkait dengan keberadaan penduduk dikawasan gambut dan sekitarnya, karenanya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat dilahan gambut tidak hanya penting bagi peningkatan kesejahteraan tetapi juga terkait pelestarian dan konservasi lahan gambut kedepan, dan pemberian insentif sebagai kompensasi upaya pelestarian dan konservasi lingkungan perlu dilembagakan Noor, 2001. Pembangunan pertanian di masa depan harus mendorong, memotivasi, membantu dan memberikan fasilitas pada petani sebagai pelaksana utama atau subyek pembangunan pertanian secara mandiri, agar mampu mengambil keputusan di lapangan, sehingga muncul pendapat bahwa pertanian berkelanjutan, pertanian yang utuh dan lestari menjadi kecenderungan pembangunan pertanian di Indonesia masa depan. Petani kecil terlebih petani gurem bukanlah tidak rasional dan tidak responsif terhadap insentif ekonomi dan inovasi teknologi, mereka miskin dan statis bukan karena kebodohannya, tetapi karena tidak memiliki aset produktif yang memadai, kurangnya insentif ekonomi, dan terbatasnya infrastruktur publik Hamengku Buwono X, 2005. Pembangunan wilayah transmigrasi bertujuan membuka isolasi wilayah, menambah tenaga kerja petani, mendukung keetahanan pangan, pembangunan sarana sosial ekonomi dan pembentukan desa-desa baru. Dalam Undang-Undang No. 15 tahun1997 tentang pengembangan wilayah transmigrasi, maka wilayah transmigrasi merupakan wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan pemukiman untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Tulak, 2009.

2.5 Penelitian Terdahulu

Strategi nasional pengembangan rawa atau yang telah dilakukan pada proyek NLDS National Lowlands Development Strategy memberikan kerangka acuan untuk pengelolaan rawa terpadu, yang menyoroti aspek-aspek kebijakan, hukum, dan kelembagaan, dan strategi-strategi untuk konservasi pertanian yang ada dan pengembangan baru yang berkaitan erat. Penelitian yang dilakukan oleh Pramanti 2010 yang bertujuan untuk mengetahui perubahan interaksi sosial masyarakat transmigran sebagai akibat adopsi teknologi pengelolaan lahan rawa pasang surut kearah yang dikehendaki, di Desa Telang Karya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Populasi penelitian ini adalah masyarakat transmigran di Desa Telang Karya, Kecamatan Muara Telang, yang terdiri dari empat petak sekunder yaitu: petak P8-11S sebanyak 20 responder, petak P8-12S sebanyak 11 responden, petak P8-13S sebanyak 16 responden, dan petak P8-14S sebanyak 19 responden. Sampel penelitian berjumlah 11 persen dari jumlah populasi yang ada, yaitu 66 KK. Teknik penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan mengkombinasikan tiga teknik berikut ini, yaitu, wawancara terstruktur kuesioner, observasi, wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah berupa derajat hubungan nilai koefisien korelasi: variabel endogenous perubahan intraksi sosial masyarakat transmigran sebagai akibat variabel eksogenous adopsi teknologi pengelolaan lahan rawa pasang surut yang didekomposisikan ke dalam empat tahap pengelolaan lahan rawa pasang surut pengendalian gulma pra tanam, pengelolaan lahan, pengairan, dan penanaman masing-masing terhadap lima komponen perubahan interaksi sosial, yaitu: kerjasama K, persaingan P, nilai-nilai tradisional NT, status sosial ekonomi SE, dan konflik KF. Penelitian sebelumnya oleh Pramono 2003, memperoleh kesimpulan bahwa lahan pasang surut merupakan potensi yang besar untuk menghasilkan pangan dengan produktivitas yang tinggi apabila dilakukan dengan menerapkan teknologi spesifik lokasi yang didukung oleh iklim agribisnis yang kondusif. Berikut hasil identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan usaha tani di Kabupaten Banyuasin. Tabel 4 Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin No Kelompok Masalah Peringkat Masalah 1 Kondisi saluran banyak yang dangkal dan pintu air belum ada pada saluran tersier 1 2 Kemasaman tanah tinggi kandungan Fepirit dan salinitas pada saat musim kemarau yang menyebabkan keracunan pada tanaman 2 3 Harga benih yang mahal 3 4 Harga pupuk KCL yang mahal 4 5 Serangan hama tikus pada tanaman padi pada musim tanam II musim kemarau 5 6 Pengeringan dan penyimpanan gabah pada saat setelah panen yang bersamaan dengan musim hujan 6 7 Harga jual gabah masih di bawah standar pembelian pemerintah yang dilakukan oleh UPGB 7 8 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya dan alsintan untuk tanaman palawija 9 9 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya untuk pemeliharaan ikan 10 10 Rendahnya produktivitas kelapa milik petani 11 11 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya ternak sapi dan masih kurangnya pengetahuan teknologi pemeliharaan ternak yang produktif 12 12 Belum ada fasilitas IB untuk perkawinan ternak sapi dan masih kurangnya pengetahuan teknologi pemeliharaan ternak yang produktif 14 13 Jalan poros desa masih rusak sehingga menyulitkan transportasi terutama pada musim hujan 13 14 Kelembagaan tani belum aktif 8 Sumber: BPTP Sumsel, 2007, dalam Pramono 2003 Dari penelitian diketahui bahwa masalah utama di daerah pasang surut di Kabupaten Banyuasin ini adalah kondisi saluran banyak yang dangkal dan pintu air belum pada saluran tersier, dengan peringkat masalah ke 1. Selanjutnya Syahrial 2006, yang melakukan penelitian dengan metode survai lapangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, di tiga lokasi dengan tingkat perkembangan wilayah berbeda yaitu daerah maju di Delta Telang