Peran Strategis Ornop dalam Penguatan Masyarakat Sipil

45 Banglades. Dengan proses fasilitasi yang baik, Mohammad Yunus bersama dengan 4 perempuan buta huruf dapat mendirikan koperasi hingga berkembang menjadi Gramen Bank tersebut. Jika ditilik dari kesuksesan Grameen Bank itu, dapat ditegaskan bahwa Koperasi dapat menjadi cara atau wadah karena fungsi terpenting dari koperasi adalah pendidikan dan pengorganisasi masyarakat. Proses membentuk koperasi harus ditempuh melalui pengorganisasian yang butuh waktu maupun kapabilitas. Sejauh pengorganisasin itu baik, maka orang-orang yang terlibat dalam pengorganisasian itu akan dapat membangun kelompok maupun mengumpulkan modal bersama untuk memenuhi berbagai kebutuhan para anggotanya. Selain Gramen Bank di Banglades, ada contoh lainnya yaitu Koperasi di Gurun Sinai Israel yang berhasil menjadi pengekspor jeruk terbesar di dunia. Di Italia, kendati tidak ada pabrik kulit namun produksi dari home industry kulit yang dikelola oleh koperasi nasional mampu menghasilkan devisa terbesar bagi Italia. Selain didukung oleh pengorganisasian yang baik, industri rumahan itu ditopang oleh kebijakan proteksi yang jelas dari negara. Tak jauh beda dengan itu, di Jepang, tidak akan pernah terjadi impor tomat oleh pemerintah tanpa adanya persetujuan dari asosiasi ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam koperasi. Keberadaan koperasi di Indonesia sudah diatur dalam suatu undang-undang. Jika dilacak akar historis dan ilosoinya, koperasi itu memang telah terbukti sangat kuat. Dari beberapa pengalaman berorganisasi, koperasi juga merupakan organisasi riil dan potensial untuk diinisiasi dan dikembangkan. Kendati demikian, proses pengembangan itu harus merujuk pada terminologi koperasi yang sebenarnya. Sekadar catatan saja bahwa masyarakat desa sudah trauma dengan nama koperasi sehingga perlu metodologi lain tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar pengorganisiran. Bagimanapun juga, inti pengorganisasian adalah mampu mengumpulkan orang atau warga masyarakat terorganisir. Setelah masyarakat terkumpul atau terorganisir, proses penguatan merupakan langkah lanjutnya. Menyimak berbagai best practice di atas, lantas peran strategis apa yang mesti dilakukan oleh kalangan Ornop di Indonesia dalam menguatkan masyarakat sipil? Tahap pertama untuk dapat menguatkan masyarakat sipil tentu dengan pengorganisasian masyarakat. Ada beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan ketika hendak melakukan pengorganisasian. Pertama , dimanapun tak akan ada masyarakat yang kuat jika tidak diorganisir. Kedua , salah satu basis penguatan masyarakat sipil adalah “produksireproduksi pengetahuan masyarakat lokal itu sendiri”. Dalam hal ini jejaring Ornop harus menyadari tentang pentingnya produksireproduksi pengetahuan lokal ini. Ketiga, pengorganisasian berarti mengorganisir kembali tatanan atau pranata yang ada di masyarakat reorganizing local institution. Dengan kata lain, penguatkan masyarakat sipil berarti memfungsikanmembangun kembali pranata masyarakat. Dalam hal ini, Ornop dapat merujuk pada pepatah-petitih ilsafat China Kuno berikut: “Datanglah ke tengah rakyat. Mulailah dari apa yang mereka punya, apa yang 46 mereka tahu, apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak punya apa-apa, maka mulailah dari tidak punya apa-apa itu.” Bidal China Kuno tersebut nampaknya sederhana, namun bila ditelisik lebih jauh didalamnya terkandung basis metodologi pengorganisasian masyarakat. Pernyataan: “mulailah dari apa yang mereka punya...” menyiratkan makna bahwa dalam pengorganisiran langkah pertama yang dijadikan pijakan adalah potensi kekuatan masyarakat lokal. Dalam bahasa sederhana, pengorganisir harus mengairmasi konsepsi kekuatan masyarakat sipil setidaknya dalam 3 dimensi yaitu: dimensi swadaya masyarakat biaya sendiri, dimensi swakarsa masyarakat kemauan sendiri, dan dimensi swasembada masyarakat kebutuhan dipenuhi sendiri. Ketiga dimensi swadaya, swakarsa, dan