Pakan ternak sapi potong

Abidin dan Soeprato 2006 mengemukakan bahwa kondisi agroklimat dan kondisi lingkungan yang ideal sangat dibutuhkan oleh ternak sapi dalam memacu pertumbuhan dan perkembangannya berdasarkan potensi genetis. Sekaligus penentuan lokasi dapat terpenuhi melalui beberapa syarat tertentu, seperti; suhu lingkungan, arah angin, curah hujan, arah sinar matahari, kelembaban, topografi, disamping aspek lainnya. Unsur-unsur iklim seperti; temperatur, curah hujan, intensitas penyinaran dan lamanya siang hari sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas pakan hijauan Reksohadiprodjo, 1985. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan pakan banyak mengandung air pada saat curah hujan dan kelembaban udara tinggi dapat mempengaruhi bahan kering pakan secara keseluruhan.

5.2.14. Infrastruktur

Pengembangan peternakan di suatu wilayah perlu didukung oleh infrastruktur, seperti pos kesehatan hewan Poskeswan, pasar ternak, rumah pemotongan hewan RPH dan sarana transportasi guna menunjang sistem tataniaga. Poskeswan yang semula ada di Kabupaten Jayapura sudah kurang berfungsi, disebabkan oleh terbatas tenaga medis dan peralatan. rumah pemotongan hewan RPH belum dimiliki pemotongan ternak sapi dilakukan di RPH Yoka Kotamadya Jayapura Sarana transportasi berupa jalan utama kendaraan telah ada, namun membutuhkan biaya tinggi pada desa-desa terpencil yang jauh dari pusat Kota KabupatenDistrik, sarana transportasi darat masih bayak yang rusak, sehingga hasil-hasil produksi yang dipasarkan menjadi rendah harga jualnya, maupun membutuhkan biaya pemasaran tinggi. Daryanto 2007, mengungkapkan bahwa infrastruktur di suatu wilayah termasuk wilayah pedesaan bila tidak memadai, maka akan berpengaruh terhadap kelancaran arus distribusi input dan ouput, sehingga sangatlah wajar kalau dijumpai harga jual komoditas yang murah bagi peternak karena belum berkembangnya infrastruktur.

5.2.15. Kelembagaan

Peran kelembagaan dalam menunjang usaha peternakan di Kabupaten Jayapura belum berlangsung dengan baik. Kelembagaan dimaksud adalah semua pemangku kepentingan stakeholder yang mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan usaha peternakan, yakni pemerintah dinas terkait, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, LSM, lembaga keuangan dan peternak yang bersangkutan. Dinas Pertanian dan Peternakan sebagai instansi teknik belum berfungsi secara maksimal dalam hal penyuluhan, pengadaan infratruktur dan sapronak, serta pelayanan kesehatan ternak. Kurangnya tenaga penyuluh peternakan dan belum profesional menjadi kendala tersendiri dalam proses pendampingan bagi peternak. Keterbatasan dalam mengambil insiatif dalam pembentukan kelompok-kelompok ternak mandiri secara permanen. Terbatasnya lembaga ekonomi penunjang seperti koperasi di tingkat distrik dan desa, bahkan pada umumnya di desa koperasi belum tersedia. Di sisi lain, akses terhadap fasilitas perkreditan dari bank ataupun lembaga keuangan lainya belum dimanfaatkan oleh peternak dalam memajukan usahanya. Pengembangan peternakan pada masa yang akan datang di Kabupaten Jayapura sangat diharapkan adanya kerjasama dari pihak seperti pemerintah dinas, bank, perguruan tinggi maupun swasta investor, LSM. Pendapat yang dikemukakan oleh Daryanto 2007, indikator penting dalam revitalisasi pembangunan peternakan rakyat harus terkait erat dengan kebijakan pembangunan pedesaan, aspek kelembagaan begitu sangat penting, misalnya lembaga keuangan yang harus menjadi salah satu syarat. Lembaga penelitian, merupakan salah satu indikator penting dalam keberhasilan pembangunan peternakan dan pedesaan, ini berarti hasil-hasil penelitian harus diaplikasikan di lapang. Sehingga, penyuluh peternakan harus mampu memainkan perannya dalam mengawal hasil-hasil penelitian agar dapat diterapkannya, guna menjawab berbagai kebutuhan peternak. North Daryanto, 2007, mengemukakan bahwa kelembagaan yang dimaksudkan adalah seperangkat aturan formal hukum, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain-lain serta informal norma, tradisi, sistem nilai yang mengatur hubungan antara individu dan kelompok masyarakat. Seluruh elemen terkait ini menjadi penting untuk dapat diolah seefektif dan seefisien mungkin dalam mengembangkan pembangunan peternakan secara menyeluruh. Gambaran di atas memberikan isyarat lebih lanjut dalam melihat kelembagaan sebagai prasyarat penting dalam pembangunan peternakan di Kabupaten Jayapura. Para pemangku kepentingan stakeholder harus lebih memainkan perannya khusus dalam pengembangan usaha peternakan.

