Filosoi, Strategi dan Metodologi Penguatan Masyarakat Sipil

55 komunal itu nantinya dapat dipasarkan melalui pasar komunitas. Memang perlu disadari bahwa apa yang terjadi saat ini, mayoritas masyarakat adalah konsumen massal dari produksi massal yang senyatanya hanya dijalankandimiliki oleh segelintir orang saja. Jika memungkinkan pasar dapat dirancang seperti pasar lokal barter yaitu dengan pertukaran barang bukan pertukaran uang. Semisal di Thailand selatan, sejumlah kalangan masyaraka di sana saat ini tengah berupaya menggerakkan pemberlakuan “local curency market” dengan cara barter. Hal terpenting yang senantiasa perlu dikedepankan adalah bagaimana kita mengembalikan pranata itu lantaran masih banyak warga yang tetap berpegang teguh pada pranata sosial mereka. Itulah pokok dari pengorganisasin masyarakat. Contoh sukses tentang itu terjadi di Desa Tenganan Bali Timur sebagai Negara kesejahteraan. Desa Tenganan merupakan contoh desa yang mempunyai asuransi sosial yang menjadi jaminan hidup semua warganya. Masing-masing KK mendapat Rp. 50.000,- dan 50 kg beras setiap bulan. Sadar atas keeksotisannya, para warga pun lantas membuat awig-awig seperangkat aturan yang mangatur warga di tingkat desa adat dan banjar adat di Bali yang menegaskan bahwa quota untuk turis per hari hanya 50 orang. Tantangan tersulit untuk pengorganisasian saat ini memang terkait erat dengan massif dan derasnya jangkauan dampak negatif dari teknologi informasi dan telekomunikasi yang mengubah pola pikir masyarakat. Tanpa menaikan kemanfaatannya, perkembangan teknologi itu ternyata juga telah menggerus benteng-benteng nilai kearifan lokal warga. Karenanya teramat sulit untuk meluruskan pola pikir masyarakat yang telah terperangkap dalam arus komodiikasi itu. 27 Perihal ketahanan atau kedaulatan pangan misalnya,masyarakat lebih membeli produk-produk pangan instan pabrikan ketimbang harus menanami pekarangannya dengan beragam tanaman pangan. Beban ekonomi keluarga pengeluaran semakin bertambah besar, ketika komodiikasi itu juga telah merasuk ke segenap pranata sosial di masyarakat. Beraneka macam pagelaran upacara adat cukup menguras budget masyarakat. 28 Menyoal upacara adat di masyarakat, tentu tak dapat gegabah menilai. Itu merupakan salah satu kekayaan yang tetap perlu dipertahankan. Yang jadi persoalan adalah jika seluruh kebutuhan upacara itu dibeli atau tidak dapat mereka sediakan sendiri. Bila masyarakat dapat menyediakan sendiri semua, pastilah itu akan berpengaruh pada bentuk pranata ekonomi maupun sosialnya juga. Tak terpungkiri tantangan perkembangan pesat teknologi informasi memang tidak ringan. Namun tak menyelesaikan persoalan pula ketika Ornop hanya membincang untung ruginya. Kendati demikian, Ornop dan masyarakat masih memiliki ruang untuk mempertahankan segala hal yang dianggap berharga. 27 Tanggapan Adi Nugroho Sheep Indonesia 28 Tanggapan Yusuf Staf YAPHI 56 Masih ada banyak daerah, komunitas yang dapat dirintis dan semai. Demikian pula, masih ada hal-hal fundamental yang dapat dilakukan sembari tetap melakukan berbagai advokasi kebijakan publik. Sebenarnya masih ada banyak komunitas yang masih bergantung dan melestarikan sumber-sumber pangan lokal mereka. Dan secara riil mereka pun mampu menunjukkan taraf hidup yang lebih baik ketimbang daerah lain. Perihal pangan lokal, menurut sejarah peradaban manusia, tidak ada tanaman monokultur yang dapat mensejahterakan petani. Boleh jadi itu akan menguntungkan dalam 1-2 tahun saja, namun setelahnya hampir dapat dipastikan tinggal menunggu nasib apes. Diperhadapkan pada beragam tantangan itu, mau tidak mau Ornop perlu menakar dan memutakhirkan metodologi dalam kerja-kerjanya. Secara konseptual, metodologi merujuk pada pengertian pengetahuan tentang cara mencapai tujuan. Kendati demikan, metodologi juga harus menjadi bagian dari tujuan itu