Filosoi, Strategi dan Metodologi Penguatan Masyarakat Sipil
55
komunal itu nantinya dapat dipasarkan melalui pasar komunitas. Memang perlu disadari bahwa apa yang terjadi saat ini, mayoritas masyarakat adalah konsumen
massal dari produksi massal yang senyatanya hanya dijalankandimiliki oleh segelintir orang saja.
Jika memungkinkan pasar dapat dirancang seperti pasar lokal barter yaitu dengan pertukaran barang bukan pertukaran uang. Semisal di Thailand selatan,
sejumlah kalangan masyaraka di sana saat ini tengah berupaya menggerakkan pemberlakuan “local curency market” dengan cara barter. Hal terpenting yang
senantiasa perlu dikedepankan adalah bagaimana kita mengembalikan pranata itu lantaran masih banyak warga yang tetap berpegang teguh pada pranata
sosial mereka. Itulah pokok dari pengorganisasin masyarakat. Contoh sukses tentang itu terjadi di Desa Tenganan Bali Timur sebagai Negara kesejahteraan.
Desa Tenganan merupakan contoh desa yang mempunyai asuransi sosial yang menjadi jaminan hidup semua warganya. Masing-masing KK mendapat Rp.
50.000,- dan 50 kg beras setiap bulan. Sadar atas keeksotisannya, para warga pun lantas membuat awig-awig seperangkat aturan yang mangatur warga di tingkat
desa adat dan banjar adat di Bali yang menegaskan bahwa quota untuk turis per hari hanya 50 orang.
Tantangan tersulit untuk pengorganisasian saat ini memang terkait erat dengan massif dan derasnya jangkauan dampak negatif dari teknologi
informasi dan telekomunikasi yang mengubah pola pikir masyarakat. Tanpa menaikan kemanfaatannya, perkembangan teknologi itu ternyata juga telah
menggerus benteng-benteng nilai kearifan lokal warga. Karenanya teramat sulit untuk meluruskan pola pikir masyarakat yang telah terperangkap
dalam arus komodiikasi itu.
27
Perihal ketahanan atau kedaulatan pangan misalnya,masyarakat lebih membeli produk-produk pangan instan pabrikan
ketimbang harus menanami pekarangannya dengan beragam tanaman pangan. Beban ekonomi keluarga pengeluaran semakin bertambah besar, ketika
komodiikasi itu juga telah merasuk ke segenap pranata sosial di masyarakat. Beraneka macam pagelaran upacara adat cukup menguras budget masyarakat.
28
Menyoal upacara adat di masyarakat, tentu tak dapat gegabah menilai. Itu merupakan salah satu kekayaan yang tetap perlu dipertahankan. Yang jadi
persoalan adalah jika seluruh kebutuhan upacara itu dibeli atau tidak dapat mereka sediakan sendiri. Bila masyarakat dapat menyediakan sendiri semua, pastilah
itu akan berpengaruh pada bentuk pranata ekonomi maupun sosialnya juga. Tak terpungkiri tantangan perkembangan pesat teknologi informasi memang
tidak ringan. Namun tak menyelesaikan persoalan pula ketika Ornop hanya
membincang untung ruginya. Kendati demikian, Ornop dan masyarakat masih memiliki ruang untuk mempertahankan segala hal yang dianggap berharga.
27
Tanggapan Adi Nugroho Sheep Indonesia
28
Tanggapan Yusuf Staf YAPHI
56
Masih ada banyak daerah, komunitas yang dapat dirintis dan semai. Demikian pula, masih ada hal-hal fundamental yang dapat dilakukan sembari tetap
melakukan berbagai advokasi kebijakan publik. Sebenarnya masih ada banyak komunitas yang masih bergantung dan melestarikan sumber-sumber pangan
lokal mereka. Dan secara riil mereka pun mampu menunjukkan taraf hidup
yang lebih baik ketimbang daerah lain. Perihal pangan lokal, menurut sejarah peradaban manusia, tidak ada tanaman monokultur yang dapat mensejahterakan
petani. Boleh jadi itu akan menguntungkan dalam 1-2 tahun saja, namun setelahnya hampir dapat dipastikan tinggal menunggu nasib apes.
