103
berimplikasi pada sifat dekonstruktif bahkan distruktif ketimbang konstruktif. Untuk mengatasinya, organisasi harus mampu memberikan alternatif-alternatif
yang rasional agar ada ruang untuk staf membangun kekritisan, termasuk misalnya di kalangan dewan. Catatan terpenting dalam konteks ini adalah bahwa
bagaimanapun juga proses paska rekruitmen itu sendiri sangatlah menentukan. Terlalu naif untuk berpikir bahwa awal rekruitmen akan memperoleh orang
yang sudah “jadi” atau bahkan “mumpuni” sebagaimana yang diharapkan.
124
Setelah persoalan rekruitmen personalia organisasi dibahas, aspek lain yang tak kalah menentukan pada keberlanjutan organisasi adalah keberadaan
indegenous program yaitu semacam kekhasan program sesuai dengan tuntutan kebutuhankonteks lokal warga penerima manfaat. Dengan kata lain, salah satu
keberlanjutan juga ditentukan oleh bagaimana cara pemilihan program yang dijalankan Ornop itu sendiri. Kekhasanoriginal program dan menarik itu dapat
ditemukan dengan cara melacak kembali lesson learned dari berbagai pendekatan dan praksis pemberdayaan komunitas yang telah mereka lakukan.
125
Keberakaran program di tingkat lokal bagaimanapun perlu mendapat prioritas. Ornop perlu memberi peluang bagi munculnya gagasan original yang
kontekstual meski kadang berbeda dari isu-isu pesanan donor internasional sekalipun. Dengan indegenous program
yang khas dan kontekstual itu, Ornop dapat menunjukkan kinerja yang baik. Kekhasan program dapat berkonsekuensi
pada kekhasan organisasi, dan tidak menutup kemungkinan turut menentukan keberlanjutan organisasi juga.
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa untuk menginisiasi langkah keberlanjutan organisasi, Ornop perlu memformulasikan perimbangan
proses antara prioritas internal tanpa abai terhadap prioritas ekternal pula. Hanya dengan menimbang pada balancing process antara prioritas internal dan
prioritas eksternal itulah organisasi berpeluang untuk berkelanjutan.
126
Dengan kata lain, keberlanjutan organisasi harus menimbang berbagai unsur seperti:
eisiensi, efektivitas, kepemimpinan leadership, dan relevansi antara visi misi dengan dinamika masyarakat. Berbagai kepercayaan dari para pemangku
kepentingan perlu senantiasa dikedepankan. Bagaimana Ornop mengelola berbagai kepercayaan dan mandat itulah yang perlu didiskusikan dan dikaji
secara lebih dalam.
127
Menyoal kinerja, Ornop kadang menghadapi persoalan riil seperti berikut. Pada saat ingin membangun kinerja yang tinggi, Ornop membutuhkan kualitas
SDM yang memadai. Kualiikasi SDM semacam itu seringkali berkonsekuensi pada standar gaji yang tinggi. Namun biasanya, gaji yang tinggi itu akan ditentang
124
Andreas Subiyono
125
Putri YAPHI
126
Timotius Apriyanto
127
Bonar Saragih
104
oleh sejumlah pihak. Untuk kasus semacam itu, perlu dirujuk kembali pada akar semangat dan spirit organisasi. Organisasi memiliki aturan standar atau sistem
penggajian reward yang dapat dijadikan dasar atau tidak. Andai pun sudah
ada, perlu ditilik pula standar kepantasan tertentu dengan melihat proporsi gaji pimpinan misalnya. Kurang tepat jika secara simplistis menentukan besaran gaji
itu sekadar untuk menyesuaikan pada standar UMR. Mungkin jauh lebih baik jika Ornop berkomitmen pada sistem yang dipakai dalam organisasi. Dan itu
harus dijelaskan secara transparan dalam internal organisasi dengan menghitung
rasionalitas dari kinerja keuangan yang dipunyai organisasi. Dalam hal ini, staf paling tidak mengetahui dan memahami kapasitas lembaga. Transparansi
semacam itu dimaksudkan agar tidak timbul tanda tanya di kalangan staf.