sendiri. Saat ini, ada kecenderungan metodologi hanya diposisikan sebatas cara teknis tanpa dilandasi oleh basis ilosois, spirit maupun nilai gerakan. Itulah fenomena yang banyak dijumpai di kalangan Ornop saat ini. Selain dasar ilosoi dan metodologi, hal yang tak kalah penting adalah strategi yang digunakan Ornop dalam menjalankan misinya. Semisal, tema apa saja yang menurutnya strategis. apakah cross cutting theme atau general theme seperti pangan, energi, air bersih, hutan, dll. Selain tema, Ornop juga penting untuk menentukan mitra kerjanya. Kalangan masyarakat mana yang menurutnya strategis untuk dijadikan mitra. Banyak kalangan Ornop memilih kalangan perempuan sebagai mitra strategis dalam menjalankan misi-misinya. Menurut testimoni seorang pegiat Ornop, pengalaman selama 30 tahun bekerja di dunia pengorganisasian masyarakat, kaum perempuan merupakan kalangan masyarakat yang paling strategis sebagai mitra dalam penguatan masyarakat sipil. Menurutnya, kaum perempuan juga mempunyai daya tahan tinggi, konsistensi, eksistensi, kedisiplinan, cermat telaten meticulous. Mobilitasnya yang rendah memungkinkan mereka memiliki peluang yang lebih besar sebagai penanggung jawab komunitas, sumber informasi yang cepat, dan pengelola keuangan yang baik. Lebih jauh, menurutnya, kaum perempuan juga paling strategis untuk membangun kembali pranata di masyarakat. 29 Kendati testimoni itu boleh jadi subyektif, namun pantaslah jika hali itu ditempatkan sebagai best practice yang pantas untuk diuji di lintas konteks masyarakat. Testimoni itu mungkin mengingatkan pada program-program pemberdayaan ekonomi ala Gramen Bank yang diinisiasi oleh mayoritas kaum perempuan. Hal serupa rupanya juga berlangsung dalam gerakaan masyarakat hutan di India maupun gerakan masyarakat Indian. Berdasarkan komparasi kasus dari berbagai negara itu nampak ada nilai yang sama yaitu bahwa kaum perempuan sangat potensial menjadi mitra strategis. Merekalah yang biasanya 29 Testimoni Roem Topatimasang. 57 mengantongi sekaligus mengungkapkan data dan seluk beluk rinci komunitas masyarakatnya. Dalam konteks masyarakat desa di Indonesia misalnya, arus informasi berlangsung terbuka di berbagai tempat khusus yang biasa mereka jadikan tempat berkumpul, semisal warung, pancuran, berbagai tempat sumber mata air. Serta merta menentukan mitra strategis itu, Ornop perlu pula merancang titik tolak, pintu masuk, entry point, atau apapun namanya. Istilah itu sendiri bukanlah sesuatu yang terpenting, tapi hal yang jauh lebih penting adalah wujudnya. Dalam proses menentukan titik masuk itu, tidak sedikit kalangan Ornop merasa tersergap oleh isu-isu atau kerja-kerja teknis di masyarakat, sehingga isu utama justru terbengkelai atau bahkan terabaikan. Misalnya sebuah Ornop menetapkan isu kesehatan sebagai titik masuk sembari melakukan need assessment di masyarakat. Dalam perjalannya mereka dihadapkan pada munculnya rencana kerja yang diinisiasi dan dirumuskan bersama oleh masyarakat. Kondisi semacam itu terkadang muncul secara tak terduga. Lantas bagaimana Ornop perlu menyikapi kondisi tersebut? 30 Agar isu utama tidak terabaikan, Ornop tentu saja harus bersikap taktis dan perlu mengusulkan adanya perencanaan strategis bersama masyarakat. Dalam penentuan titik masuk ini, Ornop terkadang gampang tergoda pada kepentingan pragmatis dengan terburu-buru mempercayai tokoh lokal yang boleh jadi belum mendalam dikenal. Tak jarang pilihan atas tokoh lokal itu pun seringkali “luput atau salah alamat”. Selama ini Ornop cenderung memilih tokoh agama, tokoh pemerintahan desa, tokoh pendidikan, ketimbang tokoh ekonomi. Pilihan itu tentu saja bukan berarti salah, namun ketika yang dipilih adalah tokoh ekonomi lokal, Ornop sebenarnya tengah memegang aktor lokal yang akan banyak mengubah segenap faktor yang ada di masyarakat. Tak dipungkiri ketokohan leadership itu memang penting dan strategis dalam proses pendekatan di masyarakat. 