Peran Strategis Ornop dalam Penguatan Masyarakat Sipil
45
Banglades. Dengan proses fasilitasi yang baik, Mohammad Yunus bersama dengan 4 perempuan buta huruf dapat mendirikan koperasi hingga berkembang
menjadi Gramen Bank tersebut. Jika ditilik dari kesuksesan Grameen Bank itu, dapat ditegaskan bahwa Koperasi dapat menjadi cara atau wadah karena fungsi
terpenting dari koperasi adalah pendidikan dan pengorganisasi masyarakat. Proses membentuk koperasi harus ditempuh melalui pengorganisasian yang
butuh waktu maupun kapabilitas. Sejauh pengorganisasin itu baik, maka orang-orang yang terlibat dalam pengorganisasian itu akan dapat membangun
kelompok maupun mengumpulkan modal bersama untuk memenuhi berbagai
kebutuhan para anggotanya. Selain Gramen Bank di Banglades, ada contoh lainnya yaitu Koperasi di Gurun Sinai Israel yang berhasil menjadi pengekspor
jeruk terbesar di dunia. Di Italia, kendati tidak ada pabrik kulit namun produksi dari home industry kulit yang dikelola oleh koperasi nasional mampu menghasilkan
devisa terbesar bagi Italia. Selain didukung oleh pengorganisasian yang baik, industri rumahan itu ditopang oleh kebijakan proteksi yang jelas dari negara.
Tak jauh beda dengan itu, di Jepang, tidak akan pernah terjadi impor tomat oleh pemerintah tanpa adanya persetujuan dari asosiasi ibu-ibu rumah tangga
yang tergabung dalam koperasi. Keberadaan koperasi di Indonesia sudah diatur
dalam suatu undang-undang. Jika dilacak akar historis dan ilosoinya, koperasi itu memang telah terbukti sangat kuat. Dari beberapa pengalaman berorganisasi,
koperasi juga merupakan organisasi riil dan potensial untuk diinisiasi dan dikembangkan. Kendati demikian, proses pengembangan itu harus merujuk pada
terminologi koperasi yang sebenarnya. Sekadar catatan saja bahwa masyarakat desa sudah trauma dengan nama koperasi sehingga perlu metodologi lain tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip dasar pengorganisiran. Bagimanapun juga, inti pengorganisasian adalah mampu mengumpulkan orang atau warga masyarakat
terorganisir. Setelah masyarakat terkumpul atau terorganisir, proses penguatan merupakan langkah lanjutnya.
Menyimak berbagai best practice di atas, lantas peran strategis apa yang
mesti dilakukan oleh kalangan Ornop di Indonesia dalam menguatkan masyarakat sipil? Tahap pertama untuk dapat menguatkan masyarakat sipil
tentu dengan pengorganisasian masyarakat. Ada beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan ketika hendak melakukan pengorganisasian. Pertama
, dimanapun tak akan ada masyarakat yang kuat jika tidak diorganisir. Kedua
, salah satu basis penguatan masyarakat sipil adalah “produksireproduksi pengetahuan
masyarakat lokal itu sendiri”. Dalam hal ini jejaring Ornop harus menyadari tentang pentingnya produksireproduksi pengetahuan lokal ini. Ketiga,
pengorganisasian berarti mengorganisir kembali tatanan atau pranata yang ada di masyarakat
reorganizing local institution. Dengan kata lain, penguatkan masyarakat sipil berarti memfungsikanmembangun kembali pranata masyarakat. Dalam
hal ini, Ornop dapat merujuk pada pepatah-petitih ilsafat China Kuno berikut: “Datanglah ke tengah rakyat. Mulailah dari apa yang mereka punya, apa yang
46
mereka tahu, apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak punya apa-apa, maka mulailah dari tidak punya apa-apa itu.”
Bidal China Kuno tersebut nampaknya sederhana, namun bila ditelisik lebih jauh didalamnya terkandung basis metodologi pengorganisasian masyarakat.
