Sustainable Analysis Of Tidal Region Transmigration (Study Of Household Income Stucture And Carrying Capacity In Two Villages In The District Of Banyuasin, South Sumatera)

(1)

ANALISIS KEBERLANJUTAN WILAYAH

TRANSMIGRASI PASANG SURUT

(Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa

di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)

NURILLA ELYSA PUTRI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Nurilla Elysa Putri


(3)

(4)

ABSTRACT

NURILLA ELYSA PUTRI. SUSTAINABLE ANALYSIS OF TIDAL REGION TRANSMIGRATION (Study of household income stucture and carrying capacity in two villages in the district of Banyuasin, South Sumatera). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN and DEDDY S BRATAKUSUMAH.

Since 1970 the transmigration area in the District of Banyuasin opened, the population increased and as a result of that activities of the local community certainly provided a change to the area sustainability condition. This study aims to analyze the sustainability of the tidal area transmigration by analyzing the economic security conditions (structure of household income and welfare status), assessing the tidal land carrying capacity, and identifying the eco-social conditions existed. This study is expected to provide knowledge to the public, academics and researchers and policy makers is a transmigration area can be developed or not. The method used is the calculation of household income in the form of On Farm, OF Farm and Non Farm income, calculation of tidal land carrying capacity, calculations of agrarian density and the ability to support the life and descriptive identification of eco-social conditions. Result from the both studied villages (Mekar Sari and Telang Rejo) showed that a shift in household livelihoods from the main activities of the agricultural food (On Farm) to other activities (Non Farm), the contribution of income from additional livelihood activities of non-Farm were 57.98% and 63.04% in the villages Mekar Sari and Telang Rejo respectively, this indicates a possible further decline in the focus of the main livelihood On Farm, which is certainly threaten the sustainability of this area as a buffer food. Results of land Carrying Capacity Assessment in the district Banyuasin and sub-district Muara Telang were deficit (CCR <1), where the CCR estimated for district by 0.4 and for sub-district by 0.6, in other words this means it is no longer possible to construct expansive and exploratory land construction, while Mekar Sari (1.018) and Telang Rejo (0.021) villages on alert status, which means there is a balance between the land carrying capacity and the population existence. Results of ecological conditions identification, showed a reduce in forest cover due to land clearing for agriculture and settlements and infrastructure development, thus the conservation and reforestation efforts are in need. Results of the social conditions identification was indicated this area is quite conducive, institutional village were developed, but not yet have a marketing corporation of their agricultural products at the village level. Reflection results of the conceptual theory from Christaller and Von Thunen suggests that the two villages were not able to be a new development center and give spread effect at economic activity for the surrounding hinterland. Policy implications that recommended from of this study results is this area prospected to developed as a buffer food if the Non Farm activities redirected to agriculture-based-food industry, as well as the need for ground transportation access and agricultural marketing agencies.

Keywords: tidal region, transmigration, household income structure, carrying capacity, socio ecology


(5)

(6)

RINGKASAN

NURILLA ELYSA PUTRI. Analisis Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa Kabupaten Banyuasin). Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN DAN DEDDY S BRATAKUSUMAH.

Sejak dibukanya daerah transmigrasi di Kabupaten Banyuasin pada tahun 1970 maka pertambahan populasi dan aktivitas masyarakat tentunya memberikan perubahan terhadap kondisi keberlanjutan wilayah. Studi ini bertujuan menganalisa keberlanjutan wilayah transmigrasi pasang surut melalui analisis kondisi ketahanan ekonomi (struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga), menilai daya dukung lahan pasang surut (Carrying capacity), serta mengidentifikasi kondisi sosial ekologi yang ada didaerah tersebut. Studi ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada khalayak, akademisi dan peneliti serta pengambil kebijakan apakah suatu wilayah transmigrasi dapat terus dikembangkan atau tidak, Metode penelitian yang digunakan adalah perhitungan pendapatan rumahtangga berupa pendapatan On Farm, OF Farm dan Non Farm, perhitungan carrying capacity lahan pasang surut, perhitungan kepadatan agraris dan kemampuan mendukung kehidupan, identifikasi kondisi sosial ekologi secara deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa di kedua desa studi yaitu desa Mekar Sari dan desa Telang Rejo telah terjadi pergeseran mata pencaharian rumahtangga dari kegiatan utama pertanian pangan (On Farm) ke kegiatan lain selain pertanian (Non Farm), kontribusi pendapatan mata pencaharian tambahan Non Farm yaitu 57,98% di desa Mekar Sari dan 63,04% di desa Telang Rejo, yang mengindikasikan adanya kemungkinan semakin menurunnya fokus mata pencaharian On farm, yang mengamcam keberlanjutan wilayah sebagai penyangga pangan. Hasil penilaian Carrying Capacity lahan pasang surut di Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan Muara Telang adalah Defisit karena CCR < 1, dimana CCR Kabupaten sebesar 0,4 dan CCR kecamatan sebesar 0,6, yang berarti tidak dimungkinkan lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan eksploratif lahan, sedangkan untuk desa Mekar Sari (1,018) dan desa Telang Rejo (0,021) berada pada status waspada, yang bearti masih ada keseimbangan antara daya dukung lahan dengan keberadaan penduduk. Hasil identifikasi kondisi ekologi, terlihat bahwa tutupan hutan semakin berkurang akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman serta pembangunan infrastuktur, sehingga perlu adanya usaha konservasi dan reboisasi. Hasil dari identifikasi kondisi sosial menunjukkan bahwa daerah ini secara sosial cukup kondusif, namun belum memiliki kelembagaan pemasaran hasil pertanian di tingkat desa. Hasil refleksi konseptual teori Christaller dan Von Thunen menunjukkan bahwa kedua desa belum bisa menjadi pusat pertumbuhan baru dan spread effect kegiatan ekonomi bagi hinterland disekitarnya. Implikasi kebijakan yang disarankan dari hasil studi ini adalah wilayah ini masih berprospek dikembangkan sebagai penyangga pangan jika kegiatan Non Farm diarahkan pada kegiatan usaha produktif yang berbasis pada pertanian pangan.

Kata Kunci: Lahan pasang surut, Transmigrasi, Struktur Nafkah, Carrying Capacity, sosial, ekologi


(7)

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB


(9)

(10)

ANALISIS KEBERLANJUTAN WILAYAH

TRANSMIGRASI PASANG SURUT

(Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa

di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)

NURILLA ELYSA PUTRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(11)

(12)

Judul Penelitian : Analisis Keberlanjutan Wilayah Tansmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa di kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)

Nama : Nurilla Elysa Putri

NIM : H152100101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Ketua

Dr. Ir. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc, M.URP Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(13)

(14)

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga Tesis yang berjudul Analisis Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr dan Dr. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc.M.URP yang telah mencurahkan waktu, pemikiran dan memberi pengarahan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi PWD dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Sriwijaya dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis di Institut Pertanian Bogor dan telah memberikan bantuan pendanaan dalam penulisan dan penyelesaian Tesis ini.

Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kecamatan Muara Telang dan Kepala Desa beserta segenap masyarakat Desa Telang Rejo dan Desa Mekar Sari yang telah bersedia menjadi responden, Badan Pusat statistik (BPS) Sumatera Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura, Stasiun Klimatologi dan Geofisika Klas II Kenten yang telah membantu dalam penelitian ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada sumber kekuatan dan inspirasiku suami tercinta Muhammad Sirajuddin S.IP, serta anak-anak tersayang Ananda Siti Aisyah dan Adinda Rameyza Elya atas segala pengertian dan kesabaran dengan begitu banyak pengorbanan waktu kebersamaan yang hilang dalam menempuh studi dan meyelesaikan Tesis. Sumber Doa yang terus mengalir tiada henti dari kedua orang tuaku, Ayahanda H. Alysa Husin dan Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati terimakasih atas pengorbanan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT senantiasa memberi kelimpahan ridho dan keberkahan bagi kita semua.


(15)

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Ir. Yulian Junaidi, MSi serta mahasiswaku di Jurusan Sosial Ekonomi Unsri Tanjung dan Edwin yang telah membantu penulis dalam pengambilan data dan survey di lapangan. Kepada para sahabat: Sukma, Dyah, Rezi, Eka dan Sanda terima kasih atas bantuan dan kebersamaan yang senantiasa diberikan, beserta semua Sahabat S2 dan S3 PWD lintas angkatan terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan, berdiskusi, seminar, maupun kunjungan lapang yang pernah kita lalui bersama, banyak kenangan manis yang tidak terlupakan.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan karena banyaknya keterbatasan, oleh karenanya dengan segala kekurangan penulis mengharapkan saran bagi perbaikan tesis ini untuk pengembangan pada penelitian berikutnya. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi kita semua.

Bogor, Juli 2012


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 4 Juli 1978. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak H. Alysa Husin, Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati, Menikah dengan Muhammad Sirajuddin, S.IP dan saat ini dikaruniai dua orang anak yakni Ananda Siti Aisyah dan Adinda Rameyza Elya. Saat ini bertempat tinggal di Griya Cipta Pratama Blok J No.10 Sako Palembang. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 249 Palembang pada tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama Negeri 14 Palembang pada tahun 1993, Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Palembang pada tahun 1996. Pada tahun 2000 penulis menamatkan program S1 Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2000-2007 penulis bekerja pada PT. Tiga Raksa Satria, Tbk, dan sejak tahun 2008 hingga saat ini Penulis bekerja sebagai Pengawai Negeri Sipil pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Sriwijaya sebagai Tenaga Pengajar.