swasembada merupakan basis dan tujuan utama dari pengorganisasian masyarakat yang sejatinya. Itulah acuan yang sesungguhnya bagi para pegiat pengorganisasian masyarakat community organizer. Tentu saja menemukan ketiga tolok ukur itu bukanlah perkara mudah. Tentu saja ada prasyarat untuk itu. Para pegiat perlu mengkaji dan melacak akar sejarah lokal maupun politik lokal dalam lingkup masyarakat terkait. Dengan begitu, akan ditemukan titik tolak salah satunya pranata sosial di tingkat lokal dan jalan keluar yang tepat appropriate untuk memulai gerak pengorganisasian bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, pengamatan terlibat partisipant observation dan live in di komunitas adalah pilihan metode yang paling tepat untuk menggali sumber-sumber data historis tersebut. Para pengorganisir perlu menjaga intensitas kehadiran di masyarakat, dan seoptimal mungkin berupaya “tidak menjaga jarak” dengan warga, guna memperoleh kedalaman penggalian data-data historis yang relevan. Memang, berbagai prakondisi pengorganisasian itu tidaklah mudah dipenuhi. Maka penting bagi pengorganisir masyarakat untuk secara jujur mempertanyakan kembali alasan yang mendasari mereka melakukan proses pengorganisasian di masyarakat itu. Apakah pengorganisasian yang dilakukan hanya sebagai alat untuk mengimplentasikan program sehingga memudahkan kerja-kerja mereka di masyarakat? Atukah pengorganisasian itu dilakukan karena spiritidealisme yang mengidam-idamkan terjadinya transformasi sosial di masyarakat? Jika jawaban “Ya” jatuh pada pertanyaan pertama, maka itu berarti bahwa pengorganisasian hanya diposisikan sebagai skenario untuk melegitimasimembenarkan apa yang diinginkan Ornop, bukan apa yang dibutuhkan masyarakat. 17 Namun apabila jawaban “Ya” teralamatkan pada pertanyaan kedua, maka sebuah pertanyaan pun menghadang lagi: Apakah para pegiat Ornop sudah mempersenjatai diri dengan kelengkapan konsep alternatif yang konstruktif berikut referensi memadai untuk memfasilitasi proses transformasi sosial itu? Bagaimanapun juga seorang pengorganisir tetap membutuhkan nutrisi maupun stok pengetahuan stock of knowledge sehingga nalar kritis tetap terasah, terlebih dalam arus perubahan jaman yang cepat ini. 17 Pengembangan dari tanggapan Andreas Subiyono terhadap presentasi Roem Topatimasang. 47 Kekayaan pengetahuan adalah modal bagi para pengorganisir untuk menggagas melalui alat-alat yang biasa dikenal sebagai paradigma, konsep, metodologi, hingga metode pengorganisasian masyarakat. 18 Dalam tataran teknis, stok pengetahuan dan hasrat berpengetahuan itu sangat berpotensi sebagai stimulan bagi para pegiat Ornop untuk mensistematisasikan seluruh proses pengorganisasian menjadi sebuah paket pengetahuan yang baru. Lahirnya pengetahuan dari akar rumput bottom up itu bagaimanapun juga adalah siklus pengetahuan yang perlu senantiasa digenapi dan disempurnakan. Tergenapinya siklus produksi-reproduksi pengetahuan secara induktif itu praktis akan mematangkan proses para pegiat Ornop dan masyarakat menjadi insan-insan pembelajar yang sesungguhnya. Bahkan tak berlebihan jika mereka dijuluki homo academicus. Seluruh paparan di atas ingin menegaskan bahwa proses produksi- reproduksi pengetahuan dialektis tesis-antitesis-sintesis atau teori-praksis-teori baru yang selama ini berada dalam klaim mandat civitas akademik universitas— justru lebih berpotensi terjadi di tingkat akar rumput. Dengan berpijak di akar rumput itulah Ornop akan menemukan kandungan elemen-elemen pengetahuan yang paling potensial dan berharga bagi sebuah gerakan menuju terwujudnya transformasi sosial demokratis dari, oleh, dan untuk masyarakat itu sendiri. Kembali menyoal pengorganisasian masyarakat untuk transformasi sosial, kalangan pegiat Ornop memiliki perbedaan cara pandang atas cakupan jangkauan capaiannya. Sebagian pegiat Ornop meyakini bahwa aksi perubahan lebih esensial ketimbang bentuk lembaga semisal koperasi, dll. Butuh waktu yang panjang untuk memfokuskan diri pada perubahan pranata sosial di masyarakat. Ada banyak keterbatasan untuk menggarap kerja-kerja ekstra itu. Tingginya tingkat ketergantungan pada donor maupun terbatasnya kapabilitas tak memungkinkan Ornop untuk melakukan pengorganisasian fundamental semacam itu. Menurut pandangan ini pula, bentuk lembaga relatif tidak begitu penting ketimbang substansi gerakannya sendiri. Singkatnya, esensi dari pengorganisasian adalah menggerakkan, dan bukannya merubah. 