Sistem Manajemen Keuangan: Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan PSAK Nomor: 45

89 Bila dipaparkan berdasarkan kategori, garis besar kendalakesenjangan terkait PIME ini dapat terpilah menurut kendala di masing-masing tahapan, yaitu: Sistem Perencanaan, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi itu sendiri. Kendala di tahapan perencanaan misalnya: terjadi kendala saat memotret atau mengidentiikasi lembaga sendiri, sehingga kebutuhan internal lembaga dan kebutuhan masyarakat menjadi terabaikan dan kemana orientasi lembaga pun tidak jelas. Dijumpai pula kasus perencanaan hanya dibuat oleh segelintir orang saja dapat karena kebiasaan, disharmoni antar staf, terbatasnya SDM tanpa melibatkan segenap civitas Ornop, sehingga tidaklah mengherankan jika antara perencanaan yang dibuat dengan implementasi sering tidak nyambung atau realistis. Dengan latar belakang persoalan itu, adalah keniscayaan jika perencanaan akhirnya hanya sekadar sebuah dokumen yang tak terjamah oleh implementasi sebagai satu kesatuan tahapan sekuensial. Jika ditilik dari aspek SDM di kalangan Ornop, terdapat kecenderungan yang sangat khas bahwa personil Ornop sangat terbiasa menonjolkan aspek komitmen namun abai pada perkara manajerial semacam itu. Mekanisme insentif dan disinsentif semacam sangsi atas pengabaian perencanaan pun jarang dikenal di kalangan Ornop. Masih terkait dengan proses perencanaan, jika pun ada upaya pembenahan yang biasanya membutuhkan proses adaptasi yang panjang. Proses perubahan manajerial tidak jarang berakibat pada pergeseran personil dalam lembaga. Beragam dalih mengemuka sebagai bentuk resistensi atas proses perubahan kebijakan. Beragamnya latar belakang dan pengalaman staf tentu saja kian memperpanjang proses adaptasi. Dalam situasi semacam ini, tak jarang mitra merasa begitu dekat dengan fatalisme: betapa langkanya mendapati SDM yang militan dan sesuai kebutuhan organisasi. Berlanjut pada proses Implementasi PIME, banyak Ornop terhadang oleh beberapa kendala: Pertama , di tingkatan kelembagaan kurang adanya konsistensi antara kebijakan dengan implementasinya, termasuk diantaranya sistem PIME ini. Implikasi dampak atas ketidakkonsistenan ini tentu saja berdampak luas bagi organisasi yang bersangkutan. Kedua , board sering tidak terlibat dalam implementasi PIME. Atau kalau pun toh terlibat board tidak melakukan monitoring dan evaluasi hingga di tingkat lapangan. Salah satu alasannya karena mereka tidak paham mengenai sistem PIME dan akhirnya hanya diserahkan sepenuhnya kepada eksekutif. Dalam sejumlah kasus board tidak mengawal proses implementasi sehingga mereka hanya menyampaikan secara lisan. Level terburuknya adalah ketika board justru didikte untuk mengatakan hal yang tak diketahuinya saat ada evaluasi eksternal. 90 Ketiga , eksekutif mengimplementasikan PIME baru di tingkatan proyek dan belum sampai tataran organisasi secara keseluruhan. Terhitung masih jarang eksekutif yang memiliki keahlian di bidang PIME. Selain kurang mumpuni, eksekutif juga enggan untuk mendokumentasikan, kalau pun ada sekadar catatan harian saja yang tidak tersistematisasi dengan baik. Banyak kasus juga eksekutif melakukan monitoring dan evaluasi tidak sampai di lapangan, tetapi hanya dari balik meja saja. Keempat , ketika dilakukan evaluasi organisasi oleh eksternal evaluator, orang yang biasanya ditugaskan untuk mengawal hanyalah staf lapangan saja. Justiikasinya bahwa staf lapangan yang lebih tahu medan dan hal ihwal komunitas dampingan. Beberapa kasus muncul, paska evaluasi eksternal baru terbongkarlah berbagai kekurangan dan borok-borok lembaga. 106 Selinier dengan perkara di dua tahapan sebelumnya, kendala monitoring dan evaluasi hanyalah konsekuensi logis dari kendala tahapan sebelumnya. Tak jelasnya perencanaan organisasi dan implementasi akan berujung pula pada ketidak jelasan landasanpanduan monitoring dan evaluasi. Referensi dan indikator acuan monitoring dan evaluasi tak akan berarti apapun tanpa adanya pertautan nyata antara apa yang direncanakan dan diimplementasikan. Kendati terdapat perencanaan dan implementasi yang baik, kendala utama dalam proses monitoring dan evaluasi yang lazim terjadi di kalangan Ornop adalah ketidakkonsistenan proses itu secara periodik. Inkonsistensi periode monitoring dan evaluasi tentu saja sangat berdampak pada penilaian yang tak sesuai lagi, baik dalam ketepatan waktu, guna, sasaran, hingga pada perumusan rekomendasi dan kebijakan paska monitoring dan evaluasi tersebut. Catatan penilaian dan rekomendasi yang tak tepat akan berbuah rumusan kebijakan yang sewaktu-waktu akan jadi bumerang bagi organisasi. Sekadar mempertajam pemahaman tentang proses monitoring dan evaluasi, berikut dapat disimak komparasi antara monitoring dan evaluasi yang konvensional dan partisipatif. 