28
kepedulian, spirit gerakan, nilai-nilai solidaritas di antara anggota jejaring itu dalam bingkai kemitraan yang setara dan sinergis. Bagaimanapun juga, upaya
untuk membentuk komunitas epistemik semacam itu dibutuhkan peran besar para intelektual organik yang berakar pada konteks sosio-sejarah dan kultural
masyarakat dimana mereka hidup. Dalam komunitas epistemik semacam itulah sosok-sosok local genius akan terlahir dan besar bersama gagasan organiknya
yang merepresentasikan berbagai suara dan kebutuhan masyarakat terhadap perubahan sosial yang berkarakter pembebasan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disarikan beberapa poin penting yang terkait dengan Ornop sebagai “motor” gerakan sosial. Adalah sebuah keniscayaan
bahwa Ornop, seperti halnya organisme manusia, tidak terlepas dari kebutuhan spiritual, sosial, dan isik. Upaya untuk menyeimbangkan ketiganya tentu saja
membutuhkan waktu dan proses yang tak berkesudahaan. Bagimanapun juga Ornop harus senantiasa berdialog dengan konteks perubahan yang mensejarah
itu. Tak pelak lagi, Ornop pun harus senantiasa siaga menghadapi berbagai macam tantangan yang tidak ringan untuk ditaklukkan. Tantangan terbesar
Ornop yang banyak menuai sorotan adalah kian tergerusnya benteng pertahanan Ornop untuk mengemban spirit gerakan sosial. Padahal itulah khitah Ornop
sesungguhnya.
Dalam tataran praksis spirit itu dapat diejawantahkan dalam berbagai penegasan sikap dan tindakan yang senantiasa mengacu pada orientasi
pembebasan. Dalam konteks Indonesia, Ornop dapat menjumbuhkan opsi praksisnya sesuai konteks semasa. Misalnya, Ornop dapat mengejawantahkan
praksis pembebasan itu dengan melakukan advokasi dan penyadaran publik dengan metode pemikiran kritis dan dekonstruksi demi tergalangnya kekuatan
perang melawan birokrasi yang korup, perang melawan kemiskinan dan kelaparan, penolakan atas segala bentuk tindak kekerasan, penguatan demokrasi
dan perdamaian, dan lain sebagainya. Inti dari seluruh uraian di atas adalah perihal daya upaya civitas Ornop
untuk memperjuangkan sebuah nilai keutamaan yang menjadi elan vital dari corpus Ornop itu sendiri yaitu spirit gerakan sosial.Terlalu mahal bagi Ornop untuk
menggadaikan spirit gerakan sosial itu sekadar untuk mengais “keuntungan palsu”
fake proit atau “keuntungan sekali pakai” disposable proit dalam struktur mediasi donor. Bagaimanapun spirit dan moral gerakan sosial akan menegaskan
bahwa Ornop bukanlah saudagar, pialang,broker, makelar, ataupun blantik, yang mengkomodiikasikan proyek-proyek pembangunan sekadar menuruti mental
loba haus laba. Ornop juga bukanlah operator, kurir, pelansir proyek yang gemar mengkomodiikasikan berbagai layanan kemanusiaan. Maka dalam spirit
gerakan sosial ini, seluruh cita-cita itu tentu berpulang sepenuhnya kepada itikad dan tekad Ornop untuk menjalaninya. Tak akan ada azab apapun untuk watak
konsisten. Peluang keberlanjutan Ornop akan senantiasa terbuka, kendatipun ia mengambil opsi tegas untuk tetap konsisten menghidupi spirit gerakan
sosial tersebut, bahkan mungkin dalam dinamika perubahan peradaban yang
29
menghimpit sekalipun.
D. Kemitraan Setara dan Ornop yang Berkelanjutan
10
Jika uraian sebelumnya lebih banyak berfokus pada persoalan ideologi dan spirit gerakan, pada uraian berikut akan mendiskusikan persoalan Ornop pada
tataran yang relatif praktis: yakni soal sumber daya. Selain harus mengakarkan diri pada pondasi spiritnya, Ornop juga perlu menggagas adanya dukungan
sumber daya yang memadai. Kendati bukan satu-satunya cara, namun hal yang lazim ditempuh Ornop untuk mendapatkan sumber daya adalah menjalin kerja
sama dengan lembaga donor. Namun bukan berarti itu tanpa kendala. Kasus menunjukkan banyak Ornop sering menghadapi berbagai kendala dalam menjalin
kerja kemitraan dengan donor. Dalam usaha membina hubungan dengan donor, Ornop sering menjumpai beberapa hambatan seperti: 1 Adanya prosedur dan
administrasi yang rumit; 2 Keterbatasan kapasitas internal organisasi; 3 Sumber daya manusia terbatas apalagi yang mempunyai kompetensi komunikasi dengan
lembaga donor. Tiga hambatan itu nampaknya lazim dirasakan oleh banyak
Ornop di Indonesia. Dalam situasi semacam itu, maka tidak mengherankan jika Ornop gagap berjejaring dan pada akhirnya gagal menundukkan inferioritasnya
sendiri. Alih-alih berposisi setara dalam kerja kemitraan dengan donor, cara mengakses donor pun banyak Ornop tak memiliki kapasitas dan ketrampilan
yang memadai untuk itu.
