Sistem tataniaga Penentuan Komoditas Unggulan Peternakan di Kabupaten Jayapura

pemanfaatan berbagai hasil ikutan ternak yang diolah dengan menggunakan teknologi, misalnya kulit dan kotoran ternak sapi potong; kulit dapat diolah sebagai bahan aneka industri dan kotoran dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman pertanian serta pembuatan biogas dan sebagainya. Menurut Mosher 1966 bahwa dalam penggunaan teknologi haruslah memberikan harapan bagi peternak untuk terciptanya peningkatan produksi usahanya, sehingga perlu untuk diketahui sumber-sumber teknologi baru untuk pengembangan dan peningkatan usaha peternakan sapi potong. Pengertian baru dapat diartikan baru bagi peternak tertentu, Metode atau cara dan bahan yang mungkin telah umum dikenal atau belurn dikenal sama sekali di kalangan peternak, mungkin saja metode atau bahan baru itu hanya modifikasi dari yang telah ada atau penemuan yang benar-benar baru. Semua peternak pasti akan mempunyai cara atau teknik kerja yang berbeda pada masing-masing daerah tergantung kondisi setempat. Sebagai gambaran bahwa sejauhmana penggunaan dan penerapan teknologi pada empat Distrik, yakni Distrik Kemtuk, Distrik Kemtuk, Distrik Kemtuk Gresi dan Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Penggunaan Teknologi oleh Sampel dalam Pengembangan Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura. Penggunaa n Teknologi Distrik Total Kemtuk Gresi Kemtuk Nimboran Nimbokran g n=2 5 n=3 n=3 n=2 5 n=11 Menggunaka n Teknologi 6 24 8 26,6 7 9 30 11 44 34 30,9 1 Tidak Menggunaka n Teknologi 19 76 22 73,3 3 21 70 14 56 76 69,0 9 Total 25 10 30 100 30 10 25 100 110 100 Pada Tabel 39 memperlihatkan bahwa peternak yang menggunakan teknologi dalam pengembangan ternak sapi potong dan menempati proporsi terbesar berada di Distrik Nimbokrang dengan persentasi sebesar 44 persen, berikut Distrik Nimboran sebesar 30 persen, Distrik Kemtuk sebesar 26,67 persen dan Distrik Kemtuk Gresi sebesar 24 persen. Ini menunjukkan bahwa tingkat penggunaan teknologi oleh peternak sapi potong pada tiap Distrik di Kabupaten Jayapura rendah, dan mengindikasikan bahwa peternak dalam mengelola usahanya sebagian besar masih bersifat tradisional. Teknologi yang diterapkan oleh beberapa peternak, seperti di Distrik Nimbokrang adalah melakukan kawin suntik antara sapi sumental dan sapi bali. Penggunaan teknologi Inseminasi Buatan IB pernah dilakukan bersama antara peternak dengan petugas peternakan, namun pelaksanaannya sudah tidak lagi dilakukan sekarang, hal ini disebabkan keterbatasan fasilitas, peralatan dan keterbatasan tenaga teknis. Tidak ada fasilitas penunjang seperti laboratorim kesehatan hewan merupakan salab satu penyebab utama, terbatasnya peralatan yang digunakan dalam proses pelaksanaan IB, dan masih terbatasnya tenaga teknis. Pelaksanaan pengebirian atau kastrasi juga dilakukan oleh peternak, tujuannya adalah agar daging yang dihasilkan ternak jantan berkualitas baik, ternak menjadi tenang dan jinak sehingga mudah ditangani, dan diharapkan pertumbuhannya lebih cepat. Perlakuan biasanya dilakukan oleh peternak dan didampingi petugas. Di Distrik Nimbokrang dan Kemtuk beberapa peternak yang menggunakan kandang, disiapkan juga kandang jepit, yakni alat bantu untuk memudahkan proses perkawinan. Pembuatan silase juga dilakukan oleh peternak, namun perlakuannya sederhana termasuk penggunaan peralatan dan bahan pembuat silase. 5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan di Kabupaten Jayapura Penilaian keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura dilakukan dengan menggunakan metode multi dimensional scaling MDS. Metode ini disebut Rapid Apprasial Pengembangan Agropolitan Berbasis Sapi Potong di Kabupaten Jayapura Rap-BANGSAPO yang merupakan modifikasi dari Rapfish yang selama ini digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil analisis keberlanjutan dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan ikb-BANGSAPO, dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan pada wilayah yang sedang diteliti berdasarkan kondisi eksisting. Nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring setiap atribut pada masing-masing dimensi, yang merupakan hasil dari pendapat pakar. Nilai skoring indeks keberlanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0 – 100 dengan kriteria tidak berkelanjutan buruk jika nilai indeks terletak antara 0 – 24,99 , kurang berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 25 – 49,99 , cukup berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 50 – 74,99 dan berkelanjutan baik jika nilai indeks terletak antara 75 – 100 . Pada penelitian pengembangan kawasan agropolitas berbasis sapi potong di Kabupaten Jayapura dilakukan analisis lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, dan kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap- BANGSAPO diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 48,5 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,2 dengan status cukup berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 40,5 dengan status kurang berkelanjutan, dimensi kelembagaan sebesar 49,3 dengan status kurang berkelanjutan, dan dimensi sosial sebesar 67 dengan status cukup berkelanjutan. Dimensi yang memiliki indeks keberlanjutan tergolong kurang berkelanjutan adalah dimensi ekologi, teknologi, dan kelembagaan karena memiliki skor indeks keberlanjutan 50. Hal ini menunjukkan bahwa faktor- faktor dari ketiga dimensi tersebut belum mendapat perhatian yang optimal dalam kegiatan pengembangan ternak selama ini. Dengan demikian, di masa mendatang dimensi ini perlu mendapat perhatian. Dimensi ekonomi, dan sosial dan budaya tergolong cukup berkelanjutan. Ek ologi Ke le m ba ga a n 60.0 40.0 Te k n ologi Ek on om i Sosia l 20.0 100.0 80.0 6 7 .0 4 8 .5 5 3 .2 4 9 .3 4 0 .5 Gambar 28. Status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berbasis agribisnis peternakan sapi potong Parameter statistik digunakan untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di Kabupaten Jayapura adalah nilai stress dan koefisien determinasi r 2 . Kedua parameter ini untuk setiap dimensi berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut, sehingga dapat mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai stress dan r 2 hasil MDS tertera pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil analisis Rap-BANGSAPO untuk nilai stress dan koefisien determinasi r 2 . Nilai Statistik Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Kelembagaan Stress 0.12 0.13 0.15 0.13 0.13 r 2 0.95 0.94 0.93 0.95 0.95 Jumlah iterasi 2 3 3 2 2 Berdasarkan Tabel 40 setiap dimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari 0,25. Nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai kurang dari 25 Kavanagh, 2001. Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Nilai koefisien determinasi r2 semakin baik jika nilainya semakin besar mendekati 1. Kedua parameter menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan di Kabupaten Jayapura sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi status keberlanjutan yang dianalisis. Pengujian tingkat kepercayaan nilai indeks masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo sangat membantu dalam analisis keberlanjutan kegiatan, untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut, yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh stakedholder yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukan data, dan nilai stress yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo yang dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 41, dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan Kabupaten Jayapura pada selang kepercayaan 95