IX. PEMBAHASAN UMUM
Pembangunan wilayah perbatasan termasuk Kabupaten Bengkayang yang berbatasan darat langsung dengan negara Malaysia, masih dirasakan
kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan selama ini yang lebih dominan pada wilayah perkotaan
yang lebih padat penduduknya. Akibatnya wilayah perbatasan di kabupaten ini menjadi terisolir dan tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain disekitarnya.
Sebelum diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, wilayah perbatasan ini secara politis dianggap sebagai wilayah yang rawan terhadap penyelundupan,
penyusupan, ataupun kriminal lainnya yang dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas keamanan negara sehingga pemerintah menerapkan kebijakan melalui
pendekatan keamanan safety belt approach. Disisi lain anggapan bahwa wilayah perbatasan hanya merupakan halaman belakang yang tidak perlu
dijamah. Hal ini yang menyebabkan wilayah perbatasan menjadi terisolir dari kegiatan pembangunan
Kenyataan menunjukkan bahwa wilayah perbatasan belum mendapat perhatian secara proporsional. Kondisi ini terbukti dari minimnya kegiatan
pembangunan di wilayah perbatasan. Menurut Eddy et al 2003 Kondisi umum wilayah perbatasan dapat dilihat dari lima aspek yaitu :
1. Aspek Ideologi. Kurangnya akses pemerintah baik pusat maupun daerah ke kawasan
perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. 2. Aspek Politik.
Kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi
untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama
apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun
selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Situasi politik yang terjadi di
221 negara tetangga seperti Malaysia Serawak Sabah akan turut
mempengaruhi situasi keamanan daerah perbatasan. 3. Aspek Ekonomi.
Daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal terbelakang disebabkan antara lain :
a Lokasinya yang relatif terisolir terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah.
b Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. c Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah
perbatasan jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal. d Langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat
di daerah perbatasan blank spot. Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan
masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah
perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit pelaku kejahatan dan teroris.
4. Aspek Sosial Budaya. Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan
nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat daerah perbatasan
cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat tergantung dengan
negara tetangga. 5. Aspek Pertahanan dan Keamanan.
Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan
rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau
aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik akan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di
222 tingkat regional maupun internasional baik secara langsung dan tidak
langsung. Daerah perbatasan rawan akan persembunyian kelompok GPK, penyelundupan dan kriminal lainnya termasuk terorisme, sehingga perlu
adanya kerjasama yang terpadu antara instansi terkait dalam penanganannya.
Melihat kondisi wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang yang jauh tertinggal dan posisinya yang berbatasan langsung dengan Malaysia,
menyebabkan wilayah ini rentan terjadi arus urban penduduk baik ke wilayah perkotaan maupun ke negara tetangga yaitu Malaysia untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Dalam rangka membuka keterisolasian dan mengurangi disparitas pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten
Bengkayang ini, maka perlu kebijakan pembangunan yang lebih memprioritaskan pembangunan di wilayah perbatasan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal
ini dikuatkan dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 39 tahun 2005 yang menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama
dalam pembangunan nasional. Melihat potensi dan permasalahan yang dijumpai di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, maka perencanaan terpadu dan
komprehensif merupakan salah satu jawaban untuk mempercepat pembangunan di wilayah ini. Langkah awal dan stategis yang perlu dilakukan adalah dengan
terlebih dahulu mengetahui karakteristik wilayah perbatasan secara utuh baik dilihat dari potensi yang dimiliki, perkembangan wilayah yang terjadi selama ini
maupun kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangannya. Hasil penelitian, menunjukkan bahwa wilayah perbatasan Kabupaten
Bengkayang, sangat potensial untuk pengembangan di sektor pertanian. Hal ini dilihat dari kondisi agroekologi dan agroklimat yang sangat mendukung untuk
pengembangan sektor ini. Disisi lain, sekitar 72,93 penduduk di wilayah ini matapencahariannya disektor pertanian dan memberikan kontribusi terbesar
terhadap PDRB Kabupaten Bengkayang yaitu sekitar 42,67 pada tahun 2005 BPS Kab. Bengkayang, 2005. Sub sektor pertanian yang potensial untuk
dikembangkan antara lain sub sektor pertanian tanaman pangan dengan komoditas unggulan jagung dan padi ladang; sub sektor perkebunan dengan
komoditas unggulan kelapa sawit, karet, dan lada; serta sub sektor peternakan dengan komoditas unggulan sapi potong, kambing, dan ayam buras. Namun
demikian, dalam pengembangannya sangat dibatasi oleh faktor lahan dimana komoditas tersebut umumnya berada pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai
223 S2 dan sesuai marginal S3 dengan faktor pembatas ketersediaan air, retensi
hara, bahaya erosi, dan temperatur. Walaupun demikian, dari hasil analisis usahatani, kegiatan yang dilakukan oleh petani, secara ekonomi masih
memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Melihat potensi yang dimiliki wilayah perbatasan Kabupaten
Bengkayang, maka kebijakan pembangunan di wilayah ini diarahkan pada pembangunan disektor pertanian melalui pengembangan agribisnis yang
didukung oleh kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai baik sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasarana pengembangan agribisnis.
Salah satu konsep pembangunan wilayah berimbang yang dapat dikembangkan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang adalah pengembangan kawasan
agropolitan atau dikenal dengan kota pertanian. Konsep ini sebenarnya telah digagas oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian bekerjasama
dengan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2002 dalam rangka membangun desa-kota berimbang melalui pengembangan kota pertanian di
perdesaan. Berkaitan dengan hal tersebut, sekitar 92 penduduk setuju jika
wilayah ini dijadikan sebagai wilayah pengembangan kawasan agropolitan karena mereka yakin bahwa dengan pengembangan kawasan agropolitan dapat
menciptakan lapangan kerja 84 . Namun demikian kondisi eksisting kawasan masih berada pada strata pra kawasan agropolitan II, sehingga perlu dilakukan
upaya-upaya peningkatan strata kawasan menuju strata kawasan agropolitan dengan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Berdasarkan
kelengkapan fasilitas setiap desa di empat 4 kecamatan lokasi studi memperlihatkan bahwa terdapat dua desa yang sudah termasuk dalam kategori
desa maju, 11 desa dengan perkembangan sedang, dan 16 desa dengan tingkat perkembangan lambat atau tertinggal. Untuk pengembangan kawasan
agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang ini, pakar mengharapkan pengembangannya diarahkan pada pengembangan agropolitan
terpadu terpadu dengan memadukan agropolitan perkebunan, tanaman pangan dan agropolitan peternakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat disamping berbagai tujuan lainnya. Ini dilihat dari potensi yang besar dimiliki di sektor pertanian khsususnya sub sektor perkebunan, tanaman pangan
dan peternakan.
224 Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan kawasan
agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang adalah terbatasnya infrastruktur dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Untuk mengatasinya
dibutuhkan penyediaan infrastruktur yang memadai dan peningkatan sumberdaya manusia yang terampil. Dalam hal ini peran pemerintah sangat
penting terutama kebijakan dalam pengembangan kawasan agropolitan baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, maupun Pemerintah
Kabupaten Bengkayang. Pemerintah pusat dan propinsi berfungsi sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator dalam pengembangan kawasan, sedangkan
pemerintah kabupaten sebagai pelaksana langsung dilapangan. Perlu diketahui bahwa selain kendalah-kendala seperti disebutkan di
atas, yang menjadi hambatan dalam pengembangan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang khususnya sebagai kawasan pengembangan
agropolitan, kendala lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesenjangan sosial yang tajam baik inter maupun antar masyarakat pada kedua negara yang
berbatasan. Kesenjangan sosial yang tajam telah menjadi salah satu pemicu gangguan keamanan di wilayah perbatasan. Kesenjangan sosial antar bernegara
dapat dilihat pada keterlibatan masyarakat setempat untuk berkolusi dengan oknum-oknum dari negara tetangga. Para cukong yang tinggal di negara jiran
memanfaatkan kemiskinan masyarakat wilayah perbatasan di Kabupaten Bengkayang untuk mengeksploitasi hasil hutan. Hal ini tidak bisa dipungkiri
bahwa terjadinya penyelundupan dan pencurian secara besar-besaran sumberdaya alam khususnya hasil hutan oleh masyarakat perbatasan
disebabkan oleh persoalan ekonomi dimana himpitan hidup masyarakat yang semakin berat. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat kita yang berdiam di
wilayah perbatasan selama ini masih tetap miskin sementara saudara kita yang tinggal di wilayah perbatasan negara tetangga mengalami kemajuan yang pesat
sejalan dengan keberhasilan pembangunan di negaranya. Disisi lain potensi konflik sosial antar masyarakat di wilayah perbatasan
juga menjadi ancaman yang serius yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Potensi konflik sosial sendiri dalam banyak kasus umumnya disebabkan oleh isu-isu
marginalitas dari rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Banyak penelitian yang membahas hal
itu terutama konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat. Jika kita melihat latar belakang sejarah kasus-kasus konflik sosial di Kalimantan Barat, sebenarnya
225 telah terjadi pada masa Hindia Belanda yang melibatkan etnis Tionghoa, Dayak,