Pernyataan: “mulailah dari apa yang mereka punya...” menyiratkan makna bahwa dalam pengorganisiran langkah pertama yang dijadikan pijakan adalah potensi
kekuatan masyarakat lokal. Dalam bahasa sederhana, pengorganisir harus mengairmasi konsepsi kekuatan masyarakat sipil setidaknya dalam 3 dimensi
yaitu: dimensi swadaya masyarakat biaya sendiri, dimensi swakarsa masyarakat kemauan sendiri, dan dimensi swasembada masyarakat kebutuhan dipenuhi
sendiri. Ketiga dimensi swadaya, swakarsa, dan swasembada merupakan basis dan tujuan utama dari pengorganisasian masyarakat yang sejatinya. Itulah acuan
yang sesungguhnya bagi para pegiat pengorganisasian masyarakat community
organizer. Tentu saja menemukan ketiga tolok ukur itu bukanlah perkara mudah. Tentu saja ada prasyarat untuk itu. Para pegiat perlu mengkaji dan melacak akar
sejarah lokal maupun politik lokal dalam lingkup masyarakat terkait. Dengan
begitu, akan ditemukan titik tolak salah satunya pranata sosial di tingkat lokal dan jalan keluar yang tepat appropriate untuk memulai gerak pengorganisasian
bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, pengamatan terlibat partisipant observation dan live in di komunitas adalah pilihan metode yang paling tepat
untuk menggali sumber-sumber data historis tersebut. Para pengorganisir perlu
menjaga intensitas kehadiran di masyarakat, dan seoptimal mungkin berupaya “tidak menjaga jarak” dengan warga, guna memperoleh kedalaman penggalian
data-data historis yang relevan. Memang, berbagai prakondisi pengorganisasian itu tidaklah mudah dipenuhi. Maka penting bagi pengorganisir masyarakat
untuk secara jujur mempertanyakan kembali alasan yang mendasari mereka melakukan proses pengorganisasian di masyarakat itu. Apakah pengorganisasian
yang dilakukan hanya sebagai alat untuk mengimplentasikan program sehingga memudahkan kerja-kerja mereka di masyarakat? Atukah pengorganisasian
itu dilakukan karena spiritidealisme yang mengidam-idamkan terjadinya transformasi sosial di masyarakat? Jika jawaban “Ya” jatuh pada pertanyaan
pertama, maka itu berarti bahwa pengorganisasian hanya diposisikan sebagai skenario untuk melegitimasimembenarkan apa yang diinginkan Ornop, bukan
apa yang dibutuhkan masyarakat.
17
Namun apabila jawaban “Ya” teralamatkan pada pertanyaan kedua, maka sebuah pertanyaan pun menghadang lagi: Apakah
para pegiat Ornop sudah mempersenjatai diri dengan kelengkapan konsep alternatif yang konstruktif berikut referensi memadai untuk memfasilitasi
proses transformasi sosial itu? Bagaimanapun juga seorang pengorganisir tetap membutuhkan nutrisi maupun stok pengetahuan stock of knowledge sehingga
nalar kritis tetap terasah, terlebih dalam arus perubahan jaman yang cepat ini.
17
Pengembangan dari tanggapan Andreas Subiyono terhadap presentasi Roem Topatimasang.
47
Kekayaan pengetahuan adalah modal bagi para pengorganisir untuk menggagas melalui alat-alat yang biasa dikenal sebagai paradigma, konsep, metodologi,
hingga metode pengorganisasian masyarakat.
18
Dalam tataran teknis, stok pengetahuan dan hasrat berpengetahuan itu sangat berpotensi sebagai stimulan bagi para pegiat Ornop untuk
mensistematisasikan seluruh proses pengorganisasian menjadi sebuah paket pengetahuan yang baru. Lahirnya pengetahuan dari akar rumput bottom up itu
bagaimanapun juga adalah siklus pengetahuan yang perlu senantiasa digenapi dan disempurnakan. Tergenapinya siklus produksi-reproduksi pengetahuan
secara induktif itu praktis akan mematangkan proses para pegiat Ornop dan masyarakat menjadi insan-insan pembelajar yang sesungguhnya. Bahkan tak
berlebihan jika mereka dijuluki homo academicus.
