Kondisi Ketahanan Ekologi 1. Kondisi Lahan Pasang Surut

lingkungan yang terus berkurang akibat aktifitas manusia dan aktifitas pembangunan di wilayah ini. Perubahan curah hujan mempengaruhi perubahan jadwal tanam bagi petani sawah di wilayah ini, sehingga memerlukan kedisiplinan para petani untuk mematuhi kalender musim tanam serta terus memantau kondisi perubahan iklim khususnya pergeseran musim penghujan yang terjadi, akses informasi menjadi sangat penting bagi petani jika program dua kali panen pertahun ingin segera direalisasikan di daerah ini. Kecendrungan emisi CO2 diwilayah perairan Kabupaten Banyuasin disebabkan oleh aktivitas yang direncanakan sebesar 9,22 persen dan dan yang tidak direncanakan sebesar 90,88 persen. Indikator penggerak yang direncanakan bersumber dari kebijakan tata ruang dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sementara indikator yang tidak direncanakan bersumber dari tekanan penduduk terhadap lahan, serta karakter dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kondisi pemukiman yang sangat gersang tanpa ada pohon peneduh menyebabkan suhu udara yang panas di daerah ini, dari hasil kunjungan di lapangan terlihat kurangnya penghijauan dan pohon peneduh pada pemukiman dan areal persawahan, tanaman pekarangan hanya sedikit sekali berupa kelapa atau kelapa sawit dan tumbuh tidak terawat dan tidak tertata, sehingga diperlukan kegiatan adanya penghijauan didaerah ini. Gambar 30 Kondisi lingkungan Desa Telang Rejo, 2012 . 7.6. Ikhtisar 7.6.1. Daya Dukung Carrying Capacity Lahan Pasang Surut Hasil Perhitungan Carrying Capacity CCR lahan sawah pasang surut di Kabupaten Banyuasin yang diperoleh kurang dari satu 1 atau CCR 1 yaitu 0,36 pada tahun 2009 dan 0,27 pada tahun 2010, sehingga asumsinya carrying capacity lahan pasang surut di kabupaten Banyuasin berada pada status defisit, yang berarti bahwa berdasarkan jumlah lahan yang ada, di wilayah tersebut sudah tidak mungkin lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan eksploratif lahan, dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk menjadi berkurang. Sehingga yang perlu dilakukan adalah program peningkatan produktifitas usahatani, berupa intensifikasi pertanian, perbaikan teknologi, peningkatan pengetahuan dan akses informasi petani, perbaikan sarana dan prasarana penunjang produksi pertanian, serta penyediaan sarana pemasaran hasil usahatani berupa pasar bagi komoditi yang dihasilkan, yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani tanpa harus melakukan perluasan lahan pertanian secara terus menerus. Untuk Kecamatan Muara Telang yang menjadi lokasi penelitian. Carrying capacity CCR lahan sawah pasang surut yang diperoleh juga kurang dari 1 atau CCR 1, yaitu 0,73 pada tahun 2009 dan 0,60 pada tahun 2010. Sehingga Carrying Capacity lahan pasang surut di Kecamatan Muara Telang diasumsikan berada pada status defisit, yang berarti diwilayah kecamatan Muara Telang ini sudah tidak dimungkinkan lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan eksploratif lahan. Ketersediaan lahan sudah habis, sehingga penduduk perlu menyadari kondisi ini untuk dapat menahan laju perluasan atau ekspansi lahan secara terus menerus. Hasil perhitungan daya dukung lahan pasang surut di kedua desa lokasi studi menunjukkan bahwa carrying capacity lahan pasang surut di kedua desa ini berada pada status waspada, dalam hal ini CCR  1 yaitu 1,018 untuk Desa Mekar Sari dan 1,021 untuk Desa Telang Rejo, yang berarti bahwa daerah ini masih memiliki keseimbangan antara kemampuan lahan dan jumlah penduduk yanga ada. Pemenuhan kebutuhan pokok masih dapat diatasi, namun kondisi tersebut harus diwaspadai karena proses pertambahan penduduk yang cepat dan kurang terkendali, serta adanya proses kegiatan pembangunan dapat menyebabkan penurunan daya dukung lahan di daerah ini, dan pemerintah daerah serta masyarakat setempat perlu melakukan upaya antisipasi dan mewaspadai kondisi saat ini. Berbeda dengan carrying capacity Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan Muara Telang yang berada pada status defisit, carrying capacity lahan pasang surut di Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo berada pada status waspada, kondisi ini dikarenakan kajian carrying capacity dilakukan pada lingkup ekosistem yang lebih kecil yakni desa. Hal ini menunjukkan bahwa kedua desa ini masih memiliki daya dukung bagi aktifitas pertanian penduduknya, yang berarti bahwa kegiatan pertanian pangan masih dapat dikembangkan di kedua desa ini.