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Konsepsi Lahan Pasang Surut ... 13

2.2. Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung) ... 15

2.3. Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial ... 18

2.3.1. Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan ... 18

2.3.2. Kondisi Ekologi ... 21

2.3.3. Kondisi Sosial ... 24

2.4. Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ... 25

2.4.1. Pengembangan Wilayah Pasang Surut ... 25

2.4.2. Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ... 27

2.5. Penelitian Terdahulu ... 29

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ... 33

3.1. Kerangka Teoritis ... 33

3.1.1 Pendekatan Carrying Capacity (Daya Dukung Lahan) ... 33

3.1.2 Struktur Nafkah dan Tingkat Kesejahteraan... 35


(18)

ii

3.1.4 Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ... 39

3.1.5 Teori Christaller ... 41

3.1.6 Teori Von Thunen ... 42

3.2. Kerangka Operasional ... 44

3.3. Hipotesis ... 45

3.4. Batasan Operasional ... 45

BAB IV METODE PENELITIAN ... 47

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 47

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 47

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 48

4.4. Metode Analisis Data ... 49

4.4.1. Analisis Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan ... 49

4.4.2. Analisis Daya Dukung (Carrying Capacity/CCR) ... 51

4.4.3. Pengukuran Kepadatan Agraris ... 53

4.4.4. Analisis Kualitatif ... 54

4.4.5. Matriks Penelitian ... 55

BAB V KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 57

5.1. Kondisi Fisik ... 57

5.1.1. Letak, Batas dan Luas Wilayah ... 57

5.1.2. Topografi dan Hidrologi ... 59

5.1.3. Iklim dan Curah Hujan ... 61

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 62

5.2.1. Penduduk... 62

5.2.2. Mata Pencaharian ... 64

5.2.3. Pendidikan ... 65

5.3. Transmigrasi ... 66

5.4. Sektor Pertanian ... 67

5.4.1. Pertanian Tanaman Pangan ... 67

5.4.2. Perkebunan ... 68


(19)

iii

BAB VI STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA

(ANALISIS MAKRO) ... 71

6.1. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 71

6.2. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ... 77

6.3. Struktur Nafkah Rumahtangga dan Keberlanjutan Ekonomi Wilayah ... 83

6.3.1 Struktur Nafkah Rumahtangga ... 83

6.3.2 Klasifikasi Status kesejahteraan Rumahtangga Responden . 88

6.3.3 Keberlanjutan Ekonomi Wilayah ... 97

6.4. Ikhtisar... 100

BAB VII DAYA DUKUNG (CARRYING CAPACITY) LAHAN, KEPADATAN AGRARIS, DAN KONDISI SOSIAL EKOLOGI (ANALISIS MAKRO) ... 105

7.1. Kondisi Wilayah pasang Surut Kabupaten Banyuasin ... 105

7.2. Kemampuan Daya Dukung Lahan ... 107

7.2.1 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Kabupaten Banyuasin ... 107

7.2.2 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang ... 108

7.2.3 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo ... 110

7.3. Kepadatan Agraris dan Kemampuan Mendukung Kehidupan ... 114

7.3.1 Kepadatan Agraris ... 114

7.3.2 Kemampuan Mendukung Kehidupan ... 117

7.4. Kondisi Sosial ... 119

7.4.1 Keadaan Sosial Desa Mekar Sari ... 120

7.4.2 Keadaan Sosial Desa Telang Rejo ... 121

7.5. Kondisi Ekologi ... 124

7.5.1 Kondisi Lahan Pasang Surut ... 124


(20)

iv

7.5.3 Perubahan Iklim Wilayah Pasang Surut ... 128

7.6. Ikhtisar ... 130

BAB VIII REFLEKSI KONSEPTUAL TEORITIK PENGEMBANGAN WILAYAH KEDEPAN ... 133

8.1. Refleksi Teori Christaller ... 133

8.2. Refleksi Teori Von Thunen ... 139

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

9.1. Kesimpulan ... 143

9.2. Saran ... 144

9.3. Implikasi Kebijakan ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147


(21)

v

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan Luas yang dikembangkan

dengan bantuan pemerintah………. 2

2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya ....……….... 3

3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta program Rice Estate di Kabupaten Banyuasin... 5

4 Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin... 30

5 Matriks Penelitian………... 55

6 Jumlah Desa/Kelurahan di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ... 57

7 Jumlah Penduduk Desa/Lokasi Penelitian ... 62

8 Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian di Desa/Lokasi Penelitian ... 63

9 Jumlah Penduduk 10 tahun keatas menurut tingkat pendidikan, Kabupaten Banyuasin, 2010 ... 64

10 Penempatan Transmigran di Kabupaten Banyuasin 5 tahun terakhir ... 65

11 Luas dan jumlah petani perkebunan rakyat di Kabupaten Banyuasin ... 67

12 Mata Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 72

13 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 74

14 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari dengan Frekuensi Panen... 76

15 Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ... 78

16 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari... 82

17 Perbandingan Pendapatan Total/Th Rumahtangga Responden Berdasarkan Kegiatan Mata Pencaharian... 86

18 Status Kesejahteraan Berdasarkan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga.... 87

19 Perbandingan Struktur Pendapatan Total/Th (Rp) Rumahtangga Responden……… 90

20 Stuktur Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ... 91


(22)

vi

22 Tingkat Pendapatan dan Kegiatan Mata Pencaharian Rumahtangga ... 94 23 Hasil perhitungan CCR lahan sawah pasang surut Kabupaten Banyuasin 107 24 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang . 108 25 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari

dan Desa Telang Rejo Tahun 2011 ... 111 26 Kepadatan Agraris dan Daya Dukung Kehidupan ... 115 27 Kemampuan mendukung kehidupan lokasi Penelitian ... 117 28 Hasil identifikasi kondisi sosial di desa Mekar Sari dan Telang Rejo ... 119 29 Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Banyuasin ... 128 30 Refleksi hasil studi pada teori Christaller ... 136 31 Refleksi hasil studi pada teori Von Thunen... 139 32 Perbandingan Carrying Capacity Lahan Pasang Surut ... 141


(23)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut

pandang infrastruktur pengairan) ... 7 2 Bagan Alur Pemikiran Dalam Penelitian ... 44 3 Peta Kabupaten Banyuasin ... 47 4 Data Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk, 2012 ... 63 5 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga Responden

Desa Mekar Sari, 2012... 71 6 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden

Desa Mekar Sari, 2012 ... 73 7 Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012 ... 74 8 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Mekar Sari, 2012 .. 75 9 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga

Responden Desa Telang Rejo, 2012 ... 77 10 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden

Desa Telang Rejo, 2012……….. 79 11 Sebaran Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012……….... 80 12 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Telang Rejo, 2012 81 13 Box plot Distribusi Pendapatan pertahun Rumahtangga, 2012………... 84 14 Perbandingan Struktur Pendapatan Rumahtangga Responden, 2012 ... 86 15 Perbandingan Struktur Pendapatan Pertahun Rumahtangga Responden,

2012 ... 89 16 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Mekar Sari, 2012 ... 90 17 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Telang Rejo, 2012 ... 92 18 Perbandingan Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden

Berdasarkan Klasifikasi Kelas Rumahtangga, 2012 ... 95 19 Skema Peningkatan Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah... 98 20 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kabupaten Banyuasin ,

2009-2010……….. 108

21 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kecamatan Muara Telang,


(24)

viii

22 Perbandingan Carrying Capacity Lahan Desa Mekar sari dan

Desa Telang Rejo, 2010……….. 111

23 Perbandingan Carrying Capacity Desa, Kecamatan dan Kabupaten ,

2010……… 112

24 Perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayah, 2011………... 114 25 Perbandingan Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan……… 116 26 Perbandingan Daya Dukung Vs UMR Vs Kebutuhan Hidup, 201……… 118 27 Kondisi Jalan Desa,2012………... 123 28 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Banyuasin, Tahun 2006... 125 29 Kondisi saluran air di desa Mekar Sari, 2012……… 127 30 Kondisi lingkungan Desa Telang Rejo, 2012……… 129


(25)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kuisioner……….………... 155 2 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Mekar Sari ... 168 3 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Telang Rejo………. 169 4 Scatter Plot sebaran Pendapatan Rumahtangga responden desa Mekar Sari

dan Telang Rejo………... 170

5 Perhitungan Carrying Capacity (CCR)... 171 6 Perhitungan Kepadatan Agraris dan daya Dukung Kehidupan ... 172 7 Sebaran Normal Pendapatan Rumahtangga Responden ... 173 8 Peta Rupa Bumi Kecamatan Muara Telang, Bakosurtanal 1969 ... 174 9 Dokumentasi Lokasi Studi Desa Mekar Sari ... 175 10 Dokumentasi Lokasi Studi Desa Telang Rejo ... 176


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan pedesaan merupakan pendekatan multifaset dan komprehensif terhadap perubahan masyarakat yang menyangkut aspek sosial, norma, sumber daya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan) dan juga aspek pasar dan pengambilan keputusan di tingkat lokal. Konsep pembangunan pada tatanan ini bukan saja mementingkan pada pertumbuhan ekonomi namun juga kualitas pembangunan yang mempertahankan daya dukung sumber daya alam dan lingkungan serta nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang dapat menjadi katalisator pembangunan ekonomi (Sumardjo, 2010).