Seluruh paparan di atas ingin menegaskan bahwa proses produksi- reproduksi pengetahuan dialektis tesis-antitesis-sintesis atau teori-praksis-teori
baru yang selama ini berada dalam klaim mandat civitas akademik universitas— justru lebih berpotensi terjadi di tingkat akar rumput. Dengan berpijak di akar
rumput itulah Ornop akan menemukan kandungan elemen-elemen pengetahuan yang paling potensial dan berharga bagi sebuah gerakan menuju terwujudnya
transformasi sosial demokratis dari, oleh, dan untuk masyarakat itu sendiri. Kembali menyoal pengorganisasian masyarakat untuk transformasi
sosial, kalangan pegiat Ornop memiliki perbedaan cara pandang atas cakupan jangkauan capaiannya. Sebagian pegiat Ornop meyakini bahwa aksi perubahan
lebih esensial ketimbang bentuk lembaga semisal koperasi, dll. Butuh waktu yang panjang untuk memfokuskan diri pada perubahan pranata sosial di
masyarakat. Ada banyak keterbatasan untuk menggarap kerja-kerja ekstra itu. Tingginya tingkat ketergantungan pada donor maupun terbatasnya kapabilitas
tak memungkinkan Ornop untuk melakukan pengorganisasian fundamental
semacam itu. Menurut pandangan ini pula, bentuk lembaga relatif tidak begitu penting ketimbang substansi gerakannya sendiri. Singkatnya, esensi dari
pengorganisasian adalah menggerakkan, dan bukannya merubah.
19
Dalam hal tertentu nama memang tidak terlalu bermasalah. Namun dalam hal bentuk lembaga sangatlah penting, terutama yang terkait kepada siapa Ornop
mesti bertanggungajawab. Bentuk itu berkonsekuensi pula pada isi berikut spirit kerjanya. Sebagai contoh bentuk Yayasan saat ini banyak diwarnai karakter
perseroan salah satunya adalah persoalan pajak. Berbagai pasal UU Yayasan
jelas semakin menambah urusan Ornop, sampai-sampai urusan masyarakat terkesampingkan, untuk tidak mengatakan terabaikan. Berbeda dengan Yayasan,
bentuk koperasi merupakan bentuk lembaga yang paling tepat bagi masyarakat
18
Ibid
19
Tanggapan dari Lilik YPL, Heri YAPHI, Jojon LKTS, Aniek Ekasita atas paparan Reom Topatimasang.
48
sipil. Koperasi merupakan lembaga independen yang tidak ada pihak lain— termasuk diantaranya pemerintah— yang dapat membubarkan kecuali para
anggotanya.
20
Bila dicermati lebih jauh, pandangan di atas terkesan pesimistik. Muncul kegamangan ketika mereka membincang “perubahan”. Ia memilih “jalan aman”
dengan menyatakan bahwa pengorganisasian adalah upaya menggerakkan tanpa perlu menakar aspek perubahannya. Dalam takaran mikro, bukankah
ketika warga masyarakat bergerak mengimplikasikan bahwa ada yang berubah dalam entitas warga masyarakat itu sendiri? Pertanyaan retoris ini tentu
merepresentasikan gugatan atas karakter pesimistik yang melepaskan satu persatu kemelekatan antara sisi gerakan dan sisi perubahan itu. Sebagian pegiat Ornop
lain berpandangan bahwa tidak jarang pengorganisasian yang mereka lakukan selama ini tidakbelum berhasil menjawab persoalan-persoalan di masyarakat.
Menurutnya capain perubahan pengorganisasian masih relatif terbatas. Sebagai
fasilitator, mereka turut ambil bagian dalam proses pemecahan persoalan aktual yang ada di masyarakat. Hal elementer yang jadi titik capaiannya adalah
terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dalam menyikapi persoalan yang mereka hadapi. Bersama-sama masyarakat mereka memetakan persoalan dan
selanjutnya mengajak masyarakat untuk berikir bersama. Dengan perubahan pola pikir itu, masyarakat dapat menentukan perubahan yang mereka tuju.