19 Dalam hal tertentu nama memang tidak terlalu bermasalah. Namun dalam hal bentuk lembaga sangatlah penting, terutama yang terkait kepada siapa Ornop mesti bertanggungajawab. Bentuk itu berkonsekuensi pula pada isi berikut spirit kerjanya. Sebagai contoh bentuk Yayasan saat ini banyak diwarnai karakter perseroan salah satunya adalah persoalan pajak. Berbagai pasal UU Yayasan jelas semakin menambah urusan Ornop, sampai-sampai urusan masyarakat terkesampingkan, untuk tidak mengatakan terabaikan. Berbeda dengan Yayasan, bentuk koperasi merupakan bentuk lembaga yang paling tepat bagi masyarakat 18 Ibid 19 Tanggapan dari Lilik YPL, Heri YAPHI, Jojon LKTS, Aniek Ekasita atas paparan Reom Topatimasang. 48 sipil. Koperasi merupakan lembaga independen yang tidak ada pihak lain— termasuk diantaranya pemerintah— yang dapat membubarkan kecuali para anggotanya. 20 Bila dicermati lebih jauh, pandangan di atas terkesan pesimistik. Muncul kegamangan ketika mereka membincang “perubahan”. Ia memilih “jalan aman” dengan menyatakan bahwa pengorganisasian adalah upaya menggerakkan tanpa perlu menakar aspek perubahannya. Dalam takaran mikro, bukankah ketika warga masyarakat bergerak mengimplikasikan bahwa ada yang berubah dalam entitas warga masyarakat itu sendiri? Pertanyaan retoris ini tentu merepresentasikan gugatan atas karakter pesimistik yang melepaskan satu persatu kemelekatan antara sisi gerakan dan sisi perubahan itu. Sebagian pegiat Ornop lain berpandangan bahwa tidak jarang pengorganisasian yang mereka lakukan selama ini tidakbelum berhasil menjawab persoalan-persoalan di masyarakat. Menurutnya capain perubahan pengorganisasian masih relatif terbatas. Sebagai fasilitator, mereka turut ambil bagian dalam proses pemecahan persoalan aktual yang ada di masyarakat. Hal elementer yang jadi titik capaiannya adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dalam menyikapi persoalan yang mereka hadapi. Bersama-sama masyarakat mereka memetakan persoalan dan selanjutnya mengajak masyarakat untuk berikir bersama. Dengan perubahan pola pikir itu, masyarakat dapat menentukan perubahan yang mereka tuju. 21 Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pandangan ini nampak lebih optimistik. Tertegaskan dalam pandangan ini bahwa perubahan terpenting adalah perubahan pola pikir masyarakat. Pintu masuk ke perubahan besar itu ada dalam ranah penyadaran conscientisation warga masyarakat.Setidaknya, perubahan pola pikir masyarakat dapat melebarkan peluang opportunity bagi bertumbuhnya swakarsa, swadaya, hingga swasembada warga untuk melakukan perubahan bagi komunitas mereka sendiri. Sekilas dua pandangan diametral saling bertentangan. Namun sebenarnya, kedua pandangan secara implisit bersepaham bahwa Ornop memiliki keterbatasan untuk melakukan pengorganisasian dalam “totalitas”. Namun tepat dalam deinisi “totalitas” itulah sudut pandang terbelah. Mustahil untuk menentukan totalitas dalam tolok ukur pasti. Terlebih lagi jika itu dikalkulasi dari dimensi keterbatasan yang saling berbeda di antara Ornop sendiri. Secara general, jangkar “totalitas” terletak pada basis dimensi input spirit dan pengetahuan, dimensi proses metode praksis, dimensi output capaian perubahan. Itu pun tak lebih dari rumusan matematis yang jelas mengabaikan kalkulasi konteks entitas sosial yang senantiasa bergerak dinamis. Berbeda dari dua pandangan sebelumnya, pandangan berikut nampak lebih menggambarkan gambaran aktual dan kontekstual proses pengorganisasian 20 Tanggapan balik Roem Topatimasang 21 Tanggapan dari Aniek dan Bagus terhadap paparan Roem Topatimasang. 