Sebaran Luas Lahan Menurut Fungsinya

rumah tangga asal Papua. Sagu merupakan sumber cadangan makanan yang memberikan rasa aman bagi penduduk lokal untuk jangka panjang. Sagu juga merupakan warisan orangtua kepada generasi berikutnya. Hal ini menandaskan bahwa keberadaan tanaman sagu di wilayah studi tidak dapat digantikan dengan tanaman lain. Tanaman lain yang juga diusahakan penduduk adalah ubi-ubian. Beberapa jenis ubi-ubian yang diusahakan rumah tangga asal Papua adalah keladi, bete, ubi dan singkong. Umumnya ubi-ubian diusahakan untuk keperluan konsumsi keluarga. Namun jika diperlukan maka ubi-ubian dapat pula dijual untuk mendapatkan cash. Sayuran yang umumnya diusahakan penduduk lokal adalah kangkung, gedi, bayam dan sayur lilin. Kangkung yang diusahakan adalah kangkung cabut. Kangkung ini umumnya diusahakan untuk dipasarkan. Gedi dan sayur lilin merupakan sayuran pelengkap hidangan dari sagu oleh karenanya pengusahaan sayuran-sayuran ini umumnya untuk kepentingan konsumsi keluarga. Jenis tanaman lain yang diusahakan rumah tangga asal Papua adalah pisang. Pisang merupakan tanaman unggulan penghasil cash setelah tanaman kakao dan sagu. Jenis pisang yang umumnya diusahakan penduduk adalah pisang barangan yang telah memiliki pasar tersendiri. Selain monokultur, penduduk lokal umumnya menggunakan tanaman pisang sebagai tanaman naungan kakao.

4.4.3. Pemasaran

Pemasaran produk hasil usatani penduduk di wilayah studi umumnya dilakukan secara individu. Pengelompokan dilakukan hanya untuk mengatasi biaya transportasi. Umumnya sebanyak 5 – 6 orang penduduk berkelompok menggunakan satu kendaraan ke pasar kabupaten. Terdapat 4 mata rantai tata niaga produk usahatani penduduk di wilayah studi. Secara rinci mata rantai tata niaga produk usahatani penduduk wilayah studi digambarkan sebagai berikut: Penduduk wilayah studi umumnya telah memanfaatkan fasilitas pasar yang ada di pusat-pusat kota Kabupaten Jayapura. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai telah memungkinkan sebagian besar penduduk wilayah studi dapat menjual secara langsung hasil usahataninya ke konsumen akhir di Pasar Hamadi, Pasar Sentani, Pasar Abepura, dan Pasar Genyem. Namun demikian untuk beberapa daerah di wilayah studi terutama daerah yang terletak di antara Genyem- Kemtuk Gresi dan Jayapura seperti Kampung Mamda, Kampung Bonggrang, Kampung Meikari, dan Kampung Sabron Samon kelangkaan sarana transportasi mengakibatkan hasil kebun penduduk tidak dapat mencapai pasar dalam waktu yang tepat. Gambar 23. Tata niaga pemasaran produk usahatani penduduk di wilayah penelitian Umumnya angkutan pedesaan telah penuh dengan muatan pada terminal awal. Hal ini mengakibatkan penduduk di antara terminal awal Genyem-Kemtuk Gresi dan Jayapura tidak dapat menggunakan angkutan pedesaan pada waktu yang diinginkan. Kenyataan ini mengakibatkan penduduk tidak dapat melakukan aktivitas perdagangannya dengan baik. Waktu untuk berdagang menjadi sangat sempit sehingga barang dagangan umumnya dijual secara borongan dengan nilai yang rendah jika tidak dilakukan maka dagangan akan menjadi rusak dan tak bernilai. Permasalahan lain yang dihadapi penduduk di wilayah studi adalah