7.6.2. Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan

Kepadatan Agraris di lokasi penelitian lebih besar dari satu 1. Dimana Desa Telang Rejo sebesar 1,58 kkha dan Desa Mekar Sari sebesar 1,7 kkha yang berarti bahwa luas lahan pertanian dibanding jumlah penduduk yang ada di desa tersebut berada pada kondisi waspada dan tidak disarankan untuk melakukan perluasan lahan lagi meskipun masih memungkinkan. Karena jika perluasan lahan masih terus berlangsung maka kondisinya akan menjadi defisit. Pada gambar 24, terlihat bahwa semakin tinggi kepadatan agraris semakin rendah kemampuan mendukung kehidupan. Semakin rendah kepadatan agraris semakin tinggi kemampuan mendukung kehidupan. Perbandingan antara kedua desa menunjukkan hal tersebut. Hal ini dikarenakan share atau hasil produksi yang diperoleh setiap petani lebih tinggi di Desa yang depadatan agrarisnya lebih rendah.

7.6.3. Kemampuan Mendukung Kehidupan

Dari hasil studi maka diperoleh kemampuan mendukung kehidupan di lokasi penelitian yaitu sebesar 0,23 tonorg per bulan untuk desa Mekar Sari dan 0,26 ton org per bulan untuk Desa Telang Rejo. Sehingga jika dikonversi ke nilai Rupiah dengan asumsi 1 kg Gabah sebesar Rp. 3000, maka diperoleh penghasilan perjiwa sebesar RP. 712.019 bulan untuk Desa Mekar Sari dan Rp. 780.437 bulan untuk Desa Telang Rejo, kemampuan mendukung kehidupan di kedua Desa tersebut masih berada dibawah UMR dan Kebutuhan hidup rata-rata pekerja di Kabupaten Banyuasin berdasarkan standar BPS yang terdapat dalam Banyuasin dalam angka tahun 2010. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa lahan di kedua desa belum mampu memberikan tingkat kesejahteraan yang baik, bahkan belum mencapai standar minimal UMR dan kebuthan hidup rata-rata pekerja di Kabupaten banyuasin itu sendiri. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk dapat segera melakukan upaya peningkatan produktifitas yang mampu dihasilkan dari kondisi lahan yang tersedia saat ini. 7.6.4. Kondisi Ketahanan Sosial Desa Mekar Sari Penduduk di desa ini merupakan campuran antara transmigran, pendatang serta penduduk asli marga, hingga saat ini tidak ada penambahan transmigran ke desa ini. Penduduk desa ini berjumlah 780 KK, dengan mata pencaharian utama usaha tani sawah pasang surut, dan mayoritas masih mengusahakan satu kali tanam pertahun, hanya sekitar 15 perrsen saja yang telah mengusahan dua kali tanam pertahun. Penduduk yang mencari pekerjaan ke luar daerah sebanyak 20-50 persen, hal ini dikarenakan keinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Budaya yang menonjol di desa ini adalah budaya Jawa, yang merupakan daerah asal para transmigran, namun tidak ada pengetahuan lokal yang menonjol yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha tani di desa ini. Kondisi keamanan desa ini cukup baik, tidak ada konflik sosial yang terjadi, dan jika terjadi perselisihan dalam anggota masyarakat