49 masyarakat oleh kalangan Ornop. Pandangan ini menyadari bahwa acapkali Ornop harus fokus pada isu-isu terbatas sesuai dengan limitasi mandat organisasinya masing-masing. Limitasi mandat pada isu tertentu itu praktis berdampak pada terabaikannya isu-isu lain di masyarakat yang boleh jadi jauh lebih urgen dan krusial untuk ditangani. 22 Memang, pengorganisasian itu seringkali bersifat parsial. Bahkan tidak jarang prosesnya lebih mengacu pada strategi problem solving yang cenderung “hit and run”. Ketika masalah masalah terselesaikan, pengorganisasian terkadang juga selesai. Karenanya banyak para pegiat Ornop tidak tahu menahu lagi apakah masyarakat mampu menghadapi ketika muncul masalah baru. 23 Jika demikian halnya, maka menjadi sulit untuk ditepiskan adanya anggapan bahwa spiritidealisme pengorganisasian masyarakat Ornop tetap saja berkelit dengan simptom-simptom pragmatisme guna melegitimasi eksistensi kelembagaan di mata pemangku kepentingan utamanya. Terlepas dari beragam pandangan di atas, ada satu hal mendasar yang penting untuk diajukan terkait dengan peran pengorganisasian Ornop di masyarakat dalam konteks bernegara. Konteks itu tentu sangat berpengaruh pada konsep pengorganisasian di masyarakat oleh kalangan Ornop. Maka muncul pertanyaan penting untuk dipertimbangkan yaitu: “sejauh manakah batasan peran dan posisi Ornop dalam proses penyelesaian persoalan di masyarakat?”. Bukankah itu merupakan peran yang mustinya diemban oleh negarapemerintah? 24 Tak terbantahkan ada begitu banyak fakta bahwa negara pemerintah sangat produktif melahirkan kebijakan yang mengkhianati hak-hak dasar warga negara. Tak ayal, berbagai nilai kearifan lokal terpinggirkan, keahlian lokal masyarakat terkebiri, tidak sedikit pula yang terberangus. Dalam situasi semacama itu, Ornop harus mengambil posisi untuk turut menumbuhkan lagi kearifan lokal yang sudah kian hilang agar muncul kearifan baru yang mampu membawa masyarakat menuju transformasi sosial. Bagaimanapun Ornop juga harus ambil bagian dalam mendorong pemulihan kembali berbagai pranata sosial yang pernah ada di masyarakat. Selain itu, peran mereka juga dibutuhkan terutama untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya lokal di komunitas akar rumput. Dalam kondisi seperti itu, Ornop idealnya memang harus mampu menghidupi dirinya sendiri. Setidaknya, ia harus dapat mencukupi kebutuhan biaya operasional rutin lembaganya. Bagaimanapun ia mesti merealisasikan “pemberdayaan kemandirian” yang sering mereka gembar gemborkan di masyarakat. Patut diakui, ketergantungan pada lembaga donor adalah perangkap yang di satu sisi “tak diingini” menurut kesadaran idealis tapi “dirindukan” 22 Tanggapan Indri terhadap paparan Roem Topatimasang 23 Tanggapan Koirul Anam terhadap paparan Roem Topatimasang 24 Tanggapan Adi Nugroho 50 menurut kebutuhan pragmatis Ornop. Meminjam analisis psiokoanalisis Sigmund Freud inilah potret pertarungan antara Id, Ego dan Superego. Persis dalam perkara inilah Ornop menghadapi dilema. Di satu sisi Ornop menuntut masyarakat untuk mandiri, di sisi yang lain ia diperhadapkan pada godaan ketergantungan yang seringkali sulit dihindari. Sementara secara moral Ornop dituntut untuk lebih dulu mencontohkan praktik kemandirian itu. Kendati pun sulit dihindari, namun godaan ketergantungan dapat perlahan dikendalikan. Setidaknya agar ia tidak menjadi tindakan yang terpola hingga bermetamorfosa menjadi habit kebiasaan sikap. Jika pola pikir, sikap dan tindakan itu sudah terinternalisasi atau bahkan terinstitusionalisasi maka dapat dikatakan bahwa Ornop tersebut telah mendaulat ketergantungan sebagai ideologi baru. Untuk menghadang pola ketergantungan sebagai ideologi baru itu, Ornop mesti menyemai pemikiran kritis yang dapat melimitasi pola ikirsikap kompromis oportunistik kepada para pegiatnya. Misalnya saja, penting untuk menyuntikkan kesadaran bahwa donor sebenarnya hanya sebagai pelengkap