27 2. Penetapan lokasi agropolitan; kegiatannya dimulai dari usulan penetapan
kabupaten oleh pemerintah propinsi, untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu
melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi komoditas unggulan, antara lain: potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, kelembagaan, iklim usaha, dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten.
3. Sosialisasi program agropolitan; dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik di pusat maupun di
daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi.
Sementara itu, Departemen Pertanian pada tahun 2002 Dep. PU, 2005 menyusun indikator keberhasilan program agropolitan berdasarkan dua
pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan
Dampak. a. Pendapatan masyarakat dan pendapatan petani meningkat minimal 5
di kawasan agropolitan di kota dan desa-desa lokasi program agropolitan.
b. Produktivitas lahan meningkat minimal 5 di lokasi program c. Investasi masyarakat petani, swasta, BUMN meningkat minimal 10
2. Pendekatan Output
a. 80 dari kelembagaan petani kelompok tani, koperasi, kelompok usaha di kawasan agropolitan yang dibina mampu menyusun usaha yang
berorientasi pasar dan lingkungan. b. Terjadinya partisipasi masyarakat dalam menyusun programrencana
tahunan. c. Terbentuknya jaringan bisnis petani.
d. Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang profesional yang dilihat dari frekuensi pertemuan yang berkualitas dan multidisiplin.
e. 80 dari kontak tani maju terpilih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya.
2.3. Wilayah Perbatasan 2.3.1. Paradigma Pengembangan Wilayah Perbatasan.
Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik berbatasan darat kontinen seperti Malaysia, Papua New Guinea PNG, dan
28 Timor Leste, maupun berbatasan laut maritim di sepuluh negara seperti India,
Malaysia, Singapura, hailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini Bappenas, 2005a
Pembangunan wilayah perbatasan selama ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan
pembangunan yang kurang memperhatikan wilayah perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan
potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir, dan tertinggal seperti wilayah perbatasan masih belum diprioritaskan.
Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan di masa lampau, menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang membawa implikasi terhadap kondisi wilayah perbatasan saat ini yang terisolir dan tertinggal dari sisi sosial dan
ekonomi. Hal ini terjadi karena sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan sangat menekankan stabilitas keamanan, serta konflik dengan negara tetangga
dan pemberontakan di dalam negeri. Beberapa isu dan permasalahan pengelolaan wilayah perbatasan Bappenas, 2004 antara lain :
1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan tertinggal dan terisolir
2. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan wilayah perbatasan
3. Adanya paradigma wilayah perbatasan sebagai halaman belakang 4. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga
5. sarana dan prasarana umum masih minim 6. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera
7. Terisolasinya wilayah perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju wilayah perbatasan
8. Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka paradigma tersebut perlu dirubah yang mengarah pada percepatan pertumbuhan ekonomi
masyarakat di wilayah perbatasan. Paradigma baru pengembangan wilayah- wilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan
yang selama ini cenderung berorientasi ”inward looking” menjadi ”outward looking” sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang
aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga melalui
29 pendekatan kesejahteraan prosperity approach dan pendekatan keamanan
security approach. Dalam peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2005 tentang Rencana
Kerja Pemerintah tahun 2006, telah menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama dalam mengurangi disparitas
pembangunan antar wilayah, dengan program-program sebagai berikut Bappenas, 2005a :
1. Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan , pulau-pulau kecil terisolir, melalui kegiatan a pengarusutamaan Dana
Alokasi Khusus DAK untuk wilayah perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan, irigasi dan transportasi, b penerapan
kewajiban layanan publik dan perintisan untuk transportasi, dan kewajiban layanan untuk telekomunikasi serta listrik perdesaan.
2. Pengembangan ekonomi di wilayah perbatasan negara. 3. Peningkatan keamanan dan kelancaran lalulintas orang dan barang di
wilayah perbatasan. 4. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang secara
administrasi terletak di wilayah perbatasan negara.
2.3.2. Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat
Propinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia Timur, memiliki panjang garis perbatasan sekitar 966
km melintasi 113 desa dalam 15 kecamatan dan di 5 kabupaten masing-masing Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu dengan
luas wilayah perbatasan Kalimantan Barat sekitar 25.197 km
2
dan luas seluruh kecamatan yang dilintasi garis perbatasan adalah 2.519.744 hektar Bappenas,
2005a. Peta wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia seperti pada Gambar 6.
Dari lima kabupaten tersebut, tercatat sebanyak 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dan 32 kampung di Sarawak
dan disepakati 16 desa di Kalimantan Barat dan 10 kampung di Sarawak sebagai Pos Lintas Batas PLB. Pada tanggal 25 Februari 1991 telah diresmikan
Entikong sebagai Pos Pemeriksaan Lintas Batas PPLB atau dikenal Tempat Pemeriksaan Imigrasi TPI, menyusul disepakati melalui SOSEK MALINDO
30 Nangau Badau di Kapuas Hulu pada tanggal 17 Desember 1998 dan Aruk di
Sambas pada tanggal 12 Mei 2005 sebagai PPLBTPI.
Gambar 6. Peta Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat Dengan Sarawak, Malaysia Timur
Sesuai kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo, sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan
secara bertahap di beberapa wilayah perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Bangkayang. Namun demikian, masyarakat di sekitar
perbatasan sudah menggunakan pintu-pintu perbatasan tidak resmi sejak lama sebagai jalur hubungan tradisional dalam rangka kekeluargaan atau kekerabatan.