21
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pandangan ini nampak lebih optimistik. Tertegaskan dalam pandangan ini bahwa perubahan terpenting
adalah perubahan pola pikir masyarakat. Pintu masuk ke perubahan besar itu ada dalam ranah penyadaran conscientisation
warga masyarakat.Setidaknya, perubahan pola pikir masyarakat dapat melebarkan peluang opportunity bagi
bertumbuhnya swakarsa, swadaya, hingga swasembada warga untuk melakukan perubahan bagi komunitas mereka sendiri.
Sekilas dua pandangan diametral saling bertentangan. Namun sebenarnya, kedua pandangan secara implisit bersepaham bahwa Ornop memiliki keterbatasan
untuk melakukan pengorganisasian dalam “totalitas”. Namun tepat dalam deinisi “totalitas” itulah sudut pandang terbelah. Mustahil untuk menentukan
totalitas dalam tolok ukur pasti. Terlebih lagi jika itu dikalkulasi dari dimensi keterbatasan yang saling berbeda di antara Ornop sendiri. Secara general, jangkar
“totalitas” terletak pada basis dimensi input spirit dan pengetahuan, dimensi proses metode praksis, dimensi output capaian perubahan. Itu pun tak lebih
dari rumusan matematis yang jelas mengabaikan kalkulasi konteks entitas sosial yang senantiasa bergerak dinamis.
Berbeda dari dua pandangan sebelumnya, pandangan berikut nampak lebih menggambarkan gambaran aktual dan kontekstual proses pengorganisasian
20
Tanggapan balik Roem Topatimasang
21
Tanggapan dari Aniek dan Bagus terhadap paparan Roem Topatimasang.
49
masyarakat oleh kalangan Ornop. Pandangan ini menyadari bahwa acapkali Ornop harus fokus pada isu-isu terbatas sesuai dengan limitasi mandat
organisasinya masing-masing. Limitasi mandat pada isu tertentu itu praktis berdampak pada terabaikannya isu-isu lain di masyarakat yang boleh jadi
jauh lebih urgen dan krusial untuk ditangani.
22
Memang, pengorganisasian itu seringkali bersifat parsial. Bahkan tidak jarang prosesnya lebih mengacu pada
strategi problem solving yang cenderung “hit and run”. Ketika masalah masalah terselesaikan, pengorganisasian terkadang juga selesai. Karenanya banyak para
pegiat Ornop tidak tahu menahu lagi apakah masyarakat mampu menghadapi ketika muncul masalah baru.
23
Jika demikian halnya, maka menjadi sulit untuk ditepiskan adanya anggapan bahwa spiritidealisme pengorganisasian
masyarakat Ornop tetap saja berkelit dengan simptom-simptom pragmatisme guna melegitimasi eksistensi kelembagaan di mata pemangku kepentingan
utamanya.
Terlepas dari beragam pandangan di atas, ada satu hal mendasar yang penting untuk diajukan terkait dengan peran pengorganisasian Ornop di
masyarakat dalam konteks bernegara. Konteks itu tentu sangat berpengaruh pada konsep pengorganisasian di masyarakat oleh kalangan Ornop. Maka
muncul pertanyaan penting untuk dipertimbangkan yaitu: “sejauh manakah batasan peran dan posisi Ornop dalam proses penyelesaian persoalan di
masyarakat?”. Bukankah itu merupakan peran yang mustinya diemban oleh negarapemerintah?