Transmigrasi yang diselenggarakan sejak tahun 1970/1971 berdasarkan kebijakan yang tercantum dalam REPELITA I, merupakan usaha penyediaan lapangan kerja yang terkait proyek-proyek pembangunan di daerah kurang padat penduduk. Program penempatan transmigrasi berhubungan dengan program peningkatan produksi khususnya peningkatan produksi pangan, dengan prioritas lain melalui penempatan transmigran pada proyek-proyek perluasan areal sawah pasang surut di Sumatera dan Kalimantan. Penempatan lokasi transmigasi dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan prasarana jalan dan pengairan yang diperlukan untuk usaha peningkatan produksi.

Pada masa orde baru tujuan utama transmigrasi tidak semata-mata memindahkan penduduk dari pulau Jawa keluar Jawa, namun ada penekanan pada tujuan memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan. Paradigma baru dalam pembangunan transmigrasi sudah jauh berbeda dengan paradigma lama, hal ini terjadi dengan dikeluarkannya Undang-undang No 5 Tahun 1997, tentang Pelaksanaan Transmigrasi tidak lagi difokuskan pada masalah penyebaran penduduk, tetapi bergeser pada pengembangan ekonomi dan pembangunan daerah.


(27)

2

Dalam Kerangka Pembangunan Nasional, transmigrasi diharapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi ekspor. Produksi pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita pembangunan, selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah tujuan semenarik mungkin sehingga banyak penduduk tertarik untuk pindah dari pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya yang padat penduduk dengan biaya mandiri tanpa tergantung pada pemerintah.

Tabel 1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan luas yang dikembangkan dengan bantuan pemerintah

Lokasi Total lahan rawa secara Nasional Total lahan yang sudah dikembangan Pasang

Surut (ha)

Lebak (ha)

Total (ha) Pasang Surut(ha)

Lebak (ha)

Total (ha) Sumatera 6.604.000 2.766.000 9.370.000 691.704 110.176 801.880 Kalimantan 8.126.900 3.580.500 11.707.400 694.935 194.765 889.700 Sulawesi 1.148.950 644.500 1.793.450 71.835 12.875 84.710 Papua 4.216.950 6.305.770 10.522.720 - 23.710 23.710

Total 20.096.800 13.296.770 33.393.570 1.458.474 341.526 1.800.000 Sumber : Dit Rawa dan Pantai, Ditjen Pengairan, Departemen PU, 2009.

Di Indonesia, setidaknya ada dua wilayah yang memiliki lahan pasang surut yang besar, yaitu di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Dari tabel diatas terlihat bahwa total lahan yang telah dikembangkan di Sumatera (691.704 ha) untuk lahan pasang surut hampir sama dengan total lahan yang telah dikembangkan di Kalimantan (694.935ha), padahal total lahan pasang surut yang tersedia di Sumatera (6.604.000 ha) lebih kecil dibanding total lahan pasang surut yang tersedia di Kalimantan (8.126.900 ha), hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan lahan pasang surut di Sumatera telah berkembang pesat dan meluas seiring pertambahan populasi yang lebih besar dari pada di Kalimantan, sehingga permasalahan daya dukung lahan (carrying capacity) perlu menjadi perhatian di wilayah ini.

Di Provinsi Sumatera Selatan wilayah pasang surut terbesar terdapat di Kabupaten Banyuasin. Hampir 80 persen dari wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan daerah sawah pasang surut. Pasang surut merupakan lahan marjinal yang tidak cocok untuk kepentingan industri, tapi cocok untuk tanaman pangan,


(28)

3

padi, palawija, dan kelapa. Bisa juga untuk kepentingan perkebunan, seperti kelapa sawit. Dari klasifikasi lahan, pasang surut itu memiliki tipe beragam dengan kepentingan sama, yakni untuk lahan pangan dan pertanian khususnya. Di Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut yang tersebar di sembilan daerah, seperti di Telang I, Telang II, Muara Padang, Air Saleh, Makarti, Sugihan Kiri, Pulau Rimau, Karang Agung Ilir, Karang Agung Tengah, dan Karang Agung Ulu.

Pengembangan daerah rawa di Sumatera Selatan secara besar-besaran oleh pemerintah telah dimulai sejak tahun 1960 sampai tahun 1970 melalui program transmigrasi. Sebelumnya daerah rawa hanya diusahakan oleh rakyat yang merupakan penduduk asli maupun pendatang seperti pedagang dari suku bugis dan hanya terbatas didaerah pinggiran sungai saja.

Tabel 2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya No Kabupaten

/Kota

Tadah Hujan Pasang Surut

Frekuensi penanaman Jumlah Frekuensi penanaman Jumlah Satu kali Dua kali Satu kali Dua kali

1 OKI 484 386 870 - - -

2 OKU 24.749 12.258 37.007 8.428 130 8.558

3 Muara Enim 4.148 615 4.779 - - -

4 Lahat 2.194 126 2.320 - - -

5 Musi Rawas 2.664 3.655 6.319 - - -

6 Musi Banyuasin

296 183 479 21.560 1.077 22.637

7 Banyuasin 1.719 - 1.719 117.026 5.655 122.681

8 OKU Selatan 317 862 1.179 - - -

9 OKU Timur 14.127 13.587 27.714 - - -

10 Ogan ilir 366 - 366 - - -

11 Palembang 114 - 114 - - -

12 Prabumulih - 50 50 - - -

13 Pagaralam 200 - 200 - - -

14 Lubuk linggau

98 446 544 - - -

Jumlah/Total 51.512 32.168 83.680 147.014 6.862 153.876 Sumber : Badan pusat Statistik, 2008

Pada Tabel 2 diatas, terlihat bahwa Kabupaten Banyuasin merupakan penghasil padi sawah pasang surut terbesar di Sumatera Selatan, terbukti dengan luas lahan sawah pasang surut sebesar 122.681 ha pada tahun 2005, yang setidaknya diproyeksi telah mengalami perluasan di tahun 2011 ini, bahkan


(29)

4

mengalahkan luas lahan irigasi teknis di kabupaten Ogan Komering Ulu sebesar 37.007 ha di tahun 2005 tersebut, hal ini membuktikan bahwa potensi lahan pasang surut di Kabupaten Banyuasin sangatlah besar terutama dalam berkontribusi mewujudkan Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan, serta pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin sendiri khususnya melalui komoditi unggulan penghasil padi sawah.

Seiring dengan otonomi daerah, maka visi dan misi kabupaten Banyuasin untuk menjadi “pusat pertumbuhan ekonomi yang ekslusif bagi propinsi Sumatera Selatan” dilakukan melalui upaya memberdayakan masyarakat untuk dapat berdiri sendiri, dengan potensi lahan pasang surut, rawa dan lebak yang mendominasi hingga 80% wilayah Kabupaten Banyuasin, diharapkan mampu mewujudkan visi tersebut, terutama terhadap kontribusinya sebagai lumbung pangan di Sumatera Selatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan ketersediaan sektor hilir yang menyokong hasil produksi di sektor hulu, dan pengembangan sektor hilir ini dilakukan tanpa mengurangi produktivitas pertanian tanaman pangan (padi) yang menjadi basisnya.

Kenyataan yang terjadi sejak adanya transmigrasi di daerah ini, maka populasi penduduk seiring berjalannya waktu telah mengalami peningkatan yang cukup besar, dan keterbatasan lahan menjadi permasalahan baru di daerah ini, lahan yang tersedia telah termanfaatkan secara optimal, sehingga masalah daya dukung (carrying capacity) lahan mulai menjadi perhatian, keterbatasan daya dukung lahan merambah pada permasalahan ekonomi, dimana pendapatan petani sawah dilahan pasang surut terancam mengalami penurunan akibat fragmentasi lahan seiring pertambahan penduduk yang cukup besar dan kepadatan agraris yang semakin meningkat. Dan permasalahan ekonomi yang berhubungan dengan pendapatan menghadapkan masyarakat setempat pada pemilihan alternatif mata pencarian selain kegiatan pertanian (non farm) yang kemudian menimbulkan masalah baru beralihnya mata pencarian masyarakat dari bertani (on farm) ke kegiatan industri lainnya (off farm) yang berpotensi menyebabkan penurunan produksi padi didaerah tersebut, seperti terlihat pada Tabel 3.


