Kemitraan Setara dan Ornop yang Berkelanjutan

31 hanya perkara dana saja, tetapi juga segenap aspek dan proses yang menopang terrealisirnya kondisi yang akuntabel itu, termasuk di dalamnya perihal visi dan misi Ornop tersebut. Perkara reputasi ini memang seringkali terpaut dengan contact person yang dikenal donor. Kendati demikian, contact person itu sendiri bukanlah faktor kunci. Ia hanyalah faktor pendukung bagi Ornop untuk meraih kepercayaan donor pada tahap awal saja. Lagi pula contact person itu sendiri toh tidak akan dapat menjadi penjamin sepenuhnya bahwa program dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Bagaimanapun juga uji kerberlanjutan sebuah program sangat terpaut dengan kapasitas dan konsistensi kelembagaan yang akan diuji oleh waktu dan proses yang panjang, dan bukan jaminan instan dalam sosok contact person tersebut. Bahkan kalau ditimbang lebih jauh, keberadaan contact person itu dapat-dapat justru menjadi perangkap Ornop itu sendiri. Berisiko bagi kelembagaan Ornop ketika harus selalu mengandalkanbergantung kepada satu orang contact person saja sebagai pihak yang dipercaya donor. Akan jauh lebih baik untuk memposisikan kapasitas kelembagaan sebagai jaminan kepada donor, ketimbang seorang contact person saja. Adalah suatu pertaruhan-rapuh jika sebuah Ornop hanya mengandalkan satu orang contact person. Itu memang penting dan diperlukan, namun tanpa mengesampingkan konsistensi kelembagaan dalam membangun relasi yang kuat dan baik dengan donor terkait. Selain faktor kredibilitas atau reputasi di atas, ada faktor lain yang perlu diperhatikan oleh Ornop terkait dengan akses donor. Sebuah Ornop yang memiliki kesamaan tujuancita-cita dengan donor biasanya memiliki peluang terbuka untuk didanai oleh donor tersebut. Dalam hal ini, visi dan misi yang sama itu memudahkan donor dapat secara efektif dan eisien menjalankan programnya. Dalam kesamaan itu, Ornop dituntut jeli menentukan pilihan isu-isu terkait dalam programnya secara komprehensif. Agar aksesibilitas pendanaan dari donor tercapai, maka Ornop perlu melacak dan mengenali donor-donor mana saja yang memiliki kesamaankedekatan dengan misi dan visi lembaganya. Melek informasi tentang donor itu sendiri menjadi prasyarat kunci yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Lebih jauh, melek informasi itu sendiri akan kian tertopang jika terbangun jejaring Ornop yang kuat pula. Lagi- lagi, jejaring gerakan sosial berandil besar pada perkara pendanaan ini. Berbagai hal di atas dapat diposisikan sebagai cara pendekatan untuk mengakses dana dari donor. Maka setelah menerima proposal, donor akan menilai reputasi Ornop kesesuaian visi, misi, program, mengkaji kesamaan kesesuaiandengan tujuannya. Tersadari ada hal yang tak jarang membuat gamang acrophobia Ornop yaitu perkara akuntabilitas. Akuntabilitas sering diidentikkan dengan keribetan administratif. Mereka dituntut memenuhi kriteria dan standar akuntabilitas yang ditentukan oleh donor. Tak jarang, Ornop kecil merasa kehabisan energi mengurusi keribetan administrasi ini. Berbagai dokumen pelaporan dan korespondensi acap menyandera tenaga dan pikiran para aktivisnya. Konsekuensinya, capaian-capaian program tidak optimal, 32 bahkan visi dan misi lembaga pun keluar dari relnya. Tentu saja, rumit tidaknya tuntutan akuntabilitas dari donor itu sangatlah relatif. Hal itu sangat ditentukan oleh kapasitas SDM dan manajerial masing-masing Ornop. Kalau pun toh rumit, bukan berarti itu harus dihindari ataupun dikeluhkan. Itu adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari jejaring sosial yang tak hampa dari tuntutan peran pihak-pihak terkait. Bukan saja Ornop penerima dana tetapi lembaga-lembaga donor pun dituntut untuk memenuhi prasyarat akuntabilitas tersebut. Lembaga- lembaga donor dari negara-negara Utara juga harus mempertanggungjawabkan dana yang disumbangkan oleh masyarakat mereka. Donor sendiri dituntut memberikan laporan yang akuntable kepada sumber dana mereka. Semakin transparan dan akuntabel lembaga donor, maka semakin besar tingkat kepercayaan publik atas mereka. Dalam hal ini, masyarakat akan lebih memilih membantu Ornop yang memiliki fokus pelayanan yang jelas. Jika dipilah, pendanaan donor di negara-negara Utara biasanya berasal dari empat sumber berikut: 1 Publik masyarakat; 2 Perusahaan korporasi; 3 Negara; dan 4 Kegiatan usaha sendiri. Sementara itu, untuk konteks Indonesia ataupun negara-negara Selatan lainnya, sumber pertama itu belum begitu populer sebagaimana di negara utara. Dengan kata lain, sumber pertama digantikan oleh donor-donor dari negara-negara Utara di atas. Perangkat sistem akuntabilitas menjadi konsekuensi sekaligus prosedur melekat pada alur donasi yang berjenjang semacam itu. Tuntutan akuntabilitas dari donor adalah pilihan terbaik yang memungkinkan semua pihak dapat saling berbagi peran dan kepercayaan dengan ringan tanpa beban prasangka. Dengan sistem itu, donasi dapat menjadi alatsarana bagi terwujudnya visi dan misi layanan yang dicita-citakan banyak pihak. Pada tataran ini, akuntabilitas adalah persoalan ethics sekaligus ethos dalam ber-Ornop. Berbasis pada pemahaman itu, maka penting bagi Ornop untuk merubah sudut pandang atas “momok keribetan administratif ” yang melekat dalam kata akuntabilitas itu. Seribet apapun, pernak-pernik aktivitas administratif bagi terpenuhinya akuntabilitas dapat saling dikomunikasikan dan didialogkan bersama. Di ranah ethics sekaligus ethos , akuntabilitas itu tentu perlu dijumbuhkan dengan konteks dunia sosial yang beragam. Artinya, pada level praktis, berbagai aktivitas program yang diimplementasikan harus menimbang juga konteks masyarakat, tanpa harus abai terhadap nilai-nilai yang menjadi wewaler batas aturan dari akuntabilitas itu sendiri. Negosiasi dapat menjadi ruang untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan di antara donor dan Ornop. Dalam negosiasi itu, segala sesuatunya berpeluang untuk didialogkan. Tepat pada ruang itulah fungsi dan peran kemitraan yang setara dan jujur menemukan tempatnya. Kesaling percayaan antara donor dan Ornop dapat menjadi pondasi yang kuat bagi keberlangsungan program maupun kemitraan yang setara. Dengan demikian program yang dijalankan semakin strategis, karena berpeluang lebih besar untuk fokus pada visi- misi lembaga yang menjadi asas dan prinsip dasarnya. Kesemuanya itu dapat terwujud dengan 33 adanya kemitraan yang setara dengan donor. Kemitraan setara akan semakin mengakar jika ditopang oleh sinergisitas dengan cakupan komunitas yang lebih besar sabagai elemen penguatnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, sebuah komunitas epistemik epistemic community dapat dibangun di kalangan Ornop lokal. Di tataran praktis, Ornop dapat membangun konsorsium bersama untuk menyatukan gerak dan langkahnya. Melalui wadah konsorsium itu, seluruh Ornop yang tergabung dapat saling menularkan spirit, gagasan, ketrampilan tertentu demi kemajuan dan perkembangan mereka, baik secara sendiri-sendiri maupun komunitas. Topang menopang dalam sisi kelemahan antar Ornop yang ada dapat berbalik menjadi potensi besar yang memungkinkan bagi mereka memiliki bargaining position dengan lembaga donor. Sehingga kemitraan pun dapat setara dan berkelanjutan. Selain kemitraan yang setara itu, ada beberapa aspek lain yang perlu dipertimbangan dalam kaitannya dengan upaya Ornop mempertahankan keberlanjutan program maupun lembaganya. Beberapa aspek itu di antaranya adalah sebagai berikut: a. Nilai-nilaispirit yang ditempatkan pada kerangka kelembagaan yang sesuai dan proses yang transformatif bagi generasi berikutnya. b. Basis paradigma dan konseptual lembaga. Kedua hal ini merupakan unsur penentu karakter kelembagaan Ornop. Dengan basis paradigma dan konseptual tersebut, sebuah Ornop berkecenderungan memiliki kekaryaan yang terfokus. Menjadi tantangan tersendiri bagi Ornop untuk konsisten menginternalisasi basis paradigma dan konseptual ke dalam sistem dan mekanisme kelembagaannya. c. Pola kepemimpinan. Kepemimpinan sangat menentukan aspek keberlanjutan Ornop. Dalam banyak kasus Ornop di Indonesia, pola kepemimpinannya lebih berkarakter kepemimpinan kharismatik. Meskipun pola ini memiliki kelebihan namun tidak sedikit juga kelemahannya. d. Kemapanan sebuah sistem manajemen yang mencakup sistem manajemen SDM, keuangan, program dan jaringan kerja . Ditinjau dari aspek kelembagaan, sistem kelembagaan yang telah mapan ini memiliki berbagai sumber daya yang potensial SDM, pendanaan, dll untuk maju. Namun tidak tertutup kemungkinan, institusi yang mapan dan tambun semacam itu biasanya cenderung mengambil posisi aman, lamban, dan kurang luwes dalam gerakan sosial. Terkait dengan keberlanjutan itu, muncul trend global yang mempengaruhi gerakan-gerakan Ornop di dunia saat ini yaitu, kecenderungan donor untuk membangun konsorsium yang sangat besar. Perubahan peta kecenderungan di tingkat global itu bagaimanapun juga tak terhindarkan. Konsorsium ini mengarah pada uniikasi. Salah satu tujuan praktisnya adalah untuk eisiensi overhead. Trend itu timbul sebagai akibat bersatunya kekuatan negara utara dan 34 selatan. Hal itu tentu sangat berbeda dengan trend sebelumnya yang cenderung berbasis pada “personal relation”. Trend global semacam itu tentu saja berdampak pada kebijakan lembaga internasional yang membawa berbagai konsekuensi yang mesti dipertimbangkan oleh kalangan Ornop, terutama hal yang terkait dengan berbagai aktivitas pelayanannya yang mereka lakukan. Konstalasi global membuat kalangan Ornop harus lebih jeli dan kritis, baik dalam tataran paradigma, konseptual, strategi, metode pendekatan, dan implementasi program yang dirancangnya. Misalnya terkait dengan sistem rekruitmen, semakin banyak Ornop melakukan rekruitmen SDM berbasis pada profesi. Sistem rekruitmen berbasis profesi ini tentu saja akan mempengaruhi terjadinya perubahan pola manajemen kelembagaan. Dalam hal ini, kalangan Ornop perlu menumbuhkan kehendak dan kesadaran kritis dari dalam dirinya sendiri untuk membangun sistem kelembagaannya sendiri agar tidak terpinggirkan oleh perubahan jaman. Hal yang menjadi aspek kunci dalam hal ini adalah tumbuhnya kesadaran untuk melakukan pengembangan kapasitas diri. Dalam konteks itu, perubahan jaman nampaknya semakin menuntut Ornop untuk melakukan pelayanan berbasis ideologi dan pelayanan berbasis profesionalisme. Suka tidak suka, Ornop kini berhadapan dengan tantangan yang semakin tidak ringan dan kompleks. Jika Ornop mampu memenuhi prasyarat itu, maka besar peluang bagi Ornop tersebut untuk dapat membangun relasi yang setara dan berkelanjutan dalam jejaring gerakan sosial yang lebih besar.

