Ornop Ideal: Gugatan Realitas-Aktual

26 konteks ini, dapat digagas misalnya dengan cara melakukan proses bargaining position dengan donor internasional, agar program yang dijalankan tidak harus tunduk pada platform mereka secara kaku. Jika demikian mekanismenya, apakah donor internasional itu masih bersedia untuk mendanai program? Poin penting itulah yang mesti direleksikan dan pikirkan untuk menemukan jawabannya.

C. Ornop dan Gerakan Sosial

9 Beberapa gugatan di atas pada dasarnya merupakan realitas faktual yang mesti dihadapi Ornop di era kapitalisme mutakhir saat ini. Kesemuanya merupakan kritik atas pergeseran peran Ornop sebagai “motor” gerakan sosial. Di sini, peran Ornop dipertanyakan kembali, utamanya yang terkait dengan ideologi, spirit, dan karakter gerakan strategisnya untuk mengawal perubahan sosial di masyarakat. Pada tataran ini, perlu ada kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka dalam merespon berbagai kritik tersebut. Ornop lahir dari suatu idelisme gerakan yang ingin mencapai tujuan tertentu. Idealisme itu biasanya tertuang di dalam visi dan misi organisasi yang menjadi dasar atau landasan nilai dan gerak dari organisasi tersebut. Seiring perkembangan Ornop, baik dalam hal kapasitas, program, dan kepercayaan donor, tidak jarang membuat Ornop yang bersangkutan justru bergeser dari visi dan misinya semula. Salah satu sebabnya karena tuntutan platform donor yang acap kali sangat kaku rigid. Banyak kasus menunjukkan betapa konsekuensi perkembangan Ornop itu justru berandil besar dalam memicu konlik internal organisasi. Alih-alih menjadi pembebas bagi masyarakat yang terpinggirkan ataupun menyadarkan si kaya untuk memiliki jiwa sosial, mereka sendiri justru menjadi bagian dari masalahhambatan dalam gerakan sosial itu sendiri. Dalam situasi semacam itu, Ornop tak cukup berdaya untuk menjadi agen perubahan agent of change yang dapat membebaskan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan dari perangkap ketertindasannya. Jika sudah sedemikian jauh kemelencengan dari visi dan misi itu terjadi, lantas bagaimana mesti disikapi hal itu? Apakah Ornop masih dapat berjalan pada rel semula, kembali ke kithah-nya sebagai agen perubahan sosial? Di sinilah letak persoalan mendasar dari Ornop: kemandirian. Patut disadari bahwa kata kemandirian bukanlah konsepsi solid yang nir- prasyarat. Kemandirian merupakan ramuan dari beragam anasir yang tak mudah untuk dipahami,terlebih direalisasikan. Kemandirian adalah “kesendirian” yang bukan berarti tidak butuh orang lain. “Kesendirian yang dimaksud merujuk pada kondisi otonom-otoritatif untuk menginisiasi dalam memposisikan diri, mengatur diri, dan mengaktualisasikan diri self-initiating, self-adjusting, self- 9 Paparan ini dikembangkan dari berbagai tanggapan audiens—organisasi mitra KIA—atas presentasi seminar Susetiawan,Ornop: Kini Berjalan Tanpa Ruh, dan diperkaya dengan mengelaborasi presentasi Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial. 27 actualization dengan mendasarkan diri pada nilai yang dipercayai. Singkatnya, kemandirian adalah sebuah kondisisituasi dimana seseorang atau kelompok orang secara otonom berani bertindak dan mengambil risiko dalam menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan nilai, prinsip, atau idealisme yang diyakininya. Terkait dengan upaya mengakses dana layanan kemanusiaan ke lembaga donor, Ornop harus memiliki posisi tawar bargaining position secara setara. Di tengah upaya mengembang spirit profetik pembebasan untuk kaum miskin, kelaparan dan terpinggirkan, Ornop juga memiliki peluang untuk menginisiasi kegiatan ekonomi produktifnya sendiri. Ornop tetap memerlukan sayap ekonomi produktif tersebut. Bagaimanapun juga spirit profetik dan spirit ekonomi tidak dapat dipertentangkan secara biner. Agar watak profetik Ornop tidak bergeser ketika secara kelembagaannya berkembang, maka perlu upaya penyiapan manusia dengan merancang sistem internalisasi nilai-nilai dan spirit secara berimbang ideologi dan praksis di dalam Ornop masing-masing. Seoptimal mungkin nilai-nilai itu terposisikan sebagai way of life dari para pegiat atau staf yang tergabung di dalamnya. Hal yang juga tak kalah penting adalah perlunya membangun dan memperbaiki struktur dan sistem sosial-ekonomi. Jika keduanya diimplementasikan secara berimbang maka Ornop yang strategis dan berkelanjutan dapat terealisir. Dengan demikian, spirit gerakan sosial berpeluang besar untuk tetap terjaga pula. Kendati demikian, patut dicatat di sini bahwa keberlanjutan sustainability itu tidak selalu berkorelasi dengan