Kerangka Teoritis .1 Pendekatan Carrying Capacity daya dukung lahan

disetiap negara memacu pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dan habis habisan tanpa mengindahkan konservasi secara seimbang. Dalam ekologi kontemporer, bidang ilmu ini sangat memperhatikan pada persoalan pemenuhan kebutuhan pokok dan nafkah manusia, termasuk gizi dan kesehatan masyarakatnya. Ekosistem rawa merupakan proses, fungsi dan struktur dinamis dari ekosistem itu sendiri dengan atribut yang mendukung nilai-nilai sosial. Atribut dari struktur ekosistem antara lain sebagai wilayah penyangga pelestarian plasma nutfah biodiversity, memiliki keunikan dimana didalamnya tersimpan warisan dan budaya kearifan lokal, serta ladang penggalian ilmu pengetahuan Barchia M. F, 2006. Dengan menggali kearifan lokal kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi relieving tetapi juga dapat dihindari preventing karena lestarinya sumber daya bagi generasi berikutnya Soerjani, 2005; dalam Pattinama, 2009. Kearifan lokal mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu kearifan lokal seharusnya tidak terpisahkan dengan kebijakan anti kemiskinan Pattinama, 2009. Secara ekonomi dan sosial, struktur masyarakat desa menggambarkan komunitas yang menghadapi keterbatasan sumberdaya alam sekelilingnya, namun komunitas desa memiliki ciri yang kuat berupa adanya beragam tipe ikatan sosial asli indigenous social capital yang berbasis kelembagaan sosial dalam kehidupan tradisional. Hubungan sosial yang kuat sesama warga, merupakan ikatan yang sangat berguna sebagai “asset sosial” karena menjadi landasan penting terbangunnya fundamental sosial penting berupa Societal-networking yang membuat aktivitas ekonomi rumahtangga dapat disusun secara konstruktif diatasnya Dharmawan, 2007. Kebanyakan isu lingkungan memiliki aspek-aspek “the common” di dalamnya. Inti dari semua teori sosial adalah perbedaan antara manusia yang dimotivasi oleh kepentingannya yang sempit dan manusia yang dimotivasi oleh pandangan masyarakat secara keseluruhan. Logika “tragedy of the common” sepertinya tidak bisa di hindari. Pemindahan hak milik penguasaan terkadang mengganggu ketersediaan sumberdaya, akibat berubahnya perilaku masyarakat atas sumberdaya, dimana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik menjadi sumberdaya yang dieksploitasi, sehingga proses transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikuasai masayarakat adat lokal menjadi sumberdaya milik negara mengarah pada : 1 penghilangan kelembagaan kearifan lokal, 2 kapasitas monitoring dan kontrol institusi negara menjadi lemah, 3 pemanfaatan sumberdaya yang terjebak pada kondisi “de facto open access ”Rustiadi et al, 2009. Pembangunan kelembagaan diharapkan mampu mengatur kegiatan individu-individu dan biaya pengendalian sosial social cost menjadi lebih rendah dari manfaatnya social benefits, banyak tipe kelembagaan yang dapat dikembangkan untuk mengurangi distribusi konflik sumberdaya, kelembagaan dapat mengatur insentif masing-masing anggotanya saat melakukan aktivitas aktivitas tertentu terkait dengan upaya mencapai hasil yang mereka inginkan. Kelembagaan merupakan komponen modal sosial, yaitu trust, network, norm dan value. Kriesber 1998 mengemukakan bahwa sosial “conflict exist when two or more persons or groups manifest the belief that they have incompatible objectives”. Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik menurut Soekanto 1995 adalah perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan dan perubahan sosial. Dalam kondisi sumberdaya yang bersifat open access, seolah-olah sumberdaya dapat dikuasai sembarang orang disembarang waktu, namun sebenarnya pemerintah pada umumnya telah memiliki regulasi pengelolaan sumberdaya, namun pada kondisi lainnya secara de facto telah diatur masyarakat yang sering disebut sebagai aturan lokal dan hak ulayat, sehingga konflik bisa terjadi Satria, 2002.