supplementary dalam kerja-kerja Ornop. Donor dibutuhkan hanya jika masyarakat tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya. Sebagai metode di tingkatan teknis, Ornop dapat mengambil opsi untuk mengoptimalkan dan memobilisasi sumber daya lokal yang ada di masyarakat, meskipun tidak mesti harus 100. Beberapa contoh riilnya, dapat dikaji kembali gerakan masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah paska gempa bumi 27 Mei 2006 atau gerakan warga paska erupsi merapi 26 Oktober 2010 silam yang mampu membantu para penyintas dan korban bencana dengan segenap kemampuan yang mereka punya. Peristiwa itu mestinya dapat membuka kesadaran berbagai kalangan termasuk kalangan Ornop sendiri bahwa daya kekenyalan kelenturan masyarakat untuk menghadapi situasi-situasi sulit community resilience itu merupakan senjata potensial yang keberadaannya terlekat embeded dalam institusi lokal masyarakat itu sendiri. Kendati penanganan paska bencana terkesan“management by accident ”, namun fakta riil tetap saja tak dapat dinaikan, yaitu bahwa potensi keberdayaan self- reliance itu benar-benar ada bahkan berlipat ganda hingga membentuk jejaring sosial yang mampu memobilisir sumber-sumber daya lokal untuk optimalisasi aksi tanggap darurat. Maka terkait dengan upaya memberdayakan pranata lokal sebagaimana di sebutkan di atas, bagaimanapun juga kita tetap butuh waktu dan proses yang panjang. Penelusuran akar sejarah kelembagaan lokal di masing- masing komunitas perlu penekanan tersendiri dalam proses revitalisasi itu. Dalam dinamika wacana tersebut Ornop lagi-lagi perlu mempertanyakan secara kritis pada diri sendiri untuk apa dan untuk siapa semua itu dilakukan. Tidak dikenal jalan pintas karbitan dalam kamus pengorganisasian masyarakat. Boleh jadi Ornop dapat menggunakan metode radikal—yang dalam artian sesungguhnya radic berarti akar—dan bukannya revolusi, karena revolusi hanya akan memakan anaknya sendiri. Kalau pun revolusi itu terjadi di Indonesia toh itu tetap tak akan berarti ketika struktur sosialnya juga tidak berubah. Sekadar 51 catatan saja, di Indonesia, revolusi sosial hanya terjadi di Sumatera Timur yang dimotori oleh buruh perkebunan pada tahun 1943. 25 Segenap daya upaya apapun yang manusia lakukan sejatinya akan berujung pada apa yang sering dikonsepsikan sebagai kemakmuran wealth atau kesejahteraan well being. Namun pernahkah ditanyakan pada diri sendiri apa kemakmuran dan kesejahteraan itu. Selain itu, bagaimana pula cara kemakmuran atau kesejahteraan itu dapat dicapai?; seperti apa batasan kemakmuran atau kesejahteraan itu?; jika kesejahteraan atau kemakmuran sudah tercapai, benarkah manusia akan tetap mengejar tingkatan kesejahteraankemakmuran yang lebih tinggi? Tidaklah mudah untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Namun setidaknya dapat ditegaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan dalam kamus manusia bermental rakus, tamak, loba greedy hampir tidak berlimitasi kecuali ajal. Memang limitasi kesejahteraan dan kemakmuran itu sendiri cenderung “tidak pasti.” Jika diilustrasikan ia berada dalam lapisan gradatif f uzzy set theory. 26 Dalam dunia sosial, tolok ukur atas kemakmurankesejahteraan itu dapat jadi berada dalam rentangan yang beragam juga. Selain rasionalitas ekonomi, tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran itu melekat dalam lapis-lapis dunia sosial itu sendiri. Salah satu diantaranya “etika ethic dan disiplin diri”. Menyimak pada perubahan sosial kontemporer, “disiplin diri dan etika” telah menjadi komponen kehidupan yang pesonanya kian pudar, untuk tak menyebut hilang, di kalangan masyarakat. Rasionalitas instrumental ekonomi cenderung lebih mendominasi konsepsi masyarakat tentang kemakmuran kesejahteraan hingga menyisihkan spiritjiwa sosial masyarakat aspek etis. Dalam konteks ini, maka bagaimanapun juga upaya menumbuhkan etik- jiwa sosial juga menjadi bagian dari tugas Ornop dalam proses penguatan pengorganisasian masyarakat. Itu dapat dimulai dari hal yang sangat sederhana. Misalnya seperti Mahatma Gandhi yang menyerukan: “Jahit bajumu sendiri dan buat garam dapurmu sendiri”, lantaran pakaian dan garam di India ketika itu adalah produk imperialisme Inggris. 