Perlu juga dibangun kesadaran pada seluruh civitas Ornop tentang berbagai peluang opportunities yang didapatkan oleh staf di luar gaji. Berbagai peluang
yang akan didapat di Ornop itu seperti aktualisasi diri, pengembangan kapasitas, kondisi kerja, relasi kerja, dan lain sebagainya. Ornop mesti juga tegaskan
bahwa di dunianya tidak akan ditemukan jenjang karier seperti di perusahaan atau lembaga pemerintah. Penting juga untuk dicatat di sini bahwa orientasi dari
kebanyakan lembaga yang berbentuk Yayasan seringkali bias pada akumulasi aktiva yang dipunyainya. Orientasi kelembagaan semacam itu sesungguhnya
memiliki banyak kelemahan ketimbang kelebihan.
Tindakan itu sama artinya menanam bom waktu saja. Banyak Ornop yang berbentuk Yayasan pada akhirnya justru menuai sengketa, perseteruan,
pertikaian, dan bahkan hingga sampai pada perpecahan untuk memperebutkan assetaktiva yang terakumulasi tersebut. Hal yang sebenarnya jauh lebih strategis
untuk dilakukan Ornop adalah merancang keberlanjutan dari segi SDM yang berkualitas misalnya pengembangan kapasitas melalui berbagai program
pelatihan atau pendidikan formal bagi para stafnya, dan bukan akumulasi penumpukan asset. Peningkatan kapasitas staf itu tentu harus tertuang dan
ternyatakan dalam suatu regulasi tertulis yang jelas dan terdokumentasi. Namun patutlah disadari bahwa kendati seluruh proses rekruitmenseleksi dan sistem
reward standar gaji dan berbagai opportunity telah jelas-jelas tertuang dalam
aturan tertulis, Ornop tetap saja akan menghadapi persoalan “bongkar pasang” personil turn over lantaran berbagai faktor yang boleh jadi kasuistik dan di luar
jangkauan kapasitas lembaga.
128
Dari uraian di atas dapat ditarik pemaknaan yang jauh lebih dalam, bahwa terkait pengelolaan SDM tersebut, Ornop seharusnya tidak hanya membicarakan
tentang regulasi, namun juga harus melihat apa lagi yang dikehendaki agar dapat menunjang peningkatan kapasitas SDM dengan memunculkan indikator-
indikator yang tidak sekedar capaian numerik. Dalam regulasipun, standar gaji harus jelas. Tidak selayaknya seorang pimpinan memotong atau mengubah gaji
128
Andreas Subiyono
105
karyawannya jika pimpinan tersebut tidak puas dengan kinerja karyawannya. Bagaimanapun juga harus ada ketentuan-ketentuan yang mendasarinya.
Kepuasan akan capaian kerja seseorang sangat sulit diukur secara numerik, sehingga jika memang SDM tersebut menunjukkan kinerja yang baik dan
memuaskan, maka reward yang diberikan tidak hanya sekedar numerik namun lebih pada apa yang dibutuhkan staf, misalnya pengembangan kapasitas seperti
apa yang akan diberikan. Kepuasan bukan melulu persoalan di tingkat staf saja, tetapi juga persoalan di tingkat pimpinan atau bahkan dewan board sekalipun.
129
Bergabungnya staf baru ke dalam organisasi juga bukan proses mudah dan singkat. Agar staf dapat memahami apa yang diharapkan lembaga, maka
kita perlu mengawal proses penyesuaian mereka dengan mekanisme dan sistem kelembagaan yang telah terbangun dalam organisasi. Perlu ditanamkan watak atau
karakter yang tidak eklusif, misalnya bertumpu pada pertemanan dekat semacam klik. Itu dapat menjadi metode dan strategi mengelola dan menjembatani
kesenjangan gap antara staf lama dengan yang baru. Bagaimanapun juga staf baru harus mau belajar dan memperdalam dunia Ornop. Harapannya ia
dapat segera berkontribusi sesuai dengan profesiperannya. Hal yang tak kalah pentingnya adalah mendorong tumbuhnya semangat solidaritas antar personil
di dalam organisasi.
130
Ornop juga harus menjelaskan batasan tanggung jawab dan peran kepada seluruh personil yang ada. Proses pemahaman atas semua itu
harus senantiasa didiskusikan dan disinegikan melalui mekanisme komunikasi yang bersifat reguler, semisal pertemuan bulanan, triwulan, semesteran, atau
paling tidak rapat reguler tahunan.