(30)

5

Tabel 3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta program Rice Estate di Kabupaten Banyuasin

No Karakteristik Rumahtangga Rata-rata

Peserta Non-Peserta

1 Pendidikan Kepala Keluarga (th) 6.5 6.9

2 Pendidikan istri (th) 5.9 6.2

3 Umur Kepala Keluarga (th) 44.7 43.0

4 Umur Istri (th) 36.7 35.3

5 Luas lahan (ha) 2.4 2.0

6 Jumlah anggota keluarga (org) 3 3

7 Pengalaman KK berusahatani (th) 29.7 28.0

Sumber : Data Primer diolah (dalam Chuzaimah, 2006)

Lahan adalah aset terpenting bagi rumahtangga petani karena merupakan sumber pangan keluarga dan sumber mata pencaharian yang berbasis lahan. Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan per rumah tangga petani peserta adalah 2,4 hektar dan non peserta 2 hektar. Baik peserta maupun non peserta sebagian besar adalah petani transmigrasi yang berasal dari jawa, yang pada awal penempatannnya mendapatkan lahan dari pemerintah seluas 2,25 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa para petani telah memanfaatkan lahan usahatani yang dimiliki secara maksimal. Jika di fragmentasikan dengan jumlah anggota keluarga, maka lahan yang dimiliki perkapita adalah 0,8 ha/kapita untuk perserta rice estate dan 0,6 ha/kapita bagi non peserta rice estate, hal ini mengindikasikan bahwa para petani ini adalah petani gurem atau peasant yaitu petani yang meiliki lahan kecil dan kurang dari 1 ha, yang jika dibiarkan akan mengancam ketahanan ekonomi rumahtangga para petani di wilayah ini, sehingga untuk mencukupi kebutuhan para petani ini akan beralih ke mata pencarian lain, yang menyebabkan timbulnya masalah sosial berupa kemiskinan, perebutan penguasaan lahan (konflik), migrasi, dan sebagainya.

Jika masalah ekonomi dan peralihan mata pencarian ke sektor lain terjadi secara meluas, maka ketahanan pangan mulai terancam, dan otomatis akan timbul berbagai permasalahan sosial dan kerusakan ekologi. Untuk itu diperlukan suatu konsep atau strategi dalam mengantisipasi timbulnya permasalahan -permasalahan tersebut, suatu strategi dalam mengembangkan wilayah berbasis carrying capacity (daya dukung lahan) dan peningkatan kesejahteraan petani di daerah pasang surut Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan untuk tujuan pembangunan wilayah yang


(31)

6

berkelanjutan (sustanaibility) dengan memperhatikan aspek penting dalam keberlanjutan wilayah yaitu ekonomi, ekologi dan sosial.

Dari sisi pengembangan wilayah, Kabupaten Banyuasin merupakan kabupaten yang relatif baru akan tetapi telah melangkah maju dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Adanya kawasan Tanjung api-api sebagai salah satu bagian wilayah Kabupaten Banyuasin disinyalir akan menjadi kawasan strategis yang berpotensi mengangkat dan meningkatkan sumberdaya Kabupaten Banyuasin sebagai kabupaten otonom dan mandiri. Selain itu dengan ditetapkannya perencanaan kawasan lain yang telah disepakati (commited plan) diharapkan mampu mendorong tumbuhnya perekonomian wilayah serta menumbuh kembangkan berbagai sektor pembangunan dan pelayanan regional di wilayah Kabupaten Banyuasin, khususnya di sektor industri yang berbasis kepada ekonomi lokal.

1.2 Rumusan Permasalahan

Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dengan tingkat produktivitas dan pendapatan usaha yang relatif rendah, sehingga kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan banyak terdapat di pedesaan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan harus dilakukan dengan membangun pertanian dan pedesaan, yang merupakan tantangan kedepan untuk mencapai Millenium Development Goals(MDG’s) melalui pembangunan pertanian dengan segala karakteristik dan spesifikasi masalahnya yang tersebar merata hampir diseluruh wilayah pedesaan (Bappenas, 2010).

Persoalan mendasar yang dihadapi sektor pertanian pada saat ini dan masa yang akan datang adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global; terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; sedikitnya status dan kecilnya luas kepemilikan lahan; lemahnya sistem pembenihan dan perbibitan nasional; keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani; lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh; masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi; belum berjalannya diversifikasi pangan; rendahnya nilai tukar


(32)

7

petani (NTP), dan belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian (Bappenas, 2010).

Peranan sektor pertanian yang semakin menyusut dalam pembentukan PDB ternyata tidak disertai dengan mengecilnya peranan dalam penyerapan tenaga kerja, apabila dibandingkan antara kecepatan penurunan pangsa pertanian dalam PDB dengan kecepatan penurunan penyerapan tenaga kerjanya, maka dapat diduga bahwa pendapatan relatif tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian cenderung semakin tertinggal dibanding sektor lain (industri, perdagangan atau jasa) (Harianto, 2011).

Gambar 1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut pandang infrastruktur pengairan)

Sumber: Menko Ekonomi, 2009 dan BAPPENAS et al., 2002, dalam Susanto, 2010

Upaya optimalisasi lahan untuk ketahanan pangan harus dilakukan, dan salah satu upaya tersebut adalah pemanfaatan wilayah pasang surut sebagai areal persawahan, yang merupakan sumberdaya alam terbesar di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan. Optimalisasi lahan rawa pasang surut untuk produksi pangan misalnya terbukti telah mampu meningkatkan produksi lahan per hektar per musim bahkan juga meningkatkan indeks pertanaman dari satu kali (IP100) menjadi dua sampai tiga kali per tahun (IP200, IP300). Bahkan di beberapa tempat seperti di Telang I, Kabupaten Banyuasin produksi padi dapat mencapai 7


(33)

8

sampai 8 ton GKP per hektar dan sudah 2-3 kali tanam (padi-padi-jagung) dalam setahun (Susanto, 2010).

Secara umum kendala yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang surut mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Kendala biofisik dicerminkan dari sifat fisika kimia lahan, seperti rendahnya kesuburan tanah dan pH tanah, adanya zat beracun (alumunium, besi, hydrogen sulfide dan natrium) dan lapisan gambut, terjadinya kekeringan / genangan air dan intrusi air asin, kendala sosial ekonomi meliputi keterbatasan modal, tenaga kerja, tingkat pendidikan petani yang rendah, kondisi sarana dan prasarana yang kurang memadai, rendahnya harga hasil pertanian dan kurangnya dukungan eksternal seperti kelembagaan untuk penyediaan modal, sarana produksi dan pemasaran hasil (Pramono, 2003).

Memprioritaskan pertanian pasang surut justru low cost dan cukup dengan simple technology. Sehingga secara matematisnya akan lebih menguntungkan jika mengoptimalkan lahan pasang surut, ketimbang irigasi teknis. Sebab, di daerah pasang surut, sumber daya manusianya sudah tersedia, teknologinya sederhana dan tidak harus memulai dari awal. Berbeda dengan irigasi teknis yang harus mencetak sawah terlebih dulu, kapasitasnya terbatas dan begitu pula lahannya, seperti kutipan berikut ini:

“Di Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut dari jumlah tersebut yang sudah bisa ditanami 150 ribu hektare. Sudah ada saluran primer, sekunder, dan pintu-pintu air. Sisanya belum bisa ditanami, karena irigasinya banyak yang dangkal. Pintu-pintu airnya banyak yang rusak. Sehingga menjadi lahan tidur. Diantara yang telah ditanami ada pula yang dimanfaatkan untuk kelapa sawit, selain padi. Kendati banyak yang rusak, dari lahan pasang surut ini Banyuasin mampu ikut menopang stok pangan Sumsel sebesar 28 persen. Andai saja dari luas yang ada itu bisa dimanfaatkan optimal, maka Sumsel yang sudah mencanangkan diri menjadi Lumbung Pangan itu, jelas tak lagi sekadar bermimpi” “Kondisi Sumsel memang dilematis. Di satu sisi memproklamirkan diri sebagai lumbung pangan, tapi di sisi lain daerah penyangga pangan seperti pasang surut itu kurang mendapat perhatian. Pemerintah pusat, khususnya Menteri Pertanian belum melihat greget pasang surut” ( http://www.suarakarya-online.com, 2007).


(34)

9

Kurangnya perhatian dalam pengelolaan lahan gambut terhadap prinsip-prinsip ekologi dan karakteristik ekosistem gambut, mengakibatkan timbulnya beragam masalah seperti rusaknya produktivitas lahan gambut, hilangnya keaneragaman hayati, kebakaran hutan dan asap, banjir terus menerus diluar musim hujan, tanah sulfat masam, masalah sosial ekonomi, hilangnya mata pencaharian masyarakat dan dampak lanjutan yang ditimbulkan. Akibatnya, pengelolaan hutan rawa gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan masih sangat jauh dari harapan, yang masih berlangsung hingga kini adalah eksploitasi ekosistem lahan gambut yang mengakibatkan dampak buruk yang luas terhadap ekosistem, lingkungan dan dampak ekonomi ikutan (Simbolont, 2011).

Pendekatan seperti ini ditegaskan dalam Undang-Undang No 41 tahun 2009 tentang ”Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Dimana salah satu pertimbangan yang dikemukakan yaitu bahwa makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Di masa depan, pengelolaan lahan gambut di Indonesia hendaknya menuju upaya merevitalisasi fungsi hutan rawa gambut sehingga tercapai tiga tujuan utama yaitu mengkonversi dan menggunakan hutan rawa gambut sesuai regulasi serta kemampuan daya dukung lahan, merubah paradigma dalam peningkatan usaha di lahan gambut yang harus selalu diharmonisasikan dengan lingkungan, dan memperkaya teknologi modern dengan kearifan lokal melalui pengembangan program partisipatif.

Menurut Miettinen & Liew (2010) dalam Simbolont (2011), hanya sekitar 3,6 persen dari seluruh hutan rawa gambut Sumatra dan Kalimantan yang masih alami dan sekitar 7,7 persen yang masih dapat disebut sebagai sedikit terganggu, sedangkan sisanya sudah terdegradasi atau bahkan telah dikonversi menjadi lahan pertanian atau perkebunan dan pemukiman. Salah urus pengelolaan gambut dalam sejarah lingkungan Indonesia berperan dalam menyebabkan kerusakan lingkungan.


