5.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong cukup berkelanjutan karena masih lebih kecil dari nilai 75,0. Dengan demikian
pembangunan dimensi ekonomi di Kabupaten Jayapura dalam pengembangan sapi potong harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan
faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan dimensi
ekonomi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu 1 trend harga ternak dan hasil ternak, 2 kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto PDRB dan
Pendapatan Asli Daerah PAD, 3 pendapatan dari usaha non tani 4 konstribusi terhadap total pendapatan keluarga, 5 rata-rata penghasilan
peternak antar skala usaha, 6 rata-rata pendapatan peternak terhadap Upah Minimum Regional UMR, 7 transfer keuntungan, 8 besarnya pangsa pasar,
9 kelayakan finansial, 10 keuntunganprofit, 11 ketersediaan industri pakan ternak, 12 ketersediaan agroindustri peternakan, 13 Dukungan anggaran
APBD subsektor peternakan. Berdasarkan nilai RMS 2, lima diantaranya merupakan faktor pengungkit. Adapun atribut ekonomi yang merupakan faktor
pengungkit adalah :
Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga.
Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga dari usaha ternak relatif masih rendah, sehingga perlu adanya dorongan untuk lebih mengembangkan
usaha ternaknya agar dapat menjadi salah satu cabang usaha tani dan bukan merupakan usaha sambilan. Pendapat ini sama dengan Rahardi dan Hartono
2003 yang mengatakan bahwa usaha peternakan dapat dikelola secara sambilan. Artinya, bagi masyarakat yang memiliki pekerjaan lain, tujuan usaha
adalah membantu pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha ternak sambilan ini di bawah 30 persen dari total
pendapatan. Usaha peternakan dapat dijadikan sebagai salah satu cabang usaha lain. Tujuan usaha ternak sebagai cabang usaha tidak hanya sekedar
membantu pendapatan, tetapi sudah berperan sebagai salah satu sumber pendapatan. Tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai
cabang usaha sekitar 30-70 persen. Usaha ternak yang dijadikan sebagai usaha pokok, usaha ternak ini sudah menjadi sumber pendapatan, Tingkat Pendapatan
yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar antara 70-
100 persen, sedangkan untuk industri peternakan pendapatan yang diperoleh 100 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi usaha peternakan
terhadap pendapatan petani-peternak di Kabupaten Jayapura adalah sebesar 28,3 persen. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa tipe usaha peternakan
di Kabupaten Jayapura saat ini merupakan usaha sambilan, sehingga salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan skala usaha dimana
dapat memberikan efisiensi secara ekonomis dan mampu memberikan pendapatan yang lebih besar bagi keluarga.
Besarnya pangsa pasar.
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pendapatan yang terus meningkat, kebutuhan terhadap protein hewani juga akan meningkat, namun
permintaan daging sapi terus meningkat tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan lokal daerah sehingga banyak pengusaha yang mendatangkan
daging sapi dari luar papua. Konsumsi daging masyarakat Kabupaten Jayapura per kapita per tahun menunjukan peningkatan, jika pada tahun 2006 sebesar
1.982,12 ton maka pada tahun 2007 menjadi 2.501,88 ton BPS Prov. Papua, 2006. Hal ini memberikan indikasi bahwa permintaan terhadap produk
peternakan berupa daging semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat Kabupaten Jayapura.
Kontribusi terhadap PDRB dan PAD.
Laju pertumbuhan ekonomi dan distribusi PDRB Kabupaten Jayapura per sektor dari sisi lapangan usaha sektoral tahun 2005 bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, yaitu kenaikan pertumbuhan ekonomi pada sektor pertambangan dan penggalian,
sektor industri pengolahan, dan sektor jasa-jasa. Sebaliknya sektor pertanian, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perbankan mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Jayapura berkisar antara 6,5 – 7,8 per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 7,84 dan terendah pada tahun 2002
sebesar 6,51. Berdasarkan distribusinya, sektor pertanian Kabupaten Jayapura memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB, yaitu antara 39,90 - 45 dari
keseluruhan kontributor perekonomian. Angka ini disusul sektor pengangkutan dan komunikasi dalam urutan kedua sebesar 10,21 - 14,14, sektor jasa
diurutan ketiga sebesar 13 - 14, dan urutan keempat adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10 - 12.