131
Bila dikonseptualisasikan dalam pemahaman yang sederhana dan ringkas, keberlanjutan organisasi merujuk pada tersedianya sumber daya dan sumber
dana secara berkelanjutan agar visi, misi dan tujuan organisasi dapat dicapai. Tujuan membangun dan mengembangkan keberlanjutan bagi Ornop sangat
spesiik karena terikat dengan visi sosial dan tujuan organisasi. Karenanya, pengembangan keberlanjutan pendanaan Ornop harus dikaitkan dengan
konteks, visi, prinsip, nilai-nilai dasar dan tujuan organisasi untuk mengupayakan perubahan.
132
129
Bonar Saragih
130
Andreas Subiyono
131
Bonar Saragih
132
Bonar Saragih dalam Notulensi Pelatihan dan Lokakarya, Strategi Keberlanjutan Organisasi, 3 September 2008 hlm. 19
106
Guna mendukung itu salah satu keutamaan yang perlu senantiasa diinternalisasi dalam organisasi adalah tentang bagaimana kemudian
organisasi itu membangun dan mengelola kepercayaan trust. Membangun dan mengembangkan sumber pendanaan bukan hanya sebatas kemampuan
mendapatkan dana untuk kas organisasi, tetapi bagaimana Ornop dapat mulai dari merencanakan, mengelola, mengembangkan kebijakan dan mengendalikan,
mengatur serta mempertanggung jawabkannya bagi kepentingan visi, misi dan tujuan pemberdayaan masyarakat. Membangun dan mengembangkan sumber
pendanaan berarti juga menyiapkan sistem dan tata kelola yang dapat menjamin keberlanjutannya.
133
133
Bonar Saragih dalam Notulensi Pelatihan dan Lokakarya, Strategi Keberlanjutan Organisasi, 3 September 2008 hlm. 19.
107
Berangkat dari seluruh paparan di atas, berikut ini adalah rumusan bagan beserta item-item konseptualnya yang memuat berbagai indikator untuk
mengarah pada keberlanjutan organisasi. Dengan mengacu pada bagan 3 pilar organisasi yang berkelanjutan di atas, dengan mengecek kembali daftar rincianya
lihat bagan di bawah, dapat dimulai menginisiasi, mengukur, memerinci dan memformulasikan lebih lanjut berbagai tahapan yang mungkin ditempuh demi
terealisasinya organisasi yang berkelanjutan.
134
Dari daftar di atas, dapat dimulai dengan mengindentiikasi dan melengkapi berbagai faktor eksternal dan internal yang berpotensi menjadi hambatan bagi
lembaga dalam melakukan analisis dan menjalankan strategi keberlanjutan. Pada akhirnya, keberlanjutan organisasi ini berujung pada kriteria tentang sejauh
mana semua hal di atas menjadi suatu sikap dan kesadaran bersama dan menjadi suatu strategi organisasi yang dituangkan dalam kebijakan organisasi.
Pemahaman tentang keberlanjutan organisasi akan sangat bertumpu pada kematangan proses internalisasi dalam organisasi masing-masing Ornop. Bukan
teori yang bertumpuk yang akan membantu, namun proses sharing pengalaman dan membulatkan tekad bersama untuk berkarya yang akan menentukan
keberhasilan proses mencapai organisasi yang berkelanjutan.
D. Epilog: Ujung Tanduk Dilema
Dinamika perjalanan penguatan kapasitas mitra telah membawa pada beberapa substansi pembelajaran yang dapat dipetik. Setidaknya ada lima catatan
penting dari keseluruhan proses pengembangan kapasitas tersebut. Pertama
, ambiguitas kesadaran. Kelahiran Ornop merupakan bagian dari kegelisahan masyarakat sipil atas berbagai permasalahan kehidupannya yang
134 Bonar Saragih, Op.Cit., hlm.
108
bertaut dengan dorongan moral untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Keberadaan Ornop dengan beragam karakter dan kinerjanya diharapkan
mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat sipil atas relasinya dengan struktur Negara maupun Korporasi Pasar.
Dalam menghadapi struktur Negara dan Korporasi yang sangat kuat tersebut, Ornop secara alamiah membutuhkan kapasitas baik dalam pengelolaan
sumberdaya, pengelolaan spirit, maupun pengelolaan strategi praksis secara baik. Sementara kesinambungan Ornop masih sangat ditentukan dari relasi
kemitraan yang secara ideal dicitrakan sebagai sebuah relasi setara dan dibangun berdasarkan kepentingan dan nilai-nilai bersama. Namun dalam prakteknya
hubungan ini masih sebatas transaksional dalam basis kerjasama proyek. Dalam
situasi seperti itu, Ornop secara sadar maupun tidak sadar lebih memposisikan dirinya sebagai pekerja-pekerja untuk isu-isu kerjasama pembangunan
development workers daripada sebagai pihak yang memiliki kemampuan dan kedaulatan dalam menjalankan misinya secara berkelanjutan. Permasalahan
yang muncul dari pengelolaan organisasi secara berkelanjutan sering dilihat hanya dalam perspektif administratif semata.
Pengembangan kapasitas menjadi sebuah jawaban klise atas berbagai kelemahan yang muncul dari dalam organisasi. Munculnya kesadaran akan
kebutuhan pengembangan kapasitas seringkali terjadi saat organisasi mengalami permasalahan kronis yang harus dihadapi dalam proses negosiasi kemitraan.
Maka program pengembangan kapasitas belum berjalan secara alamiah sesuai dengan konteks yang ada. Kebutuhan pengembangan kapasitas sering hanya
merupakan sebuah retorika untuk melakukan “justiikasi” atas kelemahan- kelemahan yang ada. Munculnya kesadaran akan kebutuhan pengembangan
kapasitas sering datang dari stimulasi dan atau inisiatif pihak luar yang memiliki kepentingan atas keberlangsungan sebuah organisasi. Saat ini masih
sangat sulit untuk menumbuhkan kesadaran pengembangan kapasitas sebagai bagian dari agenda strategis organisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari meningkatkan daya tawar dalam relasi dengan negara dan pasar. Kondisi
seperti ini menghasilkan sebuah pertanyaan retoris, “Apakah pengembangan kapasitas tersebut merupakan kebutuhan pihak luar yang masih mengharapkan
berjalannya mandat ornop secara lebih efektif ? Atau sebagai kesadaran kritis atas menjaga eksistensi dan keberlanjutan lembaganya?”. Terkait dengan pertanyaan
retoris itu, nampaknya perlu kembali menegaskan makna pengembangan kapasitas sebagai berikut: “
Capacity building” is a term beset by conlict and confusion Lewis 2001.p.11. It is open to a number of different interpretations. At one level it is
concerned with building the organizational capacities of NGOs to survive and fulill their mission. At another it is concerned with building the capacity of civil society in its broadest
sense, and strengthening the capacity of key stakeholders including communities, families and
individuals to participate in the political and social arena Eade 1997. p.35. Kedua
, pengelolaan ilmu pengetahuan dan kritik atas kebudayaan berpikir.
109
Dalam budaya Ornop, ilmu pengetahuan sering tidak dikelola sebagai suatu proses terus menerus yang melibatkan para pemangku kepentingan. Informasi
sebagai basis dari Ilmu Pengetahuan masih dikelola sebatas proses menyimpan dan mendokumentasikannya atau maksimal sebatas sharing dokumen serta
menceritakan kembali sebuah informasi yang didapatkan. Pengelolaan informasi
belum mampu untuk memberikan kontribusi yang cukup signiikan dalam upaya memperluas dimensi pemikiran dan pembelajaran pada tingkat individu
maupun organisasi.
Informasi yang masuk hanya diterima dan diolah secara linier tanpa upaya- upaya untuk membongkarnya dalam ruang-ruang persepsi yang sejalan menjadi
sebuah thesis individu atau kelompok. Minim upaya untuk melakukan kajian kritis dalam dialektika mencari titik temu suatu pemahaman baru bersama apabila
Informasi serta pengetahuan yang diterima individu atau organisasi tidak sesuai dengan informasi serta pengetahuan yang sudah ada. Kondisi demikian akan
memperkuat budaya instant dalam Ornop. Sementara itu kebudayaan berpikir menjadi semakin terdegradasi dalam pola-pola konsumsi pengetahuan yang
instant dan partial. Dimensi pemikiran dan pembelajaran merupakan sebuah dimensi yang secara fundamental akan mempengaruhi kehidupan sebuah
organisasi. Hal itu dimungkinkan karena dimensi pemikiran dan pembelajaran
akan mempengaruhi perumusan-perumusan visi, misi dan strategi organisasi. Hasil rumusannya akan menjadi dasar kebijakan strategis dan mempengaruhi
perilaku serta budaya organisasi. Sehingga, menurunnya kualitas budaya berpikir organisasi pasti akan berkontribusi dalam menurunnya kualitas eksekusi dan
dampaknya.
Ketiga , membangun peta jalan pengembangan kapasitas. Kesadaran bahwa
pengembangan kapasitas merupakan bagian integral dari proses menjalankan mandat Ornop secara berkelanjutan masih lemah. Hal itu mengakibatkan
kesulitan dalam menentukan rencana jangka panjang pengembangan kapasitas Ornop. Perencanaan jangka panjang pengembangan kapasitas ornop seharusnya
menjadi satu bagian dari upaya transformasi sosial menuju masyarakat sipil yang kuat.
Keempat , kesiapan Ornop menghadapi lingkungan eksternal. Realita sosial
atas kondisi ketidak adilan yang dialami masyarakat sipil merupakan alasan kuat untuk menjaga keberadaan “Raison d’être
” Ornop. Namun demikian, ironisnya seringkali faktor kuat yang cukup mempengaruhinya justru bukan dari interaksi
sosial organisasi dalam menjalankan mandatnya dengan masyarakat yang membutuhkan. Faktor yang cukup mempengaruhi secara tidak sadar adalah
justru relasi dukungan kemitraan pendanaan Ornop. Sementara itu, organisasi tidak mempersiapkan suatu bentuk adaptasi lingkungan internal untuk menjaga
keberlanjutan lembaga. Kondisi ini menciptakan satu kerentanan yang cukup
tinggi terhadap keberlanjutan sebuah organisasi. Disisi lain, Ornop sering tidak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan nilai-nilai baik melalui
110
program-program maupun kebijakan-kebijakannya. Perubahan kebijakan yang mempengaruhi proyek-proyek kerjasama akan langsung berdampak pada
keberadaan Ornop.
Kelima , Komitmen Kemitraan Ornop Selatan dan Utara. Bangunan Visi
bersama dalam kerangka sebuah kemitraan merupakan sebuah utopia. Hubungan kemitraan antara Ornop negara miskin dan sedang berkembang dengan Ornop
negara maju masih sangat dijiwai dengan semangat ilantropi dalam seting agenda-agenda kepentingan negara maju. Kerangka kerjasama antar masyarakat
sipil-pun tidak pernah terbebas dari tekanan-tekanan dan dinamika politik, serta sosial ekonomi.
Hal berharga yang dapat dipetik dari seluruh perjalanan tersebut adalah bahwa dalam setiap kontradiksi dan paradoks senantiasa tetap tersedia ruang
sekecil apapun bagi idealisme. Idealisme gerakan masa-lalu mungkin jatuh di karakter yang sama-sama terlalu naif: entah konfrontatif ataupun kooperatif.
Boleh jadi idealisme ekstrim konfrontatif tidaklah mendapat tempat. Pula idealisme ekstrim kooperatif abai atas “ruang diri” yang boleh jadi memadai.
Kedua ekstrimitas rupanya tak mendapat tempat karena Ornop belum sadar penuh atas ragam potensi sumberdaya yang sesungguhnya dapat
mendukung idealisme secara utuh. Namun segala sesuatu tidak akan ada peluang untuk berubah jika Ornop menolak memasukinya dan tidak berupaya
untuk mengubahnya. Ornop butuh kesadaran berikut kesediaan menerima realitas yang tidak ideal tetapi tetap ada niatan untuk tetap menyemai idealisme
itu sendiri. Dengan kata lain, dalam realitas yang separadoksal apapun, idealisme tetap memiliki ruang dalam kesertamertaan hadirnya peluang risiko-risiko pula.