3.1.4 Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut Regional Sustainability

Pembangunan berkelanjutan sustainable development merupakan suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang, keberlanjutan sebagaimana yang dikemukakan Serageldin 1996, sebagai “triangular framework “ yakni keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi, sedangkan Spangenberg 1999 menambahkan dimensi kelembagaan institution sebagai dimensi keberlajutan keempat, sehingga keempatnya membentuk suatu prisma keberlanjutan prism of sustainability Rustiadi et al, 2009. Konsep ini sesuai dengan muatan Peraturan Pememrintah No 2 tahun 2005. Perekonomian Desa : meningkatkan penghidupan masyarakat dan pembangunan sarana ekonomi berbasis potensi lokal, pengembangan usaha mikro, kelembagaan ekonomi dikaitkan dengan sumber daya manusia. Sosial Budaya Desa : pembangunan pendidikan, sosial dan penguatan adat istiadat setempat dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat yang melibatkan segenap lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok anak-anak pemuda dan wanita. Mitigasi bencana : penataan ruang desa dengan fungsi khusus yaitu mitigasi bencana, berupa pembangunan daerah daerah yang rawan bencana dan tempat tempat yang digunakan untuk penampungan evakuasi warga ketika terjadi bencana. Lingkungan hidup : penataan lingkungan yang menjaga keseimbangan holistik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung dalam upaya menjaga kelestarian penghidupan sebagian besar masyarakat. Di masa depan, pengelolaan lahan gambut di Indonesia hendaknya menuju upaya merevitalisasi fungsi hutan rawa gambut. Sehingga tercapai tiga tujuan utama yaitu mengkonversi dan menggunakan hutan rawa gambut sesuai regulasi serta kemampuan daya dukung lahan, merubah paradigma dalam peningkatan usaha di lahan gambut yang harus selalu diharmonisasikan dengan lingkungan, dan memperkaya teknologi modern dengan kearifan lokal melalui pengembangan program partisipatif. Secara garis besar, berikut dapat dikemukakan beberapa konsep konvensional tentang pengembangan wilayah Komet Mangiri, 2000; Ati widiati, 2000 , pengembangan wilayah berbasis sumber daya terdiri atas : a. Pengembangan wilayah berbasis input, tetapi surplus sumberdaya manusia b. Pengembangan wilayah berbasis input, tetapi surplus sumberdaya alam c. Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya modal dan manajemen d. Pengembangan wilayah berbasis seni, budaya dan keindahan alam e. Pengembangan wilayah berbasis penataan ruang lokasi strategis

3.1.5. Teori Christaller

Walter Christaller 1933 menulis buku berjudul “Central Places In Souhtern Germany ”, dalam buku ini Christaller menjelaskan susunan besaran kota, jumlah kota dan distribusinya dalam suatu wilayah, model Christaller merupakan sistem geometri dimana angka tiga yang ditetapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti, sehingga dikenal dengan sistem K=3 dari Christaller Tarigan, 2010. Christaller dalam Tarigan 2010, mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri-ciri: 1. Wilayahnya adalah dataran tanpa roman, semua adalah datar dan sama. 2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah isotropic surface. 3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada seluruh wilayah. 4. Konsumen bertindak rasional sesuai prinsip minimasi jarakbiaya. Model Christaller dikembangkan untuk mempelajari lokasi berbagai kegiatan ekonomi regional dengan terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang adalah datar dan kondisinya kesemua arah adalah sama, sehingga kita dapat mengetahui tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang yang sama, dan dipengaruhi oleh jarak salah satu unsur ruang, jarak menciptakan gangguan waktu, tenaga, informasi untuk mencapai satu lokasi ke lokasi lainnya, sehingga semakin jauh suatu lokasi semakin berkurang potensi dari lokasi tersebut, makin jauh lokasi makin menurunkan minat untuk menjangkaunya, sehingga tingkat aksesibiltas menjadi faktor yang berpengaruh, dengan demikian aksesibitas menaikkan potensi suatu wilayah Tarigan, 2010. Hirarki Pusat K=3 Role Of Threes Dalam Rustiadi 2011, lokasi pusat central Place merupakan sejumlah tempat dimana sejumlah produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya. Lokasi pusat tertata dalam suatu pola yang Vertikal maupun Horizontal. Dalam Rustiadi 2011, Christaller 1933 berpendapat bahwa sistem lokasi pusat membentuk suatu hirarki yang teratur, keteraturan dalam hirarki didasarkan atas prinsip bahwa suatu tempat menyediakan barang dan saja tidak hanya untuk tingkatannya sendiri tetapi untuk semua barang dan jasa di orde yang lebih rendah. Hubungan tersebut dipresentasikan dengan K konstanta yang menunjukkan bahwa setiap pusat mendominasi pusat lain yang ordenya lebih rendah dari wilayah pasarnya. Christaller menggunakan prinsip pemasaran untuk menggambarkan organisasi sistem K=3 yaitu jumlah maksimum penawaran pada konsumen yang terdistribusi secara merata diperoleh dari jumlah pusat yang minimum A, B dan C, pusat A dengan orde tertinggi menyediakan barang- barang dengan nilai treshold tertinggi hingga terendah, yaitu sekaligus barang yang dihasilkan di pusat B dan pusat C. Prinsip Lalu Lintas K=4 Traffic Principles Prinsip K=4 merupakan alternatif lain dari sistem K=3, karena sistem K=3 kurang baik dalam menggambarkan jarak tempuh, yaitu jauh karena harus memutar dan berliku, menurut Christaller traffic principle sangat tepat jika beberapa tempat penting terletak pada satu jalur traffic antar 2 kota penting, dimana jalur tersebut dibangun selurus dan semudah mungkin, dan lokasi pusat akan terbentuk sebagai jalur traffic yang lurus dan menyebar dari titik pusat Rustiadi, 2011. Prinsip Administasi K=7 Market Area Prinsip administrasi Christaller ini mengatur hierarki pusat dari sudut pandang politik dan administrasi. Prinsip ini juga mengatur pusat yang berode lebih rendah dimasukkan ke orde yang lebih tinggi karena alasan politik. Titik A mendominasi 7 market area dibawahnya 1 market area + 6 sub ordinat market area dibawahnya.

