Pembangunan Peternakan Sapi Potong.

1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, padahal tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka. 2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya produksiharga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan. 3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif. Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 membagi tingkat kawasan pertumbuhankemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. 1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat kelompok pemula. Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan pengembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok dalam bentuk usaha bersama agribisnis KUBA. Telah dirintis pendirian unit- unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang. 3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA kelompok usaha bersama agribisnis, dan dapat dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan Tim Fapet IPB, 2002 pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas. Kualitas tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas daging sapi yang ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. 1997 bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan. Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. 1999 menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging. Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto 2001 dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000. Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen alat pencernaan. Menurut Priyanto et al. 1999 nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi mutu maupun harga lebih tinggi dibandingkan dengan hasil temak besarkecil lainnya Sugeng, 2001.

2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong

Perkembangan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak menimbulkan konflik sosial. Sedangkan pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri Santosa, 2001. Selanjutnya dikatakan bahwa disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal diantaranya infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah. Pengembangan sistem budidaya sapi potong melalui pola-pola integrasi, pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip ekosistem alami dengan cara memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia dan ramah lingkungan environmental friendly sehingga tercipta suatu keseimbangan yang dinamis dan meningkatkan produktivitas. Karena yang menjadi ciri ekosistem alami adalah adanya keanekaragaman, adanya ketergantungan dan keterkaitan, adanya keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilisasi, serta adanya manfaat dan produktivitas Sutjahjo 2004 Menurut Atmadilaga 1975, hambatan-hambatan dalam usaha meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang kompleks dan bersifat biologis, ekologis, serta sosioekonomis. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama ternak yang bersifat tradisional. Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan tradisional yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah Soehadji, 1995. Hal tersebut diperkuat oleh Sudrajat 2000 yang menyatakan bahwa beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : 1 Penyempitan lahan pangonan, 2 kualitas sumberdaya manusia rendah, 3 produktivitas ternak rendah, 4 akses ke pemodal sulit. 5 koordinasi lintas sektoral belum kondusif, dan 5 penggunaan teknologi masih rendah. Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Menurut Santosa 2001 secara nasional kita dihadapkan kepada persoalan-persoalan sebagai berikut. ƒ Harga obat hewan yang semakin tinggi. ƒ Kesulitan untuk memperoleh bibit. ƒ Kesulitan untuk akses ke sumber modal. ƒ Rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak. ƒ Rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak. ƒ Masih tingginya angka pemotong ternak betina produktif. ƒ Manajemen pakan yang kurang baik. ƒ Masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi IB. ƒ Belum ada upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi potong di Indonesia adalah : I permintaan pasar terhadap daging sapi semakin meningkat, 2 Ketersediaan tenaga kerja cukup besar, 3 Kebijakan pemerintah mendukung, 4 Hijauan dari sisa pertanian tersedia sepanjang tahun, 5 Usaha peternakan sapi lokal tidak terpengaruh krisis. Kendala dan peluang pengembangan peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan strategi pengembangan sapi potong di wilayah tersebut.

2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong

Sejak dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus menyesuaikan dengan rencana penataan ruang sebagai suatu strategi nasional dalam memanfaatkan, menggunakan kekayaan sumberdaya alam dan mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nasional dan berkelanjutan. Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan penggunaan sumberdaya tersedia, dan lebih jauh dapat meningkatkan nilai tambah bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut. Gurnadi 1998 menganjurkan bahwa dalam pengembangan ternak di suatu daerah, maka perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya tersebut mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Potensi tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah pertanian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian yang ada. Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu 1 pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak, dan perbaikan genetik ternak, 2 pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya, serta pembentukkan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, 3 Pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia, proses produksi. pengolahan hasil, dan pemasaran. Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng 1987 tujuan dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem usaha tani lain adalah: 1. Untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan dengan menggunakan input yang tersedia 2. Untuk memadukan antara beberapa jenis tanaman, ternak, limbah peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan. Pemeliharaan ternak merupakan salah satu komponen dalam usaha tani dan ternak ini akan terintegrasi dengan komoditi lain yang diusahakan oleh