pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan 3 pengetahuan lokal local
knowledge akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.
Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai stakeholders secara terpadu sesuai tanggung jawab bidang masing-masing.
Menurut Misra 1980, pendekatan pembangunan harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan
kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan bertumpu pada masyarakat. Pendekatan pembangunan tersebut disarankan agar
dilaksanakan melalui enam elemen dasar yaitu: 1 pembangunan pertanian dengan padat karya labour intensive, 2 menciptakan lapangan kerja, 3
membangun industri kecilindustri rumah tangga pada wilayah pertanian, 4 gotong-royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan,
5 mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan perdesaan, dan 6 kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor.
Menurut Rustiadi 2004 pengembangan agropolitan memerlukan terjadinya re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini
dapat dilakukan melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan agar
mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan, seperti antara lain redistribusi asset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital.
Di Indonesia, pembangunan agropolitan yang sifatnya masih rintisan telah dilaksanakan dalam lima tahun terakhir ini. Program ini merupakan kerjasama
antara Depertemen Pertanian dengan Departemen Kimpraswil. Departemen Pertanian bertanggung jawab terhadap penyiapan lokasi garapan
dan penyuluhan sedangkan Departemen Kimpraswil sesuai dengan core bisnis- nya membangun prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mendukung
keberhasilan program agropolitan. Dalam pelaksanaannya belum didukung adanya kebijakan secara nasional melainkan hanya berupa Pedoman Umum
Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan, yang dikeluarkan oleh Departemen
Pertanian. Dalam pelaksanaanya, belum semua stakeholders yang diharapkan ikut
bersama-sama secara terpadu menangani program agropolitan ini. Saat ini baru
beberapa instansi saja yang secara aktif menangani program ini. Adalah tidak mungkin kalau untuk keberhasilan program ini hanya bertumpu pada peran
pemerintah, tetapi juga diperlukan keterlibatan masyarakat, swasta, dan pemerintah secara bersama-sama dan bermitra untuk menyepakati program-
program yang dibutuhkan untuk dilaksanakan secara terencana dan berkesinambungan.
2.4. Pembangunan Agribisnis yang Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
Pembangunan agribisnis di Indonesia dapat dikatakan merupakan sektor yang paling mampu bertahan dan mampu menikmati keuntungan yang berlipat
ganda apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Kondisi ini terjadi karena pengembangan kegiatan agribisnis relatif kurang mengandalkan bahan
baku yang berasal dari komponen impor, artinya kegiatan agribisnis menggunakan sebanyak mungkin komponen input yang dapat dihasilkan di
dalam negeri. Pada sisi lain, output kegiatan agribisnis sebagian besar adalah jenis barang-barang yang merupakan kebutuhan mendasar bagi kelanjutan
kehidupan manusia yang berupa kebutuhan pangan, sandang, papan, kosmetika, kesehatan, dan sebagainya. Perbandingan rendahnya harga beli
input dan tingginya nilai jual output kegiatan agribisnis menyebabkan keuntungan ideal yang dapat diperoleh oleh para pengusaha agribisnis di Indonesia.
Akan tetapi apabila kita mengkaji lebih jauh pengelolaan usaha-usaha agribisnis yang terjadi selama ini di Indonesia, umumnya kurang memperhatikan
manfaat yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Orientasi usaha agribisnis yang dilakukan oleh banyak pengusaha di Indonesia selama ini, baik petani kecil
yang mengelola usaha skala kecil atau pengusaha besar yang mengelola lahan pertanian pada skala yang amat luas, cenderung kurang memperhatikan pola
pengusahaan kegiatan agribisnis yang berkelanjutan. Kegiatan agribisnis memang berbasiskan pada sumber daya yang
renewable dapat diperbaharui, tetapi lahan usaha tanah, hutan, air sebagai sarana produksi yang mendasar untuk mengembangkan kegiatan agribisnis juga
mempunyai daya dukung yang juga terbatas jika tidak diperhatikan usaha-usaha pengelolaannya agar tetap lestari. Keberhasilan agribisnis tidak hanya
diindikasikan oleh kontinuitas dan peningkatan produksi agribisnis, tetapi juga bagaimana agar agribisnis tersebut dapat memberikan manfaat yang merata bagi
semua pelaku dalam sistem agribisnis secara kontinyu dan menjaga kelestarian lingkungan.
