aluminium foil, cup, box dan sebagainya. Instan sendiri dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehydrasi untuk siap dikonsumsi
Corinthian Infopharma Corpora, 2004. Mi instan terbuat dari tiga bahan baku yaitu tepung terigu, minyak sayur,
dan bumbu penyedap seasoning. Secara sederhana proses pembuatan mi instan diawali dengan menyediakan bahan baku yang akan digunakan, kemudian
dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku yang akan digunakan kemudian dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku utama dan bahan
baku tambahan yang bertujuan untuk membentuk tekstur mixing. Selanjutnya dilakukan pessing, yaitu proses yang menghasilkan lembaran-lembaran untaian mi
dan siap untuk pengukusan steaming. Pengukusan dilakukan untuk membunuh bakteri dan merupakan proses yang menentukan tekstur mi. Setelah itu dilakukan
proses pemotongan dan siap untuk proses penggorengan cutting. Proses selanjutnya adalah pendinginan untuk kemudian siap dikemas cooling, yang
berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh luar Corinthian Infopharma Corpora, 2004.
Defenisi mi instan menurut Japan Agricultural Standards JAS adalah mi instan dibuat dari bahan tepung beras atau tepung gandum yang diberi tambahan
bumbu atau rempah-rempah. Mi diproses sedemikian rupa untuk meningkatkan elastisitas dan viskositas, kemudian mi didehidrasikan, ditambahkan aroma
kemudian mi instan siap diolah. JAS mengklasifikasikan mi instan menurut wadah, pengemasan, rasa dan pembuatan dimana pada dasarnya mi instan dibagi
dalam dua jenis yaitu mi dalam kemasan plastik dan mi dalam kemasan gelas cup
Mi rebus yang
digelatinisasi Mi rebus
yang digelatinisasi
Mi goreng yang
digelatinisasi Mi goreng
yang digelatinisasi
Mi rebus yang
digelatinisasi Mi goreng
yang digelatinisasi
Mi instan ala Cina
Mi instan ala Jepang
Mi rebus yang tidak
digelatinisasi Mi rebus
yang digelatinisasi
Mi goreng yang
digelatinisasi Mi instan
ala Barat Mi instan
ala Jepang Mi instan
ala Cina Mi dalam kemasan gelascup
Mi dalam kemasan plastik Mi instan
Gambar 2.3. Klasifikasi berdasarkan wadah, pengemasan, rasa dan pembuatan
Sumber : Japan Agriculture Standards JAS
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Yunianti 2001 melakukan penelitian mengenai Implikasi Kebijakan Tepung Terigu Terhadap Industri Tepung Terigu dan Industri Makanan: Studi
Kasus Industri Mi Instan bertujuan untuk memberikan gambaran pengaruh
kebijakan pemerintah terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri tepung terigu serta menganalisis kebijakan-kebijakan perusahaan terhadap industri tepumg
terigu serta menganalisis kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap industri tepung
terigu dan industri makanan berbasis tepung terigu. Hasil penelitiannya mengenai struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan. Pertama, pada industri mi instan
campur tangan pemerintah secara langsung sangat terbatas, industri mi instan sangat terkonsentrasi
, adanya deregulasi tata niaga tepung terigu tahun 1998 ternyata tidak mengubah struktur industri mi instan secara drastis, adanya
hubungan vertikal antara industri hulu dengan industri hilirnya. Kedua, pada industri mi instan mempunyai konsentrasi tinggi yaitu kurang lebih 89 persen dan
berada pada pasar yang lebih kompetitif karena sifat produknya yang consumer good
, dengan memberikan kontribusi tepung terigu sebesar 16 persen dari total penjualan bersih maka divisi mi instan dapat memberikan kontribusi yang lebih
besar yaitu 34 persen dari total penjualan. Ketiga, adanya kebijakan proteksi pada barang antara yang merupakan bahan baku utama telah mempengaruhi struktur
industri penghasil barang akhir yang mempunyai hubungan vertikal. Alistair 2004 melakukan penelitian pada industri tepung terigu mengenai
Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa struktur pasar tepung terigu di Indonesia adalah bentuk pasar yang dikuasai oleh satu perusahaan dominan yang setiap tahunnya meraih pangsa pasar lebih
dari 50 persen. Hambatan masuk pada industri ini cukup tinggi jika dilihat dari perangkat-perangkat legal dan kondisi alamiah yaitu adanya peraturan SNI wajib
bagi tepung terigu dan MES yang sangat tinggi. Perilaku yang terjadi menggambarkan perusahaan yang mendominasi pasar memiliki strategi produk
dan promosi yang paling berkembang sedangkan penetapan harga biasanya
dilakukan dengan melihat harga bahan baku di pasar internasional yang kemudian dikoordiansikan di antara para produsen tepung terigu. Kinerja yang dilihat dari
utilitas kapasitas produksi menggambarkan bahwa produsen tepung terigu tidak memaksimalkan kapasitas produksinya. Hasil lainnya yang didapat dari penelitian
ini adalah meskipun setelah deregulasi pada tahun 1998 industri tepung terigu masih dikuasai oleh perusahaan dominan namun rupanya tidak menjadi suatu
masalah besar bagi produsen lain. Masalah utama bagi para produsen lokal adalah meningkatnya volume impor yang melakukan praktek dumping maupun yang
tidak memenuhi peraturan SNI. Robert 1995 meneliti mengenai Struktur-Perilaku-Kinerja pada industri
pemintalan dengan judul Hubungan Struktur dengan Kinerja Pasar Studi Empiris pada Industri Pemintalan. Penelitian ditujukan untuk melihat pengaruh struktur
berdasarkan pangsa pasar, konsentrasi dan Hirschman-Herfindahl Index terhadap kinerja industri tekstil yang diproksi dengan Price-Cost-Margin. Hasil penelitian
yang meregresikan variabel CR, efisiensi-X dan produktivitas terhadap PCM terdapat hubungan positif antara pangsa pasar dengan keuntungan perusahaan-
perusahaan di dalam pasar. Dengan terbuktinya pangsa pasar yang mempengaruhi keuntungan, menunjukkan adanya suatu kekuatan pasar yang memungkinkan
terjadinya perilaku kolusif di antara pelaku.
2.5. Kebijakan Yang Terkait Dengan Industri Mi Instan
Struktur pasar yang semakin terkonsentrasi mempunyai perilaku yang eksploitatif, seperti pengaturan harga, adanya hambatan masuk pasar yang
menyebabkan industri semakin tidak atau kurang efisien, sehingga tingkat