Pos-pos keamanan dan pertahanan yang tersedia disepanjang jalur tradisional tersebut masih sangat terbatas, demikinan pula dengan kegiatan patroli
keamanan yang masih menghadapi kendalah berupa minimnya sarana dan prasarana transportasi Bappenas 2004.
Secara topografi, wilayah perbatasan Kalimantan Barat sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 200 meter dpl. Hanya
sebagian kecil saja yang merupakan dataran tinggi, yakni di sekitar gunung Niut di Bengkayang dan gunung Lawit di Kapuas Hulu. Kondisi topografi ini
berpengaruh terhadap persebaran penduduk beserta aktivitasnya di mana persebaran penduduk lebih banyak terdapat di dataran rendah. Dilihat dari
tekstur tanahnya, sebagian besar merupakan jenis tanah Podsolik Merah Kuning
31 PMK sekitar 10,5 juta hektar dan Organosol Grey Humus OGH sekitar dua
juta hektar Bappenas 2005b Kegiatan ekonomi masyarakat perbatasan lebih banyak terkonsentrasi
pada sektor pertanian yang merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat sehingga banyak tenaga kerja yang diserap disektor ini. Sekitar 40
persen Produk Domestik Regional Bruto PDRB kabupaten-kabupaten disumbangkan oleh sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman pangan,
perkebunan, dan peternakan. Pertanian tanaman pangan, pada tahun 2002 didominasi oleh produksi padi yang berasal dari Kabupaten Sambas, sedangkan
tanaman palawija lebih didominasi oleh Kabupaten Bengkayang dengan tanaman jagung sebesar 31,87 persen. Perkebunan kelapa sawit disumbangkan
oleh Kabupaten Sanggau sebesar 49,80 persen, sedangkan karet dan kakao lebih terkonsentrasi di Kabupaten Sintang Bappenas, 2005b. Dilihat dari kondisi
kependudukan dan sosial budaya masyarakat, jumlah penduduk di Kalimantan Barat pada tahun 2002 berjumlah 3,9 juta jiwa dengan persebaran penduduk
yang tidak merata. Umumnya mereka menempati daerah pesisir pantai dan sepanjang aliran sungan besar, sedangn di wilayah kabupaten sepanjang
perbatasan hanya dihuni oleh sekitar 176.365 jiwa. Hal ini menyebabkan masyarakat diwilayah ini sulit tersentuh oleh program-program pembangunan
khususnya yang berkaitan dengan pengembangan SDM. Sarana dan prasarana menjadi hal penting dalam menunjang
pembangunan wilayah Kalimantan Barat, seperti tersedianya jaringan jalan, jembatan, transportasi antar nodal infrastruktur pasar dan perbankan, pendidikan,
kesehatan, perumahan, air bersih, irigasi, telekomunikasi dan sarana lainnya. Terbatasnya sarana dan prasarana di wilayah perbatasan Kalimantan Barat
menyebabkan wilayah ini memiliki aksesibiltas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya. Bila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, maka
kesenjangan infrastrukturnya semakin jelas. Di Malaysia aksesibilitas antar wilayah telah cukup baik, dimana jalan sudah di hot mix hingga ke kampung-
kampung di wilayah perbatasan Malaysia. Fasilitas sosial dan umum serta transportasi dan telekomunikasi yang lebih baik. Berbagai kendala infrastruktur
wilayah perbatasan Kalimantan Barat menyebabkan kebutuhan biaya yang sangat mahal untuk mendatangi wilayah perbatasan tersebut. Jika hal ini
dibiarkan akan lebih menambah ketimpangan pembangunan dan ketertinggalan ekonomi di wilayah ini.
32 Melihat kondisi wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang masih
terpencil dan terisolasi, Pemerintah Propinsi kalimantan Barat dalam hal ini Dinas Pertanian menginventarisir tiga permasalahan pokok yang dialami Wilayah
Perbatasan Kalimantan Barat Diperta Kalbar, 2005, antara lain : 1. Keterbatsan infrastruktur terutama prasarana jalan yang menyebabkan akses
masyarakat perbatasan menjadi terbatas, sehingga orientasi kegiatan sosial ekonomi masyarakat di daerah perbatasan lebih banyak ke negara Malaysia
Sarawak karena kedekatan dan kemudahan meskipun hanya dengan jalan setapak.
2. Belum tersusunnya penataan ruang perbatasan di mana sebagian besar ruang wilayah perbatasan adalah kawasan hutan sehingga kegiatan yang
dapat dikembangkan umumnya dalam lingkup kegiatan kehutanan seperti HPH dan HTI yang kurang diminati dan melibatkan masyarakat, sementara
kegiatan primer lainnya seperti perkebunan tidak tersedia peruntukan yang memadai. Demikian pula kegiatan ekonomi sekunder lainnya, praktis tidak
berkembang 3. Penanganan pembangunan daerah perbatasan yang berorientasi pada
pelaksanaan otonomi daerah, telah memunculkan penafsiran yang berbeda dan cenderung mengarah pada pengkotakan dalam propinsi. Sementara
daerah perbatasan merupakan satu kesatuan kawasan yang memerlukan penanganan secara terpadu.
2.4. Pendekatan Sistem