Ada dua kelemahan mendasar dalam pengembangan usaha di sektor pertanian Indonesia selama ini. Pertama, adalah keuntungan hanya dinikmati
oleh sekelompok pengusaha yang memiliki modal besar dan aksesibilitas terhadap berbagai sumber daya pokok maupun pendukung usaha perbankan,
pasar, informasi harga dan teknologi; dan kedua, terjadinya eksploitasi besar- besaran terhadap sumber daya sehingga menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan. Dalam perencanaan kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia,
khususnya dalam pengembangan agribisnis, maka penting diperhatikan strategi kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi
sumber daya lokal yang ada sumber daya alam dan sumber daya sosial- budaya dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam kegiatan penge-
lolaan usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani pada zaman dahulu, banyak kepercayaan atau strategi memanfaatkan sumber daya alam yang
sangat memperhatikan terjaganya kelestarian lingkungan. Contoh untuk hal tersebut adalah menggunakan pupuk tanaman yang berasal dari sisa tanaman
atau kotoran hewan, menghindari melakukan eksploitasi sumber daya alam di wilayah pegunungan, upaya memberantas hama dan penyakit tanaman tanpa
menggunakan zat-zat kimia tetapi dengan menggunakan cara-cara pemberantasan secara alami, dan banyak lagi cara-cara lainnya yang seringkali
dipandang kurang rasional oleh pengikut teori modernisasi. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal bagi pengembangan agri-
bisnis di Indonesia merupakan strategi terbaik dalam mendukung pertumbuhan perekonomian masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Kekayaan alam
Indonesia cukup besar untuk dapat mendukung keberlangsungan hidup seluruh rakyat Indonesia, tetapi kuncinya adalah bagaimana mengelola semua itu secara
benar, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang dalam jangka pendek.
Pengembangan agribisnis merupakan suatu strategi pembangunan pertanian di Indonesia yang berusaha meningkatkan nilai tambah dan daya saing
komoditas pertanian Indonesia di pasaran domestik dan internasional. Namun penting diperhatikan berbagai upaya yang dapat mencegah eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam Indonesia dan mengabaikan
pengembangan usaha yang selaras dengan lingkungan alam serta lingkungan sosial.
Berbagai kasus pengembangan agribisnis beberapa komoditas kehutanan dan perkebunan yang telah banyak dilakukan selama ini umumnya
berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas komoditas yang dihasilkan dalam jangka pendek, sehingga kurang memperhatikan daya dukung
sumber daya alam, manusia dan kelembagaan lokal yang ada di wilayah pengembangan usaha tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika cukup
banyak kegiatan agribisnis yang tidak berumur panjang, melakukan eksploitasi sumber daya yang berlebihan atau menimbulkan konflik dengan masyarakat di
sekitar lokasi Tampubolon, 2002.
2.5. Agribisnis Sapi Potong
Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang digunakan terhadap gugus industri cluster industry yang melakukan
pendayagunaan sumberdaya hayati Pambudy et al. 2001. Berdasarkan pendekatan etimologis, pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang
berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai basis budidaya agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang.
Dengan demikian, agribisnis sapi potong berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai usaha perdagangan sapi potong. Namun, pengertian agribisnis saat ini
tIdak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etiomologis, akan tetapi telah meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global dikaitkan dengan
semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang. Menurut Djajalogawa dan Pambudy 2003, agribisnis sapi potong
diartikan sebagai suatu kegiatan bidang usaha sapi potong yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan
yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana praduksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua
stakeholders pemangku kepentingan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak petani-
peternak, perusahaan swasta dan pemerintah. Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian
secara simultan dalam arti luas dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri industrial cluster sapi potong yang mencakup