25 Paparan Roem Topatimasang. 26 Fuzzy set theory atau fuzzy logicdiperkenalkan kali pertama oleh Dr. Loti Zadeh dari Universitas California, Berkeley pada 1965. Logika ini membantah logika klasik yang menyatakan bahwa segala sesuatu bisa diekspresikan dalam oposisi biner binary—hitam atau putih, ya dan tidak, makmur dan tidak makmur, sejahtera dan tidak sejahtera, dll. Logika fuzzymempremiskan adanya tingkat “kebenaran” tertentu yang gradatif. Lihat lebih jauh dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, London: Routledge, 1998, hlm. 1653 dan 2997. 52

C. Filosoi, Strategi dan Metodologi Penguatan Masyarakat Sipil

Bidal China Kuno di atas akan dijadikan titik pijak diskusi tentang ilosoi, strategi, dan metodologi pengorganisasian masyarakat. Maka dapat diinterpretasikan bahwa ilosoi dasar pengorganisasia harus diletakkan pada pemaknaan dari pernyataan pertama yaitu : “apa yang masyarakat punya”. Biasanya Ornop datang tanpa mengetahui apa yang masyarakat punyai, entah pada saat ini ataupun yang pernah mereka punyai. Untuk mengenali apa yang masyarakat punyai Ornop tidak asing menggunakan metode Participatory Rural Appraisal PRA. Berbagai aspek seperti sejarah desa, transek, kalender musim, sosiograi venn, sketsapeta desa dapat ditelusuri dengan metode PRA tersebut. Misalnya dengan sosiograi dapat dilacak apakah di dalam masyarakat masih ada pranata atau tidak; kalau masih ada apakah pranata itu sudah berubah atau belum; jika pranata itu sudah berubah apa saja yang berubah, sejak kapan berubah dan mengapa pranata itu berubah. Pernyataan kedua , yaitu “apa yang masyarakat tahu”. Ornop mesti melacak pengetahuan apa saja yang hidup di masyarakat. Hal itu perlu ditempuh guna mengetahui produksi pengetahuan masyarakat yang bersangkutan. Dari sana Ornop dapat mendapatkan data yang kemudian dapat dipilah, mana produksi pengetahuan internal masyarakat, dan mana produksi pengetahuan eksternal datang dari pengaruh orang lain. Dari mengetahui itu, masyarakat akan menjadi sadar. Bagaimanapun juga, tak akan ada kesadaran tanpa pengetahuan. Indikator paling mudah untuk mengenali “kadar pengetahuan masyarakat” adalah penggunaan kosa kata di masyarakat. Berbagai kosa kata yang muncul itu perlu dicurigai secara kritis dan peka sebagai penjajagan awal, sehingga pengorganisasian masyarakat dapat tepat. Pernyataan ketiga , yaitu: “apa yang masyarakat butuhkan”. Ornop perlu kehati- hatian untuk perkara satu ini. Terkait dengan hal sebelumnya, pengetahuan dan kesadaran pada hakekatnya merupakan realitas sosial yang tidak pernah steril vakum. Perubahan yang tengah berlangsung di masyarakat akan berimplikasi pada berubahnya pengetahuan mereka pula. Karenanya agar tak sesat pikir misleading , pemahaman yang lebih baik terhadap realitas sosial masyarakat tidak ada cara lain selain datang dan terlibat langsung bersama mereka. Dari merekalah Ornop dapat menggali data primer. Patut pula dicatat di sini bahwa apa yang sebenarnya dibutuhkan warga adalah apa yang diketahui dan dipunyai 53 oleh warga masyarakat itu sendiri. Berdasarkan paparan pengalaman, banyak pegiat Ornop yang memperbincangkan tentang pintu masuk bagi pengorganisasian masyarakat. Kendati pintu masuk itu penting, namun hal utama yang jauh lebih penting, adalah bahwa proses pengorganisasian itu sendiri benar-benar terjadi. Berbagai kasus menunjukkan bahwa tidak sedikit di kalangan pegiat Ornop justru berhenti di pintu masuk itu saja, sementara pengorganisasiannya tidak digarap secara sungguh-sungguh. Selama ini pemberdayaan ekonomi biasanya menjadi pintu masuk yang paling populer untuk pengorganisasian masyarakat. Sayangnya mayoritas pemberdayaan ekonomi itu kandas di tengah jalan. Pertanyaan mendasarnya, mengapa itu gagal? Terbersit sebuah