(35)

10

Desa (lokalitas) juga menjadi ajang perebutan tarik menarik kepentingan sosial-politik dan ekonomi yang menjadikan eksistensinya tidak selalu bebas dalam menentukan arah perkembangannya ke depan. Bukan hal yang mudah untuk menggambarkan desa masa depan, karena proses proses transformasi sosial di kawasan pedesaan (lokalitas) berjalan amat sangat cepat dan membawa konsekuensi perubahan sangat substansial pada aspek kehidupan lokal (Castel, 2001 dalam Dharmawan 2011).

Mengingat pentingnya pengamanan lahan-lahan sawah produktif sebagai penghasil komoditi unggulan di Kabupaten Banyuasin yaitu padi atau beras, maka ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan, namun seiring pertambahan jumlah penduduk, maka fragmentasi dan konversi lahan pun terjadi, ancaman penurunan luas lahan sawah yang digarap mengakibatkan tingkat produksi per petani menurun, dan akibatnya pendapatan petanipun terancam, dengan adanya konversi lahan ke komoditas lain selain padi juga dapat menurunkan ketersediaan pangan (mengancam ketahan pangan) yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan bahan konsumsi pokok rumah tangga (basic needs) sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekonomi. Masalah lingungan akibat perubahan iklim juga perlu kita antisipasi begitu juga kemungkinan munculnya masalah sosial akibat penurunan pendapatan, dan kurangnya ketersediaan lahan sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekologi dan sosial dalam pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan.

Dari latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga yang ada di wilayah pasang surut tersebut?

2. Apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa menjamin keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut ?

3. Bagaimana kondisi ketahanan Sosial Ekologi yang ada di wilayah pasang surut tersebut ?


(36)

11

C. Tujuan Penelitian

Pentingnya pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan dengan orientasi kepada keberlanjutan (sustainability) dalam hal ini dijabarkan sebagai status kesejahteraan ekonomi dan sosial ekologi dengan memperhatikan status daya dukung lahan (carrying capacity) perlu dipahami. Sehingga perlu adanya kajian terhadap permasalahan ini khususnya di Kabupaten Banyuasin yang merupakan kawasan gambut terbesar di Sumatera Selatan, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Mengkaji dan menganalisis struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga yang ada di wilayah pasang surut tersebut

2. Menilai potensi daya dukung lahan (carrying capacity) apakah masih bisa menjamin keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut.

3. Mengetahui dan mengidentifikasi kondisi ketahanan sosial ekologi yang ada di wilayah pasang surut tersebut.

4. Melalui isu kritikal yang telah di uraikan, maka dapat dinilai apakah sebuah kawasan transmigrasi bisa terus berkembang dan dikembangkan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini berupaya untuk melakukan analisis terhadap carrying capacity (daya dukung lahan) dan identifikasi kondisi keberlanjutan pengembangan wilayah pasang surut yang berorientasi pada ketahanan ekonomi, dan sosial ekologi di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Melakukan penghitungan terhadap kepadatan Agraris dan tingkat pendapatan rumahtangga untuk mengetahui tingkat ketahanan ekonomi. Serta mengidentifikasi orientasi ketahanan sosial ekologi di wilayah studi. Keberlanjutan wilayah pasang surut akan dinilai dari :

1. Struktur nafkah dan status kesejahteraan, yang diukur melalui tingkat pendapatan rumah tangga di wilayah studi dan perbandingan dengan garis kemiskinan berdasarkan stardar Bank Dunia (world Bank) sebesar 2$ perhari perkapita atau setara dengan Rp. 540.000 per bulan per kapita.

2. Kondisi daya dukung lahan (carrying capacity) di wilayah studi, di level Kabupaten, Kecamatan dan Desa yang menjadi lokasi studi.


(37)

12

3. Kondisi ekologi di wilayah pasang surut dalam menopang kehidupan sosial ekonomi penduduk setempat yang dideteksi melalui kepadatan agraris dan kemampuan mendukung kehidupan.

4. Kondisi sosial masyarakat pada wilayah pasang surut dideteksi melalui frekuensi dan kedalaman gangguan-gangguan sosial.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan, khususnya di bidang perencanaan dan pengembangan wilayah pasang surut di Kabupaten Banyuasin. Penelitian juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak swasta yang membutuhkan data dan masalah lain yang berkaitan dengan usaha pengembangan produksi pertanian.

Selain pemerintah dan swasta, pihak lain yang cukup penting untuk memperoleh nilai guna dari penelitian ini adalah masyarakat. Secara khusus penelitian ini berguna untuk:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan di bidang pengembangan wilayah pasang surut dan pembangunan kesejahteraan masyarakat khususnya ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.

2. Memberikan informasi dan saran pada masyarakat tentang kondisi keberlanjutan wilayah pasang surut di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan, melalui hasil kajian ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.

3. Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa maupun peneliti serta referensi penelitian selanjutnya.

4. Memberikan pengetahuan kepada khalayak, akademisi dan peneliti serta pengambil kebjakan tentang apakah suatu kawasan transmigrasi dapat terus dikembangkan atau tidak.


(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsepsi Lahan Pasang Surut

Berdasarkan definisi BPS (2005), Sawah pasang surut adalah sawah yang pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi pasang surutnya air laut. Konvensi Ramsar 1971 mendefinisikan lahan basah secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990): Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau atau asin, mencakup wilayah air marin yang dalamnya pada waktu surut tidak lebih dari enam meter (Maas, 2003). Rawa adalah bagian daratan yang sepanjang tahun biasanya jenuh air atau tergenang air.

Menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 yang dinamakan lahan rawa adalah genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat dan mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis.

Selanjutnya menurut Barchia (2006), kawasan rawa terbentang 2 ekosistem lahan utama, yaitu ekosistem pasang surut dan ekosistem rawa pedalaman/lebak. Namun menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), berdasarkan imbangan antara kekuatan arus sungai dan air pasang dari laut, lahan rawa dibedakan menjadi 3 zone, yaitu Zona I: lahan rawa pasang surut air salin/ payau, Zone II : lahan pasang surut air tawar, Zone III : lahan rawa buka pasang surut atau lebak, dan masing-masing zone mempunyai bentukan fisiografi atau landform dan penyebaran tanah yang berbeda.

Wilayah rawa pasang surut air asin atau payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau delta serta tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut atau salin. Sebagai contoh, pulau-pulau delta dimuara sungai Musi dan Banyuasin


(39)

14

Sumatera Selatan, antara lain delta Upang, delta Telang, dan pulau Rimau (Subagyo, 2006).

Keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi, sesunguhnya lahan gambut sangat rendah kesuburannya, sehingga tidak cocok untuk tanaman budidaya tanpa perlakuan atau masukan tehnologi atau pemupukan. Keadaan yang selalu tergenang menyebabkan keadaannya cenderung an aerob, gambut bersifat masam dengan pH 3-5, miskin akan ketersediaan unsur hara makro (K, Ca, Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, and Bo), terdapat asam organic yang bersifat racun, kapasitas pertukaran kation rendah tetapi rendah kejenuhan basanya. Gambut memiliki bulk density yang sangat rendah, karena gambut memiliki pori yang besar maka gambut mempunyai kemampuan menahan tanah yang sangat rendah sehingga bobotnya sangat ringan dan kemampuan kohesinya juga rendah. Itulah sebabnya pohon yang ditanam di lahan gambut sangat mudah rebah, dan juga merupakan masalah dalam pembagunan konstruksi bangunan (Simbolont, 2011).

Apabila dikelola secara tepat, lahan pasang surut dapat dijadikan areal pertanian produktif. Pengembangan lahan ini dapat mendukung peningkatan ketahanan pangan, diversifikasi produksi, dan pengembangan agribisnis. Untuk menjadikan lahan pasang surut produktif dan lestari, diperlukan upaya revitalisasi dan rehabilitasi melalui penerapan inovasi teknologi dan rekayasa atau pengembangan kelembagaan dan perbaikan prasarana penunjang secara terpadu (Warta penelitian dan pengembangan pertanian, 2006).

Sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, terutama dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya. Sistem tata air di rawa pasang surut ditujukan selain untuk memenuhi kebutuhan air selama penyiapan lahan dan pertumbuhan tanaman juga untuk memperbaiki sifat fisiko-kimia tanah, yaitu dengan jalan: (1) memanfaatkan air pasang untuk pengairan sesuai dengan kebutuhan tanaman, (2) mencegah masuknya air asin ke petakan lahan, (3) mencuci zat-zat beracun bagi tanaman, (4) mengurangi semaksimal mungkin terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam, dan (5) mencegah terjadinya proses kering tak balik pada gambut (Balittra, 2010).