106 Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Hasil Diskusi Pertemuan Mitra KIAICCO ke 17, hlm. 3-7. 91 Beberapa Perbedaan Monitoring dan Evaluasi Konvensional Monitoring dan Evaluasi Partisipatif Siapa yang enginisiasi? Donor Donor dan Para Pemangku Kepentingan Proyek Tujuan Akuntabilitas Donor Pengembangan Kapasitas, peningkatan atas akuntabilitas para pemangku kepentingan dan hasil capaian Siapa yang Mengevaluasi? Evaluator Eksternal Para pemangku kepentingan proyek yang dibantu oleh Fasilitator Perencanaan, Monitoring Evaluasi ToR Dirancang oleh Donor dengan masukan terbatsa dari proyek Dirancang oleh para pemangku kepentingan proyek Metode Survei, Kuisener, wawancara semi- terstruktur, Kelompok Diskusi Terarah Mencakup metode seperti Participatory Learning and Action, dan Riset Apresiatif, Testimoni. Hasil Capaian Laporan akhir beredar di kalangan sendiri Akan lebih baik memahami berbagai realitas lokal, para pemangku kepentingan terlibat dalam pembuatan keputusan seputar analisis dan apa yang mesti dilakukan dengan informasi untuk menyesuaikan strategi proyek dan aktivitas bagi tercapainya tujuan secara lebih baik. Itulah sejumlah pengalaman yang mengemuka dalam sharing tentang sistem PIME di kalangan mitra. Bertolak dari berbagai kendala di atas, maka rumusan konseptual-ideal sistem PIME yang berhasil diformulasikan para mitra tertuang dalam beberapa poin sebagai berikut: pertama , adanya kesamaan persepsi bahwa PIME bukan hanya sebuah dokumen melainkan sebuah system dan siklus organisasi yang terpadu; kedua , adanya dokumen perencanaan strategis yang menjadi dasar pengembangan program lembaga; dan ketiga , adanya draft kebijakan PIME pada tingkat lembaga, dan proyek. Saripati tiga formula tingkatan kapasitas dalam sistem PIME menurut mitra terjabarkan dalam bagan berikut. 107 107 Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Tata Kelola Organisasi dan Sistem PME, hlm.18 92 Hampir dapat dipastikan berbagai kendala itu sering dihadapi oleh banyak Ornop di Indonesia. Untuk mengadopsi tiga tingkatan kapasitas dalam sistem PIME yang ideal itu, Ornop perlu mereleksikan kembali langkah-langkah internalisasi yang telah dijalankan selama ini. Perlu dicatat di sini bahwa proses internalisasi sistem PIME semacam itu perlu menggunakan metode leveling internalisasi yang dilakukan dengan staf tentu saja akan berbeda dengan board, atau tim manajemen, staf lapangan, atau volunteer. Tanpa metode leveling, perencanaan yang dilakukan sama artinya abai terhadap keberagaman peran didalam organisasi. Tentu saja bukanlah deinisi PIME yang diinternalisasi, melainkan ilosoinya dan pengertian dasar, manfaat, serta alurnya. Beragam perencanaan seperti perencanaan bulanan, perencanaan semester, perencanaan tahunan tentu saja harus memiliki landasan dasarnya. Demikian pula implementasi, Ornop harus memahami bagaimana cara melaksanakan, standar pelaksanaan kegiatan, proses pelaksanaan, hingga bagaimana melakukan analisis penerima manfaatnya. Sementara menyoal monitoring, Ornop harus mendesain berbagai aspek dalam monitoring tersebut, seperti meteri, penerima manfaat, waktu pelaksanaan, dll. Hal-hal apa saja yang ditemukan dalam kegiatan dan apa rekomendasi untuk hasil temuan tersebut. Seluruh proses itu harus disusun dalam bentuk laporan tertulis dan seoptimal mungkin sistematis. Dan akhirnya pada proses evaluasi, Ornop perlu melihat kontribusi dari suatu kegiatan terhadap kontribusi pada tujuan proyek, program, dan tujuan lembaga; sehingga terlihat apa yang kita rubah. Dengan kata lain, sistem PIME sebagai wahana untuk mewujudkan tata kelola yang baik secara ideal akan mencakup sinergisitas dan keterpautan yang utuh antara sistem PIME Ornop, sistem PIME proyek Ornop, hingga sampai sistem PIME organisasi masyarakat sebagai mitra kerjanya.Keutuhan sistem PIME terjabarkan dalam bagan berikut. 108 108 Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Tata Kelola Organisasi dan Sistem PME, hlm.17.