jarak ke pasar kabupaten yang jauh. Penduduk umumnya menjual hasil usahanya ke pasar kabupaten secara individu dan mengingat jarak yang jauh maka umumnya penduduk wilayah studi yang akan berjualan ke pasar kabupaten sudah mulai melakukan perjalanan dari wilayah studi ke pasar kabupaten Pasar Hamadi, Pasar Sentani dan Pasar Abepura pada jam satu atau dua subuh. Dengan demikian mereka akan punya cukup waktu untuk berjualan yaitu mulai dari jam 5 pagi hingga 5 sore. Kenyataan ini mengakibatkan beberapa permasalahan, yaitu 1 perhatian orangtua terutama ibu terhadap anak menjadi berkurang karena harus melakukan aktivitas dagang di pasar kabupaten seharian penuh, 2 barang dagangan dari wilayah studi umumnya seragam sehingga harga jual dapat ditekan oleh pedagang pengumpul tingkat kabupaten, dan 3 umumnya barang dagangan dilelang menjelang sore hari. Hal ini kurang menguntungkan penduduk wilayah studi yang berjualan ke pasar kabupaten karena tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal. Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Kabupaten Konsumen Akhir Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Kampung Pedagang Pengumpul Tingkat Kabupaten Penampung Kabupaten Petani Konsumen Akhir Petani Pedagang Pengumpul Tingkat Kampung Penampung Kabupaten Permasalahan lain yang dihadapi oleh penduduk wilayah studi terutama dari Distrik Kemtuk adalah tidak lancarnya transportasi karena terputusnya jembatan- jembatan di Wilayah Kemtuk. Pada saat penelitian lapang berlangsung terdapat dua jembatan yang menghubungkan Kampung Sabron Samon dan Sabeyab terputus. Demikian pula jembatan yang menghubungkan Kampung Sawoi dan Kampung Sabeyab, juga jembatan yang menghubungkan Puai dan Distrik Kemtuk. Hal ini mengakibatkan penduduk wilayah studi yang hendak berjualan harus mengeluarkan biaya transportasi ekstra untuk mengangkut barang dagangan ke titik yang dapat dijangkau oleh transportasi umum. Khusus untuk komoditi pisang dan biji kakao, penduduk telah memanfaatkan jasa pedagang pengumpul tingkat desa. Jasa pedagang pengumpul tingkat desa untuk komoditas pisang belum banyak menarik perhatian penduduk di wilayah studi mengingat harga beli pedagang pengumpul yang rendah. Penduduk wilayah studi baru tertarik untuk menjual pisang muda ke pedagang pengumpul tingkat desa. Pisang yang sudah masak umumnya dijual langsung oleh petani ke konsumen akhir. Lain halnya dengan komoditas kakao, sebagian besar penduduk wilayah studi menjual hasilnya ke pedagang pengumpul tingkat desa dalam bentuk biji basah dengan harga Rp 2.000 per kg. Di wilayah studi baru terdapat dua orang pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual biji kakao kering langsung ke pengumpul biji kakao kering di kabupaten dengan harga Rp 15.000 per kg. Pedagang pengumpul tingkat desa lainnya menjual biji kakao kering ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten yang langsung membeli di wilayah studi dengan harga bervariasi dari Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per kg. Masih sedikitnya pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual biji kakao kering ke pengumpul kabupaten umumnya karena terbatasnya modal yang dimiliki.