24
Tak terbantahkan ada begitu banyak fakta bahwa negara pemerintah sangat produktif melahirkan kebijakan yang mengkhianati hak-hak
dasar warga negara. Tak ayal, berbagai nilai kearifan lokal terpinggirkan, keahlian lokal masyarakat terkebiri, tidak sedikit pula yang terberangus. Dalam situasi
semacama itu, Ornop harus mengambil posisi untuk turut menumbuhkan lagi kearifan lokal yang sudah kian hilang agar muncul kearifan baru yang mampu
membawa masyarakat menuju transformasi sosial. Bagaimanapun Ornop juga harus ambil bagian dalam mendorong pemulihan kembali berbagai pranata
sosial yang pernah ada di masyarakat. Selain itu, peran mereka juga dibutuhkan terutama untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya lokal di komunitas akar
rumput.
Dalam kondisi seperti itu, Ornop idealnya memang harus mampu menghidupi dirinya sendiri. Setidaknya, ia harus dapat mencukupi kebutuhan
biaya operasional rutin lembaganya. Bagaimanapun ia mesti merealisasikan “pemberdayaan kemandirian” yang sering mereka gembar gemborkan di
masyarakat. Patut diakui, ketergantungan pada lembaga donor adalah perangkap yang di satu sisi “tak diingini” menurut kesadaran idealis tapi “dirindukan”
22
Tanggapan Indri terhadap paparan Roem Topatimasang
23
Tanggapan Koirul Anam terhadap paparan Roem Topatimasang
24
Tanggapan Adi Nugroho
50
menurut kebutuhan pragmatis Ornop. Meminjam analisis psiokoanalisis Sigmund Freud inilah potret pertarungan antara Id, Ego dan Superego. Persis
dalam perkara inilah Ornop menghadapi dilema. Di satu sisi Ornop menuntut masyarakat untuk mandiri, di sisi yang lain ia diperhadapkan pada godaan
ketergantungan yang seringkali sulit dihindari. Sementara secara moral Ornop dituntut untuk lebih dulu mencontohkan praktik kemandirian itu. Kendati pun
sulit dihindari, namun godaan ketergantungan dapat perlahan dikendalikan. Setidaknya agar ia tidak menjadi tindakan yang terpola hingga bermetamorfosa
menjadi habit kebiasaan sikap. Jika pola pikir, sikap dan tindakan itu sudah terinternalisasi atau bahkan terinstitusionalisasi maka dapat dikatakan bahwa
Ornop tersebut telah mendaulat ketergantungan sebagai ideologi baru.
Untuk menghadang pola ketergantungan sebagai ideologi baru itu, Ornop mesti menyemai pemikiran kritis yang dapat melimitasi pola ikirsikap
kompromis oportunistik kepada para pegiatnya. Misalnya saja, penting untuk menyuntikkan kesadaran bahwa donor sebenarnya hanya sebagai pelengkap
supplementary dalam kerja-kerja Ornop. Donor dibutuhkan hanya jika masyarakat
tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya. Sebagai metode di tingkatan teknis, Ornop dapat mengambil opsi untuk mengoptimalkan dan memobilisasi sumber
daya lokal yang ada di masyarakat, meskipun tidak mesti harus 100. Beberapa contoh riilnya, dapat dikaji kembali gerakan masyarakat Yogyakarta dan Jawa
Tengah paska gempa bumi 27 Mei 2006 atau gerakan warga paska erupsi merapi 26 Oktober 2010 silam yang mampu membantu para penyintas dan korban
bencana dengan segenap kemampuan yang mereka punya. Peristiwa itu mestinya dapat membuka kesadaran berbagai kalangan termasuk kalangan Ornop
sendiri bahwa daya kekenyalan kelenturan masyarakat untuk menghadapi situasi-situasi sulit community resilience itu merupakan senjata potensial yang
keberadaannya terlekat embeded dalam institusi lokal masyarakat itu sendiri. Kendati penanganan paska bencana terkesan“management by accident
”, namun fakta riil tetap saja tak dapat dinaikan, yaitu bahwa potensi keberdayaan self-
reliance itu benar-benar ada bahkan berlipat ganda hingga membentuk jejaring sosial yang mampu memobilisir sumber-sumber daya lokal untuk optimalisasi
aksi tanggap darurat. Maka terkait dengan upaya memberdayakan pranata lokal
sebagaimana di sebutkan di atas, bagaimanapun juga kita tetap butuh waktu dan proses yang panjang. Penelusuran akar sejarah kelembagaan lokal di masing-
masing komunitas perlu penekanan tersendiri dalam proses revitalisasi itu.