3.1.4 Teori Von Thunen

Johann Heinrich Von Thunen 1826, seorang ekonom dan tuan tanah di Jerman, menulis buku yang berjudul “ Der Isolierte Statt in Beziehung auf Land Wirtschaft “, buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris 1966 menjadi “The Isolated State in Relation to Agriculture ” oleh Peter Hall Tarigan, 2010. Asumsi yang dibuat oleh Von Thunen adalah: 1. Wilayah analisis bersifat terisolir isolated state sehingga tidak dipengaruhi oleh pasar dari kota lain. 2. Tipe Pemukiman padat di pusat wilayah pasar dan semakin jarang bila menjauh dari pusat pasar. 3. Memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam. 4. Fasilitas pengangkutan adalah primitif dan relatif seragam. 5. kecuali jarak ke pasar, semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah seragam dan konstan. Dari asumsi tersebut dikembangkan hipotesis: 1. Pusat kota sebagai tempat pemasaran, pusat digambarkan sebagai pusat pemukiman, pusat industri dan sekaligus pusat pasar. 2. Biaya transportasi untuk mengangkut hasil kekota berbanding lurus dengan jarak. 3. Petani secara rasional cenderung memilih jenis tanaman yang menghasilkan keuntungan maksimal Rustiadi, 2011. Model ini berguna untuk menganalisis hubungan antara harga lahan dengan penggunaan lahan dan persaingan penggunaan lahan antar sektor perekonomian dan antar kelompok rumahtangga. Permintaan terhadap lahan merupakan turunan permintaan derived demand dari kurva permintaan di pasar output. Pada saat lahan digunakan untuk menanam padi, maka kenaikan permintaan beras di pasar akan menyebabkan kenaikan harga beras dipasar, dari sisi petani meningkatnya harga beras meningkatkan semangat memproduksi padi lebih banyak, sehingga menimbulkan permintaan terhadap input-input yang digunakan dalam bertanam padi, salah satunya lahan, sehingga menimbulkan peningkatan harga lahan, harga lahan dicerminkan dengan sewa lahan Priyarsono, 2007. Teori Von Thunen menghubungkan konsep ekonomi dengan lokasi spasial, sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari teori Von Thunen adalah: 1. Kecenderungan semakin menurunnya keuntungan akibat makin jauhnya lokasi produksi dari pasar, namun terdapat perbedaan laju penurunan antar komoditas. 2. Jumlah pilihan-pilihan menguntungkan yang semakin menurun dengan bertambahnya jarak ke pusat pasar Rustiadi, 2011. Kerangka Operasional Berikut alur pemikiran dalam penelitian yang digunakan untuk menganalisis carrying capacity serta kerentanan ekonomi, ekologi dan sosial, dan merumuskan strategi pengembangan wilayah pasang surut di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan : Gambar 2 Bagan alur pemikiran dalam penelitian. Carrying capacity kawasan Ketahanan Sosial Kesejahteraan Ekonomi Ketahanan Ekologi Penduduk : - Migrasi - Adat - Peralihan mata pencaharian - Konflik Sosial Pendapatan : - On Farm - Non Farm - Off Fam - Kepadatan Agraris - Daya dukung Kehidupan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut Kelembagaan Kesejahteraan Kemiskinan Ketersediaan : - SDA - Infrastruktur Konsep Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Defisit, Surplus, Waspada Sumberdaya Manusia Sumberdaya Alam Teknologi Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan. Maka diduga bahwa carrying capacity wilayah transmigrasi pasang surut ini telah mengalami penurunan seiring dengan adanya kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Sehingga kemampuan mendukung kehidupan juga mengalami penurunan, dan diduga terjadi penurunan status kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut, yang diikuti dengan kerentanan terhadap kondisi sosial ekologi nya.