Diperhadapkan pada beragam tantangan itu, mau tidak mau Ornop perlu menakar dan memutakhirkan metodologi dalam kerja-kerjanya. Secara
konseptual, metodologi merujuk pada pengertian pengetahuan tentang cara mencapai tujuan. Kendati demikan, metodologi juga harus menjadi bagian dari
tujuan itu sendiri. Saat ini, ada kecenderungan metodologi hanya diposisikan sebatas cara teknis tanpa dilandasi oleh basis ilosois, spirit maupun nilai
gerakan. Itulah fenomena yang banyak dijumpai di kalangan Ornop saat ini. Selain dasar ilosoi dan metodologi, hal yang tak kalah penting adalah strategi
yang digunakan Ornop dalam menjalankan misinya. Semisal, tema apa saja yang menurutnya strategis. apakah cross cutting theme atau general theme seperti
pangan, energi, air bersih, hutan, dll. Selain tema, Ornop juga penting untuk menentukan mitra kerjanya. Kalangan masyarakat mana yang menurutnya
strategis untuk dijadikan mitra. Banyak kalangan Ornop memilih kalangan perempuan sebagai mitra strategis dalam menjalankan misi-misinya.
Menurut testimoni seorang pegiat Ornop, pengalaman selama 30 tahun bekerja di dunia pengorganisasian masyarakat, kaum perempuan merupakan
kalangan masyarakat yang paling strategis sebagai mitra dalam penguatan masyarakat sipil. Menurutnya, kaum perempuan juga mempunyai daya tahan
tinggi, konsistensi, eksistensi, kedisiplinan, cermat telaten meticulous. Mobilitasnya yang rendah memungkinkan mereka memiliki peluang yang lebih
besar sebagai penanggung jawab komunitas, sumber informasi yang cepat, dan pengelola keuangan yang baik. Lebih jauh, menurutnya, kaum perempuan juga
paling strategis untuk membangun kembali pranata di masyarakat.
29
Kendati testimoni itu boleh jadi subyektif, namun pantaslah jika hali itu ditempatkan sebagai best practice yang pantas untuk diuji di lintas konteks
masyarakat. Testimoni itu mungkin mengingatkan pada program-program pemberdayaan ekonomi ala Gramen Bank yang diinisiasi oleh mayoritas kaum
perempuan. Hal serupa rupanya juga berlangsung dalam gerakaan masyarakat hutan di India maupun gerakan masyarakat Indian. Berdasarkan komparasi
kasus dari berbagai negara itu nampak ada nilai yang sama yaitu bahwa kaum perempuan sangat potensial menjadi mitra strategis. Merekalah yang biasanya
29
Testimoni Roem Topatimasang.
57
mengantongi sekaligus mengungkapkan data dan seluk beluk rinci komunitas masyarakatnya. Dalam konteks masyarakat desa di Indonesia misalnya, arus
informasi berlangsung terbuka di berbagai tempat khusus yang biasa mereka jadikan tempat berkumpul, semisal warung, pancuran, berbagai tempat sumber
mata air. Serta merta menentukan mitra strategis itu, Ornop perlu pula merancang titik tolak, pintu masuk, entry point, atau apapun namanya. Istilah itu
sendiri bukanlah sesuatu yang terpenting, tapi hal yang jauh lebih penting adalah wujudnya.
Dalam proses menentukan titik masuk itu, tidak sedikit kalangan Ornop merasa tersergap oleh isu-isu atau kerja-kerja teknis di masyarakat, sehingga
isu utama justru terbengkelai atau bahkan terabaikan. Misalnya sebuah Ornop menetapkan isu kesehatan sebagai titik masuk sembari melakukan need assessment
di masyarakat. Dalam perjalannya mereka dihadapkan pada munculnya rencana kerja yang diinisiasi dan dirumuskan bersama oleh masyarakat. Kondisi
semacam itu terkadang muncul secara tak terduga. Lantas bagaimana Ornop perlu menyikapi kondisi tersebut?
30
Agar isu utama tidak terabaikan, Ornop tentu saja harus bersikap taktis dan perlu mengusulkan adanya perencanaan
strategis bersama masyarakat. Dalam penentuan titik masuk ini, Ornop terkadang gampang tergoda
pada kepentingan pragmatis dengan terburu-buru mempercayai tokoh lokal yang boleh jadi belum mendalam dikenal. Tak jarang pilihan atas tokoh lokal
itu pun seringkali “luput atau salah alamat”. Selama ini Ornop cenderung memilih tokoh agama, tokoh pemerintahan desa, tokoh pendidikan, ketimbang
tokoh ekonomi. Pilihan itu tentu saja bukan berarti salah, namun ketika yang dipilih adalah tokoh ekonomi lokal, Ornop sebenarnya tengah memegang aktor
lokal yang akan banyak mengubah segenap faktor yang ada di masyarakat. Tak dipungkiri ketokohan leadership itu memang penting dan strategis dalam proses
pendekatan di masyarakat.