Bermula dari sindrom inferioritas itu, banyak pegiat Ornop yang bias anggapan bahwa donor dalam menjalin relasi dengan Ornop di Indonesia hanya
mengandalkan pada kredibilitas personal seseorang yang dikenalnya saja contact person
. Menurut mereka, situasi itu tentu saja akan menyulitkan kalangan Ornop yang kecil untuk memperoleh akses ke donor, lantaran tiadanya contact person
yang dikenal donor. Lantas bagaimanakah upaya yang mesti ditempuh Ornop lokal agar dapat menjalin relasi dengan donor jika kapasitas untuk itu pun tak
dipunyai? Itulah pertanyaan yang teramat sering mengemuka dalam berbagai dialog antar aktivis Ornop di Indonesia.
Kendati tendensius dan personal, keluhan lain yang cukup menarik untuk disimak adalah pengalaman buruk sebuah Ornop saat harus menghadapi
broker-broker saat melakukan transaksi dana program dengan donor. Setiap kali transaksi program itu terjadi, si broker biasanya menuntut komisi. Celakalah
bila komisi tak diberikan, kerjasama yang telah berlangsung menjadi memburuk lantaran broker-broker tersebut melakukan black campaign ke lembaga donor
tentang lembaga yang tak memberikan komisi. Kendati itu persoalan yang
kasuistik, namun setidaknya dapat dipahami bahwa dalam dunia Ornop pun tak terbebas dari belitan free rider semacam itu.
10
Paparan ini dikembangkan dari presentasi Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial.
30
Ada banyak pandangan terkait dengan donor. Tentu saja itu terkait juga dengan pengalaman masing-masing Ornop pada saat bermitra dengan
berbagai donor yang ada. Lagi pula donor hanyalah identitas general yang tak merepresentasikan karakter donor-donor yang sejatinya juga teramat beragam
karakternya. Tak sedikit dari donor itu yang berkarakter developmentalis dan pragmatis. Teramat sering dijumpai juga donor yang ternyata justru memposisikan
Ornop lokal tak lebih dari sekadar broker, pialang, makelar, atau blantik program layanan kemanusiaan ataupun pembangunan. Dalam konteks ini, menjadi tak
berlebihan jika muncul tudingan bahwa Ornop merupakan aparatus modern kapitalism. Indikasi-indikasi yang begitu kuat itu kian menegaskan bahwa proses
komodiikasi yang berlangsung dalam relasi Donor-Ornop itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mode of production kapitalisme global saat ini. Relasi
asimetris oportunistik semacam ini tentu menjadi godaan yang sulit disingkiri
apalagi ditolak oleh Ornop lokal. Selain karena butuh pendanaan, kalangan Ornop sendiri juga tidak sedikit yang secara ideologis lemah. Lemahnya benteng
ideologis, menjadikan mereka lebih mudah takluk menaklukkan diri menjadi oportunis ketimbang idealis.
Tentu saja, kelemahan ideologi itu disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor internal kelembagaan adalah yang paling menentukan. Andil faktor
eksternal yang juga tak kalah menentukan adalah tiadanya platform atau code of conduct yang boleh jadi dapat berskala nasionalregionallokal sebagai bagian
melekat dari gerakan sosial Ornop itu sendiri. Sebagai entitas, kompleksitas persoalan itu tentu tidak kondusif untuk berikir dan bertindak kritis atas donor
yang destruktif semacam itu. Terlepas dari seluruh pengalaman di atas, sebagai institusi yang senantiasa
dituntut bekerja secara profesional, donor ataupun Ornop bagaimanapun juga tetap memiliki standar dalam hal pendanaan. Setidaknya ada dua dasar penilaian
donor atas Ornop pada saat mereka hendak menjalin relasi kerjasama. Dua aspek kunci tersebut: pertama
, memiliki reputasi credibility dan kedua, memiliki kesamaan tujuancita-cita. Sebuah Ornop memiliki reputasi dapat ditilik dari
bertemunya antara visi dan misi, yang lazimnya dapat terbaca setidaknya implisit dalam program-programnya. Keterpautannya ada dalam aspek-aspek
program yang bermuatan nilai-nilai, ideologi, dan spirit lembaga. Selain itu, rujukan baku yang tak kalah pentingnya adalah perihal kemanfaatan program
bagi subyek penerima manfaatnya di dalam suatu komunitas. Hal itu dapat terkait
dengan karakter program yang tepat sasaran, tepat gunamanfaat, eisien, dan transparan dalam berbagai tahapan implementasinya.
Sebagian besar donor yang besar dan mapan biasanya mampu mengidentiikasi dengan cepat tentang baik atau tidaknya sebuah program Ornop
itu dirancangdiimplentasikan. Mereka pun piawai menentukan mana Ornop yang akuntabel atau tidak. Itulah beberapa indikator penentu reputasi Ornop.
Semisal tilikan aspek akuntabilitas accountability
, donor akan mengkaji bukan
31
hanya perkara dana saja, tetapi juga segenap aspek dan proses yang menopang terrealisirnya kondisi yang akuntabel itu, termasuk di dalamnya perihal visi dan
misi Ornop tersebut. Perkara reputasi ini memang seringkali terpaut dengan contact person
yang dikenal donor. Kendati demikian, contact person itu sendiri bukanlah faktor kunci. Ia hanyalah faktor pendukung bagi Ornop untuk meraih
kepercayaan donor pada tahap awal saja. Lagi pula contact person itu sendiri toh tidak akan dapat menjadi penjamin sepenuhnya bahwa program dapat berjalan
dengan baik dan berkelanjutan. Bagaimanapun juga uji kerberlanjutan sebuah program sangat terpaut dengan kapasitas dan konsistensi kelembagaan yang
akan diuji oleh waktu dan proses yang panjang, dan bukan jaminan instan dalam sosok contact person
tersebut. Bahkan kalau ditimbang lebih jauh, keberadaan contact person itu dapat-dapat justru menjadi perangkap Ornop itu sendiri. Berisiko bagi
kelembagaan Ornop ketika harus selalu mengandalkanbergantung kepada satu orang contact person saja sebagai pihak yang dipercaya donor. Akan jauh lebih baik
untuk memposisikan kapasitas kelembagaan sebagai jaminan kepada donor, ketimbang seorang contact person saja. Adalah suatu pertaruhan-rapuh jika sebuah
Ornop hanya mengandalkan satu orang contact person. Itu memang penting dan
diperlukan, namun tanpa mengesampingkan konsistensi kelembagaan dalam membangun relasi yang kuat dan baik dengan donor terkait.
Selain faktor kredibilitas atau reputasi di atas, ada faktor lain yang perlu diperhatikan oleh Ornop terkait dengan akses donor. Sebuah Ornop yang
memiliki kesamaan tujuancita-cita dengan donor biasanya memiliki peluang terbuka untuk didanai oleh donor tersebut. Dalam hal ini, visi dan misi yang
sama itu memudahkan donor dapat secara efektif dan eisien menjalankan programnya. Dalam kesamaan itu, Ornop dituntut jeli menentukan pilihan
isu-isu terkait dalam programnya secara komprehensif. Agar aksesibilitas pendanaan dari donor tercapai, maka Ornop perlu melacak dan mengenali
donor-donor mana saja yang memiliki kesamaankedekatan dengan misi dan visi lembaganya. Melek informasi tentang donor itu sendiri menjadi prasyarat
kunci yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Lebih jauh, melek informasi itu sendiri akan kian tertopang jika terbangun jejaring Ornop yang kuat pula. Lagi-
lagi, jejaring gerakan sosial berandil besar pada perkara pendanaan ini. Berbagai hal di atas dapat diposisikan sebagai cara pendekatan untuk
mengakses dana dari donor. Maka setelah menerima proposal, donor akan menilai reputasi Ornop kesesuaian visi, misi, program, mengkaji kesamaan
kesesuaiandengan tujuannya. Tersadari ada hal yang tak jarang membuat gamang acrophobia Ornop yaitu perkara akuntabilitas. Akuntabilitas sering
diidentikkan dengan keribetan administratif. Mereka dituntut memenuhi kriteria
dan standar akuntabilitas yang ditentukan oleh donor. Tak jarang, Ornop kecil merasa kehabisan energi mengurusi keribetan administrasi ini. Berbagai
dokumen pelaporan dan korespondensi acap menyandera tenaga dan pikiran
para aktivisnya. Konsekuensinya, capaian-capaian program tidak optimal,