3. 4. Batasan Operasional

Untuk membatasi penelitian ini maka diperlukan batasan melalui definisi operasional, sehingga istilah yang digunakan dalam penelitian ini bersifat spesifik, sesuai kebutuhan dalam kegiatan penelitian saja. Adapun beberapa definisi operasional dalam penelitian ini adalah : Keberlanjutan Wilayah: Kemampuan suatu wilayah lokasi studi memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang, ditinjau dari ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial, serta daya dukung lahan CCR. Wilayah Pasang Surut: Wilayah yang berada di kabupaten Banyuasin dan memiliki topografi pasang surut dalam hal ini lokasi studi Carrying Capacity : Daya dukung lahan pasang surut Status kesejahteraan: Tingkat pendapatan rumahtangga responden desa studi yang dilihat dari tingkat pendapatan terhadap garis kemiskinan 2 per hari Kondisi Sosial ekologi: Hasil identifikasi Sosial ekologi masyarakat yang dilihat dari komponen yang ditetapkan dalam penelitian ini Pendapatan: Penghasilan bersih dari total kegiatan On Farm, Off Farm dan Non Farm rumahtangga Pendapatan On Farm: Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari kegiatan matapencaharian yang berbasis tanah dalam hal ini usaha tani padi di lahan pasang surut Dharmawan, 2001 Pendapatan Off Farm: Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari pertanian tetapi rumahtangga tersebut tidak memiliki lahan, berupa bagi hasil Dharmawan, 2001. Pendapatan Non Farm: Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari kegiatan mata pencaharian selain usaha tani padi sawah pasang surut, berupa kegiatan pengolahan hasil pertanian, penyediaan sarana produksi pertanian, pemasaran hasil pertanian, serta perdagangan dan jasa yang bersifat informal sebagai penyedia kebutuhan masyarakat setempat Dharmawan, 2001. Garis Kemiskinan: Garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah standar garis kemiskinan word bank 2 per hari. Klasifikasi Status Kesejahteraan: Diklasifikasikan berdasarkan nilai rata-rata pendapatan total rumahtangga pertahun di satu desa, menjadi 3 kelas yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Kelas Atas: Rumahtangga yang memiliki pendapatan total pertahun diatas pendapatan total rata-rata rumahtangga pertahun di desa tersebut. Kelas Menengah: Rumahtangga yang memiliki pendapatan total pertahun sama dengan pendapatan total rata-rata rumahtangga pertahun di desa tersebut. Kelas Bawah: Rumahtangga yang memiliki pendapatan total pertahun dibawah pendapatan total rata-rata rumahtangga pertahun di desa tersebut

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari 2012, bertempat di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Penentuan lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja purposive, dengan pertimbangan bahwa kawasan ini merupakan wilayah ex transmigrasi pasang surut terbesar di Sumatera Selatan dan sekaligus sebagai salah satu sentra lumbung pangan. Gambar 3 Peta Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan.