31 Kendati demikian, Ornop tetap perlu meminimalisir dominasi kekuasan yang melekat dalam sosok tokoh tersebut. Dalam hal ini perlu ada dorongan kepada masyarakat basis untuk memunculkan perannya agar terjadi perimbangan. 32 Masyarakat sipil yang kuat adalah komunitas atau masyarakat yang memiliki pemimpin, tetapi yang terlahir dari sistem. Pemimpin yang mempunyai kekuasaan berlebihan akan cenderung korup. Pemimpin yang baik dan berhasil adalah pemimpin yang mampu membuat yang dipimpin menjadi berkembang dan hebat seperti pemimpinnya. Pemimpin sebenarnya bukan jabatan tetapi fungsi, dan untuk menjalankan fungsi tersebut yang harus diciptakan adalah budaya organisasi. Pengaruh ketokohan memang suatu realitas umum di masyarakat. Tetapi 30 Tanggapan Asnawi LSKaR 31 Tanggapan Jojon LKTS 32 Tanggapan Heri .YAPHI. 58 Ornop harus tetap jeli mengamati pola-pola hubungan antara tokoh dan masyarakat itu semacam apa. Bagaimana pula latar belakang munculnya seorang pemimpin kharismatik atau berpengaruh tersebut. Beberapa kasus di lapangan memapar bahwa ada tokoh-tokoh di masyarakat yang justru sengaja menjaga jarak dengan warganya karena alasan tertentu semisal gengsi, politis, dll. Ketika tokoh itu turun tidak jarang justru menimbulkan persoalan baru. Besarnya pengaruh tokoh-tokoh lokal di masyarakat biasanya mendorong Ornop untuk menggolongkannya sebagai key person. Key person ini sering diposisikan sebagai nara sumber kunci dalam penggalian data di masyarakat. Namun patut dicatat bahwa key person itu merupakan konsep sosiologis yang seringkali disalah mengertikan. Karena itu Ornop sering salah kaprah atau latah menginterpretasikan konsepsi key person ini. Maka Ornop perlu menimbang tentang dampak dari pandangan tokoh lokal tersebut yang boleh jadi bias kelas. Cara pandang elit lokal tentu saja akan berbeda dengan cara pandang mayoritas masyarakat kelas bawah. Selain perlu mewaspadai laten pandangan yang bias kelas itu, Ornop nampaknya juga perlu mengubah cara pandang bahwa hal yang mau diubah bukanlah key person itu melainkan pranata - pranata yang ada di masyarakat. Maka subyek yang mestinya dilihat adalah bukan melulu berbagai tokoh masyarakat lokal melainkan juga harus menyentuh mayoritas warga masyarakat yang nantinya akan terlibat dalam proses pengorganisasian. Ketika datang ke masyarakat Ornop juga harus mengetahui pranata- pranata atau sistem-sistem di masyarakat, hal terpenting yang akan menjadi sasaran perubahan. Perubahan itu harus dilakukan perlahan-lahan dan dikawal dengan cara menanamkan pranata melalui konvensipersepakatan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Sekadar catatan saja, akar pembentukan masyarakat Indonesia adalah by convention , bukannya by law. Konvensi-konvensi itu tetap harus dihidupkan agar perlahan-lahan dapat berdiaspora hingga menelurkan berbagai konvensi lainnya. Dari proses itu diharapkan akan tersusun kesepakatan yang dilengkapi dengan sangsi, sehingga akan ada pranata yang mampu memproteksi potensi kekuatansumber daya lokal masyarakat. Kalau pun toh mekanisme itu tidak dapat direplikasi di kalangan masyarakat yang lebih luas, paling tidak konvensi itu dapat hidup di wilayah tersebut. Boleh saja Ornop bermimpi untuk mengubah negara, tapi dapat dimulai dari wilayah-wilayah atau daerah-daerah yang kecil. Dinamika pengorganisasian juga bersentuhan dengan pelembagaan. Maka pelembagaan itu seoptimal mungkin mendayagunakan berbagai potensi dan sumberdaya komunitasmasyarakat setempat. Hal yang paling sederhana, penamaan lembaga misalnya harus merujuk pada akar historis masyarakat tersebut. Penamaan itu harus mengadopsi istilah-istilah yang merujuk bahasa lokal, menggunakan identitas lokal yang mereka miliki. Menggali dan menemukan kembali “dunia yang hilang” di