(40)

15

Sebelum mengerjakan lahan pasang surut, perlu terlebih dahulu memahami empat tipologinya. Tipologi pertama adalah tipologi Lahan Potensial, yaitu suatu lahan yang mempunyai kedalaman pirit (lapisan beracun) pada kedalaman >50 cm di atas permukaan tanah. Lalu tipologi yang kedua adalah Lahan Sulfat Masam, yang merupakan lahan dengan lapisan pirit pada kedalaman 0-50 cm di atas permukaan tanah. Selanjutnya, tipologi Lahan Gambut, dimana lahan ini mengandung lapisan gambut dengan kedalaman yang sangat bervariasi. Terakhir, tipologi Lahan Salin, yaitu lahan yang mendapat intrusi air laut sehingga mengandung garam dengan konsentrasi tinggi terutama pada musim kemarau. Keberhasilan usahatani pada agroekosistem lahan pasang surut antara lain terletak pada ketepatan pengelolaan lahan dan air. Dengan pengelolaan yang tepat, seperti proses pencucian bahan beracun pada tanah mineral potensial dan sulfat masam serta proses pematangan (dekomposisi) gambut dan konservasi lahan terealisasi dengan baik, maka produktivitas lahan dan tanaman meningkat.

Mengingat usahatani para petani di lahan rawa pasang surut pada umumnya dilakukan secara konvensional, maka kini saatnya usaha peningkatan produktivitas tersebut diarahkan melalui pendekatan Prima Tani Terpadu (PTT) Padi Lahan Pasang Surut. Dengan demikian potensi lahan ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut melalui pendekatan PTT maupun peningkatan indeks panen melalui ekstensifikasi, akan sejalan dengan program pemerintah dalam peningkatan produksi beras nasional. Pada akhirnya mengarah pada ketahanan pangan nasional (Litbang Deptan, 2008).

2.2 Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung)

Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan (Soemarwoto, 2001).

Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara


(41)

16

optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Definisi Daya Dukung Lingkungan (Carrying Capacity) :

 Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang dapat didukung oleh suatu lingkungan.

 Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut.

 Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut.

 Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut.

 Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya.  Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah

lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut.

Selanjutnya menurut Bratakusumah (2004), pada sektor pertanian, kemampuan daya dukung (Carrying Capacity Ratio) merupakan perbandingan antara lahan yang tersedia dan jumlah petani. Sehingga perlu diketahui berapa luas lahan rata-rata yang dibutuhkan per-keluarga, potensi lahan yang tersedia dan penggunaannya untuk kegiatan non-pertanian. Meskipun analisis daya dukung merupakan upaya untuk mengetahui perbandingan antara jumlah lahan dan jumlah penduduk, penggunaannya tidak hanya untuk sektor pertanian atau perkebunan. Dengan ditunjang alat-alat lainnya, analisis ini juga dapat digunakan untuk membantu menentukan kegiatan dalam bidang atau sektor apa saja yang layak dikembangkan disuatu daerah. Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisis daya dukung pada dasarnya bersifat fleksibel dan dinamis (cukup beragam), langkah-langkah tersebut antara lain :

a). Identifikasi luas areal yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian b). Identifikasi frekuensi panen per hektar per tahun


(42)

17

c). Tentukan jumlah keluarga dalam area tersebut

d). Tentukan persentase jumlah petani yang ada diarea tersebut e). Tentukan ukuran lahan rata-rata yang dimiliki petani

f). Hitung kemampuan daya dukung dengan menggunakan rumus CCR

Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa menjamin keberlanjutan ( sustainability) pengembangan wilayah di daerah pasang surut tersebut, maka dilakukan analisis carrying capacity berbasis neraca lahan. Penghitungan neraca lahan menurut (Rustiadi, 2010), terdiri dari beberapa tahapan, sebagai berikut:

1) Menentukan unit wilayah analisis

2) Penghitungan ketersediaan (supply) lahan 3) Penghitungan permintaan (demand) lahan

4) Penentuan status surplus/defisit dengan menghitung ratio/selisih supply dan demand

5) Penentuan status tingkat keberlanjutan.

Status Keberlanjutan dilakukan dengan perbandingan relative antar waktu dengan membandingkan status Surplus/status defisit antara dua titik waktu yang berbeda, yaitu kondisi saat ini (existing land use) diproyeksikan pada 20 tahun yang akan datang., sehingga status keberlanjutan dapat disimpilkan menjadi : 1) tingkat keberlanjutan meningkat (KMi), 2) tingkat keberlanjutan tetap (KT), dan 3) tingkat keberlanjutan menurun (KM) (Rustiadi et al, 2009).

Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan Selanjutnya, (Siwi, 2002 dalam Tola, 2007), menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari et.al., 2005 dalam Tola, 2007).


(43)

18

2.3 Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial 2.3.1 Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan

Azas ekonomi dalam pengembangan wilayah, merupakan usaha-usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mempertahankan kesinambungan dan perbaikan kondisi-kondisi ekonomis yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah yang lebih baik. Salah satu target utama dari pembangunan pertanian adalah upaya peningkatan kesejahteraan petani. Unsur penting yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani. Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani secara otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan petani juga tergantung pada pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga petani serta faktor-faktor non finansial, seperti faktor sosial budaya. (Mulyanto, 2008).

.Menurut Todaro (2000), syarat-syarat yang harus segera dipenuhi dalam rangka merealisasikan setiap strategi pengembangan sektor-sektor pertanian dan pembangunan daerah-daerah pedesaan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyar banyak adalah struktur usaha tani, pola pemilikan lahan harus disesuaikan dengan tujuan utama yang bersisi ganda, yaitu peningkatan produksi bahan pangan pada satu sisi, serta pemerataan segala manfaat untuk ke atau keuntungan-keuntungan kemajuan pertanian pada sisi lain.

Selanjutnya menurut Bappenas (2010), dalam kerangka peningkatan kesejahteraan petani, prioritas utama Kementrian Pertanian adalah upaya meningkatkan pendapatan petani, dari rata-rata pendapatan per kapita pertanian hanya sekitar Rp 4,69 juta per tahun. Pada tahun 2014 Kementrian Pertanian menargetkan pendapatan perkapita tersebut meningkat menjadi 7,39 juta per tahun. Hal ini berarti setiap tahun harus diupayakan kenaikan pendapatan 11,1 persen per tahun.

Nilai pendapatan petani dapat bersumber dari usaha pertanian dan usaha non pertanian. Nilai pendapatan yang bersumber dari usaha pertanian akan diperoleh dari selisih nilai penjualan komoditas usahatani yang dihasilkan dengan biaya usahatani yang dikeluarkan. Nilai penjualan usaha tani akan ditentukan


(44)

19

oleh volume produksi yang dihasilkan serta harga jual, makin besar volume produksi yang dihasilkan makin besar pula volume fisik yang dapat di jual.

Dharmawan (2007), mengemukakan bahwa pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia) sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku.

Tulak (2009) mengutip Chambers tentang komponen sustainable livelihood (mata pencaharian yang berkelanjutan), yaitu terdiri dari capabilities, yaitu kemampuan untuk bertahan menghadapi tekanan (stress) dan guncangan (shock), mampu menemukan dan memanfaatkan kesempatan dalam kehidupan ekonomi; Equity, yaitu secara konvensional dapat diukur dari distribusi pendapatan relatif, tetapi lebih luas menunjuk pada pemerataan distribusi asset, kemampuan, dan kesempatan terutama bagi mereka yang tergolong miskin; Sustanaibility, dari aspek sosial dalam konteks livelihood, keberlanjutan ditunjukkan oleh cara-cara dan kemampuan seseorang untuk memelihara dan memperbaiki kehidupan ekonomi serta memelihara aset lokal dan global.

Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Selain berpotensi memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat lahan gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon dan daya simpan airnya yang sangat tinggi.

Selain upaya yang berhubungan secara lansung dengan nilai input dan ouput pertanian, pendapatan petani juga masih memungkinkan untuk ditingkatkan melalui: 1) Pengembangan infrastruktur oleh pemerintah secara padat karya dengan melibatkan petani sebagai sasaran kegiatan, 2) mengembangkan berbagai


(45)

20

aktivitas off-farm yang mampu meningkatkan penghasilan petani dengan basis kegiatan yang terkait usahatani, 3) Mengupayakan insentif bagi tumbuhnya industri hulu dan hilir pertanian, 4) Mengupayakan adanya payung hukum bagi bertumbuhnya lembaga pembiayaan pertaniaan yang tersedia di perdesaan (Bappenas,2010).

Menurut Badan Pusat Statistik (1993), indikator kesejahteraan rakyat dilihat dari aspek spesifik yaitu kesehatan, pendidikan, konsumsi rumahtangga dan perumahan. Aspek pendapatan, kondisi dan fasilitas perumahan, juga rasa aman merupakan indikator kesejahteraan. Tingkat pendapatan keluarga diukur dari besarnya pendapatan rumahtangga per kapita dalam sebulan dibagi kedalam tiga kategori interval yang sama dalam satuan rupiah, yakni tinggi, sedang dan rendah.

Klasifikasi tingkat kesejahteraan untuk pedesaan di Indonesia, menurut Sajogyo (1993), yang termasuk kategori rendah (miskin) apabila pengeluaran per kapita per tahun kurang dari setara 320 kilogram beras, Kategori sedang (hampir cukup) apabila pengeluaran per kapita per tahun setara dengan 320 kilogram beras sampai 480 kilogram beras. Sedangkan untuk kategori tinggi (cukup) apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih dari setara 460 kilogram beras.