4.2 Jenis dan sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan melalui wawancara dengan instrument kuisioner kepada responden yang merupakan penduduk di wilayah pasang surut Kabupaten Banyuasin. Jenis data primer yang dibutuhkan berupa data kepemilikan lahan atau luas lahan yang dimiliki, data pendapatan, serta data tentang input sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Data sekunder merupakan data dari instansi yang terkait dalam penelitian ini, antara lain Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura Kabupaten Banyuasin, Pemerintah daerah Banyuasin, Badan Pusat Statistik, Kecamatan Muara Telang, serta instansi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, data sekunder juga diperoleh melalui studi pustaka dan literatur serta sumber data lainnya yang menunjang Penelitian ini.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode pengambilan sampel yang dilakukan secara sengaja purposive sampling terhadap populasi penduduk di level rumah tangga dan Desa dengan kriteria sampel sebagai berikut: 1. Berdasarkan lokasidaerah tempat tinggal - Penduduk desa yang berada di pesisir - Penduduk desa yang berada di daratan bagian dalam 2. Memiliki mata pencaharian utama sebagai petani on farm 3. Memiliki mata pencaharian berupa bagi hasil off farm 4. Memiliki mata pencaharian selain bertani non farm 5. Memiliki lahan untuk usaha tani, tempat tinggal dan usaha lainnya. 6. Unit analisis berada pada 3 level yaitu: rumahtangga ditingkat desa, kecamatan dan kabupaten. - Level rumahtangga ditingkat desa untuk mengkaji struktur nafkah dan tingkat kesejahteraan rumahtangga - Level Desa untuk menganalisis kepadatan agraris dan kemampuan memdukung kehidupan - Level kecamatan dan kabupaten untuk melakukan perhitungan carrying capacity lahan pasang surut. Sehingga dari jumlah penduduk yang ada di tiap desa tersebut, diambil sampel sebanyak 40 rumahtangga per desa dua desa untuk mewakili populasi tersebut, karena wilayah ini homogen yaitu rata-rata adalah rumahtangga petani yang berasal dari program transmigrasi serta beberapa pendatang. Sehingga tidak perlu membuat sampel yang terlalu besar. Pembuatan sampling frame, dimulai dari data desa, yang memperlihatkan homogenitas wilayah yang masih terpelihara, dan berdasarkan daftar kepala keluarga KK maka dilakukan pengambilan sampel sebesar 7 dari umlah KK yang ada. Pengambilan sampel dilakukan secara acak terstatifikasi, dengan menggunakan informan kunci key informan, yaitu Kecamatan, Kepala Desa, Kepala Dusun serta Kepala BPP, sehingga pengambilan sample langsung terarah sesuai kriteria yang dibutuhkan dalam studi ini.

4.4 Metode Analisis Data

Penelitian ini dilakukan di tiga level yakni rumahtangga, desa dan wilayah, dengan kajian di level rumah tangga yaitu analisis mikro berupa struktur pendapatan, dan status kesejahteraan ekonomi dalam hal ini status dalam Poverty Line garis kemiskinan dan kajian di level desa berupa pengukuran kepadatan agraris dan kemampuan mendukung kehidupan, serta kondisi sosial untuk menjamin kehidupan masyarakat lokal, serta analisis Carrying Capacity daya dukung lahan dan identifikasi kondisi ekologi pada level wilayah analisis Makro, dalam hal ini kabupaten, kecamatan dan desa. Data tersebut kemudian diolah secara kuantitatif menggunakan perhitungan matematis dan konsep penghitungan sesuai kajian yang kemudian diuraikan secara sistematis.