E. Pelayanan Berbasis Ideologi dan Profesionalisme

11 Sebagaimana telah disebut di atas bahwa telah terjadi perubahan di tingkat global perihal uniikasi lembaga-lembaga internasional dalam wadah konsorsium. Perubahan itu mestinya membuat kalangan Ornop tergerak untuk segera menyusun berbagai langkah strategis sebagai antisipasi atas perubahan yang muncul tesebut. Seperti telah disebut pula, bahwa gambaran Ornop yang ideal di masa depan adalah Ornop dalam segenap karya pelayannya kepada masyarakat berbasiskan ideologi yang kuat serta profesionalisme yang memadai. Namun disadari bahwa tidak banyak kalangan Ornop di Indonesia yang benar-benar telah merespon perubahan di tingkat global tersebut. Alih- alih menyusun langkah antisipasi, bahkan informasi seputar perubahan trend global itu saja banyak kalangan Ornop di Indonesia sudah sangat terlambat membacamengetahuinya. Maka tidak mengherankan jika di antara mereka tergagap merespon situasi mutakhir gerakan sosial di tingkat global itu. Sebagai konsekuensinya, perubahan internal di tingkat Ornop nasional dan lokal di Indonesia dapat dikatakan sangat terlambat. 11 Paparan ini dikembangkan dari tanggapan atas presentasi Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial. 35 Dalam kesadaran yang serba terlambat dan tergagap itu, lantas bagaimana caranya kalangan Ornop di Indonesia harus bersikap dan bertindak? Itulah pertanyaan mendasar yang perlu dicari jawabnya dalam proses ke depan. Jawaban itu tentu tidak dapat deinitif dan ter-iksasi secara gambalang. Namun itu hanya dapat didekati dengan memapar berbagai peluang yang mungkin untuk ditempuh, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama sebagai bagian dari gerakan sosial yang ada. Dalam tataran praktis, misalnya saja, kalangan Ornop di Indonesia dapat berbagi pengalaman dalam menyikapi perkembangan isu-isu di tingkat global tersebut. Mereka dapat menyepakati untuk membuat program bersama guna menjaga agar spirit tetap berada di dalam relnya. Perlu diperjelas di ini, program bersama yang dimaksud bukanlah membuat proyek yang dikoordinasi oleh sebuah Ornop saja, melainkan program yang dilakukan bersama-sama dalam bentuk sharing baku-tukar dan belajar pengalaman di antara mereka guna membangun dan meningkatkan semangat berorganisasi dan ber-gerakan sosial. Dengan demikian, kelembagaan Ornop maupun gerakan sosial dapat berkelanjutan. Memang aspek keberlanjutan itu sendiri adalah tanggungjawab semua Ornop, baik secara sendiri-sendiri maupun gerakan. Ornop mesti terbuka terhadap berbagai perubahan jaman yang semakin pesat dan kompleks. Kehendak will diri untuk bertumbuh sebagai organisme sosial harus senantiasa menjadi motif penggerakleitmotif bagi Ornop untuk melakukan pengembangan kapasitas Capacity Building dalam berbagai aspek dan tatarannya. Terkait dengan motif penggerak untuk melakukan pengembangan kapasitas di kalangan Ornop di Indonesia, dapat dipilah kedalam tiga kategori berikut. Pertama , motif penggerak untuk melakukan pengembangan kapasitas muncul dari internal kelembagaan Ornop itu sendiri. Dalam kategori ini, Ornop yang bersangkutan telah memposisikan pengembangan kapasitas itu sebagai kebutuhan inheren dalam organisasinya. Karena telah menjadi kebutuhan organisasi, Ornop yang bersangkutan sangat paham tentang arti penting dan tujuan dari pengembangan kapasitas tersebut. Kedua , motif penggerak pengembangan kapasitas muncul dari faktorpihak eksternal. Dalam