Tabel 42. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Jayapura Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2005
No SEKTOR
2001 2002
2003 2004
2005
1. Pertanian 14,22 7,86 3,66 2,79 3,36
2. Pertambangan Penggalian
4 7,67
7,89 9,21
10,86 3. Industri
Pengolahan 2,07 1,01 0,80 4,04 4,64
4. Listrik dan Air Bersih
3,13 3,60
6,07 8,95
9,21 5. Bangunan
5,27 6,20 6,52 10,11 13,67 6.
Perdagangan, Hotel Restoran 6,24
2,85 15,33
14,37 10,99
7. Pengangkutan dan
Komunikasi 7,76 6,08 18,12 22,21 19,62
8. Keuangan, Persewaan Jasa
Perusahaan 50,29
6,45 4,03
10,84 4,66
9. Jasa-Jasa 8,63 10,02 8,15 6,91 7,37
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura Tahun 2006
Pemerintah daerah Kabupaten Jayapura telah membuat program- program pengembangan peternakan. Namun dalam pelaksanaannya belum
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi petani peternak sapi potong. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena belum
dikajinya seluruh potensi daerah untuk membuat program atau kebijakan. Selain itu dalam pengalokasian anggaran untuk suatu program, pemerintah daerah
cenderung memperhitungkan seberapa besar kemampuan program tersebut menghasilkan Pendapatan Asli Daerah PAD, tanpa melihat pengaruh terhadap
perkembangan kesejahteraan masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun anggaran untuk pengembangan peternakan yang disediakan oleh pemerintah
daerah masih sangat jauh dari harapan. Tabel 43. Distribusi PDRB Di Kabupaten Jayapura Tahun 2001 – 2005
No SEKTOR
2001 2002
2003 2004
2005
1. Pertanian
44.40
44,97 41,63 41,63 39,90 2. Pertambangan
Penggalian
2.00
2,03 2,04 2,07 2,13 3. Industri
Pengolahan
11,45
10,86 10,24 9,90 9,60
4. Listrik dan Air Bersih
0,27
0,27
0,26 0,27
0,27
5. Bangunan
6,35
6,33 6,31 6,45 6,80 6.
Perdagangan, Hotel Restoran
10,43
10,07 10,87 11,55 11,88 7.
Pengangkutan dan Komunikasi
10,21
10,17 11,24 12,75 14,14 8.
Keuangan, Persewaan Jasa Perusahaan
1,78
1,78 1,73
1,78 1,73
9. Jasa-Jasa
13.10
13,53 13,69 13,60 13,54
Perubahan APBD subsektor peternakan.
Perencanaan pembangunan peternakan masih memerlukan pembenahan pada tingkat fleksibilitas maupun responsibilitas terhadap lingkungan strategis,
baik secara internal maupun eksternal. Hal ini harus dipahami oleh aparat perencana, agar produk perencanaan dapat okomodatif terhadap kebutuhan
daerah dan aspirasi masyarakat. Untuk mewujudkan perencanaan dimaksud, dalam implementasinya diperlukan pendanaan, sumberdaya manusia dan
saranaperalatan yang memadai, serta diperlukan perangkat sistem yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kinerja. Peran anggaran pemerintah
sebenarnya hanya sebagai stimulus investasi. Disamping itu, anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan peternakan di daerah juga merupakan
instrumen pengendalian, memberikan informasi rinci atas pelaksanaan operasional program maupun kegiatan. Namun demikian, bukti-bukti empiris
menunjukkan bahwa peran subsektor peternakan terhadap ekonomi nasional maupun daerah sangat penting, tetapi bila ditelaah lebih lanjut ternyata para
pelaku usaha peternakan tidak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara proporsional sesuai kontribusinya.
