Alur Kerja Program Pengembangan Kapasitas

24

B. Ornop Ideal: Gugatan Realitas-Aktual

8 Di dalam dunia gerakan sosial, Ornop Organisasi non Pemerintah sebagai organisasi yang merepresentasikan kiprah masyarakat sipil dalam dinamika pembangunan, bila diklasiikasikan—secara simplistis—memiliki dua watak dominan, yaitu watak ekonomi dan watak sosial. Seiring perkembangan jaman dan kompleksitas perubahan masyarakat, kedua watak Ornop itu akhirnya sulit diidentiikasi secara jelas dan terpilah. Bila ditinjau secara sejarah, Ornop pada masa Orde Lama tidaklah populer. Ornop mulai populer semenjak partai-partai politik parpol difusikan. Sejak terjadinya difusi partai politik itu, banyak kalangan merasa tidak ada lagi wadah gerakan. Maka sejak itu muncul gagasan untuk melakukan dekonstruksi sosial. Dekonstruksi itu ditandai dengan dihidupinya ruh pembebasan yang diaktualisasikan dalam kerja-kerja Ornop tersebut. Dalam perkembangannya nanti, kerja-kerja dekonstruksi dari kalangan masyarakat sipil itu hadir sebagai kritik riil di tataran praksis terhadap gagalnya negara dan sektor swasta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam ruhspirit itu, Ornop berupaya membebaskan masyarakat yang terpinggirkan dan bahkan tergilas oleh proses pembangunan. Dalam hal ini, Ornop mengambil peran sebagai kekuatan oposisi untuk memperjuangkan keadilan dengan cara melawan pemerintah yang lalim dan otoriter. Perjuangan itu tentu saja dilakukan secara underground , tetapi dibalik gerakan sosial bawah tanah terkandung unsur politik. Karenanya, Ornop yang didirikan pada masa Orde Baru sebagian besar memiliki watak politik. Hal itu tentu relevan dengan konteks jaman, dimana pada saat itu pemerintah Orde Baru melarang didirikannya organisasi-organisasi politik. Karenanya, banyak Ornop yang muncul pada saat itu cenderung memiliki karakter politik yang relatif kental ketimbang masa-masa sesudahnya. Watak politik dalam Ornop waktu itu lebih didasarkan karena organisasi politik yang ada dibungkam dan ditelikung. Sehingga, Ornop-Ornop yang terlahir pun berwatak liberatif, setidaknya memiliki cita-cita untuk melakukan pembebasan dari ketertindasan. Gerakan sosial semacam itu dilakukan untuk mencapai sebuah kesadaran: perlawanan terhadap segala praktik penindasan oleh penguasa. Dari ulasan singkat di atas, ada beberapa gugatan yang perlu direleksikan oleh Ornop dalam menjalankan karya-karya pelayanannya. Pertama , apakah Ornop beserta para pegiat yang bergabung didalamnya benar-benar memahami organisasinya, semisal bukan hanya soal pilihan jabatan strukturalnya, melainkan juga prinsip-prinsip, nilai-nilai, ataupun spirit yang dihidupinya? Terkait dengan 8 Paparan ini disunting dari notulensi workshop di Sheep Indonesia yang bertemakan “Spirit Sosial Keberlanjutan Ornop”. Dua pembicara utama dalam workshop tersebut adalah Susetiawan, Ornop: Kini Berjalan Tanpa Ruh dan Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial. 25 itu, terjumpai kasus di sebuah Ornop. Ornop tersebut telah berhasil melakukan proses penyadaran pada masyarakat. Masyarakat yang didampingi pun tercerdaskan dan menguasai banyak isu. Kemudian masyarakat yang didampingi itu menanyakan bagaimana caranya agar dapat mengakses langsung donor internasional. Kasus semacam itu tentu merepotkan Ornop pendamping. Pastilah ketidakrelaan lantaran khawatir tersaingi akan menjangkiti Ornop pendamping. Tak akan ada proyek lagi bagi Ornop itu jika masyarakat dapat mengakses dana langsung dari donor internasional. Makna yang dapat ditangkap dari kasus itu adalah bahwa pada dasarnya Ornop nampak tidak berbeda dengan pemerintah. Mereka berusaha menjadikan masyarakat sebagai obyek dalam struktur mediasi donor. Rupanya masyarakat pun tertarik pada jasa mediasi dalam mengakses dana dari donor yang selama ini menjadi lahan kerja para pegiat Ornop. Kasus semacam ini dapat dimaknai bahwa spirit pembebasan yang semula dimiliki kini telah mengalami pergeseran, dari yang semula berwatak sosial menjadi berwatak ekonomi. Maka selanjutnya, gugatan kedua yang juga pantas untuk direleksikan adalah apakah gambaran organisasi sosial yang pada masa lalu memiliki cita-cita penyadaran dan pembebasan semacam itu, pada saat sekarang ini masih dapat kita temukan? Tak bermaksud menjawab langsung gugatan itu, setidaknya ada tiga catatan yang sering mengemuka terkait dengan persoalan itu, yaitu bahwa:1. Ornop terkesan bermain retorika. Modusnya dapat dikenali dalam tanda-tanda yang gamblang. Misalnya, mereka bermain retorika dengan menjajakan berbagai gagasan dan isu yang memungkinkan untuk dijual. Artinya aktivitas yang dilakukan hanya berdasarkan pada proyek belaka; 2. Ornop yang semula menjalankan sebuah konsep penyadarangerakan sosial pada akhirnya hanya “jualan” konsep belaka, dan celakanya lagi mereka sendiri tidak siap atau bahkan gagap dengan konsep penyadaran gerakan sosial yang sebenarnya; 3. Dalam situasi semacam itu maka dapat dikatakan bahwa Ornop hanya bertindak sebatas sebagai “operator”, atau broker proyek belaka. Gugatan ketiga, apakah Ornop mampu berkembang tanpa adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap donornya? Dalam perkara satu ini muncul sebuah kekhawatiran yang menyundut secara eksistensial atas Ornop itu sendiri. Meminjam perspektif skeptisisme, jangan-jangan Ornop ini merupakan aparatus modern kapitalism. Jika premis itu benar, tidaklah mengherankan apabila perguliran dana dari donor internasional selain telah berandil pada menjamurnya Ornop, juga telah berujung pada tergerusnya watak gerakan hingga berubah menjadi semacam penampungan tenaga kerja belaka. Karena pegiat Ornop yang makin masif bak penampungan tenaga kerja itu memunculkan keresahan ikutannya yaitu keberadaan sejumlah Ornop yang selama ini disinyalir tidak menggarap gerakan sosial namun terindikasi kuat hanya meng-komodiikasi keributan kendati itu dapat dibalut dengan motif politik tertentu. Gugatan keempat , bagaimana caranya membiayai dan menangani berbagai aktivitas organisasi, tetapi dengan tetap menjalankan gagasan dan spirit yang ada sebagai basis gerakan? Dalam 26 konteks ini, dapat digagas misalnya dengan cara melakukan proses bargaining position dengan donor internasional, agar program yang dijalankan tidak harus tunduk pada platform mereka secara kaku. Jika demikian mekanismenya, apakah donor internasional itu masih bersedia untuk mendanai program? Poin penting itulah yang mesti direleksikan dan pikirkan untuk menemukan jawabannya.

