Sistem PIMEPlanning, Implementation, Monitoring, and Evaluation

92 Hampir dapat dipastikan berbagai kendala itu sering dihadapi oleh banyak Ornop di Indonesia. Untuk mengadopsi tiga tingkatan kapasitas dalam sistem PIME yang ideal itu, Ornop perlu mereleksikan kembali langkah-langkah internalisasi yang telah dijalankan selama ini. Perlu dicatat di sini bahwa proses internalisasi sistem PIME semacam itu perlu menggunakan metode leveling internalisasi yang dilakukan dengan staf tentu saja akan berbeda dengan board, atau tim manajemen, staf lapangan, atau volunteer. Tanpa metode leveling, perencanaan yang dilakukan sama artinya abai terhadap keberagaman peran didalam organisasi. Tentu saja bukanlah deinisi PIME yang diinternalisasi, melainkan ilosoinya dan pengertian dasar, manfaat, serta alurnya. Beragam perencanaan seperti perencanaan bulanan, perencanaan semester, perencanaan tahunan tentu saja harus memiliki landasan dasarnya. Demikian pula implementasi, Ornop harus memahami bagaimana cara melaksanakan, standar pelaksanaan kegiatan, proses pelaksanaan, hingga bagaimana melakukan analisis penerima manfaatnya. Sementara menyoal monitoring, Ornop harus mendesain berbagai aspek dalam monitoring tersebut, seperti meteri, penerima manfaat, waktu pelaksanaan, dll. Hal-hal apa saja yang ditemukan dalam kegiatan dan apa rekomendasi untuk hasil temuan tersebut. Seluruh proses itu harus disusun dalam bentuk laporan tertulis dan seoptimal mungkin sistematis. Dan akhirnya pada proses evaluasi, Ornop perlu melihat kontribusi dari suatu kegiatan terhadap kontribusi pada tujuan proyek, program, dan tujuan lembaga; sehingga terlihat apa yang kita rubah. Dengan kata lain, sistem PIME sebagai wahana untuk mewujudkan tata kelola yang baik secara ideal akan mencakup sinergisitas dan keterpautan yang utuh antara sistem PIME Ornop, sistem PIME proyek Ornop, hingga sampai sistem PIME organisasi masyarakat sebagai mitra kerjanya.Keutuhan sistem PIME terjabarkan dalam bagan berikut. 108 108 Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Tata Kelola Organisasi dan Sistem PME, hlm.17. 93 Dari seluruh paparan di atas, sharing pengalaman berharga yang perlu dicatat di sini adalah bahwa Ornop hendaknya tidak gampang terjebak pada berjibunnya teori PIME. Akan lebih baik jika Ornop lebih terfokus pada apa yang telah dikerjakan selama ini di lembaga. Selanjutnya, mereka perlu merumuskan deinisi umum, dengan melihat batasan yang terkait dengan level hirarkinya. Relevan untuk dinyatakan pula di sini bahwa legal entity konstitusi harus dianalisis dan dibedah secara kritis, bukan justru sekadar sebagai dokumen persyaratan belaka. PIME tidak hanya sekedar acuan kebijakan dan syarat legal, namun sebagai sebuah mekanisme organisasi yang harus dijalankan. Alih-alih PIME, aturan lembaga pun seringkali hanya dipahami sebagai alat penyelesaian masalah saat terjadi konlik, perbedaan pendapat, atau pelanggaran konstitusi lembaga, dan bukan sebagai acuan untuk dijalankan oleh organisasi. Selain itu, ukuran demokrasi dalam suatu lembaga diukur dalam cara bagaimana aturan kesepakatan dirumuskan secara jelas dan dijalankan bersama. Isi dokumen ADAnggaran Dasar misalnya saja, mestinya dapat jadi dasar penjabaran kebijakan siklus dari PIME tersebut. Untuk lebih memahami dari paradigma project base ke institusional based , maka lanjutan langkah yang dilakukan adalah pemahaman pada PIME. Dalam membangun organisasi, Ornop harus mendasarkan pada konstitusi kelembagaan bukan pada persoalan pribadi. Dengan demikian menjadi jelas jika membangun organisasi atau konstitusi, Ornop harus membangun dengan dasar spirit lembaga secara kritis. Lebih jauh, hal mendasar yang paling penting untuk direnungkan juga di sini adalah perubahan paradigma yang terjadi dalam organisasi berikut dampak terjauh yang dapat digapai. Sayang jika Ornop hanya terjebak dalam kemapanan institusi dengan persoalan posisi dan struktur serta menciptakan hirarki karir, bukan pada mendiskusikan peran serta kontribusi terhadap tujuan lembaga. 109

B. Perubahan Pola Kemitraan Ornop