masyarakat dapat ditempuh melalui metode sederhana yaitu mulai dengan menamai dunia untuk diri mereka sendiri 59 begin to name the world for themselves. Dari naming the world itulah masyarakat akan dapat menemukan pelembagaan sesuai dengan pandangan dunia world view mereka sendiri. Secara panjang lebar, telah mendiskusikan ilosoi, metodologi, dan strategi penguatan masyarakat sipil berikut sejumlah best practices yang mungkin dapat menginspirasi kerja-kerja bersama masyarakat. Tantangan yang semakin kompleks tentu akan membayangi perjalanan Ornop ke depan. Dalam hal ini, Ornop perlu merubah paradigma bahwa yang dicari bukanlah masalah tetapi potensi. Dengan membalik paradigma itu melalui contoh sukses di satu wilayah desa untuk ditularkan ke wilayah desa yang padat masalah. Ide itu tentu saja bukannya tanpa dasar. Muncul sinyalemen kuat bahwa selama ini berbagai kalangan Ornop memulai pengorganisasian di wilayahdaerah yang hiruk pikuk dengan masalah, hingga mereka lupa bahwa pengorganisasian masyarakat tetaplah butuh kemenangan kecil dalam rupa penyelesaian kasus secara sukses di suatu wilayah tertentu. Bermula dari kisah sukses pengorganisasian masyarakat di sebuah komunitas akar rumput, Ornop dapat menggunakan modus “efek domino” untuk menularkan “virus best practice” itu ke komunitas-komunitas kecil lain. Tentu saja Ornop membutuhkan jejaring gerakan sosial yang handal untuk penyebarannya. Tepat di sinilah uji konsolidasi jejaring masyarakat sipil lintas komunitasdaerah turut menentukan peluang perubahan dari tingkat mikro ke cakupan makro dalam sebuah negara bangsa nation state. Tawaran perubahan strategi bagi Ornop ini tentunya semakin relevan ketika diperhadapkan berbagai tantangan baru di era desentralisasi otonomi daerah yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Harus di akui waktu-waktu belakangan Ornop tengah demam. Bergolaknya pergantian musim jadi penyebab. Simptom-simptom isiologis maupun mental ditengarai telah mengarah pada darurat humanisme. Dari lapis atas globalisasi neoliberalisme menggebuk, di lapisan tengah negara tersandera, sementara di lapis bawah masyarakat sipil bergolak. Terasa haluan vertikal maupun horisontal sama-sama berhulu di bottle neck. Di tengah himpitan rejim fundamentalisme pasar yang hegemonik, beragam persoalan politik lokal pun meruyak. Misalnya kekisruhan dan pertikaian elit-elit politik lokal semakin menegaskan bahwa masyarakat sipil kian terjauhkan dari sentuhan pelayanan publik yang lebih baik. Gelimang kasus sandera korupsi dan baku jegal para elit lokal pun menandai kesejahteraan yang kian jauh dari jangkauan rakyat bawah. Lantas dimanakah demokrasi yang substantif-esensial mesti diperagakan ketika kehidupan Republik ini justru sesak oleh sepak terjang elit-elit lokal yang membangkrutkan demokrasi? Sampai kapan Republik ini dapat terbebas dari kolonialisme internal elit-elit lokal yang gandrung dengan credo: a happy few and a servil crowd? Sub bab berikut lebih jauh akan mengkaji tentang bagaimana proses 60 konsolidasi organisasi masyarakat sipil berlangsung di era reformasi, sebuah era dimana demokrasi tengah dalam proses menjadi state of becoming. Pokok uraian yang akan ditegaskan adalah bahwa daftar kendala berdemokrasi di negeri ini masihlah teramat panjang. Namun patut disadari juga bahwa hukum dialektika sosial tetap tidak dapat dinaikan. Dalam hukum dialektis itulah dinamika negara versus masyarakat sipil berkontestasi mengayun pendulum demokrasi. Sosiologi relektif meminjami cara pandang bahwa di masa-masa sulit tetap terselip momentum perubahan, dalam kolonialisme-internal-hegemonik selalu hidup spirit kreatif-liberatif, demikian pula di negara lemah soft state—untuk tak terjerumus menyebut negara gagal failed state—pun terpendam gerakan masyarakat sipil progresif yang siaga belajar “menari” dengan demokrasi.

D. Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil OMS dalam Proses Demokratisasi

33 Sebelum mengulas tantangan internal-ekstenal konsolidasi organisasi masyarakat sipil, paparan berikut terlebih dulu akan mengulas proses demokratisasi di negeri ini, yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Uraian mengenai proses demokratisasi ini merupakan ringkasan dari paper Soetoro Eko berjudul: “Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia”. 34 Arus demokratisasi di Indonesia, demikian menurut paparan Soetoro Eko, dapat dijelaskan setidaknya dalam lima catatan pokok berikut. Pertama , proses demokratisasi baik di aras nasional maupun aras lokal, menampilkan dua wajah ganda. Ada berita baik, tetapi juga ada berita buruk. Berita baik yang paling menonjol adalah liberalisasi politik. Liberalisasi ditunjukkan dengan pemilihan umum dan pilkada yang kompetitif dan terbuka, kebebasan pers, organisasi masyarakat sipil yang bebas berorganisasi, longgarnya kontrol politik tentara dan birokrasi sipil. Di aras lokal, pilkada yang demokratis juga menghasilkan pemimpin-pemimpin baru yang mengakar dan responsif terhadap rakyat. 35 Kedua , berita buruknya, desentralisasi ternyata tidak selalu linier dengan demokratisasi lokal. Desentralisasi justru memicu menguatnya lokalisme. Lokalisme itu mempunyai basis yang kuat pada identitas: agama, etnik, kekerabatan, nativisme, atau perasaan kedaerahan yang kuat. Ia mempunyai akar sejarah dan budaya lokal yang panjang, sekaligus akibat dari proyek nation-state 33 Sub bab ini disunting dari diskursus para aktivis organisasi Mitra KIA yang difasilitasi oleh Soetoro Eko dalam Semilokal Mitra KIAICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009 dengan tema “Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi: Peluang Tantangan Internal –Eksternal. 34 ini dipresentasikan dalam Semilokal Mitra KIAICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009. 35 Soetoro Eko, Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia, paper Semilokal Mitra KIAICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009, hlm.1 61 building Indonesia yang gagal. Praktis, desentralisasi dan demokrasi lokal bekerja dalam konteks aturan baru dan struktur lama. Karenanya terjadi dualisme: benih demokrasi lokal tengah tumbuh, tetapi oligarki elite semakin menguat. 36 Ketiga , desentralisasi dan demokratisasi sebenarnya telah dan tengah membiakkan organisasi masyarakat sipil. Namun bersamaan dengan itu pula masyarakat sipil di Indonesia menghadapi kelebihan beban yang luar biasa dalam agenda konsolidasi demokrasi. Masyarakat sipil dapat dikatakan sebagai aktor tunggal dalam demokratisasi. Negara sibuk mengelola administrasi, membuat regulasi, memupuk kapasitas ekstraksi, mempertahankan ketahanan nasional, dan seterusnya. Kapasitas negara justru menjadi lemah soft state karena digerogoti oleh korupsi yang dilakukan oleh para pejabatnya. Sementara masyarakat politik hanya sibuk melakukan konsolidasi untuk merebut kekuasaan. 37 Keempat , dalam situasi seperti itu masyarakat sipil menghadapi begitu banyak musuh, sementara energi dan kapasitas mereka sangat terbatas. Masyarakat sipil sangat terfragmentasi dan sulit dikonsolidasikan. Organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan demokrasi tidak hanya menghadapi negara yang “keras kepala”, tetapi juga berhadapan dengan elemen-elemen sipil yang menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dan tidak beradab. Ketika kesempatan politik terbuka, atau ketika menghadapi musuh bersama, kekuatan masyarakat sipil gampang terkonsolidasi melakukan protes sosial atau pembangkangan sipil melawan penguasa yang otoriter dan bermasalah. Kekuatan besar ini sangat efektif dan mampu menjatuhkan penguasa otoriter, tetapi setelah penguasa otoriter jatuh mereka terfragmentasi kembali, tidak mempunyai nilai yang menjadi perekat bersama serta tidak efektif untuk mendukung konsolidasi demokrasi. 