akan diselesaikan secara musyawarah. Jika dilihat dari ketersediaan infrastrukturnya, kondisi infrastruktur yang tersedia masih sangat terbatas terutama jalan dan listrik, khususnya untuk sawah pasang surut, kesulitan masalah pengaturan dan saluran air. Pembuatan jalan lebih banyak dilakukan secara swadaya oleh masyarakat secara bergotong royong. Kesulitan air bersih juga menjadi masalah di desa ini, bantuan pemerintah berupa pembuatan gentong permanen untuk tampungan air hujan belum memedai bagi masyarakat desa ini. Dari sisi kelembagaan nya desa ini cukup berkembang, lembaga yang telah terbentuk yaitu: LPM, BPD, PKK, Polmas, dan telah berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya. Khususnya untuk usahatani sawah pasang surut kelembagaan yang telah dibentuk yaitu Gapoktan yang terdiri dari 22 kelompok tani yang dirasakan masyarakat memberikan manfaat cukup besar dalam usaha tani yang mereka jalankan. Kondisi yang kurang baik adalah tidak berjalannya lagi KUD, sehingga masyarakat hanya mengandalkan tengkulak untuk menjual hasil panennya. Desa Telang Rejo Penduduknya terdiri dari transmigran 99 persen yang mayoritas berasal dari pulau Jawa dan pendatang. yang berasal dari Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir. Pertama kali Desa ini di buka pada tahun 1980, dengan jumlah transmigran sebanyak 486 KK. Penduduk yang bekerja diluar daerah hanya sekitar 5 persen, rata-rata penduduk usia muda, tetapi mereka tetap kembali ke desa pada saat musim tanam dan musim panen. Migrasi Penduduk keluar desa sangat kecil sekali yaitu hanya sekitar 1 persen, perpindahan penduduk ini dikarenakan alasan ekonomi untuk mencari pekerjaan lain yang menurut mereka lebih baik. Ketersediaan infratruktur yang sangat minim terutama transportasi jalan, mempersulit aksesibilitas didaerah ini. Daerah ini hanya bisa dijangkau melalui transpotasi air seperti perahu atau speed boat, sedangkan untuk transportasi dalam wilayah kecamatan dapat digunakan sepeda motor, hanya saja kondisi jalan desa yang buruk dan berupa jalan tanah tetap sulit untuk dilalui saat hujan, dan ini tentunya mempengaruhi tingkat aksesibitas dan kemudahan transportasi. Kelembagaan yang dimiliki desa ini berupa Kelompok Tani, Gapoktan, Kelompok Tani Nelayan KTNA, sedangkan kelembagaan berupa UPJA, P3A KUT, Lumbung Desa semua tidak berjalan lagi dikarenakan banyak permasalahan keuangan yang terjadi. Keberadaan kelompok tani sangat bermanfaat dalam hal pinjaman modal usaha tani, penyaluran subsidi dan proses adopsi inovasi. Di desa ini, budaya yang menonjol adalah budaya Jawa, karena para transmigran berasal dari pulau Jawa, tidak ada keistimewaan lokal yang menonjol dalam kehidupan masyarakat, begitu juga pengetahuan lokal yang mereka gunakan tidak ada yang besifat adat atau budaya, semua pengetahun usaha tani berasal dari adopsi pengetahuan yang diberikan melalui program pemerintah.

