perlu diarahkan menjaadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait
dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakanpetani maju, tokoh, masyarakat, dll, 5 percobaanpengkajian teknologi
agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan, 6 jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan
daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian agribisnis yang lebih efisien. Memilki sarana dan prasarana umum
yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan socialmasyarakat
yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan dan lain-lain. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian
sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota terjamin. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sarana dan prasarana
agribisnis ini masih jauh dari harapan atau dengan kata lain kurang memadai. Untuk itu, di masa yang akan datang perlu ada perhatian yang serius bagi semua
stakeholder sehingga pengembangan pertanian dan peternakan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani ternak di
pedesaan.
5.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena 50. Dengan demikian pembangunan dimensi
kelembagaan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Jayapura perlu memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit yang bertujuan untuk
mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan kelembagaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat petani ternak. Terdapat sembilan atribut
kelembagaan yang menentukan keberlanjutan yaitu: 1 ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian BPP, 2 ketersediaan lembaga keuangan bankkredit, 3
kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan, 4 koperasi peternak, 5 kemitraan dengan lembaga adat, 6 sinkronisasi kebijakan pusat
dan daerah, 7 partisipasi pengusaha swasta dalam usaha peternakan, 8 kemitraan dengan pemerintah, 9 kemitraan dengan kelompok tani. Empat
diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS 1,5. Atribut kelembagaan yang merupakan faktor pengungkit adalah 1 ketersediaan
lembaga keuangan bankkredit, 2 sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, 3 ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian BPP, 4 kemitraan dengan lembaga
adat. Secara visual disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36. Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit
keberlanjutan pengembangan ternak
Ketersediaan lembaga keuangan bankkredit
Sampai saat ini banyak kalangan menilai bahwa sektor pertanian memiliki banyak permasalahan, namun disisi lain, sektor pertanian sebagaimana
diketahui memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia diantaranya sebagai penghasil devisa, sektor yang terbesar menyerap tenaga
kerja sekitar 73 dari angkatan kerja nasional dan menampung 90 usaha kecil menengah. Sektor pertanian merupakan salah satu dari care business di
Kabupaten Jayapura dan merupakan salah satu pilar penyokong pertumbuhan
perekonomian daerah. Selain itu, terbukti sektor ini masih dapat bertahan dimasa krisis, dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi ketahanan
pangan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Jayapura. Berlakunya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan provinsi dan kabupaten kota
menimbulkan perubahan yang fundamental dalam keseluruhan sistem kewenangan pemerintahan termasuk dalam proses pelayanan yang
berhubungan dengan penanaman modal. Disamping itu, persaingan dalam menarik investasi di dalam negeri cenderung meningkat semakin tajam pada
berbagai sektor terutama sektor Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN dan Penanaman Modal Asing PMA, sektor pertanian terutama pada pertanian
rakyat ternyata sulit sekali ditemukan investor menanamkan modalnya pada sektor ini sehingga sangat sulit menempatkan pertanian sebagai sektor ekonomi
yang dapat berdiri sendiri, dimana berdasarkan cakupan pelaku maupun keterkaitan antar kelembagaan akan berkaitan dengan kebijakan moneter,
infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia serta kebijakan perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Secara umum kelembagaan
keuangan menjalankan fungsi pembiayaan di Indonesia meliputi Bank Usaha Milik Negara BUMN, bank swasta nasional, bank asing, Bank Pembangunan
Daerah BPD, Bank Perkreditan Rakyat BPR, dan lembaga keuangan non bank. Namun, banyaknya lembaga keuangan tersebut yang serius dan konsisten
dalam pembiayaan sektor pertanian masih sangat terbatas.
Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
Agenda pembangunan daerah Kabupaten Jayapura merupakan satu kesatuan dalam mendukung agenda pembangunan nasional dan provinsi.