38 Kelima , relasi antara masyarakat sipil dan masyarakat politik sangat beragam bentuknya, tetapi yang jelas, relasi kedua aktor itu tidak secara signiikan mendorong konsolidasi demokrasi. Tidak ada koalisasi yang kuat antara masyarakat sipil dan masyarakat politik sebagai kekuatan oposisi yang mengontrol negara. Relasi yang paling menyolok kedua aktor itu terjadi dalam konteks pengorganisasian kekuasaan partai politik. Partai politik menggunakan organisasi masyarakat sipil sebagai underbouw atau sebagai mesin politik untuk mengumpulkan dukungan massa. Di sisi lain, banyak organisasi masyarakat sipil yang tetap independen dan non-partisan, tidak mau menjalin hubungan dengan partai politik. Bahkan tidak sedikit organisasi masyarakat sipil yang justru tidak percaya pada organisasi politik, seraya menganggapnya sebagai “musuh” dalam agenda konsolidasi demokrasi. 39 36 Soetoro Eko, Op.Cit. hlm.2 37 Soetoro Eko, Op.Cit. hlm.3 38 Ibid 39 Soetoro Eko, Op.Cit. hlm.4 62 Dalam wajah ganda demokratisasi itu, lantas bagaimana organisasi masyarakat sipil di Indonesia ini mesti mengkonsolidasikan diri untuk proses demokratisasi ke depan? Itulah pertanyaan krusial yang mesti kita cari jawabannya. Memang, konsolidasi demokrasi bukan saja urusan masyarakat di Indonesia, tapi juga urusan masyarakat mondial. Sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil, Ornop mau tidak mau mesti mendorong penguatan proses konsolidasi demokrasi itu pula, baik di lingkup internal dan eksternal sekalipun. Selain dituntut untuk menjadi bagian organisasi penegak pilar demokrasi di ruang publik, Ornop pun mesti mendemokratiasi internal kelembagaannya sebagai suatu keutamaan. Sejumlah persoalan yang sering menjadi kendala konsolidasi demokrasi di tingkat internal organisasi masyarakat sipil dapat diidentiikasi sebagai berikut:

1. Konsolidasi Internal Organisasi

Ornop perlu dan harus selalu memutakhirkan daya releksiitas atas kerja-kerjanya bersama masyarakat di tingkat akar rumput. Sejumlah materi pemikiran dan pembelajaran ilosoi, metodologi, dan strategi pengorganisasian masyarakat telah terulas. Namun sebenarnya ada satu pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan oleh kalangan Ornop, utamanya di lingkup internal kelembagaannya: konsolidasi di antara para personilnya. Pemikiran dan pembelajaran deduktif pegiat Ornop di tingkatan staf boleh jadi selesai, tapi bagaimana dengan “manajemen dapur” Ornop itu sendiri belum cukup terkupas. Bagaimanapun juga Ornop bukanlah entitas soliter yang kebal konlik. Ia tetaplah organisasi sosial yang dibentuk dan dihuni sekian manusia yang syarat dengan aneka latar belakang hasrat, kepentingan, cara pandang, dan habitusnya masing-masing. Singkatnya, Ornop tetap saja organisasi yang juga syarat dengan konlik kepentingan conlict of interest di antara para punggawanya proponents. Adalah sebuah kemudharatan jika bergiat mengonsolidasi masyarakat sipil di dunia eksternal, namun api konlik di tungku dapur sendiri tak diurus sementara di sekitarnya berserak “jerami kering”. Tinggal menunggu angin bertiup saja, jilatan api pasti akan sigap melalap seluruh yang berharga. Kiasan itulah