Tujuan awal program peningkatan kapasitas mitra tidak ada lain kecuali untuk memperbaiki intensitas komunikasi antara organisasi mitra dengan lembaga donor dan meningkatkan kinerja manajemen. Selama proses program berjalan memang dirasakan ada beberapa persoalan umum yang menjadi kendala: pertama , problem komunikasi antar mitra dengan lembaga donor terkesan “kering”. Hubungan terasa tak setara, dan masih sering terperangkap pada masalah teknis surat, kontrak, bank, proposal dsb, serta belum ada mekanisme monitoring dan evaluasi yang jelas disepakati sejak awal. Kedua , perkembangan kapasitas mitra sendiri sangat beragam: tingkat kelembagaan kecil, menengah dan besar; jenis programnya mulai dari yang karitatif hingga advokasi masih 109 Andreas Subiyono dalam Notulensi Lokakarya Tematis: Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIAICCO Dalam Sistem PME Tempat di Hotel Agas, Surakarta 14-15 Desember 2010, hlm.8 94 juga dihadapkan pada dinamika internal yang cepat berubah. 110 Tersadari sungguh bagi SHEEP bahwa pengalaman selama mendampingi terasa berat bila dihadapkan pada masalah yang dilematis jika harus masuk di wilayah internal organisasi. Semisal jadi mediator beberapa pihak yang mempunyai cara pandang yang berbeda mediasi internal tersebut seharusnya bukan wilayah intervensi dan bukan pada pembenahan manajerial organisasi. Jika dievaluasi, program pendampingan yang seperti ini dinilai gagal, karena waktu untuk pembenahan manajerial banyak tersita untuk memediasi konlik internal. Belum lagi kalau mediasi gagal dan lembaga tersebut terancam bubar atau mandeg. Ditengah hiruk pikuk implementasi program pengambangan kapasitas mitra, ternyata mengemuka tiga permasalahan yang mempengaruhi kebijakan lembaga donor: pertama , kebijakan politik Eropa membawa dampak-dampak yang signiikan bagi donor-donor untuk merger atau berpikir tentang keberlanjutan. Beberapa alasan lembaga donor di antaranya sebagai berikut: a. Mengingat dana-dana operasi yang dikeluarkan sebelumnya besar, maka dengan cara merger mereka dapat memperkecil biaya; b. Lembaga donor yang mengajukan appeal proposal ke pemerintah harus berkontribusi sebanyak 25; c. Orang tidak lagi mudah mengeksploitasi trust, namun harus mulai mengacu standar pertanggungjawaban secara umum; d. Prasyarat Ornop yang dibantu adalah lembaga formal yang dapat dikonirmasi oleh pemerintah asal negara donor; e. Akuntabel menurut sudut pandang negara-negara yang teregister; f. Lembaga donor dan lembaga yang dibantu harus memiliki standar baku. Kedua , kapasitas internal lembaga mitra yang mempengaruhi, sehingga perlu berpikir tentang keberlanjutan dalam membuat kebijakan untuk melanjutkan atau tidak kerja sama berikutnya. Hal yang menjadi pertimbangan adalah: a. Proses-proses pemecahan masalah hanya sampai pada level proyek, belum berdampak secara luas bagi lembaga; b. Ornop tidak dapat hidup tanpa proyek, maka sangat tergantung pada proyek; c. Tata kelolanya yang digunakan belum memenuhi standar, walaupun sudah mempunyai visi dan misi; d. Terjadi pergeseran atau marginalisasi pegiat gerakan sosial yang kurang mampu beradaptasi dengan perubahan karakter lembaga. Berdasarkan evaluasi informal ternyata ditemukan empat variabel yang menghambat proses keberlanjutan Ornop. yaitu: a. Kepemimpinan yang dominan ketergantungan pada pimpinan, sehingga fungsi internal kontrol kurang berfungsi optimal; b. Board tidak berfungsi; c. Diversiikasi donor sangat terbatas; d. Program pengembangan konseptual tidak berjalantidak mengalami pengayaan yang berubah hanya wilayah program kerja sama serta 110 Andreas Subiyono dalam Dalam notulensi Lokakarya Evaluasi “Pengembangan Kapasitas Organisasi Mitra KIAICCO di Jawa Tengah dan DIY” Rumah Palagan, Yogyakarta, 25-26 Juni 2009, hlm. 1-2. 