C. Ornop dan Gerakan Sosial

9 Beberapa gugatan di atas pada dasarnya merupakan realitas faktual yang mesti dihadapi Ornop di era kapitalisme mutakhir saat ini. Kesemuanya merupakan kritik atas pergeseran peran Ornop sebagai “motor” gerakan sosial. Di sini, peran Ornop dipertanyakan kembali, utamanya yang terkait dengan ideologi, spirit, dan karakter gerakan strategisnya untuk mengawal perubahan sosial di masyarakat. Pada tataran ini, perlu ada kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka dalam merespon berbagai kritik tersebut. Ornop lahir dari suatu idelisme gerakan yang ingin mencapai tujuan tertentu. Idealisme itu biasanya tertuang di dalam visi dan misi organisasi yang menjadi dasar atau landasan nilai dan gerak dari organisasi tersebut. Seiring perkembangan Ornop, baik dalam hal kapasitas, program, dan kepercayaan donor, tidak jarang membuat Ornop yang bersangkutan justru bergeser dari visi dan misinya semula. Salah satu sebabnya karena tuntutan platform donor yang acap kali sangat kaku rigid. Banyak kasus menunjukkan betapa konsekuensi perkembangan Ornop itu justru berandil besar dalam memicu konlik internal organisasi. Alih-alih menjadi pembebas bagi masyarakat yang terpinggirkan ataupun menyadarkan si kaya untuk memiliki jiwa sosial, mereka sendiri justru menjadi bagian dari masalahhambatan dalam gerakan sosial itu sendiri. Dalam situasi semacam itu, Ornop tak cukup berdaya untuk menjadi agen perubahan agent of change yang dapat membebaskan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan dari perangkap ketertindasannya. Jika sudah sedemikian jauh kemelencengan dari visi dan misi itu terjadi, lantas bagaimana mesti disikapi hal itu? Apakah Ornop masih dapat berjalan pada rel semula, kembali ke kithah-nya sebagai agen perubahan sosial? Di sinilah letak persoalan mendasar dari Ornop: kemandirian. Patut disadari bahwa kata kemandirian bukanlah konsepsi solid yang nir- prasyarat. Kemandirian merupakan ramuan dari beragam anasir yang tak mudah untuk dipahami,terlebih direalisasikan. Kemandirian adalah “kesendirian” yang bukan berarti tidak butuh orang lain. “Kesendirian yang dimaksud merujuk pada kondisi otonom-otoritatif untuk menginisiasi dalam memposisikan diri, mengatur diri, dan mengaktualisasikan diri self-initiating, self-adjusting, self- 9 Paparan ini dikembangkan dari berbagai tanggapan audiens—organisasi mitra KIA—atas presentasi seminar Susetiawan,Ornop: Kini Berjalan Tanpa Ruh, dan diperkaya dengan mengelaborasi presentasi Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial.