Agropolitan dalam Membangun Perdesaan 1. Pengertian Kawasan Agropolitan
19 alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap
keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis.
Terkait dengan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan, Wibowo 1997 dalam Andri 2006, mengungkapkan empat ciri-ciri spesifik terpenting
lingkungan khususnya sebagai agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan equitability, keberlanjutan sustainability, kestabilan
stability dan produktivitas productivity. Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya
didistribusikan diantara masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya,
walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan
oleh fluktuasi faktor lingkungan. Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya. Dalam konteks pembangunan pedesaan yang
berkelanjutan dimasa yang akan datang, pengelolaan sumberdaya di desa haruslah dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan
hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan,
serta menerapkan model pemanfaatan sumberdaya yang efisien. Selanjutnya oleh Sutjahjo 2006 menyatakan bahwa lingkungan sebagai suatu
makroekosistem, didalamnya berlaku prinsip-prinsip azas yaitu adanya keanekaragaman, adanya saling keterkaitan dan ketergantungan, adanya
keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilitas, dan adanya manfaat dan produktivitas.
2.2. Agropolitan dalam Membangun Perdesaan 2.2.1. Pengertian Kawasan Agropolitan
Agropolitan berasal dari kata Agro berarti pertanian dan Politan berarti
kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong
dan menarik kegiatan pembangunan pertanian agribisnis di wilayah sekitarnya. Agropolitan dapat juga diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan
pertanian atau pertanian di daerah kota Departemen Pertanian, 2002. Agropolitan kalau diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Kota Tani. Kawasan
20 agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada
wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional
dan hierarkhi keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis UU No. 26, 2007.
Konsep pengembangan kawasan agropolitan pertama kali diperkenalkan Mc. Douglass dan Friedmann pada tahun 1974, sebagai siasat
untuk mengembangkan pedesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan sehingga Mc Douglass dan
Friedmann menyebut agropolitan dengan istilah lain yaitu “kota di ladang”. Agropolitan merupakan salah satu bentuk rencana untuk penataan kota
di pedesaan yang aktifitasnya di sektor pertanian. Agropolitan merupakan gagasan yang baru diperkenalkan di Indonesia oleh Departemen Pertanian pada
tahun 2002, namun sampai saat ini perhatian pembangunan masih berorientasi dan didominasi oleh kota-kota besar. Dalam rangka pembangunan perdesaan
yang setara kota dimana sektor pertanian yang mendominasi aktifitas masyarakat di perdesaan, maka solusi penataan pembangunannya seyogyanya
difokuskan pada sektor pertanian. Rustiadi et al. 2006, menyatakan bahwa agropolitan menjadi sangat relevan dengan wilayah perdesaan karena pada
umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan.
Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan sebaiknya didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung
jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Menyangkut cakupan wilayah pengembangan kawasan agropolitan,
Rustiadi et al. 2006, lebih lanjut menyatakan bahwa pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia lebih cocok dilakukan pada skala kecamatan district
scale karena pada skala kecamatan, akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut : 1 Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan
untuk menjangkau kota, 2 Cukup luas untuk meningkatkan atau mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi scope of economic growth dan
cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan-keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit eknomi,
dan 3 Pengetahuan lokal local knowledge akan mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan. Namun demikian, sebagai unit wilayah fungsional,
21 agropolitan selain dapat berada dalam satu wilayah kecamatan, pengembangan
kawasan agropolitan dapat juga berada dalam beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten, atau beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa
kabupaten, atau beberapa kabupaten dalam satu propinsi atau lintas propinsi tergantung kemampuan dan kesiapan wilayah pengembangan tersebut.
Konsep agropolitan pada dasarnya merupakan perpaduan teori-teori lokasi yang berkembang selama ini seperti teori Christaller, teori Losh, dan teori
Von Thunen. Menurut Tarigan 2003, teori Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya, dengan
ciri-ciri : 1 wilayahnya adalah dataran tanpa roman yang semuanya adalah datar dan sama, 2 gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah isotropic
surface, 3 penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merat pada seluruh wilayah, dan 4 konsumen bertindak rasional sesuai dengan
prinsip minimalisasi jarakbiaya. Teori ini melihat bahwa jangkauanluas pasar dari setiap komoditas ada batasnya yang dinamakan range dan ada batas
minimal dari luas pasarnya agar produsen dapat tetap berproduksi yang dinamakan threshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama
dalam ruang threshold dan apabila ada, maka salah satu akan gulung tikar atau keduanya dan digantikan oleh pengusaha yang baru.