95 program-program yang dijalankan atau direncanakan tidak didasari dengan perencanaan dan analisis strategik; hanya sebatas mengakomodasi kegiatan- kegiatan yang akhirnya membuat program menjadi stagnan. Ornop sampai mengalami kegamangan yang terkadang akut. Salah satu faktor lainnya adalah bahwa isu-isu pemberdayaan yang selama ini mereka lakukan kini mulai digarap oleh pemerintah dan korporasi. Karenanya, Ornop perlu berikir ulang dan merenungkan kembali perihal perubahan menuju peningkatan kesejahteraan sosial yang mereka cita-citakan. Semisal metode dan strategi macam apa yang akan mereka pakai kemudian. Menjadi tak memadai lagi jika Ornop masih berkutat diseputar pendekatan kebutuhan dasar basic need dan hak-hak dasar basic right saja. Mereka perlu menjangkau pula sejumlah pendakatan terhadap ide-ide keadilan sosial, perdamaian dan lingkungan hidup tepatnya keadilan ekologis. Kesemua isu itu perlu didekati guna memastikan adanya komprehensiitas aspek-aspek yang membuka lebar-lebar peluang bagi upaya pengembangan dan pencapaian standar kehidupan manusia yang bermartabat. 111 Peran strategis Ornop dalam mewujudkan kesejahteraan sering menjadi pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh pengambil kebijakan di tingkat lembaga. Misalnya terkait gerakan sosial, tidak sedikit Ornop yang kesulitan untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar posisi strategis apa yang dapat diambil dirumuskan dalam kebijakan organisasi, dan kesejahteraan sosial semacam apa yang akan digapai, serta kriteria apa saja yang ditetapkan. Disadari atau tidak, selama ini tolok ukur kesejahteraan yang diacu atau bahkan dirumuskan oleh Ornop merupakan replikasi dari teori-teori kesejahteraan yang telah usang. Bahkan yang lebih memelas lagi, Ornop malahan menggunakan ukuran pemerintah atau lembaga dunia yang lebih banyak keterbatasan ketimbang kelebihannya. Selain itu, masyarakat yang didampingidikawal atau difasilitasi tidak jelas hendak diarahkan kemana. Berdasarkan catatan lapangan, biasanya arah yang seringkali dituju adalah pada proses modernisasi yang tentu saja cenderung bias pada visi pertumbuhan growth ketimbang kelestarian ekologis ecological sustainability . Dengan kata lain, kesejahteraan dilihat menurut kacamata dan kriteria masyarakat modern. Belum juga ada upaya untuk menggali dan memunculkan ciri budaya masyarakat lokal untuk dikembangkan sebagai suatu potensi dan kapasitas menuju model kesejahteraan ala lokal. Satu contoh riil, paradigma tentang desa di kalangan Ornop pun belum berubah hingga kini. Tolok ukur kemajuan suatu desa senantiasa berkorelasi kuat bahwa desa tersebut harus mengarah pada masyarakat industri. Dalam konteks itu, Ornop seharusnya sadar terhadap realita bahwa kesejahteraan merupakan suatu hasil atau proses penemuan yang 111 Pak Andreas Notulensi pembukaan Lokakarya Tematis Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIAICCO Dalam Sistem PiME 14-15 Desember 2010 96 dilakukan bersama-sama masyarakat—yang secara elementer melibatkan proses penyadaran—dengan ukuran yang sangat kontekstual. Lebih jauh, sistem manajemen yang dianut sebagian besar Ornop dalam melihat perubahan intervensi masih dari aspek keluaran. Tentu saja tidak ada yang salah dengan melihat aspek tersebut. Hanya saja belum banyak kalangan Ornop yang mencoba menganalisis dengan menggunakan indikator-indikator dari aspek hasil dan dampak. Ada sebentuk kemalasan di kalangan Ornop untuk mendetilkan berbagai aspek capaian itu sendiri. Jika pun ada, orientasi kebanyakan ornop tetap sebatas terfokus pada capaian hasil dengan indikator- indikator yang sepihak belaka tanpa berkehendak menggali indikator-indikator menurut kacamata warga masyarakat. Diperlukan pendalaman tolok ukur yang mesti dibantu dengan memunculkan indikator-indikator riil untuk menganalisis sebuah keberhasilan. Karena selama ini ukuran yang dipergunakan masih terfokus pada tolok ukur general kuantitas, maka analisispenilaian yang dilakukan untuk melihat keberhasilan atau kegagalan menjadi sangat tidak memadai. Ornop pun jarang melakukan sesuatu yang terfokus pada kualitas dengan melihat isimateri agar dapat terlihat suatu perubahan yang signiikan. Misalnya terkait dengan proses pendampingan masyarakat. Selama ini, kalangan Ornop masih bias pada tolok ukur intentitas visitasikunjungan ke desa ketimbang kualiikasi isi dan muatan pendampingan di masyarakat itu sendiri. Paparan kajian ulang atas pendampingan masyarakat tidak jarang masih terjatuh pada berapa kali mereka melakukan kunjungan dan bukan apa dan bagaimana isi kunjungan terhadap beneiciaries penerima manfaat program dengan menimbang kompleksitas persoalan dan dinamika sosial masyarakat di tingkat lokal itu sendiri. Jika berbagai hal tersebut di atas belum juga jelas dipahami, lantas bagaimana sistem Planning, Implementation, Monitoring, and Evaluation PIME itu dapat diterapkan dalam Ornop yang bersangkutan? Lantas selama ini didasarkan pada apakah perencanaan yang dilakukan oleh Ornop? Berdasarkan hasil pengamatan selama ini, kegiatan Ornop nampaknya mengimplementasikan ideologi kesejahteraan yang serupa dengan lembaga-lembaga lainnnya yang masih berakar kuat pada paham pembangunanisme developementalism. Kalangan Ornop terlalu sering tidak menggunakan metode pendekatan atau konsep yang jelas untuk menstimulasi perubahan. Karenanya hal yang perlu dikritisi di sini adalah apa yang ada di balik sistem manajemen yang diterapkan di masing- masing Ornop. Kalangan Ornop perlu berpikir ulang agar mereka tidak hanya menerapkan saja atau mengadopsi sistem manajemen yang telah ada atau ditawarkan tanpa mencoba membedah secara kritis sesuai dengan spirit dan nilai yang ada di setiap organisasi. Selain metode pendekatan, dari segi laporan, kalangan Ornop selama ini sulit menangkap atau memahami laporan yang dapat memperlihatkan perubahan masyarakat sebelum didampingi, selama proses pendampingan, dan setelah didampingi. Yang sering terlihat di dalam laporan adalah sekadar kesadaran semu belaka. Pasalnya sering dijumpai di masyarakat 97 bahwa input yang diberikan tidak memberikan dampak yang signiikan bagi proses perubahan.Apa penyebabnya dan mengapa semua hal di atas dapat terjadi? Itulah pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh kalangan Ornop kita saat ini. Menyoal tentang itu, berbagai kalangan penggiat berpendapat bahwa realitas itu secara faktual terjadi dan dialami oleh banyak Ornop di Indonesia. Salah satu aspek yang turut memicu persoalan itu adalah ketidakmampuan Ornop menolak tawaran intervensi program dari donor yang berlebihan, sampai- sampai Ornop yang bersangkutan sulit untuk memadukan program tersebut kedalam strategic plan organisasi yang sudah berjalan secara reguler. 112 Tawaran program dari donor semacam itu dapat dibaca sebagai pilihan dilematis bagi kalangan Ornop, 113 antara pilihan pragmatis yang seringkali terpaut kalkulasi strategis dan materiil berjangka pendek dan pilihan ideologis sebagaimana yang diamanatkan dalam visi dan misi organisasi. Dengan kata lain, implementasi program di kalangan Ornop sering tidak berdasar pada perencanaan strategis kelembagaan. Dalam konteks ini, perlu disadari kalangan Ornop perlu membedah ulang keterkaitan banyak aspek yang melingkupinya, terutama aspek spirit dan nilai lembaga. Saat penyusunan program misalnya, Ornop perlu menyiapkan tools assessment yang memuat aspek spirit dan nilai organisasi. Sistem Planning, Implementation, Monitoring, and Evaluation PIME semestinya mengacu pada sistem nilai tersebut. Demikian pula halnya, ketika Ornop bersangkutan menyusun proposal program. Seoptimal mungkin Ornop perlu mengacu sistem nilai dengan menyertakan perangkat analisis yang didasarkan pada basis pengalaman kekaryaan lembaga. Singkatnya, spirit dan nilai harus menjadi pondasi lembaga dan merupakan faktor penting yang harus diaplikasikan dalam tools assesment , sejak tahapan rancangan, implementasi, capaian akhir, hingga dampak program yang hendak dituju. 114 Berbagai kasus menunjukkan kalangan Ornop seringkali hanya membuat program tanpa menganalisis nilai dan spirit sehingga banyak hal yang tidak nyambung. Hal itu sering dijumpai Ornop mengalami kesulitan dalam membahasakan arah program-program yang telah berjalan terutama program reguler dan program non-regulerproyek. 115 Pencantuman nilai dan spirit organisasi itu sendiri membutuhkan konsistensi dan ketegasan sikap secara kelembagaan. Dengan demikian, orientasi tidak tersandera oleh berbagai kepentingan pragmatis jangka pendek, entah dari donor ataupun berbagai aktor lain yang terkait. Dibutuhkan sinergi antara 112 Vera Spekham, dalam diskusi Perubahan Pola Kerjasama Organisasi non Pemerintah di Indonesia. 113 Agus LKTS 114 Putri YAPHI 115 Emma AWI