Dalam rangka pembangunan ekonomi wilayah, peran subsektor peternakan memilki kaitan kuat di hulu maupun hilir. Namun demikian, peran
strategis tersebut belum banyak difahami dan belum mampu mendorong partisipasi masyarakat dan swasta, serta dihadapkan pada berbagai kendala.
Untuk itu, tidak hanya pendekatan teknis seperti yang telah diterapkan selama ini, tetapi juga pendekatan sosial budaya yang mampu merangsang perubahan
sikap dan pola kerja, melalui pemilihan kegiatan yang benar-benar dapat memicu pembangunan peternakan. Permasalahan yang sangat klasik adalah kebutuhan
anggaran selalu meningkat sejalan dengan pemenuhan target pencapaian populasi dan produksi nasional maupun daerah tidak diikuti oleh naiknya
anggaran yang diperlukan. Dengan demikian, untuk masa yang datang
diperlukan koordinasi dalam implementasi pembangunan peternakan baik di pusat maupun di daerah sehingga anggaran pemerintah yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara tepat sasaran untuk menggerakan partisipasi masyarakat dan swasta. Secara visual disajikan pada Gambar 31.
Leverage of Attributes
0.14 0.19
0.27 0.34
0.17 0.18
0.14 0.28
0.14 0.11
0.19 0.20
0.26
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25 0.3
0.35 0.4
Trend harga ternak dan hasil ternak
Pendapatan dari usaha non tani Kontribusi terhadap PDRB dan
PAD Konstribusi terhadap total
pendapatan keluarga Rata-rata penghasilan peternak
antar skala usaha Rata-rata pendapatan peternak
terhadap UMR Transfer keuntungan
Besarnya pasar Kelayakan finansial
Ketersediaan industri pakan ternak
Keuntungan profit Ketersediaan agroindustri
peternakan Perubahan nilai APBD subsektor
peternakan
A ttr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 31. Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak
5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya
Dimensi sosial budaya memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong cukup berkelanjutan karena masih lebih kecil dari nilai 75,0. Dengan demikian
pembangunan dimensi sosial budaya di Kabupaten Jayapura dalam pengembangan sapi potong harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang
merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha.
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan dimensi ekonomi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu 1 pertumbuhan rumah
tangga peternak, 2 peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan, 3 jumlah rumah tangga peternak, 4 tingkat pendidikan rata-rata masyarakat
peternak, 5 frekuensi konflik, 6 partisipasi keluarga dalam usaha peternakan, 7 frekuensi penyuluhan dan pelatihan, 8 Curahan waktu kerja untuk usaha
peternakan, 9 pengetahuan terhadap lingkungan, 10 pertumbuhan penduduk, 11 kesehatan masyarakat peternak, 12 alternatif usaha selain peternakan,
13 rasio tenaga kerja. Berdasarkan nilai RMS 1,5, empat diantaranya merupakan faktor pengungkit. Adapun atribut sosial budaya yang merupakan
faktor pengungkit adalah:
Peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan.
Elemen terpenting dalam mengimplementasikan pembangunan agribisnis peternakan adalah elemen dari peran masyarakat petani peternak yang
menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan prime mover to development serta berperan aktif dalam
seluruh aspek kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan agribisnis
peternakan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa selama ini peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan relatif masih
rendah sehingga perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agribisnis peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat
dalam usaha agribisnis peternakan mengakibatkan ketersediaan produk agribisnis peternakan jumlahnya sangat sedikit pula.
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan.
Kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan oleh instansi teknis bidang peternakan akan memberikan pengaruh kepada perubahan perilaku
peternak agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan
sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran
dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk memberdayakan petani peternak farmer development peran penyuluhan memiliki posisi yang sangat
strategis. Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian peternak dengan menciptakan suasana atau iklim yang