11
pengembangan program dapat berkembang pesat, organisasi ini juga telah memiliki program pengembangan staf, system penggajian, kapasitas
manajemen yang sentral maupun terdesentralisasi, dll. Dari hasil assessment awal, kebutuhan asistensi teknis dari organisasi ini adalah mengembangkan
sistem PME, dan pelaporan program.
7. Solidaritas Perempuan untuk Kesetaraan HAM SPeKHAM
SPEKHAM adalah ORNOP yang berdomisili di Solo, dengan berfokus pada partisipasi kaum perempuan, melalui metode pengorganisasian,
pelatihan dan advokasi. Meskipun terhitung organisasi yang belum lama berdiri, organisasi ini memiliki gagasan yang baik dan komitmen yang
kuat. Terkait dengan program pengembangan kapasitas ini, organisasi ini membutuhkan asistensi teknis berupa penguatan kebijakan manajemen
strategis lembaga.
8. Lembaga Kajian dan Transformasi Sosial LKTS
LKTS adalah organisasi yang dibentuk para aktivis muda NU di Boyolali, yang relatif masih baru. Organisasi memiliki area pendampingan
di Boyolali, Semarang, Klaten dan Sukoharjo dengan fokus pada penguatan posisi ekonomi kaum perempuan miskin. Organisasi ini memiliki komitmen
yang kuat. Terkait dengan kebutuhan pengembangan kapasitas, organisasi ini perlu mendapat asistensi teknis berupa penguatan spirit pembedayaan
perempuan. Selain itu juga perlu pendampingan dalam pengembangan sistem PME dan pengembangan program serta pelaporan program
9. Yayasan Krida Paramita YKP
YKP adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1989 oleh GKJ Nusukan. Solo. Area dampingan organisasi ini meliputi wilayah kota
Solo dan sekitarnya. Program kerjanya berfokus pada pembedayaan ekonomi perempuan dan kesehatan perempuan. Terkait dengan program
pengembangan kapasitas ini, asistensi teknis yang dibutuhkan adalah pengembangan system monitoring dan evaluasi. Hal itu penting dilakukan
agar YKP dapat mendapatkan melakukan releksi kritis atas perjalanannya sebagai Ornop dan capaian dampak programnya.
E. Sistematika Buku
Sumber utama buku ini adalah kompilasi dokumen pengembangan kapasitas selama proyek berlangsung, maka buku ini mau tak mau akan banyak
merujuk pada seluruh dokumen program yang mayoritas masih mentah. Jika dirinci lebih lanjut, dokumen program itu terdiri dari: pertama, referensi
12
konseptual dan wacana tentang pengembangan kapasitas capacity building; kedua
, notulensi diskusi tematis, pertemuan mitra, dan konsultasi bilateral. Alur dan tahapan mulai dari refrensi, workshop, pertemuan mitra, hingga konsultasi
bilateral merupakan satu kesatuan tema dalam benang merah peningkatan kapasitas menuju Ornop yang berkelanjutan. Ketiga
, referensi-referensi yang diinput dalam setiap tema tersebut seperti materi presentasi berupa power
point dan makalah; dan keempat , laporan-laporan perkembangan progress report
dari program Pengembangan Kapasitas. Laporan tersebut meliputi beberapa macam laporan seperti laporan untuk lembaga donor, laporan evaluasi internal,
dan laporan konsultasi bilateral. Sesungguhnya kerangka besar buku ini sudah dapat dicermati sejak
awal paparan, yaitu diskursus seputar pengembangan kapasitas. Selain akan menguraikan materi-materi pokok tentang pentingnya pengembangan kapasitas
Ornop di Indonesia, pada bab berikutnya dipaparkan sejumlah lesson learned yang muncul dalam proses berdiskursus di antara Ornop. Berbagai pelajaran
berharga tersebut akan tercantum di dalam box khusus. Hal itu perlu ditempuh untuk memperoleh best practice
dari implementasi program. Dengan demikian, buku ini merupakan narasi pengalaman bersama beberapa Ornop untuk
menghidupi tradisi knowledge management dan epistemic community di lingkup dunia aktivis Ornop di Indonesia.
Tersadari bahwa saat ini muncul trend baru seputar knowledge management. Sayangnya banyak kalangan—terutama private sector—terjatuh pada perangkap
manajerial saja, yang lebih cenderung bias pada aspek tangible asset belaka. Untuk tak terjatuh pada perangkap serupa, buku ini berupaya mengangkat knowlegde
management yang tidak semata mencakup tangible asset melainkan juga mengupas berbagai aspek intangible asset
. Dalam konteks dan terminologi kalangan Ornop, intangible asset
itu berkaitan erat dengan aspek-aspek paradigma, ruhspirit, nilai- nilai profetis, dan lain sebagainya.
Secara garis besar pengembangan kapasitas itu mengusung empat prioritas yaitu : pertama
, prioritas pada aspek pemikiran dan pembelajaran; kedua, perioritas pada aspek tindakan; ketiga
, priotas pada aspek keberadaan; dan keempat, prioritas keberlanjutan. Bila keempat prioritas itu disederhanakan maka beberapa aspek
pengembangan kapasitas itu menyangkut soal ideology, mind set, know-how, hingga how to. Dengan berpijak pada seluruh proses tahapan program pengembangan
kapasitas itu, maka bab-bab yang ada di buku ini akan tersistematisasi sebagai berikut: pada Bab I Pendahuluan buku ini berusaha memberikan latar belakang
para pemangku kepentingan, dinamika dan tahapan program pengembangan kapasitas mulai dari prakarsainisiasi, agenda, dan proses umum yang terjadi.
Sehingga pembaca dapat dihantar pada kontek dan relevansi peningkatan kapasitas Ornop di Indonesia. Bab II—yang bertitel Menuju Ornop Strategis
dan Berkelanjutan: Realita vs Utopia?—akan lebih banyak memaparkan tentang apa strategi dan metodologi yang dipakai dalam program pengembangan