7.5. Kondisi Ketahanan Ekologi 7.5.1. Kondisi Lahan Pasang Surut
Jika dilihat dari kondisi ekologinya berdasarkan carrying capacity lahan pasang surut di Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan Muara Telang, jelas terlihat
bahwa kondisi Carrying Capacity lahan pasang surut yang sudah defisit, sebagian besar lahan pasang surut yang tersedia didaerah ini telah direklamasi dan dibuka
bagi areal pertanian pangan dan pemukiman. Penurunan daya dukung lahan ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi telah mengalami perubahan, dari
ekosistem pasang surut alami ke ekosistem pemukiman dan pertanian. Hasil kunjungan dilapangan dan berdasarkan gambar peta Tata Guna
Lahan wilayah Kabupaten Banyuasin 2006 yang diambil dari penelitian terdahulu oleh. Sadelie 2012, terlihat bahwa luas hutan telah mengalami
penyusutan yang cukup besar, sebagian besar dari permukaan hutan telah dibuka baik bagi keperluan pemukiman, pertanian maupun pembangunan infrastruktur.
Banyuasin memiliki hutan mangrove yang cukup luas, yaitu sebesar 1.168.248,97 ha, tetapi sekitar 69,30 persen mengalami rusak berat dan 14,54 persen mengalami
kerusakan. Kerusakan ini terjadi karena prilaku manusia itu sendiri. Di Kecamatan Muara Telang sendiri hutan mangrove yang ada telah
berkurang akibat pembukaan lahan, pembuatan jalur transportasi air, serta adanya limbah rumahtangga yang mengakibatkan terus berkurangnya hutan mangrove di
pesisir Kecamatan Muara Telang ini. Sehingga keberlanjutan ekosistem mangrove terancam akibat adanya kegiatan manusia, reklamasi, sedimentasi serta
faktor alam. Jika dilihat dari penggunaan lahannya. Sebagian besar lahan di kecamatan
Muara Telang dibuka untuk dijadikan lahan sawah pasang surut, dan semua lahan yang tersedia baik lahan yang diberikan pemerintah, maupun lahan cadangan
bahkan lahan milik pemerintah pun telah digarap. Masyarakat desa telah merambah daerah sekitar diluar batas administrasi kecamatan untuk perluasan
lahan sawah nya dengan cara membeli maupun menyewa lahan sawah tersebut
Gambar 28 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Banyuasin, Tahun 2006.
Sumber: Sadelie, 2012. Muara
Telang
Pada Gambar 28, terlihat bahwa tutupan lahan di Kecamatan Muara Telang telah mengalami perubahan dari hutan mangrove primer menjadi rawa
belukar, lahan pertanian dan pemukiman. Perubahan ini terjadi dikarenakan adanya aktivitas yang direncanakan planned deforestation dan aktivitas yang
tidak direncanakan unplanned deforestation. Aktivitas yang direncanakan terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW dan aktivitas yang tidak
direncanakan terdiri dari faktor alam kebakaran hutan, maupun kebiasaan masyarakat human being seperti merambah hutan, maupun pembalakan liar
illegal logging, hal ini diprediksi meningkatkan emisi CO2, mengingat hutan rawa di Kabupaten Banyuasin berupa lahan gambut, sehingga tingkat emisi akan
lebih tinggi dibanding deforestasi. .
7.5.2. Kondisi Perairan Wilayah Pasang Surut
Kecamatan Muara Telang banyak dilalui sungai besar, yaitu Sungai Telang dan Sungai Upang yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kedua
sungai ini menjadi sumber air bagi kegiatan pertanian keperluan rumahtangga. Selain itu debit air yang rata-rata 763 m3detik memungkin daerah aliran sungai
DAS Telang sebagai sarana transportasi air, dan sangat berpotensi sebagai sumber air bersih, namun hingga saat ini sarana penyedia air bersih seperti PAM
belum tersedia di daerah ini. Di Kawasan Telang juga terdapat banyak saluran yang sengaja dibuat
untuk kepentingan drainase lahan pertanian pasang surut. Pada umumnya jaringan tata air sistem drainase yang terdapat di Kawasan Telang adalah sistem
grid ganda double-grid system yang dirancang oleh LAPI ITB pada tahun 1976. Sistem ini didasarkan pada sistem drainase saluran terbuka open system dengan
menggunakan saluran primer sebagai saluran navigasi yang berhubungan langsung ke sungai utama. Jarak antara saluran primer yaitu 8.000 m. Tegak lurus
dengan saluran primer terdapat saluran sekunder yang berhubungan langsung dengan saluran primer, jarak antara saluran sekunder adalah 1.150 m.