31
Kendati demikian, Ornop tetap perlu meminimalisir dominasi kekuasan yang melekat dalam sosok tokoh tersebut. Dalam hal ini
perlu ada dorongan kepada masyarakat basis untuk memunculkan perannya agar terjadi perimbangan.
32
Masyarakat sipil yang kuat adalah komunitas atau masyarakat yang memiliki pemimpin, tetapi yang terlahir dari sistem. Pemimpin
yang mempunyai kekuasaan berlebihan akan cenderung korup. Pemimpin yang baik dan berhasil adalah pemimpin yang mampu membuat yang dipimpin
menjadi berkembang dan hebat seperti pemimpinnya. Pemimpin sebenarnya
bukan jabatan tetapi fungsi, dan untuk menjalankan fungsi tersebut yang harus diciptakan adalah budaya organisasi.
Pengaruh ketokohan memang suatu realitas umum di masyarakat. Tetapi
30
Tanggapan Asnawi LSKaR
31
Tanggapan Jojon LKTS
32
Tanggapan Heri .YAPHI.
58
Ornop harus tetap jeli mengamati pola-pola hubungan antara tokoh dan masyarakat itu semacam apa. Bagaimana pula latar belakang munculnya seorang
pemimpin kharismatik atau berpengaruh tersebut. Beberapa kasus di lapangan memapar bahwa ada tokoh-tokoh di masyarakat yang justru sengaja menjaga
jarak dengan warganya karena alasan tertentu semisal gengsi, politis, dll. Ketika tokoh itu turun tidak jarang justru menimbulkan persoalan baru. Besarnya
pengaruh tokoh-tokoh lokal di masyarakat biasanya mendorong Ornop untuk menggolongkannya sebagai key person. Key person ini sering diposisikan sebagai nara
sumber kunci dalam penggalian data di masyarakat. Namun patut dicatat bahwa key person itu merupakan konsep sosiologis yang seringkali disalah mengertikan.
Karena itu Ornop sering salah kaprah atau latah menginterpretasikan konsepsi key person ini. Maka Ornop perlu menimbang tentang dampak dari pandangan
tokoh lokal tersebut yang boleh jadi bias kelas.
Cara pandang elit lokal tentu saja akan berbeda dengan cara pandang mayoritas masyarakat kelas bawah. Selain perlu mewaspadai laten pandangan
yang bias kelas itu, Ornop nampaknya juga perlu mengubah cara pandang bahwa hal yang mau diubah bukanlah key person itu melainkan pranata - pranata
yang ada di masyarakat. Maka subyek yang mestinya dilihat adalah bukan melulu berbagai tokoh masyarakat lokal melainkan juga harus menyentuh mayoritas
warga masyarakat yang nantinya akan terlibat dalam proses pengorganisasian.
Ketika datang ke masyarakat Ornop juga harus mengetahui pranata- pranata atau sistem-sistem di masyarakat, hal terpenting yang akan menjadi
sasaran perubahan. Perubahan itu harus dilakukan perlahan-lahan dan dikawal dengan cara menanamkan pranata melalui konvensipersepakatan dari, oleh,
dan untuk masyarakat. Sekadar catatan saja, akar pembentukan masyarakat Indonesia adalah by convention
, bukannya by law. Konvensi-konvensi itu tetap harus dihidupkan agar perlahan-lahan dapat berdiaspora hingga menelurkan berbagai
konvensi lainnya. Dari proses itu diharapkan akan tersusun kesepakatan yang dilengkapi dengan sangsi, sehingga akan ada pranata yang mampu memproteksi
potensi kekuatansumber daya lokal masyarakat. Kalau pun toh mekanisme itu tidak dapat direplikasi di kalangan masyarakat yang lebih luas, paling tidak
konvensi itu dapat hidup di wilayah tersebut. Boleh saja Ornop bermimpi untuk mengubah negara, tapi dapat dimulai dari wilayah-wilayah atau daerah-daerah
yang kecil. Dinamika pengorganisasian juga bersentuhan dengan pelembagaan.