Di sanalah uji keberlanjutan Ornop di negeri ini perlu senantiasa diikhtiari dan
diinisiasi, dengan segenap topangan daulat kedirian yang kokoh tanpa perlu berniat menisbikan jalinan kemitraan yang boleh jadi telah, sedang, dan akan
hadir kedepan.
111
Lampiran 1
No PERTEMUAN
POKOK BAHASAN TUJUAN
1 Pertemuan Mitra 1 di Yayasan Sheep Yog-
yakarta 20 Agustus 2005
Spirit Sosial Kerberlanjutan ORNOP
2 SpekHAM SOLO
31 Agustus 2007 Perumusan strategi bersama utk peningkatan kapasitas mitra KIA
3 Pertemuan Mitra 2 di YKP Solo
8 April 2006 KonsepKemitraanStrategis
Versi ORNOP Mitra 4
Pertemuan Mitra 3 di LKTS Boyolali 26 Agustus 2006
Positioning OrganisasiMitra
5 Pertemuan Mitra 4 di YPL Jepara
18 November 2006 MulaiAsesmenOrganisasiMitra
6 Pertemuan Mitra 5 di AWI Yogyakarta
16 Februari 2007 Review Feed Back
AsesmenOrganisasi 7
Pertemuan Mitra KIA ke-6 Di YAPHI Solo Jawa Tengah
11 Mei 2007 Pendetailan kegiatan capacity building selama 1 tahun dan
revisi organizational scan 8
Pertemuan Mitra KIA ke-7 di Spekham Solo
31 Agustus 2007 Pemetaan kendala-kendala mitra dan perumusan strategi pening-
katan kapasitas 9
Pertemuan Mitra KIA ke-8 di Ekasita Solo 9 Nopember 2007
Menjaring masukan dari mitra dan perumusan prioritas pengem- bangan kapasitas untuk lembaga
10 Pertemuan Mitra KIA ke-9 dI SHEEP
Jogjakarta 28
Maret 2008 Perumusan langkah-langkah tindak lanjut lokakarya transformasi
sosial dan memonitor pengembangan kapasitas mitra. 11
Pertemuan Mitra KIA ke-10 dI YKP Solo 4 Juli 2008
Review capaian pengembangan kapasitas dan perumusan pokok- pokok pikiran strategi peningkatan kapasitas
12 Pertemuan Mitra KIA ke-11 Di LKTS
Boyolali 30 Oktober 2008
Perumusan bentuk operasional strategi keberlanjutan organisasi dan perumusan perluasan cakupan pengembangan kapasitas bagi
seluruh pemangku kepentingan organisasi 13
Pertemuan Mitra KIA ke-12 Di SPEKHAM Surakarta
12 Desember 2008 Perumusan masalah dan kebutuhan pengembangan tata kelola
yang berkelanjutan dan perumusan garis besar lokakarya thematis dengan melibatkan para pengambil dan pelaksana kebijakan.
14 Pertemuan Mitra KIA ke-13
Di Yayasan AWI Yogyakarta 29 April 2009
Pengecekan kesiapan organisasi mitra menghadapi dampak imple- mentasi PROCODE dan perumusan strategi alternatif konsolidasi
internal dan antar organisasi mitra. 15
Pertemuan Mitra KIA ke-14 Di Yayasan Pamerdi Luhur Jepara
19 Agustus 2009 Sharing informasi dan up date kebijakan KIAICCO; kritisi capa-
ian program pengembangan kapasitas organisasi mitra; perumu- san strategi dan rekomendasi pengembangan kapasitas dan pola
kerjasama antar mitra
16 Pertemuan Mitra KIA Ke-15
Di Yayasan SHEEP Yogyakarta 6 April 2010
Sharing informasi dan up date kebijakan KIAICCO; Menyepak- ati kerangka konseptual pengembangan kapasitas organisasi mitra
terkait dengan strategi untuk menghadapi dinamika masyarakat sekitar; perumusan rekomendasi aksi untuk pengembangan kapa-
sitas dan pola kerjasama antar organisasi mitra ke depan.
17 Pertemuan Mitra KIA Ke-16
Di LKTS, Boyolali 8 Juli 2010
Pemaparan hasil Assessment PME; perumusan target, indika- tor keberhasilan secara kolektif dan agenda aksi pengembangan
kapasitas mitra untuk PME