Dalam dinamika wacana tersebut Ornop lagi-lagi perlu mempertanyakan secara kritis pada diri sendiri untuk apa dan untuk siapa semua itu dilakukan.
Tidak dikenal jalan pintas karbitan dalam kamus pengorganisasian masyarakat. Boleh jadi Ornop dapat menggunakan metode radikal—yang dalam artian
sesungguhnya radic berarti akar—dan bukannya revolusi, karena revolusi hanya
akan memakan anaknya sendiri. Kalau pun revolusi itu terjadi di Indonesia toh itu tetap tak akan berarti ketika struktur sosialnya juga tidak berubah. Sekadar
51
catatan saja, di Indonesia, revolusi sosial hanya terjadi di Sumatera Timur yang dimotori oleh buruh perkebunan pada tahun 1943.
25
Segenap daya upaya apapun yang manusia lakukan sejatinya akan berujung pada apa yang sering dikonsepsikan sebagai kemakmuran wealth atau
kesejahteraan well being. Namun pernahkah ditanyakan pada diri sendiri apa kemakmuran dan kesejahteraan itu. Selain itu, bagaimana pula cara kemakmuran
atau kesejahteraan itu dapat dicapai?; seperti apa batasan kemakmuran atau kesejahteraan itu?; jika kesejahteraan atau kemakmuran sudah tercapai, benarkah
manusia akan tetap mengejar tingkatan kesejahteraankemakmuran yang lebih tinggi? Tidaklah mudah untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Namun
setidaknya dapat ditegaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan dalam kamus
manusia bermental rakus, tamak, loba greedy hampir tidak berlimitasi kecuali ajal. Memang limitasi kesejahteraan dan kemakmuran itu sendiri cenderung
“tidak pasti.” Jika diilustrasikan ia berada dalam lapisan gradatif f uzzy set theory.
26
Dalam dunia sosial, tolok ukur atas kemakmurankesejahteraan itu dapat jadi berada dalam rentangan yang beragam juga. Selain rasionalitas ekonomi, tolok
ukur kesejahteraan dan kemakmuran itu melekat dalam lapis-lapis dunia sosial itu sendiri. Salah satu diantaranya “etika ethic dan disiplin diri”.
Menyimak pada perubahan sosial kontemporer, “disiplin diri dan etika” telah menjadi komponen kehidupan yang pesonanya kian pudar, untuk tak
menyebut hilang, di kalangan masyarakat. Rasionalitas instrumental ekonomi cenderung lebih mendominasi konsepsi masyarakat tentang kemakmuran
kesejahteraan hingga menyisihkan spiritjiwa sosial masyarakat aspek etis.
Dalam konteks ini, maka bagaimanapun juga upaya menumbuhkan etik- jiwa sosial juga menjadi bagian dari tugas Ornop dalam proses penguatan
pengorganisasian masyarakat. Itu dapat dimulai dari hal yang sangat sederhana. Misalnya seperti Mahatma Gandhi yang menyerukan: “Jahit bajumu sendiri dan
buat garam dapurmu sendiri”, lantaran pakaian dan garam di India ketika itu adalah produk imperialisme Inggris.
25
Paparan Roem Topatimasang.
26
Fuzzy set theory atau fuzzy logicdiperkenalkan kali pertama oleh Dr. Loti Zadeh dari Universitas California, Berkeley pada 1965. Logika ini membantah logika klasik yang menyatakan bahwa segala
sesuatu bisa diekspresikan dalam oposisi biner binary—hitam atau putih, ya dan tidak, makmur dan tidak makmur, sejahtera dan tidak sejahtera, dll. Logika fuzzymempremiskan adanya tingkat
“kebenaran” tertentu yang gradatif. Lihat lebih jauh dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, London: Routledge, 1998, hlm. 1653 dan 2997.
52