dan Melayu. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan pada tahun 1950’an yang melibatkan etnis Tionghoa dan Melayu. Puncaknya kasus konflik sosial
pada tahun 1997- 1999 yang melibatkan etnis Madura, Melayu, dan Dayak Prasetijo, 2007. Apabila permasalahan-permasalahan tersebut tidak
diagendakan untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah di Kalimantan Barat, maka dapat dipastikan konflik sosial yang ada suatu saat akan muncul kembali
dalam wujud ketidakpuasan yang berbeda. Namun demikian penyelesaian kasus-kasus konflik sosial, pemerintah biasanya menganggap bahwa
permasalahan konflik ini akan selesai ketika kesepakatan damai telah tercapai dimeja perundingan oleh para elit-elit kelompok dan penyelesaian untuk
permaslahan pengungsi telah diatasi. Sementara perasaan-perasaan curiga, dan prasangka antara pihak yang berkonflik biasanya masih berkembang dan
berkecamuk ditingkat masyarakat. Menurut Prasetijo 2007 salah satu kunci membina perdamaian yang
berkesinambungan adalah bagaimana membangun kepercayaan yang ada ditingkat grassroot. Dengan membangun kepercayaan yang ada ditingkat
grassroot, permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat akan dapat segera diselesaikan ditingkat lokal tanpa melibatkan pihak yang diatasnya, masyarakat
dapat segera mandiri dapat menyelesaikan konfliknya dengan cara-cara yang tentu saja menjadi kesepakatan umum dan hukum. Kemandirian warga dalam
menyelesaikan konfliknya tak lepas dari seberapa berdayanya kekuatan institusi- institusi lokal yang ada di masyarakat lokal dan aliran hukum dapat berfungsi
dengan baik dengan langkah-langkah : 1. Membina kepercayaan ditingkat grassroot bukanlah pekerjaan yang mudah,
harus mesti dimulai dari hal-hal atau kegiatan yang sederhana, namun dapat menjangkau kelompok etnis yang bersangkutan. Disinilah sesungguhnya
harapan yang besar kepada pemerintah untuk bekerja bersama dengan berbagai komponen masyarakat dalam menyelesaikan agenda-agenda
perdamaian. Penuntasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat tertunda adalah salah satu upaya untuk memperkuat
kepercayaan masyarakat atas niat baik pemerintah pusat untuk mambantu menyelesaikan konflik komunal secara tuntas.
2. Membangun visi untuk menjaga perdamaian agar dapat berkesinambungan menjadi mainstream program pembangunan di Kalbar, yang diterjemahkan
226 dalam kebijakan dan operasional program yang sifatnya integrative dan
komprehensif. Harus ada ukuran-ukuran yang jelas dan kompeten untuk menunjukkan perdamaian di Kalbar. Sampai dalam tahapan mana
perubahan-perubahan telah terjadi. Seperti apa yang disarankan oleh John Paul Lederach 2003 dalam Prasetijo 2007 dengan konsepnya tentang
Transformasi Konflik Conflict Transformation dimana setiap proses untuk mencapai perdamaian yang berkesinambungan sebaiknya dapat menyentuh
4 dimensi perubahan yang signifikan, yaitu dimensi perubahan yang ada tingkat personal, relasional, struktural, dan yang paling ideasional adalah
tingkatan kultural, atau perubahan yang ada ditingkat pengetahuan budaya yang menjadi acuan bagi kelompok dalam bertindak.
Hasil simulasi setiap komponen penyusun sub model menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif positive growth naik
mengikuti kurva eksponensial. Namun pada beberapa komponen sub model seperti pertambahan penduduk dan peningkatan luas lahan pertanian selalu
diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar dan laju konversi lahan ke non pertanian sehingga dalam model ini terjadi
hubungan timbal balik positif positive feedback melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif negative feedback melalui proses balancing. Akibat dari
tenakan ini, peningkatan yang terjadi terhadap semua komponen dalam sistem pada suatu saat akan sampai pada titik keseimbangan tertentu stable
equilibrium dan selanjutnya terjadi menurun sebagai akibat tekanan terhadap sumberdaya yang tersedia penurunan daya dukung lingkungan. Bentuk model
yang terjadi mengikuti pola dasar archetype “Limit to Growth dalam sistem dinamik. Untuk meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang
perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar satu atau lebih variabel yang berpengaruh dalam model.
X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI WILAYAH PERBATASAN KABUPATEN