Dalam teori Losh, dijelaskan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang akan digarapnya. Makin jauh dari tempat
penjual, konsumen makin enggan membeli karena karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal, sehingga disarankan agar
lokasi produksi berada di pasar atau dekat pasar. Pandangan ini pada prinsipnya mengikuti pandangan christaller. Adapun teori Von Thunen lebih menekankan
perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar sewa tanah pertimbangan ekonomi, dimana makin jauh jarak dari pasar, maka sewa tanah
makin murah dan demikian sebaliknya. Dalam hal ini, beberapa asumsi yang digunakan adalah 1 wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat
pengaruh pasar dari kota lain; 2 tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah pusat pasar dan makin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah; 3
seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam; 4 fasilitas pengangkutan adalah primitif sesuai pada zamannya dan relatif seragam; dan
5 kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua faktor alamiah yang memengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan. Adat dasar ini, Von Thunen
22 membuat kurva hubungan sewa tanah dengan jarak ke pasar pada dua kegiatan
yang berbeda. Teori-teori tersebut di atas menjelaskan perumbuhan aktivitas ekonomi yang membangun pewilayahan aktivitas ekonomi. Kesemua teori ini
memberikan kita pemahaman bahwa setiap wilayah akan memiliki hirarki dan fungsi yang berbeda, sehingga membentuk suatu interaksi yang tetap dan
kontinyu antara kota dan desa. Atas dasar fungsi dan hirarki tersebut dapat ditentukan lokasi untuk setiap aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan
2.2.2. Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berdasarkan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi,
pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah perdesaan. Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai
sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya
membentuk kawasan agropolitan. Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat permukiman
nasional dan sistem permukiman pada tingkat Propinsi RTRW Propinsi dan
Kabupaten RTRW Kabupaten. Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan
kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan
mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian agribisnis di wilayah sekitarnya. Model agribisnis dan konsep pengembangan kawasan agropolitan
dapat di lihat seperti Gambar 3 dan 4.
Produksi Tanaman Komoditas Unggulan
Peternakan Komoditas Unggulan
Bahan Organik Kotoran
- Komoditas Unggulan segar
- Produk Olahan Industri KecilRT
Pasar Sub Terminal
Agribisnis
- Perikanan Pembenihan
Pembesaran Gambar 3. Contoh Model Agribisnis di Kawasan Agropolitan Deptan, 2002
23
Keterangan:
Penghasil Bahan Baku Pengumpul Bahan Baku
Sentra Produksi Kota KecilPusat Regional
Kota SedangBesar outlet Jalan Dukungan Sapras
Batas Kws Lindung, budidaya, dll Batas Kws Agropolitan
PASARGLOBAL
DPP DPP
DPP
DPP : Desa Pusat Pertumbuhan
Gambar 4. Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan Deptan, 2002 Kawasan agropolitan harus terintegrasi antara satu daerah dengan
daerah lainnya karena setiap daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lainnya, baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, maupun ditingkat nasional
antar propinsi yang dicirikan oleh adanya sarana dan prasarana seperti sarana jalan yang memadai yang menghubungkan diantara daerah tersebut, sehingga
hubungan antar pusat-pusat agropolitan dapat berjalan dengan lancar. Keterkaitan pusat agropolitan antar daerahkawasan dapat dijelaskan seperti
Gambar 5.
Jalan Propinsi
Jalan Kabupaten
Jalan Lokal Jalan
Propinsi
Jalan Kabupaten
Jalan Lokal Jalan
Nasional
Kawasan 1 Kawasan 2
Keterangan :
Pusat Kegiatan Nasional Pusat Kegiatan Wilayah
Pusat Kegiatan Lokal Pusat Agropolitan
Gambar 5. Keterkaitan Pusat Agropolitan dengan Sistem Pusat Nasional, Propinsi dan Kabupaten
24 Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki cirip-ciri :
1 Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian agribisnis; 2 sebagian besar kegiatan di kawasan
agropolitan didominasi oleh kegiatan pertanian agribisnis, termasuk didalamnya usaha industri pengolahan pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian
termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu sarana pertanian dan permodalan, agrowisata, dan jasa pelayanan; 3
hubungan antara kota dan daerah hinterlanddaerah sekitar bersifat interdependensitimbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana
kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya on farm dan produk olahan skala rumah tangga off farm, sebaliknya kota menyediakan fasilitas
untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil, dan penampungan
pemasaran hasil pertanian; dan 4 kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota Deptan, 2004a.
Menurut Ernalia et al, 2004 dan Deptan 2004a, Suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan berikut :
a. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah
mempunyai pasar selanjutnya disebut komoditi unggulan, serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya.
Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian on farm tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai pengadaan
sarana dan prasarana pertanian seperti benihbibit, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian seperti
pembuatan produk olahan, produk makanan ringankripik, dodol, dll sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian seperti bakulan, warung, jual
beli hasil pertanian, pasar lelang, terminalsub terminal agribisnis, dll dan juga kegiatan penunjangnya seperti pasar hasil, agrowisata.
b. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu :
1 Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar
lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan.
25 2 Lembaga keuangan perbankan dan non perbankan sebagai sumber
modal untuk kegiatan agribisnis. 3 Memiliki kelembagaan petani kelompok, koperasi, assosiasi yang harus
berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis SPPA. Kelembagaan Petani disamping sebagai pusat
pembelajaran pelatihan, juga diharapkan kelembagaan petanipetani maju dengan petani disekitarnya merupakan inti plasma dalam usaha
agribisnis. 4 Balai Penyuluhan Pertanian BPP yang berfungsi sebagai Klinik
Konsultasi Agribisnis KKA yakni dengan sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efesien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan
agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan
bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakanpetani
maju, tokoh, masyarakat dll. 5
Percobaanpengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan.
6 Jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian
agribisnis yang lebih efesien. c. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi,
jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. d. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosialmayarakat yang
memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan swalayan dan lain-lain.
e. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumber daya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharomisan hubungan kota dan desa terjamin.
Berdasarkan persyaratan di atas, bila kawasan agropolitan merupakan suatu sistem, maka sistem tersebut terdiri dari subsistem sumber daya manusia
pertanian dan komoditas unggulan, subsistem sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan prasarana umum, prasarana kesejahteraan sosial, dan subsistem
kelestarian lingkungan.
26 Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk
mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui :
1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi,
produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha
agribisnis yang efisiensi; 2. Penguatan kelembagaan petani;
3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa;
4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu; 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;
Selanjutnya Departemen Kimpraswil pada tahun 2002 Dep. PU, 2005 menjabarkan delapan tujuan yang ingin dicapai, yaitu :
1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan.
2. Mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan.
3. Meningkatkan keterkaitan desa dan kota rural-urban linkages. 4. Mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaam yang berkeadilan.
5. Mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan. 6. Mengurangi arus urbanisasi atau migrasi dari desa ke kota.
7. Memberi peluang usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan. 8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD.
Untuk mencapai sasaran dan tujuan pengembangan kawasan agropolitan tersebut di atas, maka beberapa strategi pengembangan kawasan
agropolitan yang dapat dilakukan Soenarno, 2003 antara lain : 1. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan
menjadi acuan masing-masing wilayahpropinsi. Penyusunan dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih
akomodatif. Master plan disusun dalam jangka panjang 10 tahun, jangka menengah 5 tahun dan jangka pendek 1-3 tahun yang bersifat rintisan dan
stimultan. Dalam program jangka pendek setidaknya terdapat out line plan, metriks kegiatan lintas sektor, penanggung jawab kegiatan dan rencana
pembiayaan.
27 2. Penetapan lokasi agropolitan; kegiatannya dimulai dari usulan penetapan
kabupaten oleh pemerintah propinsi, untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu
melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi komoditas unggulan, antara lain: potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, kelembagaan, iklim usaha, dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten.
3. Sosialisasi program agropolitan; dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik di pusat maupun di
daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi.
Sementara itu, Departemen Pertanian pada tahun 2002 Dep. PU, 2005 menyusun indikator keberhasilan program agropolitan berdasarkan dua
pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan
Dampak. a. Pendapatan masyarakat dan pendapatan petani meningkat minimal 5
di kawasan agropolitan di kota dan desa-desa lokasi program agropolitan.
b. Produktivitas lahan meningkat minimal 5 di lokasi program c. Investasi masyarakat petani, swasta, BUMN meningkat minimal 10
2. Pendekatan Output
a. 80 dari kelembagaan petani kelompok tani, koperasi, kelompok usaha di kawasan agropolitan yang dibina mampu menyusun usaha yang
berorientasi pasar dan lingkungan. b. Terjadinya partisipasi masyarakat dalam menyusun programrencana
tahunan. c. Terbentuknya jaringan bisnis petani.
d. Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang profesional yang dilihat dari frekuensi pertemuan yang berkualitas dan multidisiplin.
e. 80 dari kontak tani maju terpilih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya.
2.3. Wilayah Perbatasan 2.3.1. Paradigma Pengembangan Wilayah Perbatasan.