wajah rentan Ornop di Indonesia. Jika demikian keadaannya, alih-alih mampu membangun jejaring gerakan sosial yang handal, kalangan Ornop sendiri justru tertatih urusi diri. Tentu saja kiasan itu adalah oto-kritik fundamental bagi homo socius di internal Ornop. Luangkanlah memperolok diri self mockery agar segera bergegas untuk berbenah. Dari kiasan di atas sepertinya Ornop dapat menarik sebuah pemaknaan bahwa “secara diam-diam” internal kelembagaan ternyata laten konlik, miskoordinasi, pragmatisme, perpecahan, free rider atau boleh jadi juga pengkhianat idealisme betrayer. Tak sepenuhnya benar ataukah tak benar sepenuhnya pemaknaan itu, tentu masing-masing yang dapat mengetahui secara pasti. Di mata publik Ornop boleh jadi sering diidentikan dengan 63 dunianya orang-orang idealis. Boleh jadi, sorotan mata publik cenderung biner dengan cara menyanjung para pegiat Ornop dan mencibir pegiat partai politik. Terlepas dari sorotan publik itu, tetap perlu menjawab pertanyaan retoris berikut. Terkait dengan persoalan konsolidasi masyarakat sipil di era demokratisasi saat ini, Apakah Ornop itu bagian dari persoalan atau solusikah? Bermula dari pertanyaan retoris itulah sub bab ini akan memperdalam paparan. Sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil, relasi internal Ornop dapat dikatakan belum terkonsolidasi secara optimal. Kondisi itu tidak memungkinkan Ornop mampu berperan optimal dalam pengorganisasian masyarakat. Hingga saat ini belum ditemukan cara untuk mengoptimalkan hal itu. Padahal tidak akan pernah ada organisasi kuat tanpa optimalisasi segenap komponennya. Salah satu contoh yang jamak terjadi adalah kasus seperti akan terpapar berikut: 40 “Sangatlah ironis ketika berbagai kalangan termasuk kita tengah getol-getolnya mendorong transparansi, namun organisasi kita sendiri belum memiliki check and balancing system yang jelas. Boleh jadi kita fasih bicara tentang demokratisasi. Namun rupanya kita lupa bahwa proses pengambilan keputusan dalam organisasi pun seharusnya mencerminkan spirit atau didasarkan pada prinsip demokratisasi itu”. Selain kasus jamak itu, persoalan internal Ornop yang juga sering dijumpai adalah peran dewan board yang jauh lebih intensif ketimbang peran pengurus. Porsi kekuasaan dewan mendominasi sampai-sampai mengabaikan peran para pengurus organisasi. Terkesan dewanlah pemilik lembaga, sementara eksekutif sekadar sebagai pegawainya. 41 Persoalan lain adalah hal yang berkebalikan dengan itu. Peran dewan kurang optimal, sehingga organisasi dijalankan sepenuhnya oleh pelaksanapengurusexecutive nyaris tanpa pengawasankontrol yang berarti dari dewan board. Menilik tiga kasus di atas, kita mungkin jadi bertanya lantas mengapa itu dapat terjadi? Benarkah relasi didasarkan lebih pada niat baik belaka? Tidakkah peran dan tanggung jawab setiap personal telah dipahami dan jadi komitmen demi tercapainya visi misi organisasi? Ketika Ornop kencang mendorong pengembangan kapasitas organisasi, maka mestinya relasi internal diprioritaskan untuk dituntaskan. Percuma saja pengembangan sistem organisasi terus menerus dilakukan tanpa diikuti pemahaman dan komitmen yang sama pada peran dan tanggungjawab masing masing personel mulai dari volunteer, staf, eksekutif, hingga dewan. Pemahaman dan komitmen yang tak sama tentu berkonsekuensi pada ketidakseimbangan organisasi. Hal itu dapat diinisiasi dari perkara- 40 Pengembangan prolog Andreas Subiyono dalam Semilokal Mitra KIAICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009. 41 Tanggapan Pdt. Djoko Dewan Pembina YPL