Maka pelembagaan itu seoptimal mungkin mendayagunakan berbagai potensi dan sumberdaya komunitasmasyarakat setempat. Hal yang paling sederhana,
penamaan lembaga misalnya harus merujuk pada akar historis masyarakat tersebut. Penamaan itu harus mengadopsi istilah-istilah yang merujuk
bahasa lokal, menggunakan identitas lokal yang mereka miliki. Menggali dan menemukan kembali “dunia yang hilang” di masyarakat dapat ditempuh melalui
metode sederhana yaitu mulai dengan menamai dunia untuk diri mereka sendiri
59
begin to name the world for themselves. Dari naming the world itulah masyarakat akan dapat menemukan pelembagaan sesuai dengan pandangan dunia world view
mereka sendiri.
Secara panjang lebar, telah mendiskusikan ilosoi, metodologi, dan strategi penguatan masyarakat sipil berikut sejumlah best practices yang mungkin
dapat menginspirasi kerja-kerja bersama masyarakat. Tantangan yang semakin kompleks tentu akan membayangi perjalanan Ornop ke depan.
Dalam hal ini, Ornop perlu merubah paradigma bahwa yang dicari bukanlah masalah tetapi potensi. Dengan membalik paradigma itu melalui contoh sukses
di satu wilayah desa untuk ditularkan ke wilayah desa yang padat masalah. Ide itu tentu saja bukannya tanpa dasar. Muncul sinyalemen kuat bahwa selama ini
berbagai kalangan Ornop memulai pengorganisasian di wilayahdaerah yang
hiruk pikuk dengan masalah, hingga mereka lupa bahwa pengorganisasian masyarakat tetaplah butuh kemenangan kecil dalam rupa penyelesaian kasus
secara sukses di suatu wilayah tertentu.
Bermula dari kisah sukses pengorganisasian masyarakat di sebuah komunitas akar rumput, Ornop dapat menggunakan modus “efek domino”
untuk menularkan “virus best practice” itu ke komunitas-komunitas kecil lain. Tentu saja Ornop membutuhkan jejaring gerakan sosial yang handal untuk
penyebarannya. Tepat di sinilah uji konsolidasi jejaring masyarakat sipil lintas komunitasdaerah turut menentukan peluang perubahan dari tingkat mikro ke
cakupan makro dalam sebuah negara bangsa nation state. Tawaran perubahan strategi bagi Ornop ini tentunya semakin relevan ketika diperhadapkan berbagai
tantangan baru di era desentralisasi otonomi daerah yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Harus di akui waktu-waktu belakangan Ornop tengah
demam. Bergolaknya pergantian musim jadi penyebab. Simptom-simptom
isiologis maupun mental ditengarai telah mengarah pada darurat humanisme. Dari lapis atas globalisasi neoliberalisme menggebuk, di lapisan tengah negara
tersandera, sementara di lapis bawah masyarakat sipil bergolak. Terasa haluan vertikal maupun horisontal sama-sama berhulu di bottle neck.
Di tengah himpitan rejim fundamentalisme pasar yang hegemonik, beragam persoalan politik lokal pun meruyak. Misalnya kekisruhan dan pertikaian elit-elit
politik lokal semakin menegaskan bahwa masyarakat sipil kian terjauhkan dari sentuhan pelayanan publik yang lebih baik. Gelimang kasus sandera korupsi
dan baku jegal para elit lokal pun menandai kesejahteraan yang kian jauh dari jangkauan rakyat bawah. Lantas dimanakah demokrasi yang substantif-esensial
mesti diperagakan ketika kehidupan Republik ini justru sesak oleh sepak terjang elit-elit lokal yang membangkrutkan demokrasi? Sampai kapan Republik ini
dapat terbebas dari kolonialisme internal elit-elit lokal yang gandrung dengan credo: a happy few and a servil crowd?
Sub bab berikut lebih jauh akan mengkaji tentang bagaimana proses
60
konsolidasi organisasi masyarakat sipil berlangsung di era reformasi, sebuah era dimana demokrasi tengah dalam proses menjadi state of becoming. Pokok uraian
yang akan ditegaskan adalah bahwa daftar kendala berdemokrasi di negeri ini masihlah teramat panjang. Namun patut disadari juga bahwa hukum dialektika
sosial tetap tidak dapat dinaikan. Dalam hukum dialektis itulah dinamika negara versus masyarakat sipil berkontestasi mengayun pendulum demokrasi.
Sosiologi relektif meminjami cara pandang bahwa di masa-masa sulit tetap terselip momentum perubahan, dalam kolonialisme-internal-hegemonik selalu
hidup spirit kreatif-liberatif, demikian pula di negara lemah soft state—untuk tak terjerumus menyebut negara gagal failed state—pun terpendam gerakan
masyarakat sipil progresif yang siaga belajar “menari” dengan demokrasi.