Sinergitas dan konsistensi kebijakan pembangunan menjadi hal yang mendasar untuk dapat dilaksanakan dalam setiap tahapan proses kebijakan pembangunan
di daerah. Keterpaduan dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan tahun 2011 antara Pemerintah Kabupaten Jayapura dengan
Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Pusat nampak dari isu strategis dan masalah mendesak dan prioritas program dan kegiatan yang menunjang guna
mengatasi hal dimaksud. Keterpaduan dan sinkronisasi dilakukan melalui upaya penyamaan presepsi terhadap tantangan, prioritas dan langkah kebijakan
pembangunan sehingga secara simultan tercapai tujuan pembangunan nasional
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Keterpaduan dan Sinkronisasi kebijakan program kegiatan terutama yang terkait dengan penurunan angka kemiskinan pro poor ; penurunan tingkat
pengangguran pro job dan peningkatan pertumbuhan ekonomi pro growth dengan tetap memperhatikan kebijakan Millenium Development Goals MDGs
dan keadilan untuk semua justice for all merupakan tantangan yang membutuhkan penyatuan persepsi dalam penyusunan program kegiatan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 mengisyaratkan adanya tantangan
utama pembangunan yang harus dihadapi dan diatasi pada tahun 2011, yaitu : a Penciptaan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang mampu
menciptakan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan; b Pembangunan tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pengeluaran
pemerintah; c Peningkatan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan atas realisasi pembangunan 2009 dan perkiraan capaian
tahun 2010 serta tantangan yang dihadapi pada tahun 2011 maka terdapat 11 sebelas prioritas kebijakan pembangunan nasional tahun 2011 dan tiga
prioritas lainnya. Adapun 11 prioritas dimaksud adalah: 1 Pemantapan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan; 2Peningkatan akses dan
kualitas pendidikan; 3 Perbaikan akses dan mutu Kesehatan; 4Penanggulangan Kemiskinan; 5 Peningkatan Ketahanan Pangan;
6Peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur; 7 Perbaikan iklim investasi dan iklim usaha; 8 Peningkatan sumber daya energi; 9 Peningkatan kualitas
lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; 10 Penanganan daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca – konflik; 11 Pengembangan kebudayaan,
kreativitas dan inovasi teknologi. Sedangkan 3 prioritas lainnya adalah 1. Bidang Politik hukum dan keamanan ; 2. Bidang Perekonomian ; dan 3 Bidang
Kesejahteraan Rakyat.
Ketersediaan badan penyuluh pertanian BPP
Sektor pertanian di masa mendatang diharapkan masih memegang peran strategis sebagai penghela pembangunan ekonomi nasional, karena
kontribusinya yang nyata bagi 230 juta penduduk Indonesia, penyedia bahan baku industri, peningkatan Produk Domestik Bruto PDB, penghasil devisa
negara melalui ekspor, penyedia lapangan pekerjaan, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan peran sektor pertanian sebagai
penghela pembangunan nasional, Kementerian Pertanian pada periode 2010 - 2014 telah menetapkan visi pembanguan pertanian, yaitu “Terwujudnya
pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan
kesejahteraan petani”. Target utama penetapan visi pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan empat sukses pembangunan pertanian, yaitu: 1
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, 2 peningkatan diversifikasi pangan, 3 peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan 4
peningkatan kesejahteraan petani. Dalam rangka mewujudkan empat sukses pembanguan pertanian tersebut, diperlukan sumber daya manusia pertanian
yang profesional, kreatif, inovatif, dan berwawasan global. Untuk itu, penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan
sertifikasi SDM pertanian perlu terus dikembangkan dan dimantapkan untuk menyiapkan aparatur yang kompeten, visioner, serta memahami peran dan
fungsinya dalam pembangunan pertanian. Di samping itu, kegiatan penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan
sertifikasi SDM pertanian juga ditujukan untuk: 1 memperkuat kelembagaan petani, 2 memberdayakan usaha petani, dan 3 mewujudkan pelaku utama
pembangunan pertanian yang mandiri, berjiwa wirausaha, berdaya saing, dan berwawasan global. Hal ini dimaksudkan agar pelaku utama pembangunan
pertanian mampu bersaing, baik di pasar regional maupun di pasar global.
Kemitraan dengan lembaga adat
Sebagai kelanjutan dari perjalanan reformasi ditanah air telah melahirkan
tuntutan masyarakat adat dalam rangka memperoleh hak-haknya untuk memiliki suatu sistem sosial tersendiri. Pada periode sebelumnya hak-hak masyarakat
adat telah dirampas oleh rezim Orde Baru. Salah satu akibatnya adalah lahirnya
proses marginalisasi di segala bidang. Marginalisasi yang dilakukan Negara terhadap masyarakat adat antara lain: 1 dengan lahirnya UU no. 5 tahun 1979
tentang pemerintahan desa, maka masyarakat adat tidak lagi memiliki suatu pemerintahan lokal yang otonom yang menjalankan fungsinya sesuai dengan
kepentingan politik dan ekspresi sosial kulturalnya. Pemerintahan desa yang diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 1979 menggantikan pemerintahan adat
seperti nagari, pasirahan, ketemukungan, dan berfungsi sebagai kepanjangan
tangan dari pemerintahan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. 2 lembaga adat yang melayani kepentingan komunitasnya kemudian dikebiri dengan
dijadikan sebagai bagian dari organisasi state corporatisme. Oleh karenanya di tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan di luar Jawa muncul apa yang
disebut Lembaga Masyarakat Adat, suatu organisasi buatan pemerintah yang visi, misi, dan struktur organisasinya tidak selaras dengan konsepsi lembaga
adat asli, kalaupun lembaga adat asli masih dibiarkan hidup tetapi fungsinya dibatasi pada hal-hal yang tidak mengurangi hegemoni negara atas masyarakat
asli misalnya mempertahankan berlakunya hukum adat secara terbatas karena masyarakat masih mempertahankannya, 4 masyarakat adat menjadi semakin
terasing dengan dunia politik di lingkungannya dan tidak mempunyai suatu kepemimpinan lokal yang sejalan dengan worldviewnya. Akibatnya, masyarakat
adat menjadi tidak mempunyai bargaining power dalam menghadapi kekuatan dari luar baik yang merepresentasikan negara maupun pasar. Masyarakat adat
menjadi terpuruk ekonominya dan semakin ketinggalan terhadap arus kemajuan jaman yang dibawakan oleh rezim Orde.