Sedangkan Menurut Departemen Transmigrasi (1984) dalam Tulak (2009), Penilaian tingkat kesejahteraan program transmigrasi dapat pula dilakukan melalui kriteria tingkat kesejahteraan ekonomi, serta melalui indikator kesejahteraan ekonomi masyarakat, yaitu: 1) pendapatan per kapita setara dengan 500 kilogram per tahun; 2) sumber pendapatan dari usahatani setara 420 kilogram beras.

Keluarga sejahtera adalah 1) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik sandang, pangan, perumahan, sosial, maupun agama 2) keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan dengan jumlah anggota keluarganya, dan 3) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk dan terpenuhinya kebutuhan pokok (Badan Koordinasi Keluarga Nasional, 1996 dalam Tulak 2009).


(46)

21

2.3.2 Kondisi Ekologi

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan ogranisme hidup (elemen biotik) dengan benda tak hidup (elemen abiotik) di lingkungan sekitarnya. Ekologi mempelajari struktur dan fungsi dari alam, termasuk buatan Apa yang menjadi biaya ekologi dari desa sederhana dan pembangunan pertanian, beberapa indikator seperti : tanah, hutan, laju deforestasi, laju reforestasi, emisi karbon, kehilangan mangrove, dan pembaharuan sumber air, semuanya merefleksikan status degradasi lingkungan (Partap et al, 2001).

Ekologi dapat terfokus secara global dan umum, atau lokal dan sangat spesifik, tetapi seringkali dalam unit ilmu yang lain disebut ekosistem, baik kecil maupun besar, ekosistem memiliki karakteristik sendiri yang sangat penting bagi perencana wilayah di tingkat lokal. Wackernagel et al (1997), menyatakan secara persuasif bahwa kita perlu mulai berpikir dalam terminologi jejak ekologi, dimana dideskripsikan sebagai total area ekologi produktif, lahan dan air secara eksklusif untuk memproduksi semua sumber daya (makanan dan serat) konsumsi dan untuk asimilasi semua sampah yang termasuk sebagai penyebab polusi, berupa rumah tangga, masyarakat dan negara (Honachefsky, 2000).

Secara sadar ataupun tidak, pentingnya mereduksi kerusakan lingkungan hidup yang menjadi fenomena perubahan iklim, banjir dan sebagainya telah terbungkus dengan kepentingan-kepentingan tertentu di setiap negara. Tanpa visi pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Itu dapat terlihat dengan liberalisasi penyelamatan ekologi melalui mekanisme pasar. Berbagai inisiatif global dalam kerangka penyelamatan ekologi-lingkungan hidup telah digeser pelan-pelan ke arah pendekatan neoliberalisme. Konsepsi penanganannya, didorong melalui pendekatan mekanisme pasar. Yang paling mengemuka saat ini, adalah berbagai inisiatif penanganan pemanasan iklim global baik pada skema mitigasi, adaptasi dan konsep carbon offset. Baik melalui mekanisme pertukaran kerusakan di suatu wilayah dengan pembiayaan konservasi di wilayah lainnya. Ataupun melalui mekanisme carbon trade atau perdagangan karbon.

Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change) belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan global


(47)

22

(global warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan.

Secara ekologi, kawasan pesisir cukup rentan terhadap berbagai bencana alam, seperti gelombang pasang dan pemanasan global. Kemudian jika terjadi peningkatan pencemaran yang berasal dari hulu sungai yang bermuara ke laut, maka kualitas perairan beserta flora dan fauna yang hidup didalamnya cenderung memburuk. Sumber bencana lainnya adalah perusakan dan penambangan terumbu karang, penggunaan sodium atau potassium sianida untuk penangkapan ikan, serta pembabatan hutan bakau yang dikonversi untuk tambak, pemukiman, kawasan wisata, industri dan sebagainya. Pada gilirannya kerusakan fungsi ekologi dapat menyebabkan penurunanjJumlah dan keanekaragaman hayati laut lainnya (Widiati A, 2003).

Gambut adalah tanah yang terdiri dari sisa-sisa tanaman yang telah busuk, dalam keadaan basah gambut seperti bubur, gambut yang masih baru mengandung serat-serat dan bekas kayu tanaman. Tanah gambut kurang subur, sehingga hasil tanamannya rendah. Air tanahnya asam, jika pirit terkena udara maka akan bertambah asam lagi, air bisa mengalir dengan mudah kedalam gambut sehingga petakan sawah bisa kering karena air bocor keluar dari tanggul bila tidak dialiri secara teratur. Selain itu tanah gambut dapat terbakar, dan pembakaran dipermukaan, kemungkinan dibawah permukaan api terus menjalar ke daerah yang jauh sekalipun, dan pembakaran gambut dapat menghilangkan lapisan gambut sehingga dapat menyebabkan lahan mati suri (Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian, 1997).

Menurut Andriesse (1988) dalam Noor. M (2001), fungsi lingkungan lahan gambut antara lain berkaitan dengan masalah daur ulang karbon, iklim global, hidrologi, perlindungan lingkungan dan penyangga lingkungan. Gambut mempunyai peran penting dalam penyimpanan atau pemendaman karbon, setiap


(48)

23

lapisan 1 m gambut diperkirakan memendam sekitar 7102 ton karbon/ha/th, sehingga dapat menekan emisi gas CO2, namun peranan ini untuk jangka pendek hampir terabaikan, dalam iklim global pembukaan kawasan gambut untuk pertanian, perkebunan, kehutanan atau lainnya akan mempengaruhi suhu wilayah setempat. Pengaruh suhu ini tidak hanya penting bagi lahan yang direklamasi, tetapi perubahan yang terjadi juga akan merambat kelahan-lahan lain yang telah digunakan. Dalam hidrologi, lahan gambut berfungsi sebagai reservoir mengikuti pola pergantian selama musim hujan dan musim kemarau. Reklamasi telah mengubah peranan reservoir menjadi lebih berat sebagai pengendali aliran impas. Sebagai pelindung lingkungan gambut berperan sebagai penyerap unsur dan senyawa-senyawa racun yang dilepas dilingkungan, seperti timbal, air raksa, timah, cadmium, arsenic, seng dan selenium yang muncul diatas gambut, sehingga gambut berperan sebagai penyaring alami.

Lahan gambut juga berfungsi sebagai penyangga wilayah sekitar atau bagian hulu. Lahan gambut yang terletak di daerah pesisir/pantai berfungsi sebagai penyanggga antara wilayah air payau dan wilayah air tawar. Tanggul alam yang terletak antara Wilayah air tawar dan air payau/asin, contoh antara hutan bakau dan hitan nipah, akan berubah setelah reklamasi, jadi dengan mempertahankan fungsi keduanya, maka dapat dicegah terjadinya penyusupan air laut ke pesisir dan pencemaran perairan pantai akibat hasil buangan daratan (Rieley et al, 1996 dalam Noor. M, 2001).

Secara ekologis, lahan gambut adalah wilayah penampung air untuk melindungi wilayah sekitar dari kebanjiran, dan menjaga kontinuitas penyediaan air sepanjang tahun, juga untuk menjaga kualitas air karena gambut dapat menjadi filter dari pencemaran (Barchia. M. F, 2006). Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan terus berupaya mencegah alih fungsi lahan pertanian di daerah itu agar produksi pangan dapat lebih ditingkatkan. Upaya pencegahan alih fungsi lahan itu, antara lain dengan melakukan sosialisasi dan penerapan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.


(49)

24

2.3.3 Kondisi Sosial

Sejarah pembangunan telah menjadi subjek dari cabang ilmu sosial, mempelajari kesejateraan masyarakat tergantung pada pola konsumsi dari bahan makanan dan jasa. Meskipun secara ekonomi fokus pada tradisionalisme, dimana konsumsi hanya beberapa barang yang digunakan konsumen yang disarankan untuk diproduksi dengan sumberdaya berskala besar. Menurut Mulyanto (2008), Azas sosial dalam pengembangan wilayah merupakan usaha-usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat didalam wilayah itu diantaranya dengan mengurangi pengangguran dan menyediakan lapangan kerja serta menyediakan prasarana-prasarana kehidupan yang lebih baik seperti pemukiman, papan, fasilitas transportasi, kesehatan, sanitasi, air minum dan lain-lainnya.

Ekosistem rawa merupakan proses, fungsi dan struktur dinamis dari ekosistem itu sendiri dengan atribut yang mendukung nilai-nilai sosial. Atribut dari struktur ekosistem antara lain sebagai wilayah penyangga pelestarian plasma nutfah (biodiversity), memiliki keunikan dimana didalamnya tersimpan warisan dan budaya kearifan lokal, serta ladang penggalian ilmu pengetahuan. Lahan gambut juga tempat penyedia bahan bahan bangunan, energi dan sumber pangan tanaman, ikan dan binatang buruan buat masyarakat tradisional (Barchia M. F, 2006).

Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi kegenerasi, seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatan nya tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Kearifan lokal meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu untuk mebangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan pada masa sekarang. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang.