kekhawatiran bahwa jangan- jangan Ornop luput dalam melihat persoalan masyarakat. Kebanyakan program ekonomi yang dijalankan Ornop biasanya berorientasi pada tiga hal yaitu: pertama , produk produk massal atau sering disebut sebagai komoditi; kedua, proses pemasaran; ketiga , intervensi teknologi. Sebagai pembanding dapat dikaji kasus masyarakat di Sumba, Nusa Tenggara Timur berikut. Sebelum masuknya Ornop, masyarakat terbiasa hidup bertani. Di sela-sela aktivitas bertani, ibu-ibu terbiasa menyisihkan waktu untuk menenun kain tenunan Sumba di rumahnya masing-masing. Sejak munculnya intervensi Ornop di sana, dalam hitungan tak lebih dari tiga minggu saja, terjadi perubahan. Di setiap hari Rabu, Jumat, dan Sabtu, ibu-ibu itu harus berkumpul di satu rumah untuk membuat tenun Sumba secara berkelompok. Boleh jadi bagi Ornop tersebut, perubahan aktivitas menenun sendiri-sendiri diubah menjadi menenun secara bersama-sama adalah indikator keberhasilan program pemberdayaan ekonomi masyarakat di sana. Namun apa yang terjadi setelah proses itu berlangsung selama bertahun-tahun? Ternyata dampaknya cukup fatal. Sejak itu, mayoritas ibu-ibu tidak lagi menanam bahan-bahan pangan di pekarangan sekitar rumah mereka. Lebih memprihatinkan lagi, mereka juga tak tahu lagi bagaimana mesti mengolah lahan. Pola pemenuhan kebutuhan pangan mereka beli semua dari pasarwarung. Hal yang paling tragis, kini wilayah itu menjadi langganan kelaparan. Kasus itu ingin menegaskan bahwa pergeseran pola pemenuhan kebutuhan pangan dengan mengandalkan daya beli benar-benar telah menggerogoti sendi- sendi dan daya tahan hidup masyarakat. Pola belanja untuk mencukupi kebutuhan pangan semacam itu menunjukkan angka yang semakin meningkat, yaitu sekitar 60-80. Jika saja Ornop tahu bahwa tingkat pembelanjaan untuk bahan pangan setinggi itu, maka intervensi program ekonomi yang lebih tepat adalah program yang mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri semacam program swasembada pangan. Bukan perkara gampang untuk menakar dampak progam semacam itu. Untuk itu Ornop harus membekali diri dengan wawasanpengetahuan yang memadai. Era komodiikasi mesti disikapi secara kritis. Di tengah gelombang 54 komodiikasi seperti saat ini, bersama-sama masyarakat kita tetap harus mengkalkulasi strategi perlawanan terhadap ketidakadilan global yang multi faset. Berhenti membeli bahan makanan impor ataupun berdikari menanam bahan pangan kita sendiri adalah sebagian opsi yang dapat kita pilih dalam pengorganisasian. Terkait dengan ketidakadilan global itu, dapat ditilik lagi dari sekitar 90 program WTO, ada satu program yang belum tertuntaskan hingga saat ini, yaitu persoalan “pangan”. Melalui WTO, negara-negara maju telah mempecundangi negara-negara sedang berkembang. Di saat negara-negara sedang berkembang dipaksa untuk mencabut subsidi pertaniannya, negara-negara maju justru ingkar terhadap aturan itu. Dengan arogansinya, negara-negara maju terang-terangan menolak memberlakukan pencabutan subsidi untuk pertanian domestiknya. Selain itu, negara-negara maju dapat dengan bebas mengekspor produk-produk pertanian ke negara-negara sedang berkembang, tanpa boleh ada barrier berupa pajak import sama sekali. Hal itulah yang menyebabkan petani di Negara berkembang selalu mengeluhkan rendahnya harga panenan mereka. Alih-alih teruntungkan, petani justru semakin terpuruk lantaran deisit. Melihat peta ketidakadilan global itu, mesti dirancang program pemberdayaan ekonomi yang tepat bagi masyarakat. Program ekonomi itu seoptimal mungkin dirancang agar komunitas atau masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pangan dan energi untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat “menabung” saving, sehingga pada akhirnya nanti akan tercapai akumulasi aset atau modal di masyarakat itu sendiri. Konsepsi “menabung” itu merujuk pada pengertian bahwa uang mereka tidak terkuras keluar dari wilayah mereka, semisal untuk mengonsumsi produk- produk dari pihak