kepemilikan resources yang besar ataupun didukung oleh donor yang kuat. Banyak kasus menunjukkan bahwa dukungan donor yang kuat ataupun resources yang besar pada akhirnya justru berujung keruntuhan collapse lantaran salah urus mismanagement . Dalam hal ini, nampaknya perlu menggunakan metode “berikir di luar tempurung” think out of the box bahwa bukanlah perkara besarnya sumberdaya terutama material ataupun kuatnya donor yang dihitung untuk merancang keberlanjutan sebuah Ornop. Melampaui itu semua, ada hal yang lebih penting dan krusial untuk dipertimbangkan terkait dengan aspek keberlanjutan tersebut. Hal yang dimaksud adalah tentang bagaimana caranya dapat diletakkan bangungan keberlanjutan itu dalam pondasi nilai-nilai gerakan sosial yang lazim menjadi penciri keberadaan Ornop itu sendiri. Untuk dapat membangun nilai-nilai gerakan sosial, Ornop dituntut memiliki kapasitas dan ketrampilan untuk berjejaring dan meluaskan kemitraan di antara sesama Ornop. Adalah keutamaan jika ada Ornop yang besar menyediakan peluang yang besar pula bagi terwujudnya jejaring sosial diantara Ornop-Ornop yang kecil lainnya. Demikian pula sebaliknya, Ornop yang kecil perlu lebih aktif dan bertekun mendinamisir diri dalam jejaring yang ada. Dengan demikian akan terjadi sinergi di antara Ornop yang ada, sehingga terbentuk sebuah komunitas epistemik epistemic community dengan menjangkarkan keseluruhan prosesnya pada kehendak untuk saling berbagi dan saling menguatkan baik dalam 28 kepedulian, spirit gerakan, nilai-nilai solidaritas di antara anggota jejaring itu dalam bingkai kemitraan yang setara dan sinergis. Bagaimanapun juga, upaya untuk membentuk komunitas epistemik semacam itu dibutuhkan peran besar para intelektual organik yang berakar pada konteks sosio-sejarah dan kultural masyarakat dimana mereka hidup. Dalam komunitas epistemik semacam itulah sosok-sosok local genius akan terlahir dan besar bersama gagasan organiknya yang merepresentasikan berbagai suara dan kebutuhan masyarakat terhadap perubahan sosial yang berkarakter pembebasan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disarikan beberapa poin penting yang terkait dengan Ornop sebagai “motor” gerakan sosial. Adalah sebuah keniscayaan bahwa Ornop, seperti halnya organisme manusia, tidak terlepas dari kebutuhan spiritual, sosial, dan isik. Upaya untuk menyeimbangkan ketiganya tentu saja membutuhkan waktu dan proses yang tak berkesudahaan. Bagimanapun juga Ornop harus senantiasa berdialog dengan konteks perubahan yang mensejarah itu. Tak pelak lagi, Ornop pun harus senantiasa siaga menghadapi berbagai macam tantangan yang tidak ringan untuk ditaklukkan. Tantangan terbesar Ornop yang banyak menuai sorotan adalah kian tergerusnya benteng pertahanan Ornop untuk mengemban spirit gerakan sosial. Padahal itulah khitah Ornop sesungguhnya. Dalam tataran praksis spirit itu dapat diejawantahkan dalam berbagai penegasan sikap dan tindakan yang senantiasa mengacu pada orientasi pembebasan. Dalam konteks Indonesia, Ornop dapat menjumbuhkan opsi praksisnya sesuai konteks semasa. Misalnya, Ornop dapat mengejawantahkan praksis pembebasan itu dengan melakukan advokasi dan penyadaran publik dengan metode pemikiran kritis dan dekonstruksi demi tergalangnya kekuatan perang melawan birokrasi yang korup, perang melawan kemiskinan dan kelaparan, penolakan atas segala bentuk tindak kekerasan, penguatan demokrasi dan perdamaian, dan lain sebagainya. Inti dari seluruh uraian di atas adalah perihal daya upaya civitas Ornop untuk memperjuangkan sebuah nilai keutamaan yang menjadi elan vital dari corpus Ornop itu sendiri yaitu spirit gerakan sosial.Terlalu mahal bagi Ornop untuk menggadaikan spirit gerakan sosial itu sekadar untuk mengais “keuntungan palsu” fake proit atau “keuntungan sekali pakai” disposable proit dalam struktur mediasi donor. Bagaimanapun spirit dan moral gerakan sosial akan menegaskan bahwa Ornop bukanlah saudagar, pialang,broker, makelar, ataupun blantik, yang mengkomodiikasikan proyek-proyek pembangunan sekadar menuruti mental loba haus laba. Ornop juga bukanlah operator, kurir, pelansir proyek yang gemar mengkomodiikasikan berbagai layanan kemanusiaan. Maka dalam spirit gerakan sosial ini, seluruh cita-cita itu tentu berpulang sepenuhnya kepada itikad dan tekad Ornop untuk menjalaninya. Tak akan ada azab apapun untuk watak konsisten. Peluang keberlanjutan Ornop akan senantiasa terbuka, kendatipun ia mengambil opsi tegas untuk tetap konsisten menghidupi spirit gerakan sosial tersebut, bahkan mungkin dalam dinamika perubahan peradaban yang