Saluran sekunder pemberi yang melintasi perkampungan dinamakan Saluran Perdesaan SPD dan saluran pembuangan dinamakan Saluran Drainase
Utama SDU yang berada di batas lahan usaha II. Saluran tersier dibangun untuk
mengalirkan atau membuang air dari dan ke saluran sekunder. Sistem tata air di Kawasan Telang dirancang berdasarkan konsep aliran satu arah one way flow
system dimana air pasang masuk melalui saluran primer dan terus ke saluran
sekunder pemberi SPD dan masuk ke saluran tersier pemberi yang akhirnya mengaliri lahan usahatani. Kondisi saat ini adalah saluran-saluran pengairan ini
sudah banyak yang rusak dan dangkal, sehingga menyulitkan petani dalam pengairan usaha tani mereka, sebanyak 75 persen terjadi pendangkalan, serta
panen yang rata-rata masih satu kali dalam setahun, baru sekitar 20 persen dari areal yang ada yang telah menerapkan sistem panen dua kali pertahun, serta
perlunya pintu air. Permasalahan lingkungan di wilayah perairan Banyuasin adalah
pencemaran perairan akibat limbah buangan minyak yang berasal dari pemukiman dan residu pestisida pertanian, yang berisiko merusak habitat perairan terutama
ikan. Selain itu pembalakan hutan mangrove yang dilakukan dapat merusak lingkungan perairan, erosi meningkat, dan kekuatan ombak juga akan mengalami
peningkatan. Keberlanjutan wilayah dari sisi ekologi harus terus dipertahankan
melalui minimalisasi pengrusakan hutan mangrove, pelarangan pembuangan limbah kesungai, serta pemanfaatan lahan untuk areal pertanian yang tetap
berkelanjutan tanpa terus merambah dan merusak hutan penyangga lingkungan.
Gambar 29 Kondisi saluran air di desa Mekar Sari, 2012.
7.5.3. Perubahan Iklim Wilayah Pasang Surut
Iklim di wilayah Telang termasuk dalam kategori hujan tropis, yaitu kondisi panas dan lembab terjadi sepanjang tahun. Suhu rata-rata bulanan 27 C
dan kelembaban relatif 87 persen. Berdasarkan klasifikasi Oldeman maka wilayah ini termasuk pada zone agroklimat C1. Musim hujan berturut-turut terjadi dalam
5-6 bulan 200 mm per bulan dan 1-2 bulan kering 100 mm per bulan. Rata- rata curah hujan tahunan yaitu sekitar 2.400 mm, musim hujan terjadi pada bulan
Oktober-April, dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September. Tabel 29 Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Banyuasin
Bulan 2007
2008 2009
2010 2011
Januari 475
271 253
169 161
Februari 180
266 164
252 278
Maret 300
287 518
454 364
April 292
342 190
454 445
Mei 185
32 34
253 122
Juni 120
48 152
281 48
Juli 86
101 40
347 Agustus
40 185
41 291
September 19
76 17
268 Oktober
130 294
249 342
X November
47 364
219 400
237 Desember
204 291
286 308
258
Sumber: Stasiun Klimatologi Klas II Kenten Palembang, 2012
Pada Tabel 29, terlihat adanya perubahan curah hujan dari tahun ketahun, dimana curah hujan naik dan turun secara berfluktuasi. Curah hujan terendah
adalah pada musim kemarau dibulan April hingga September. Perubahan curah hujan yang sangat terlihat adalah pada tahun 2011 dimana pada bulan Juli,
agustus, September curah hujan di Kabupaten Banyuasin adalah 0 nol. Hal ini menandakan pada bulan-bulan ini terjadi kekeringan pada lahan sawah didaerah
tersebut, sedangkan curah hujan pada tahun sebelumnya yaitu 2009, pada bulan bulan-bulan yang sama relatif cukup tinggi. Mengindikasikan adanya perubahan
iklim yang terjadi di wilayah Banyuasin, yang ditandai oleh perubahan curah hujan yang tidak merata setiap tahunnya.
Perubahan curah hujan yang terjadi sedikit banyak berpengaruh terhadap kegiatan usaha tani, hal ini terjadi akibatnya adanya perubahan iklim dikarenakan
semakin memburuknya kondisi lingkungan dan keberadaan hutan penyangga
lingkungan yang terus berkurang akibat aktifitas manusia dan aktifitas pembangunan di wilayah ini. Perubahan curah hujan mempengaruhi perubahan
jadwal tanam bagi petani sawah di wilayah ini, sehingga memerlukan kedisiplinan para petani untuk mematuhi kalender musim tanam serta terus
memantau kondisi perubahan iklim khususnya pergeseran musim penghujan yang terjadi, akses informasi menjadi sangat penting bagi petani jika program dua kali
panen pertahun ingin segera direalisasikan di daerah ini. Kecendrungan emisi CO2 diwilayah perairan Kabupaten Banyuasin
disebabkan oleh aktivitas yang direncanakan sebesar 9,22 persen dan dan yang tidak direncanakan sebesar 90,88 persen. Indikator penggerak yang direncanakan
bersumber dari kebijakan tata ruang dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sementara indikator yang tidak direncanakan bersumber dari tekanan
penduduk terhadap lahan, serta karakter dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Kondisi pemukiman yang sangat gersang tanpa
ada pohon peneduh menyebabkan suhu udara yang panas di daerah ini, dari hasil kunjungan di lapangan terlihat kurangnya penghijauan dan pohon peneduh pada
pemukiman dan areal persawahan, tanaman pekarangan hanya sedikit sekali berupa kelapa atau kelapa sawit dan tumbuh tidak terawat dan tidak tertata,
sehingga diperlukan kegiatan adanya penghijauan didaerah ini.
Gambar 30 Kondisi lingkungan Desa Telang Rejo, 2012 .