4.4.1 Analisis Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan

Untuk mengetahui orientasi ketahanan ekonomi yang ada di wilayah pasang surut ini, maka dilakukan analisis stuktur nafkah melalui perhitungan pendapatan rumah tangga masyarakat wilayah tersebut, dengan rumus : Y = F + OF + NF Dimana : Y = Pendapatan rumah tangga dalam satu tahun F = Pendapatan rumah tangga dari usaha disektor pertanian bersumber dari lahan On Farm OF =Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari pertanian tetapi rumahtangga tersebut tidak memiliki lahan sendiri, berupa bagi hasil Off Farm NF = Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari kegiatan mata pencaharian selain usaha tani padi sawah pasang surut Non Farm Pendapatan on farm dan off farm rumahtangga yang digunakan sebagai data adalah pendapatan total per tahun yang telah dikurangi biaya produksi selama setahun, sehingga yang diambil adalah pendapatan bersih netto. Begitu juga pendapatan Non Farm rumahtangga yang digunakan sebagai data adalah pendapatan total per tahun yang telah dikurangi modal usaha selama setahun, sehingga diperoleh pendapatan bersih netto. Ketiga sumber kegiatan matapencaharian rumahtangga ini akan dipersentasekan untuk melihat kontribusi masing masing kegiatan mata pencaharian dan kecenderungan pergeseran mata pencaharian yang terjadi di kedua desa studi. Untuk menghitung pendapatan Perkapita Maka digunakan formulasi: Y365 hari Income kapitahari =  Anggota Rumah Tangga .Basis nafkah rumahtangga responden adalah petani sehingga hampir semua rumahtangga yang dijadikan responden adalah rumahtangga yang memiliki lahan berjumlah 35 KK dan sisanya adalah rumahtangga yang sama sekali tidak memiliki lahan yaitu berjumlah 5 KK untuk masing-masing desa. Hal ini dimaksudkan untuk melihat besaran kontribusi masing-masing kegiatan matapencaharian rumahtangga berdasarkan kegiatan on farm, off farm dan non farm , sehingga diperoleh struktur nafkah rumahtangga yang menggambarkan struktur nafkah wilayah transmigrasi pasang surut. Hasil perhitungan pendapatan ini akan dipersentasekan untuk melihat distribusi sebaran pendapatan responden rumah tangga di tiap desa Sampel serta persentase peralihan mata pencaharian yang terjadi dari On Farm ke Off Farm, dan ditampilkan dalam bentuk diagram Box Plot, melalui penggunaan program Mini Tab . Selanjutnya hasil penghitungan pendapatan di bandingkan dengan standar garis kemiskinan poverty line, dengan menggunakan indikator kemiskinan menurut World Bank yaitu pendapatan US 2 per hari konversi Rupiah sebesar Rp. 9000 atau setara dengan Rp. 18.000hari atau Rp. 540.000 per bulankapita. Untuk mengetahui kontribusi pendapatan dari masing-masing kegiatan mata pencaharian rumahtangga akan dibuat struktur nafkah rumahtangga responden, yang selanjutnya dilakukan pengklasifikasian kelas rumah tangga menjadi tiga kelas yaitu: rumahtangga kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan sebaran normal dan standar pendapatan rata-rata masing- masing desa melalui box plot pendapatan rumahtangga. Klasifikasi Status Kesejahteraan, diklasifikasikan berdasarkan nilai rata- rata pendapatan total rumahtangga pertahun di satu desa, menjadi 3 kelas yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Kelas Atas adalah Rumahtangga yang memiliki pendapatan total pertahun diatas pendapatan total rata-rata rumahtangga pertahun di desa tersebut. Kelas Menengah adalah Rumahtangga yang memiliki pendapatan total pertahun sama dengan pendapatan total rata-rata rumahtangga pertahun di desa tersebut. Kelas Bawah adalah Rumahtangga yang memiliki pendapatan total pertahun dibawah pendapatan total rata-rata rumahtangga pertahun di desa tersebut.

4.4.2 Analisis Daya Dukung Carrying CapacityCCR

Menurut Bratakusumah dan Riyadi 2004, untuk mengetahui apakah daya dukung lahan carrying capacity masih bisa menjamin keberlanjutan sustainability pengembangan wilayah di daerah pasang surut tersebut, maka dilakukan analisis carrying capacity. Analisis Daya Dukung Carrying CapacityCCR memberikan gambaran mengenai hubungan antara penduduk, penggunaan lahan dan lingkungan. Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa paling tidak ada dua variable pokok yang harus diketahui secara pasti untuk melakukan analisis daya dukung, yaitu 1 Potensi lahan yang tersedia, termasuk luas lahan dan 2 Jumlah Penduduk. Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisis daya dukung pada dasarnya bersifat fleksibel dan dinamis cukup beragam, langkah-langkah tersebut antara lain : a Identifikasi luas areal yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian. b Identifikasi frekuensi panen per hektar per tahun. c Tentukan jumlah keluarga dalam area tersebut. d Tentukan persentase jumlah petani yang ada di area tersebut. e Tentukan ukuran lahan rata-rata yang dimiliki petani. f. Hitung kemampuan daya dukung dengan menggunakan rumus CCR. Selanjutnya, cara sederhana untuk menghitung kemampuan daya dukung suatu daerah dapat digunakan rumus matematis sebagai berikut : A i x r i CCR = H x h x F i Dimana : CCR = Kemapuan daya dukung Carrying Capacity A = Jumlah total area yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian i r = Frekuensi panen per hektar per tahun komoditi i H = Jumlah KK Rumah tangga h = Persentase jumlah penduduk yang tinggal F = Ukuran lahan pertanian rata-rata yang dimiliki petani Asumsi umum untuk menginterpretasikan hasil perhitungan analisis daya dukung tersebut, dapat terbagi dalam tiga bagian, yaitu : 1. Apabila CCR 1, berarti dilihat dari kuantitas lahannya, suatu wilayah masih memiliki kemampuan untuk mendukung kebutuhan pokok penduduk dan masih mampu menerima tambahan penduduk, pembangunan masih dimungkinkan bersifat ekspansif dan eksploratif lahan. 2. Apabila CCR 1, berarti bahwa berdasarkan jumlah lahan yang ada, di wilayah tersebut sudah tidak mungkin lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan eksploratif lahan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok telah berkurang.