4.5. Keadaan Sosial Budaya

4.5.1. Struktur sosial

Masyarakat yang berdomisili di wilayah penelitian berasal dari satu rumpun besar Masyarakat Mamberamo Tami Mamta yang terdiri dari 4 empat rumpun kelompok masyarakat yaitu 1 Rumpun Baiwase, 2 Rumpun Banibaiwase, 3 Rumpun Irapbaiwase, dan 4 Rumpun Bayuwase. Rumpun-rumpun masyarakat ini tersebar dalam suatu wilayah yang pada masa pemerintahan Belanda dikenal sebagai wilayah under Afdeling Nimboran. Wilayah ini tersebar pada wilayah Kecamatan Unurumguay, Kecamatan Kaureh, Kecamatan Demta, Kecamatan NimboranKemtuk, dan Kecamatan Sentani Barat. Salah satu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah Under Afdeling Nimboran adalah masyarakat NimboranKemtuk Gresi yang biasanya dikenal sebagai orang Genyem yang berdiam di 4 empat distrik wilayah penelitian. Masyarakat NimboranKemtuk Gresi terdiri dari beberapa kelompok margafam yang terikat dalam satu hubungan kekerabatan, dimana setiap margafam merupakan kumpulan keluarga-keluarga dengan penamaan margafam yang sama. Margafam itu di wilayah penelitian seperti margafam Tegai, Tarko, maupun Demongkrang. Kedudukan margafam di dalam sistem masyarakat adalah sederajat dimana aksesibilitas setiap kelompok margafam dalam belbagai proses pembangunan memiliki peluang yang sama. Struktur sosial masyarakat NimboranKemtuk Gresi bersifat terbuka, artinya bahwa kedudukan margafam adalah sederajat tanpa membedakan tinggi rendahnya kelompok tertentu. Disamping itu sistem perkawinan bersifat perkawinan campuran yaitu perkawinan dapat terjadi antar anggota-anggota dari satu margafam dengan marga lainnya. Adanya struktur sosial terbuka dan sistem perkawinan campur yang dianut menciptakan terbentuknya margafam-margafam yang cukup banyak tersebar di wilayah penelitian. Satu kelompok margafam biasanya akan mencari suatu wilayah tertentu untuk dihuni secara bersama-sama dimana margafam yang pertama kali datang di wilayah tersebut dianggap sebagai kelompok masyarakat asli dan dikukuhkan sebagai pemilik lahantanah yang syah, dan kepemilikan lahan yang dikuasai didasarkan atas kepemilikan komunal masing-masing keluarga dari margafam tersebut. Pengaturan pengelolaan dan pembagian tanah setiap keluarga akan dilakukan dengan membagi luasan lahan milik keluarga secara merata kepada semua anggota keluarga laki-laki baik yang belum menikah maupun sudah menikah. Dengan demikian setiap anak laki- laki akan memiliki bagian hak atas tanah masing-masing. Kepemilikan lahantanah adat menjadi hak milik laki-laki sedangkan perempuan tidak memiliki hak tersebut, namun hanya sebatas hak pakai. Adapun alasan hak pakai untuk perempuan dikarenakan apabila perempuan menikah maka ia akan meninggalkan margafamnya dan akan mengikuti margafam laki-laki, demikian pula anak-anak hasil perkawinan akan mengikuti garis keturunan laki-laki patrilinial. Dengan demikian untuk menjaga agar luasan lahan yang dimiliki suatu margafam tidak dialihkan kepada orang lain diluar margafam maka hak perempuan hanya sebatas hak pakai. Hak pakai perempuan atas tanah dapat berubah menjadi hak milik apabila semua keturunan dari suatu margafam berjenis kelamin perempuan dan apabila perempuan tersebut telah menikah dengan laki-laki margafam lain, maka anak cucu hasil perkawinan tersebut yang berjenis kelamin laki-laki dapat memiliki hak milik atas tanah yang berada di keluarga perempuan pihak istri. Adanya perkembangan pembangunan di mana banyak memerlukan penggunaan-penggunaan lahan maka pengalihan hak tanah dapat diwujudkan dalam 2 dua bentuk, yaitu pengalihan tanah dengan cara membeli atau menganti rugi kepada pemilik lahan, dan cara kontrak lahan dalam kurun waktu tertentu. Pengalihan hak lahan dalam bentuk pembelihan tanah biasanya diperuntukkan untuk pemanfaatan lahan untuk kepentingan umum masyarakat seperti pembangunan-pembangunan sarana prasarana antara lain gereja, dan jalan raya. Pengalihan hak lahan untuk kepentingan suatu kelompok atau individu lebih banyak bersifat kontrakan tanah dalam suatu kurun waktu tertentu dan akan dikembalikan kepada pemiliknya setelah dikontrak. Pengalihan lahan dengan cara membeli pada saat ini banyak mendatangkan masalah dengan adanya pemalangan tanah pada areal sarana prasarana umum. Adanya pemalangan ini dikarenakan belum tuntasnya ganti rugi tanah-tanah adat kepada pemilik-pemilik yang sah, dimana kepemilikan tanah adat ini biasanya tidak disertai dengan sertifikat tanah yang sah yang dapat menunjukkan kepemilikan tanah tersebut. Tidak adanya sertifikat tanah ini, menimbulkan permasalahan dalam menetapkan siapa yang berhak atas tanah-tanah yang telah dibangun sarana prasarana umum tersebut, sehingga beberapa anggota masyarakat secara individual mengaku mengklaim kepemilikan tanah tersebut.

4.5.2. Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan kontak antara individu dengan individu lainnya maupun individu dengan suatu kelompok. Masyarakat di wilayah penelitian melakukan interaksi sosial dengan sasaran di dalam sistem masyarakat, dan dengan sasaran di luar sistem masyarakat tersebut. Wujud interaksi sosial yang nampak di wilayah penelitian dapat dikelompokkan dalam tiga bidang interaksi sosial. Pertama, interaksi budaya, menyangkut persoalan mas kawin. Kedua, interaksi sosial, menyangkut kegiatan gotong royong dalam pembukaan dan pemanenan hasil. Ketiga, interaksi ekonomi, menyangkut kegiatan transaksi antara petani dengan para pedagang. Interaksi budaya yang terjadi dinampakkan dengan adanya kerjasama antara keluarga-keluarga dalam satu margafam untuk menanggung bersama besar dan jumlah mas kawin yang ditetapkan keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Di dalam pertemuan tersebut, keluarga-keluarga yang tergabung dalam satu margafam dan anak laki-lakinya akan menikah bersama-sama akan mendiskusikan