kategori ini, Ornop yang bersangkutan tidakbelum menempatkan pengembangan kapasitas sebagai kebutuhan organisasi.Kalau pun itu dilakukan lebih karena Ornop tersebut berorientasi pragmatis saja, tanpa memiliki gambaran kemanfaatan yang jelas, baik yang terkait dengan output, outcome, maupun impact dari pengembangan kapasitas tersebut. Ketiga , motif penggerak pengembangan kapasitas disebabkan dua faktor: faktor eksternal maupun faktor internal namun keduanya nampak mengambang loating. Dalam kategori ini, hal yang dominan adalah karakter ambivalensi dari dua faktor tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa Ornop tersebut sudah mengetahui tentang arti penting pengembangan kapasitas kelembagaan, namun belum memposisikannya sebagai program pokok dalam organisasinya. Sering muncul kesan, Ornop jenis ini nampak angin-anginan dan 36 sebatas mengikuti berbagai peluang yang menguntungkan dirinya saja. Secara ideal, dorongan dan motif melakukan pengembangan kapasitas dan transformasi itu mestinya berasal dari internal Ornop itu sendiri, dan bukan external drive . Jika dorongan itu muncul dari internal kelembagaan, hampir dapat dipastikan bahwa Ornop tersebut telah memiliki perencana strategis dalam organisasinya. Ornop yang telah memiliki sistem semacam ini memiliki banyak peluang untuk menjalankan program pelayanan dengan baik. Inilah yang dimaksudkan sabagai Ornop yang berbasis pada ideologi yang jelas, namun tanpa mengabaikan tuntutan profesionalisme dalam program-program pelayanannya kepada masyarakat. Ornop yang strategis dan berkelanjutan sebagai proponen kunci bagi gerakan sosial yang dinamis. Jika dirinci lebih jauh, berikut ini adalah gambaran tentang Ornop ideal menurut sejumlah Ornop lokal di Indonesia: 12 a. Bekerja untuk Rakyat b. Kreatif dalam mengembangkan program c. Memiliki sistem, mekanisme, aturan, dan komunikasi yang jelas d. Memiliki legitimasi yang kuat dan jelas dari pemangku kepentingan e. Ingin selalu belajar dan mengembangkan kapasitas f. Mandiri secara politis dan ekonomi g. Berkesinambungan h. Mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki Sayangnya, banyak kalangan Ornop di Indonesia melakukan program pengembangan kapasitas itu bukan dari dalam dirinya sendiri, tetapi lebih digerakkan oleh keinginan pihak eksternal. Tidak jarang, kehendak untuk melakukan pengembangan kapasitas itu datang dari kalangan donor. Ituah ironi yang terjadi padabanyak Ornop di Indonesia. Implikasi dampak dari kondisi semacam itu tentu dapat gampang ditebak. Kondisi itu tentu akan berpengaruh pada kualitas dan kemanfaatan pengembangan kapasitas yang dilakukannya. Jarang tercapai kapasitas yang memadai atau bahkan handal jika motif untuk melakukan perubahan itu datang dari pihak luar. Tak akan berakar pula jika pengembangan kapasitas itu ditetapkan oleh organisasi yang orientasi, mekanisme, dan sistem kelembagaannya masih simpang siur. Organisasi yang limbung dan sekadar mengekor semacam itu juga tak akan mampu menginternalisasikan pengetahuan, nilai, dan ketrampilan yang didapat dari pengembangan kapasitas tersebut. Hampir dapat dipastikan, kapasitas itu hanya di tataran permukaan saja tanpa berdampak apapun bagi perbaikan dan penyempurnaan organisasi. 12 Kriteria NGOs ideal ini merupakan hasil rumusan dari NGOs mitra KIA di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dikutip dari Rumusan Hasil Diskusi Pertemuan Mitra KIA ke-5 di Anak Wayang 16 Februari 2007