Investasi petani sebagaimana tergambar dalam kapasitas pertanian sekarang, merupakan indikator bahwa petani dalam proses sejarahnya merupakan investor yang secara individu memang kecil, tetapi secara keseluruhan menghasilkan nilai investasi besar. Kapital yang telah dihasilkan melalui proses evolusi yang lama tersebut akan menurun nilai dan kapasitasnya apabila tidak dilakukan reinvestasi baru. Reinvestasi ini hanya akan memberikan manfaat yang


(50)

25

besar apabila investasi yang dilakukan kompatibel dengan modal sosial yang sudah hidup, atau bahkan investasi tersebut dilakukan sekaligus pula untuk merekapitalisasi modal sosial yang kondisinya memang pada saat ini sedang menghadapi erosi. Reinvestasi dan rekapitalisasi sosial capital ini merupakan syarat untuk membangun sumber-sumber pertumbuhan dan kesejahteraan pada masa mendatang (Pakpahan, 2004).

Menurut Dharmawan (2007), dalam mahzab Bogor, karakteristik sistem nafkah dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial budaya setempat. Terdapat tiga elemen sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumah tangganya yaitu 1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku). 2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agrarian, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), 3) supra-struktur sosial (setting ideology, etika moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku )

2.4 Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut 2.4.1. Pengembangan Wilayah

Menurut Mulyanto (2008), pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka memanfaatkan potensi-potensi wilayah yang ada, untuk mendapatkan kondisi-kondisi dan tatanan kehidupan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakatnya. Pada umumnya pengembangan wilayah dapat dikelompokkan menjadi usaha-usaha mencapai tujuan bagi kepentingan-kepentingan didalam kerangka azas: sosial, ekonomi dan wawasan lingkungan.

Pengembangan wilayah pada umumnya mencakup berbagai dimensi pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal kegiatan pengembangan wilayah biasanya ditekankan pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun begitu, tahapan ini bukanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap wilayah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan wilayah yang lain. Potensi sumberdaya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain sangat berpengaruh


(51)

26

pada penerapan konsep pengembangan wilayah yang digunakan (Alkadri et al, 2001).

Menurut hidrologinya, lahan rawa merupakan suatu kesatuan wilayah. Suatu tindakan tata air di suatu tempat berakibat langsung atas seluruh kawasan. Maka usaha pengembangan lahan rawa harus selalu berskala besar. Jarak jangkauan gerakan pasang surut ke darat ditentukan oleh ketinggian dan bentuk muka daratan pantai dan perubahannya kearah pedalaman, serta tahapan hidraulika sepanjang jalur rambatan. Estuari (sungai atau bagian hilir sungai yang memasukkan air pasang dan mengeluarkan air surut) adalah jalur rambatan utama gerakan pasang surut. Makin panjang dan lebar estuarinya, makin jauh jarak jangkauan gerakan pasang surut ke pedalaman. Estuari panjang jika daratan dan keduanya nyaris tidak berubah sampai jauh di pedalaman. Makin rapat bagian estuarinya makin lebar wilayah yang terjangkau oleh gerakan pasang surut. Karena ini kawasan rawa pasang surut potensial dapat diperluas dengan jalan menggali saluran yang menembus sampai ke laut, memperpanjang estuari pendek, mencabangkan estuari, atau menghubungkan estuari yang satu dengan yang lainnya.

Jadi dengan mengubah hidrologi lahan, luas kawasan rawa pasang surut potensial dapat diperbesar. Maka disamping reklamasi, perluasan kawasan potensial merupakan gatra (aspek) pula dari pengembangan lahan rawa pasang surut. Akan tetapi oleh karena perluasannya bersifat buatan (menggiatkan gejala alam), kelestariannya bergantung pada kemantapan dukungan teknologi. Perluasan kawasan rawa pasang surut dengan teknologi mempunyai padanan pada lahan atasan berupa perluasan jaringan irigasi. Dalam pengembangan lahan rawa pasang surut (juga lahan rawa yang lain) terlibat banyak sekali kegiatan teknik sipil, mulai dari tahap awal, kemudian pemantapan, sampai dengan tahap akhir berupa pemeliharaan hasil pengembangan. Pekerjaan pemantapan dan pemeliharaan sangat penting karena hidrologi lahan peka terhadap perubahan kecil saja pada salah satu faktor pengendalinya, khususnya hidrologi lahan pasang surut. Faktor pengendali hidrologi yang terpenting adalah tata saluran. (Syafroe, 2011).


(52)

27

Seperti pada agrosistem lainnya, sistem agribisnis dilahan pasang surut perlu mencakup : 1) subsistem produksi berupa penerapan teknologi produksi 2) subsistem sarana dan prasarana pertanian seperti pengembangan prasarana tata air serta penyediaan sarana produksi dan jasa tenaga kerja, 3) subsistem pengolahan hasil atau agroindustri, 4) Subsistem pemasaran dan distribusi, 5) Subsistem pendukung. Setiap subsistem tersebut memerlukan kelembagaan yang sesuai dan ditata dalam suatu tatanan yang sinergis dan harmonis melalui peningkatan kemampuan dan pemberdayaan masyarakat maupun kelembagaan yang sudah ada (Alihamsyah et al, 2003 dalam Subagyo et al, 2006)

Menurut Dewi (2003) yang dikutip oleh Tulak (2009), adanya pergeseran orientasi pembangunan transmigrasi kearah pengembangan wilayah menyebabkan pemukiman transmigrasi didesain untuk ditumbuh kembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut maka kawasan eks transmigrasi harus terbuka bagi penanaman modal, khususnya investasi agribisnis berbasis lahan dengan penekanan usaha di sektor pertanian.

2.4.2. Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut

Pembangunan berkelanjutan (sustanaible development), merupakan suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan geberasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Keberlanjutan pembangunan dilihat dari tiga dimensi keberlanjutan, sebagaimana yang dikemukakan Serageldin (1996) sebagai a triangular framework yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi, dan kemudian ditambahkan oleh Spangerberg (1999), berupa dimensi kelembagaan sebagai dimensi keberlanjutan yang keempat, sehingga membentuk prisma keberlanjutan ( Prism of Sustainability) (Rustiadi et a., 2009).

Pembangunan berkelanjutan muncul dengan terlebih dahulu menjelaskan pandangan-pandangan tentang lingkungan yang dimiliki masyarakat, yang meliputi tiga tahapan, yakni: lingkungan untuk pembangunan ekonomi, lingkungan untuk keperluan manusia, dan terakhir lingkungan untuk lingkungan. Kelemahan padangan pertama dan kedua telah dievaluasi yakni menghasilkan kondisi lingkungan yang bisa dikatakan mengkhawatirkan (Susilo, 2008).


(53)

28

Kemiskinan merupakan cerminan dari kondisi lingkungan gambut, khususnya produktivitas sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia yang tersedia di lahan gambut, selain itu keterbatasan sarana dan prasarana seperti infrastruktur jalan, akses pasar, pelayanan sarana produksi, pelayanan publik, pendapatan penduduk dilahan gambut tergolong rendah, terutama yang mengandalkan usaha taninya hanya pada komoditas padi. Permasalahan kemiskinan menjadi penting mengingat kerusakan lingkungan lahan dan hutan gambut terkait dengan keberadaan penduduk dikawasan gambut dan sekitarnya, karenanya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat dilahan gambut tidak hanya penting bagi peningkatan kesejahteraan tetapi juga terkait pelestarian dan konservasi lahan gambut kedepan, dan pemberian insentif sebagai kompensasi upaya pelestarian dan konservasi lingkungan perlu dilembagakan (Noor, 2001).

Pembangunan pertanian di masa depan harus mendorong, memotivasi, membantu dan memberikan fasilitas pada petani sebagai pelaksana utama atau subyek pembangunan pertanian secara mandiri, agar mampu mengambil keputusan di lapangan, sehingga muncul pendapat bahwa pertanian berkelanjutan, pertanian yang utuh dan lestari menjadi kecenderungan pembangunan pertanian di Indonesia masa depan. Petani kecil terlebih petani gurem bukanlah tidak rasional dan tidak responsif terhadap insentif ekonomi dan inovasi teknologi, mereka miskin dan statis bukan karena kebodohannya, tetapi karena tidak memiliki aset produktif yang memadai, kurangnya insentif ekonomi, dan terbatasnya infrastruktur publik (Hamengku Buwono X, 2005).

Pembangunan wilayah transmigrasi bertujuan membuka isolasi wilayah, menambah tenaga kerja petani, mendukung keetahanan pangan, pembangunan sarana sosial ekonomi dan pembentukan desa-desa baru. Dalam Undang-Undang No. 15 tahun1997 tentang pengembangan wilayah transmigrasi, maka wilayah transmigrasi merupakan wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan pemukiman untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (Tulak, 2009).


(1)

167

3. Bagaimana strategi dalam usaha tani yg dilakukan untuk mengimbangi adanya perubahan iklim saat ini ?

……….. 4. Bagaimana pengaruh pasang surut air laut pada sawah sejak perubahan iklim

terjadi tersebut ?

……….. 5. Apakah saja yang terjadi pada daerah ini sejak perubahan iklim tersebut ?

……….. 7. Konservasi SDA

1. Apa saja SDA yang dimiliki di desa ini?

………. 2. Apakah masyarakat desa ini memahami tentang konservasi SDA?

……….. 3. Apa saja yang dilakukan untuk menjaga kelestarian SDA yang ada?

……….. 4. Adakah program permerintah yang masuk di desa ini guna menjaga

kelestarian SDA yang ada ?... 5. Apasaja Sumberdaya alam yang telah digunakan dan belum digunakan di desa ini?... ...


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)