7.6. Kondisi Ketahanan Ekologi Wilayah Pasang Surut

Jika dilihat dari kondisi ekologinya berdasarkan carrying capacity lahan pasang surut di kabupaten Banyuasin dan kecamatan Muara Telang, jelas terlihat bahwa kondisi carrying capacity lahan pasang surut yang sudah defisit, sebagian besar lahan pasang surut yang tersedia didaerah ini telah direklamasi dan dibuka bagi areal pertanian pangan dan pemukiman. Penurunan daya dukung lahan ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi telah mengalami perubahan, dari ekosistem pasang surut alami ke ekosistem pemukiman dan pertanian. Kecamatan Muara Telang banyak dilalui sungai besar, yaitu Sungai Telang dan Sungai Upang yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kedua sungai ini menjadi sumber air bagi kegiatan pertanian keperluan rumahtangga. Selain itu debit air yang rata-rata 763 m3detik memungkin daerah aliran sungai DAS Telang sebagai sarana transportasi air, dan sangat berpotensi sebagai sumber air bersih, namun hingga saat ini sarana penyedia air bersih seperti PAM belum tersedia di daerah ini. Permasalahan utama yang dikemukakan dari responden dalam penelitian ini adalah masalah saluran tersier dan skunder yang sebanyak 75 persen terjadi pendangkalan. Serta panen yang rata-rata masih 1 kali dalam setahun, baru sekitar 20 persen dari areal yang ada yang telah menerapkan sistem panen 2 kali pertahun. Adanya perubahan curah hujan dari tahun ke tahun, dimana curah hujan naik dan turun secara berfluktuasi, curah hujan terendah adalah pada musim kemarau dibulan April hingga September, perubahan curah hujan yang sangat terlihat adalah pada tahun 2011 dimana pada bulan Juli, agustus, September curah hujan di Kabupaten Banyuasin adalah 0 nol, hal ini menandakan pada bulan- bulan ini terjadi kekeringan pada lahan sawah di daerah tersebut, sedangkan curah hujan pada tahun sebelumnya yaitu 2009, pada bulan bulan-bulan yang sama relatif cukup tinggi.

VIII. REFLEKSI KONSEPTUAL TEORITIK PENGEMBANGAN WILAYAH PASANG SURUT KEDEPAN

Ada dua konsepsi yang digunakan untuk merefleksikan hasil studi ini, yaitu Teori Christaller dan Teori Von Thunen. Kedua teori ini diharapkan mampu memberikan refleksi keterkaitan hasil studi dengan teori yang telah ada, sehingga lebih mempermudah dalam mengkaji prospek keberlanjutan wilayah pasang surut dalam studi ini, karena terkait dengan penentuan harga pendapatan rumahtangga dan penggunaan lahan. Teori lokasi ini digunakan karena para pelaku ekonomi khususnya rumahtangga saling berkompetisi untuk mendapatkan lahan yang lebih dekat dengan pusat pertumbuhan kota. Dalam rangka pemenuhan kebutuhannya yang berhubungan erat dengan kondisi ketahanan ekonomi, carrying capacity lahan dan kondisi sosial ekologi di wilayah. Berikut hasil refleksi teori Christaller dan teori Von Thunen pada hasil studi.

8.1 Refleksi Teori Christaller

Walter Christaller 1933, memperkenalkan teori pemusatan tempat atau yang dikenal dengan Central Places Theory, menurut Christaller pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagonal segi enam. Model Christaller menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold, jangkauan luas pasar dari setiap komoditas itu ada batasnya dan ada batas minimal dari luas pasarnya agar produsen bisa tetap berproduksi.. Teori ini mengemukakan lokasi optimum, yaitu lokasi yang terbaik dan menguntungkan secara ekonomi. Adanya susunan hierarki daerah pelayanannya yaitu dari kota sampai ke desa, sesuai dengan asumsi dari teori pemusatan tempat Christaller yaitu konsumen dapat memilih tempat pemasaran terdekat dari tempat tinggalnya untuk meminimalisir jarak ekonomi, dimana tempat pusat sebagai suatu pemukiman yang menyediakan barang dan jasa-jasa bagi penduduk daerah belakangnya.