eksternal: coca-cola, aqua, nestle, dll. Dalam tataran praktis, dengan merunut dari teori ekonomi makro, keberhasilan program pemberdayaan ekonomi itu sangat ditentukan oleh bagaimana kita mampu menahan “ surplus outlow” agar tetap tersimpantertahan saving di masyarakat setempat. Secara khusus, kita dapat mengembangkan pendekatan ekonomi tersebut dengan mengidentiikasi beberapa hal berikut: pertama , pemasukan inlow berasal dari mana saja dan pengeluaran outlow untuk apa saja; kedua , pranata apa yang hilang dan perlu dibangun; ketiga, kapasitas apa yang dimiliki masyarakat; keempat , apa yang dulu ada dan yang sekarang hilang dari masyarakat. Kekuatan kapitalisme baca: pasar terletak pada “produksi massal”. Maka untuk membendung kapitalisme, Ornop dan masyarakat jangan mengekor dengan melakukan produksi massal padat modal. Tetapi justru harus melakukan produksi secara komunal padat manusia. Karena permasalahan utama sesungguhnya terkait pada perkara bahwa pasar komunitas sendiri telah terserobot oleh kekuatan kapitalisme. Opsi pada produksi komunal pada intinya untuk merebut kembali pasar komunitas yang terserobot. Produk-produk 55 komunal itu nantinya dapat dipasarkan melalui pasar komunitas. Memang perlu disadari bahwa apa yang terjadi saat ini, mayoritas masyarakat adalah konsumen massal dari produksi massal yang senyatanya hanya dijalankandimiliki oleh segelintir orang saja. Jika memungkinkan pasar dapat dirancang seperti pasar lokal barter yaitu dengan pertukaran barang bukan pertukaran uang. Semisal di Thailand selatan, sejumlah kalangan masyaraka di sana saat ini tengah berupaya menggerakkan pemberlakuan “local curency market” dengan cara barter. Hal terpenting yang senantiasa perlu dikedepankan adalah bagaimana kita mengembalikan pranata itu lantaran masih banyak warga yang tetap berpegang teguh pada pranata sosial mereka. Itulah pokok dari pengorganisasin masyarakat. Contoh sukses tentang itu terjadi di Desa Tenganan Bali Timur sebagai Negara kesejahteraan. Desa Tenganan merupakan contoh desa yang mempunyai asuransi sosial yang menjadi jaminan hidup semua warganya. Masing-masing KK mendapat Rp. 50.000,- dan 50 kg beras setiap bulan. Sadar atas keeksotisannya, para warga pun lantas membuat awig-awig seperangkat aturan yang mangatur warga di tingkat desa adat dan banjar adat di Bali yang menegaskan bahwa quota untuk turis per hari hanya 50 orang. Tantangan tersulit untuk pengorganisasian saat ini memang terkait erat dengan massif dan derasnya jangkauan dampak negatif dari teknologi informasi dan telekomunikasi yang mengubah pola pikir masyarakat. Tanpa menaikan kemanfaatannya, perkembangan teknologi itu ternyata juga telah menggerus benteng-benteng nilai kearifan lokal warga. Karenanya teramat sulit untuk meluruskan pola pikir masyarakat yang telah terperangkap dalam arus komodiikasi itu. 27 Perihal ketahanan atau kedaulatan pangan misalnya,masyarakat lebih membeli produk-produk pangan instan pabrikan ketimbang harus menanami pekarangannya dengan beragam tanaman pangan. Beban ekonomi keluarga pengeluaran semakin bertambah besar, ketika komodiikasi itu juga telah merasuk ke segenap pranata sosial di masyarakat. Beraneka macam pagelaran upacara adat cukup menguras budget masyarakat. 28 Menyoal upacara adat di masyarakat, tentu tak dapat gegabah menilai. Itu merupakan salah satu kekayaan yang tetap perlu dipertahankan. Yang jadi persoalan adalah jika seluruh kebutuhan upacara itu dibeli atau tidak dapat mereka sediakan sendiri. Bila masyarakat dapat menyediakan sendiri semua, pastilah itu akan berpengaruh pada bentuk pranata ekonomi maupun sosialnya juga. Tak terpungkiri tantangan perkembangan pesat teknologi informasi memang tidak ringan. Namun tak menyelesaikan persoalan pula ketika Ornop hanya membincang untung ruginya. Kendati demikian, Ornop dan masyarakat masih memiliki ruang untuk mempertahankan segala hal yang dianggap berharga. 27 Tanggapan Adi Nugroho Sheep Indonesia 28 Tanggapan Yusuf Staf YAPHI