Perjuangan masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya selalu menghadapi hambatan dan ancaman serta tantangan ke depan yang tidak
mudah diatasi. Salah satu hambatan adalah melemahnya modal sosial social capital kepempinan dan kebersamaan yang mereka miliki untuk mewujudkan
suatu kekuatan bersama dalam mengembangkan komunitasnya, dan rendahnya kemampuan untuk mengelola organisasi adat. Disisi lain mereka dituntut untuk
mampu berhadapan dengan berbagai stakeholder seperti lembaga legislatif, eksekutif, press, dan sektor swasta yang mempunyai kepentingan berlainan dan
dapat menghambat proses revitalisasi masyarakat adat ke depan. Tidak ketinggalan masyarakat adat pun ke depan dituntut untuk mempunyai kepedulian
dengan agenda nasional dan global terhadap semangat demokrasi, HAM dan pluralisme dan keselarasan antara gerakan lokalisme dengan globalisme.
Perjuangan yang berat dari masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya tidak mungkin dibiarkan berjalan sendiri tanpa kepedulian dari
berbagai elemen masyarakat sipil lainnya . Beberapa agenda penting yang bisa jadi acuan antara lain: 1 menguatkan kapasitas lembaga-lembaga adat
sehingga bisa dikelola secara mandiri dan berkelanjutan, 2 Pelembagaan demokrasi masyarakat adat dengan kepemimpinan yang demokratis, dan bisa
diterima oleh komunitas dan masyarakat, 3 membangun akses organisasi dan
masyarakat adat untuk menggunakan hak ulayat, sumberdaya ekonomi lokal dan kerjasama dengan pemerintah. Mengawal proses perubahan sosial pada
organisasi masyarakat adat maupun pada diri kelompok dengan bekerja sama dengan stakeholder masyarakat adat itu sendiri. Beberapa strategi yang bisa
ditempuh antar lain: Pengembangan wacana, pendekatan ini diperlukan untuk menghasilkan suatu kesadaran kritis mengenai pentingnya pemberdayaan
masyarakat adat dari berbagai perspektif. Pengembangan Partisipasi, dengan melibatkan masyarakat adat secara langsung dalam proses untuk memperoleh
hak-haknya. Pengembangan jaringan kerja, untuk membangun semangat visi gerakan bersama. dan kerja sama masyarakat adat. Proses pemberdayaan
masyarakat adat, akan menyisakan berbagai tantangan yang multidimensional. Peran kebijakan pemerintah tentulah diperlukan untuk mempercepat komunitas
ini lebih mandiri dan siap menyongsong perubahan sosial yang semakin memperkuat modal sosial karena konsep pembangunan adalah untuk
memperbaiki kehidupan mayoritas manusia, melalui program-program pengurangan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup, pembangunan
kesehatan dan pembangunan masyarakat berbasis komunitas. Dengan demikian hanya rakyat sendiri yang dapat menentukan apa sebenarnya yang mereka
anggap sebagai perbaikan dalam kualitas hidup mereka. Jadi, partisipasi Lembaga Masyarakat Adat sebagai wadah pemusyawaran dan Partisipasi
Masyarakat Adat asli orang Papua dalam pembangunan di Kabupaten Jayapura adalah sesuatu hal yang perlu dan penting, bukan hal yang mengada-ngada dan
dibuat-buat. Berdasarkan hasil analisis MDS dan pembahasannya, diperoleh 19 faktor
pengungkit kegiatan pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura secara berkelanjutan. Sembilan belas faktor tersebut tertera
pada Tabel 46. Dalam proses pengelolaan lingkungan, semua faktor ini harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha agribisnis
peternakan. Secara operasional, faktor-faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong secara berkelanjutan. Namun demikian, dalam proses implementasinya
diperlukan pemilihan faktor yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi sehingga kegiatan usaha agribisnis