5.2.16. Karakteristik peternak sapi potong

Karakteristik peternak sapi potong yang diamati dalam penelitian ini adalah tanggungan keluarga dalam satu keluarga dan pengalaman peternak dalam mengusahakan ternak sapi potong. Tanggungan keluarga terdiri dari seluruh anggota keluarga yang ada dalam satu rumah tangga dan menjadi tanggung jawab dari keluarga tersebut, baik dari aspek sandang, pangan dan papan termasuk pula seluruh pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jumlah anggota keluarga yang besar turut mempengaruhi tanggungan keluarga, sehingga ada kemungkinan berdampak pada tingkat kesejahteraan keluarga, jumlah anggota keluarga yang besar dapat pula difungsikan sebagai tenaga kerja keluarga dalam pengelolaan asaha ternak sapi potong. Tenaga kerja yang ada adalah tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga, oleh karena itu penting hal itu diketahui agar dapat diprediksi dalam menunjang pengelolaan usaha ternak sapi potong yang dikembangkan oleh setiap keluarga peternak sapi potong. Pengalaman usaha beternak sapi potong menjadi salah satu ukuran untuk adanya tambahan pengetahuan dan keterampilan dari peternak, seseorang peternak baru memulai akan usahanya pasti akan berbeda proses pengelolaannya dengan seseorang yang sudah berpengalaman dalam pengelolaan usaha ternak sapi potong. Sehingga semakin lama seseorang melakukan usahanya, maka semakin bertambah pengalaman yang diikuti dengan bertambah pula pengetahuan dan keterampilan bagi dirinya. Tanggungan keluarga seluruh Distrik tidak memperlihatkan persentase yang bervariasi. Tanggungan keluarga dari sampel dengan proporsi terbesar berada pada kisaran 4-6 orang pada Distrik Kemtuk Gresi sebesar 56 persen, berikutnya Distrik Nimboran sebesar 53,33 persen, Distrik Kemtuk sebesar 46,67 persen, dan Distrik Nimbokrang sebesar 32 persen, ini berarti tingkat pengeluaran dari satu keluarga perlu untuk diatur sedemikian rupa sehingga kebutuhan keluarga dapat terpenuhi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk di dalamnya pendidikan dan kesehatan. Itu bukan berarti tanggungan keluarga dengan kisaran 1-3 orang dalam satu keluarga sudah memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi ini perlu menjadi perhatian dari seluruh anggota keluarga untuk secara bersama-sama berupaya keras dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Tabel 37. Distribusi karakteristik per distrik di Kabupaten Jayapura Karakteristik Distrik Kemtuk Gresi Distrik Kemtuk Distrik Nimboran Distrik Nimbokrang Total 1. Tanggungan Keluarga orang Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah n=25 n=30 n=30 n=25 n=110 1 – 3 4 – 6 7 – 10 9 14 2 36 56 8 15 14 1 50 46,67 3,33 16 11 3 36,67 53,33 10 8 17 - 68 32 - 48 56 6 43,64 50,91 5,45 Total 25 100 30 100 30 100 25 100 110 100 2. Umur Tahun 20 – 35 36 – 55 56 – 70 9 12 4 36 48 16 12 14 4 40 46,67 13,33 10 15 5 33,33 50 16,67 12 10 3 48 40 12 43 51 16 39,10 46,36 14,54 Total 25 100 30 100 30 100 25 100 110 100 Jumlah anggota keluarga yang besar dalam satu keluarga akan turut mempengaruhi tanggungan keluarga atau biaya hidupnya akan tinggi. Bila dalam satu keluarga ada sejumlah anggota keluarga yang dapat difungsikan sebagai tenaga kerja untuk mengelola usaha peternakan sapi potong akan lebih memudahkan dalam menghemat biaya pengeluaran tenaga kerja, sesuai dengan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan bahwa umumnya tenaga kerja dalam mengelola usaha ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura berasal dari dalam keluarga itu sendiri. Umur peternak dengan proposisi terbesar berada pada kisaran umur 36- 55 tahun, Distrik Nimboran menempati persentase terbesar, yakni sebesar 50 persen, berikutnya Distrik Kemtuk Gresi dan Distrik Kemtuk 48 dan 46,67 dan Distrik Nimbokrang sebesar 40 persen, berikutnya umur 20-35 tahun Distrik Nimbokrang menempati persentase terbesar, yakni sebesar 48 persen, berikutnya Distrik Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi 40 dan 36, dan yang terendah adalah Distrik Nimboran sebesar 33,33 persen. Umur sampel 56-70 tahun di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk Gresi besar persentasenya 16,67 dan 16 persen, Distrik Kemtuk dan Distrik Nimbokrang sebesar 13,33 dan 12 persen. Melihat kisaran umur sampel pada seluruh Distrik menunjukkan bahwa kisaran umur tersebut masih produktif dalam pengelolaan usaha peternakan sapi potong. Usia yang masih produktif ini dapat menggambarkan sebagai suatu potensi yang handal untuk diberdayakan dalam pengelolaan sapi potong.